Selasa, 26 Agustus 2025


Skema Transaksi dan Latar Belakang
PT A (perusahaan di Indonesia) mendapatkan kontrak penjualan barang
kepada S.Co (perusahaan di Singapura). Uniknya, barang dibeli PT A dari
vendor di Jerman dan dikirim langsung dari Jerman ke Singapura tanpa pernah
masuk ke Indonesia. PT A tidak memiliki cabang di Singapura, dan S.Co juga
tidak memiliki cabang atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Pembayaran atas
penjualan ini dilakukan oleh S.Co dari Singapura langsung ke rekening PT A di
Indonesia. Transaksi ini murni penjualan barang (bukan jasa), yang terjadi satu
kali (transaksi tunggal).
Dari perspektif PT A sebagai Wajib Pajak Indonesia, perlu dianalisis aspek
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan aspek Pajak Penghasilan (PPh) atas
transaksi tersebut, beserta dasar hukum yang berlaku di Indonesia. Berikut
penjelasan mendalamnya:
Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1. Objek PPN – Penyerahan Barang di Dalam Daerah Pabean:
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN (UU No. 42 Tahun 2009), PPN
dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh pengusaha[1]. Ini berarti suatu penyerahan barang akan terutang PPN jika memenuhi tiga syarat kumulatif: (a) barang berwujud tersebut merupakan BKP;
(b) penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean (Indonesia); dan (c)
penyerahan dalam rangka kegiatan usaha[2]. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi,
maka penyerahan tersebut tidak terutang PPN**[3].
2. Penyerahan Barang di Luar Daerah Pabean (Drop Shipment Luar Negeri):
Dalam skema PT A–S.Co, barang diserahkan di luar daerah pabean Indonesia
(barang dikirim dari Jerman ke Singapura, tidak masuk wilayah Indonesia sama
sekali). Kondisi ini berarti syarat “penyerahan di dalam daerah pabean” tidak
terpenuhi. Sesuai penegasan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak SE-130/PJ/2010,
penyerahan BKP yang secara fisik berada di luar daerah pabean tidak
dikenai PPN[4]. Dengan kata lain, transaksi penjualan PT A ke S.Co tidak terutang
PPN di Indonesia karena barang diserahterimakan di luar wilayah kepabeanan
Indonesia.
Contoh Pembanding: SE-130/PJ/2010 memberikan
contoh kasus serupa: PT A (PKP di Jakarta) menjual forklift kepada PT B.
Forklift dibeli dari pabrikan di Jepang dan langsung dikirim ke gudang PT B di
Singapura. Hasilnya, penyerahan forklift tersebut oleh PT A tidak dikenai
PPN karena barangnya berada di luar daerah pabean saat diserahkan[5]. Kasus PT A dan S.Co sejalan dengan contoh ini — penyerahan barang
terjadi di luar Indonesia, sehingga bebas PPN.
3. Bukan Ekspor Formal – PPN 0% vs. Tidak Terutang PPN:
Perlu dibedakan bahwa transaksi ini bukan ekspor formal dari Indonesia,
karena PT A tidak mengirim barang dari Indonesia dan tidak mengurus dokumen
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Dalam skema ekspor biasa, penjualan barang
ke luar negeri terutang PPN dengan tarif 0% (zero-rated) jika barang
diekspor secara fisik dari dalam ke luar daerah pabean. Namun, dalam skema drop
shipment ini, barang tidak pernah masuk atau keluar wilayah pabean
Indonesia, sehingga tidak memenuhi definisi ekspor menurut kepabeanan
Indonesia. Oleh karena itu, PPN 0% ekspor tidak dapat diterapkan.
Sebagai gantinya, transaksi ini dikategorikan sebagai penyerahan yang tidak
terutang PPN (outside scope) karena tidak terjadi di dalam daerah
pabean[4].
Praktisnya, PT A tidak perlu memungut PPN keluaran atas invoice
ke S.Co. Faktur penjualan dapat diterbitkan tanpa PPN (nilai jual bersih saja).
PT A juga tidak dikenai PPN masukan impor atas pembelian barang dari
Jerman, karena PT A tidak melakukan impor barang ke Indonesia. (PPN impor
justru kemungkinan muncul di Singapura saat barang masuk ke Singapura, namun
itu di luar yurisdiksi pajak Indonesia).
4. Pelaporan dalam SPT Masa PPN:
Meskipun tidak terutang PPN, PT A wajib melaporkan transaksi penyerahan ini
dalam SPT Masa PPN pada bagian “Penyerahan yang tidak terutang PPN”.
Kewajiban ini ditegaskan dalam SE-130/PJ/2010 yang mengatur bahwa PKP harus
melaporkan penyerahan BKP di luar daerah pabean pada SPT PPN masa terkait
sebagai penyerahan tidak terutang[6]. Langkah ini penting untuk transparansi, agar jelas bagi otoritas
pajak bahwa penjualan tersebut terjadi tetapi memang di luar ruang lingkup PPN.
5. Dasar Hukum PPN Terkait:
- Pasal 4 ayat (1) huruf a UU No.42/2009: PPN dikenakan atas penyerahan
BKP di dalam daerah pabean oleh pengusaha[1].
- Pasal 1A ayat (1) huruf a UU No.42/2009: yang dimaksud penyerahan BKP
termasuk penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian (jual beli)[7].
- SE-130/PJ/2010 (Dirjen Pajak): Penegasan bahwa penyerahan BKP yang secara
nyata berada di luar daerah pabean tidak dikenai PPN, dengan contoh
kasus drop shipment[4][5]. Juga ditegaskan kewajiban pelaporan dalam SPT Masa PPN[6].
Dengan berpegang pada aturan di atas, PT A tidak memungut maupun
menyetor PPN atas penjualan barang ke S.Co. Transaksi ini berada di luar
objek PPN Indonesia, sehingga neutral dari sisi PPN (tidak ada PPN
keluaran terutang, tetapi juga tidak ada PPN masukan yang dapat dikreditkan
terkait transaksi tersebut).
Aspek
Pajak Penghasilan (PPh)
1. Pajak Penghasilan Badan atas Laba Penjualan:
Sebagai Wajib Pajak badan dalam negeri, PT A dikenai Pajak Penghasilan atas
setiap penghasilan yang diperoleh, baik dari dalam negeri maupun luar negeri[8]. Indonesia menganut prinsip worldwide income untuk Wajib Pajak
Dalam Negeri, artinya penghasilan PT A dari transaksi penjualan kepada pembeli
di Singapura tetap merupakan objek pajak di Indonesia. Tidak ada
pengecualian PPh hanya karena pembelinya di luar negeri – penghasilan
tersebut tetap dihitung dalam laba rugi PT A dan dikenai PPh Badan sesuai tarif
yang berlaku.
2. Perhitungan PPh Badan (PPh Pasal 25/29):
PT A harus memasukkan pendapatan dari S.Co dan harga pokok pembelian dari
vendor Jerman ke dalam pembukuan tahun berjalan. Laba kotor dari
transaksi ini = (harga jual ke S.Co) – (harga beli dari vendor Jerman) – (biaya
terkait lainnya jika ada). Laba kotor ini akan menjadi bagian dari penghasilan
kena pajak PT A setelah dikurangi biaya-biaya operasional lain. Tarif
PPh Badan tahun 2025 sebesar 22% akan diterapkan atas penghasilan
kena pajak tersebut[9].
Sebagai ilustrasi sederhana:
- Misalkan PT A membeli barang dari Jerman senilai Rp10 miliar (tidak
ada PPN karena pembelian luar negeri).
- PT A lalu menjual ke S.Co seharga Rp12 miliar (tanpa PPN keluaran).
- Pendapatan bruto = Rp12 miliar; Harga Pokok Penjualan (HPP) =
Rp10 miliar, sehingga laba kotor = Rp2 miliar.
- Misal tidak ada biaya lain terkait transaksi ini, maka Rp2 miliar tersebut
menambah penghasilan kena pajak PT A.
- PPh Badan terutang = 22% × Rp2 miliar = Rp440 juta. PT A harus
melaporkan penghasilan ini dalam SPT Tahunan PPh Badan dan menyetor pajaknya
(dikreditkan dengan angsuran PPh Pasal 25 yang sudah dibayar sepanjang tahun,
jika ada).
Penghitungan di atas tentunya akan disesuaikan dengan posisi keuangan
sebenarnya PT A dan kurs pajak yang berlaku (jika transaksi dalam valuta
asing). Kurs konversi: Karena pembayaran mungkin diterima dalam mata
uang asing (misal SGD atau EUR), PT A wajib mengonversi nilai transaksi ke
Rupiah untuk keperluan pembukuan dan pelaporan pajak, menggunakan kurs pajak
yang ditetapkan Menteri Keuangan pada saat transaksi atau kurs tengah BI pada
saat pengakuan pendapatan, sesuai ketentuan berlaku.
3. Withholding Tax (PPh Potongan/Pungutan) Terkait:
Dalam transaksi ini, hampir tidak ada mekanisme pemotongan/pemungutan PPh
oleh pihak lain, karena:
- S.Co (pembeli asing) tidak berkedudukan di Indonesia, sehingga tidak
ada kewajiban memotong PPh 23/26 atas pembayaran kepada PT A. (Pemotongan
PPh 26 biasanya terjadi jika subjek luar negeri menerima penghasilan dari
Indonesia, namun di sini PT A adalah subjek dalam negeri yang menerima
pembayaran dari luar negeri). Jadi, PT A menerima pembayaran bruto penuh.
- Pembelian barang dari vendor Jerman oleh PT A juga tidak dikenai
withholding tax Indonesia. PT A membayar ke pemasok luar negeri untuk barang
dagangan; jenis pembayaran ini tidak termasuk objek PPh Pasal 26 (karena bukan
berupa royalti, bunga, dividen, jasa, dll., melainkan pembelian barang fisik). Tidak
ada PPh 26 yang harus dipotong atas transaksi pembelian barang impor secara
offshore tersebut.
- PPh Pasal 22 Impor: Biasanya, importir dikenai PPh Pasal 22 impor
(sebesar 2,5% nilai impor jika ber-NPWP) sebagai pungutan di Bea Cukai dan bisa
dikreditkan sebagai prapembayaran PPh Badan. Dalam kasus ini, PT A tidak
melakukan impor fisik ke Indonesia, sehingga tidak terutang PPh 22 impor
di Indonesia. PPh 22 impor justru akan dikenakan di negara tujuan (Singapura)
sesuai aturan di sana, atau tidak sama sekali jika vendor Jerman yang ekspor.
(Sebagai gambaran, dalam contoh SE-130/PJ/2010, karena PT B yang memasukkan
barang ke Indonesia, PT B-lah yang dianggap importir dan harus membayar bea
masuk, PPN impor, dan PPh 22 impor[10]. Berbeda dengan skema PT A–S.Co, di mana importir akhir adalah
pihak di Singapura, bukan di Indonesia.)
Dengan demikian, fokus utama PPh dari sisi PT A adalah PPh Badan
atas laba usaha. PT A wajib melaporkan penghasilan penjualan tersebut dalam
SPT Tahunan PPh dan membayar pajaknya sesuai tarif 22%. Tidak ada pemotongan
PPh final atau PPh lainnya yang langsung dikenakan pada transaksi lintas negara
ini dari sisi Indonesia.
4. Dasar Hukum PPh Terkait:
- Pasal 4 ayat (1) UU PPh (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 36 Tahun 2008,
dan perubahan terakhir UU HPP No.7 Tahun 2021): Definisi penghasilan mencakup setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak, baik yang berasal
dari dalam negeri maupun dari luar negeri[8]. Ini menegaskan bahwa penghasilan PT A dari penjualan ke luar negeri
tetap objek pajak.
- Pasal 17 UU PPh dan perubahannya: Mengatur tarif Pajak Penghasilan
Badan. Saat ini tarif umum PPh Badan adalah 22% dari Penghasilan Kena
Pajak[9].
- PP No. 23 Tahun 2018 (jika relevan untuk UMKM) – kemungkinan tidak
berlaku di sini karena transaksi bernilai besar dan bukan objek PPh final UMKM
0.5%. (Jika PT A perusahaan kecil beromzet ≤4.8 M setahun dan memilih PPh final
UMKM, skema berbeda. Namun asumsi kasus ini PT A bukan UMKM).
- Peraturan Dirjen atau SE terkait kurs: Misalnya, KMK tentang kurs
pajak mingguan untuk konversi valuta asing. PT A harus mematuhi ketentuan ini
saat pembukuan pembayaran dari S.Co.
Contoh Pencatatan Transaksi oleh PT A
Untuk lebih memahami alur pajaknya, berikut ringkasan contoh pencatatan
dan perlakuan pajak atas transaksi tersebut dari sudut pandang PT A:
- Pembelian dari Vendor Jerman:
PT A membeli barang dari Jerman senilai misal EUR 600.000. Barang dikirim langsung ke Singapura (tidak masuk Indonesia).
Pajak terkait: Tidak ada PPN maupun bea masuk Indonesia, karena tidak ada impor fisik ke Indonesia. Juga tidak ada withholding PPh ke vendor (pembayaran penuh ke vendor luar negeri). PT A mencatat HPP sebesar EUR 600.000 (dikonversi ke Rupiah sesuai kurs saat transaksi). - Penjualan ke S.Co Singapura:
PT A menjual kepada S.Co seharga misal EUR 700.000 (langsung dikonversi ke Rupiah di pembukuan sesuai kurs faktur/pembayaran).
Pajak terkait: PPN 0 – PT A tidak memungut PPN keluaran (penyerahan luar negeri, non-DP). PPh Badan – Laba kotor EUR 100.000 (selisih jual-beli) akan terakumulasi dalam laba kena pajak tahun tersebut. Pajak penghasilan yang akhirnya harus disetor = 22% × laba kena pajak (setelah perhitungan komprehensif satu tahun).
PT A sebaiknya tetap mendokumentasikan transaksi ini dengan baik
(kontrak, invoice, bukti pembayaran, bukti pengiriman ke Singapura seperti bill
of lading atau airway bill) untuk keperluan pembukuan dan sebagai bukti jika
diminta otoritas pajak.
Grey Area dan Potensi Risiko Pajak
Meskipun secara aturan perpajakan transaksi ini cukup jelas, terdapat
beberapa grey area atau titik rawan yang harus diperhatikan PT A agar
terhindar dari sanksi atau pemeriksaan pajak yang mendalam:
- Dokumentasi
Pengiriman Barang: PT A perlu memastikan memiliki
bukti otentik bahwa barang benar-benar dikirim dari luar negeri
(Jerman) ke luar negeri (Singapura) dan tidak masuk wilayah RI.
Sesuai SE-130/PJ/2010, penyerahan di luar pabean harus dibuktikan
dengan dokumen atau akta otentik pendukung transaksi[4]. Bukti ini bisa berupa: kontrak jual beli yang mencantumkan term
pengiriman (misal ship from Germany to Singapore), invoice dari
vendor Jerman, bukti pengiriman (konosemen/AWB) yang menunjukkan Jerman ke
Singapura, dan dokumentasi kepabeanan Singapura. Tanpa bukti kuat,
otoritas pajak bisa meragukan transaksi dan menganggap seolah-olah barang
diserahkan di Indonesia. Hal itu berpotensi memicu koreksi: misalnya
fiskus dapat menagih PPN 11% plus sanksi bunga dan denda atas penjualan
tersebut jika dianggap terutang PPN di dalam negeri akibat kurangnya bukti
pendukung.
- Pelaporan
PPN yang Tepat: PT A harus konsisten melaporkan
transaksi ini di SPT Masa PPN pada kolom Penyerahan Tidak Terutang PPN[6]. Grey area-nya, beberapa perusahaan mungkin keliru tidak
melaporkan sama sekali (karena mengira tidak ada PPN jadi tidak perlu
dilaporkan), atau salah memasukkannya sebagai ekspor 0%. Kesalahan
pelaporan dapat menimbulkan pertanyaan saat pemeriksaan. Jika tidak
dilaporkan, omzet PT A di SPT PPN akan tampak lebih rendah daripada di SPT
PPh, yang bisa memancing inquiry dari fiskus. Pastikan nilai penjualan ke
S.Co tetap tercantum di SPT PPN (walau di kolom tidak terutang) untuk transparansi.
- Perbedaan
Perlakuan PPN vs PPh: Perlu disadari bahwa bebas
PPN bukan berarti bebas PPh. Transaksi ini tetap dikenai PPh Badan. PT
A harus melaporkan omzet dan labanya di SPT Tahunan PPh. Grey area
yang mungkin terjadi adalah mismatch data: Misalnya PT A lapor SPT
PPh ada penjualan RpX, tapi di SPT PPN tidak ada PPN keluaran terkait RpX.
Ini sebenarnya wajar karena tidak terutang PPN, namun tanpa
penjelasan/bukti, hal ini mungkin menimbulkan kecurigaan petugas pajak.
Solusinya, sediakan penjelasan dan dokumen pendukung saat rekonsiliasi SPT,
bahwa penjualan tersebut luar negeri (non-DP), sehingga PPN-nya nihil
sesuai aturan.
- Kepatuhan
Pajak Penghasilan: Dari sisi PPh, risiko utama
adalah jika PT A tidak membayar pajak atas laba transaksi ini.
Mengingat pembeli adalah pihak luar negeri, sebagian aliran dana mungkin
tidak terlapor melalui mekanisme potput (beda dengan penjualan domestik
yang kadang terpotong PPh 23). PT A harus proaktif menghitung dan menyetor
sendiri angsuran PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29 bila ada kurang bayar. Kelalaian
melaporkan penghasilan ini di SPT Tahunan PPh dapat dianggap sebagai
upaya penghindaran pajak yang berakibat sanksi (denda keterlambatan, bunga
pasal 13 UU KUP, atau bahkan penalti Pasal 38/39 UU KUP jika dianggap
disengaja).
- Transaksi
Afiliasi dan Harga Transfer: Apabila (hipotetis)
S.Co di Singapura atau vendor di Jerman memiliki hubungan istimewa dengan
PT A (afiliasi satu grup), harga transaksi harus wajar (arm’s length).
Grey area-nya, fiskus bisa memeriksa apakah PT A menjual dengan
harga terlalu rendah atau membeli terlalu mahal untuk menggeser laba ke
luar negeri. Pastikan dokumentasi transfer pricing tersedia (jika
relevan). Namun, jika hubungan pihak independen, risiko ini minim.
- Aturan
Devisa Hasil Ekspor (DHE): Bank Indonesia
mensyaratkan ekspor tertentu untuk memasukkan devisa hasil ekspor melalui
bank domestik. Dalam kasus ini, karena tidak ada dokumen ekspor PEB, strictly
speaking transaksi PT A mungkin tidak tercatat sebagai ekspor resmi.
Namun, dana tetap masuk dari luar negeri ke Indonesia. PT A
sebaiknya menerima pembayaran melalui bank nasional dan mendeskripsikan
transaksi dengan benar. Jika nominal besar, bank mungkin meminta
underlying transaction documents (invoice, kontrak) untuk kepatuhan
PPATK/BI. Selama dana masuk ke Indonesia dan dilaporkan sebagai
penghasilan, kepatuhan DHE tercapai secara substansi. Grey area
bisa muncul kalau PT A membiarkan pembayaran disimpan di luar negeri
(offshore) – hal ini melanggar kewajiban repatriasi devisa (untuk sektor
tertentu) dan tentu penghasilan tersebut tetap terutang pajak di Indonesia
meski tidak dibawa pulang.
- Kesalahan
Penafsiran Atas Jenis Transaksi: Penting bagi PT
A untuk menegaskan bahwa ini adalah jual-beli barang biasa secara
cross-border, bukan jasa perantara. Mengapa ini penting? Jika
otoritas pajak salah menafsirkan bahwa PT A hanya bertindak sebagai
perantara jasa (misal agen komisi) alih-alih penjual barang, mereka bisa
mencoba mengenakan PPN jasa atau PPh berbeda. Pastikan kontrak menyatakan
itu sales of goods. Dalam kasus kita, tidak ada komisi terpisah –
keuntungan PT A murni selisih harga jual dan beli barang, sehingga jelas
merupakan laba perdagangan barang.
Dengan langkah mitigasi di atas, PT A dapat menghindari sengketa atau
sanksi. Kuncinya adalah kepatuhan administrasi dan dokumentasi. Apabila
semua aturan diikuti (pelaporan benar, pajak penghasilan dibayar, dan bukti
transaksi lengkap), maka transaksi semacam ini sah dan tidak menimbulkan beban
pajak ganda di Indonesia.
Kesimpulan
Dari sudut pandang PT A (Indonesia), transaksi penjualan barang ke
S.Co Singapura dengan barang dikirim langsung dari Jerman memiliki
implikasi pajak sebagai berikut:
- PPN: Tidak terutang PPN di Indonesia karena penyerahan barang terjadi
di luar daerah pabean Indonesia[4]. PT A tidak memungut PPN atas invoice ke S.Co, dan wajib
melaporkan omset ini sebagai penyerahan tidak terutang PPN di SPT Masa PPN[6].
- PPh: Laba atas penjualan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
Indonesia (prinsip worldwide income)[8]. PT A harus memasukkan penghasilannya dalam perhitungan PPh Badan
tahunannya dan membayar sesuai tarif 22%[9]. Tidak ada pemotongan PPh oleh pembeli luar negeri, sehingga PT A
harus memastikan sendiri pemenuhan kewajiban PPh-nya. PPh pasal lain
seperti PPh 22 impor tidak berlaku karena tidak ada impor fisik ke
Indonesia[10].
Dengan mengikuti dasar aturan pajak yang berlaku dan praktik
pembukuan yang benar, PT A dapat melaksanakan transaksi ini secara efisien
pajak (tanpa terkena PPN domestik) namun tetap patuh terhadap
kewajiban PPh. Tetap perlu waspada terhadap hal-hal abu-abu seperti aspek
dokumentasi dan pelaporan, agar terhindar dari penalti atau pemeriksaan di
kemudian hari. Semoga penjelasan ini membantu memberikan gambaran komprehensif
mengenai PPh dan PPN atas skema transaksi tersebut.
Sumber Referensi:
·
Surat Edaran Dirjen Pajak SE-130/PJ/2010
– Perlakuan PPN atas penyerahan BKP di luar Daerah Pabean (drop shipment)[4][5].
·
UU PPN No. 42 Tahun 2009, Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 1A ayat (1) huruf a – Objek PPN
penyerahan dalam daerah pabean[1][7].
·
UU PPh (Terakhir diubah UU HPP
No.7/2021), Pasal 4 ayat (1) – Penghasilan Wajib Pajak
dalam negeri mencakup penghasilan dari luar negeri[8].
·
Tarif PPh Badan 22% (berlaku tahun pajak 2022 dan setelahnya)[9].
·
Artikel MUC Consulting – Ex-Work
dan PPN (contoh kasus penyerahan barang sebagian dari luar negeri)[11][10].
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 130/PJ/2010 - Ortax
https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/14488
[8] Indonesia Hijrah ke Sistem Pajak Teritorial, Perlukah Disoal? |
Direktorat Jenderal Pajak
https://pajak.go.id/id/artikel/indonesia-hijrah-ke-sistem-pajak-teritorial-perlukah-disoal
[9] Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Badan
https://pajak.go.id/en/node/34958
[10] [11] Pahami Aspek Pajak Pertambahan Nilai Atas Skema Penyerahan Barang
Ex-Work
Kamis, 21 Agustus 2025


PENDAHULUAN
Peer-to-Peer (P2P) Lending
adalah layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi yang mempertemukan pihak
pemberi pinjaman (lender/investor) dengan penerima pinjaman (borrower) melalui
platform online[1]. Industri P2P
lending di Indonesia tumbuh pesat sebagai alternatif pinjaman bagi UMKM dan
individu, sekaligus sarana investasi bagi investor dengan imbal hasil menarik[2]. Seiring
pertumbuhannya, pemerintah mulai mengatur aspek perpajakan P2P lending untuk
memastikan kepatuhan pajak dan level playing field dengan lembaga
keuangan konvensional. Pada tahun 2022, Kementerian Keuangan menerbitkan PMK
No. 69/PMK.03/2022 yang secara khusus mengatur Pajak Penghasilan (PPh)
dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyelenggaraan fintech, termasuk
layanan P2P lending[3].
Dalam laporan bisnis ini, kita akan membahas perlakuan
pajak atas P2P lending di Indonesia dari tiga perspektif: penerima
pinjaman (borrower), pemberi pinjaman atau investor (lender), dan penyelenggara
platform P2P. Setiap transaksi dalam ekosistem P2P lending – mulai dari
penyaluran pinjaman, pembayaran bunga, hingga biaya layanan – akan dikaji dari
sisi PPh dan PPN, disertai dasar hukum (pasal dan ayat) yang mendukung.
Pembahasan disusun terstruktur per bab, dimulai dari konsep umum perpajakan P2P
lending (Bab 1), dilanjutkan dengan analisis mendalam dari masing-masing sisi
pelaku (Bab 2), pembahasan lanjutan termasuk grey area atau area abu-abu
(Bab 3), dan ditutup dengan kesimpulan serta saran (Bab 4). Harapannya, narasi
komunikatif ini dapat memberi pemahaman menyeluruh namun mudah dicerna mengenai
kewajiban pajak di bisnis P2P lending.
Regulasi Kunci: Sebelum
masuk ke pembahasan, perlu disepakati beberapa landasan hukum. Undang-Undang
Pajak Penghasilan (UU PPh) mengatur bahwa bunga pinjaman merupakan objek
pajak PPh[4]. Sementara itu, Undang-Undang
PPN (setelah perubahan UU HPP 2021) umumnya mengecualikan jasa keuangan
tertentu dari PPN, namun dalam konteks fintech P2P lending, pemerintah telah
menetapkan bahwa layanan yang diberikan platform P2P merupakan Jasa Kena
Pajak sehingga dikenai PPN atas fee/komisi layanan[5]. Dengan regulasi
PMK 69/2022, DJP juga menujuk platform P2P sebagai pemotong PPh Pasal 23/26
atas bunga yang diterima lender[6].
Ketentuan-ketentuan inilah yang akan dijabarkan per bab berikut dengan contoh
konkret agar lebih mudah dipahami.
BAB 1 – KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN ATAS P2P LENDING
Definisi dan Karakteristik P2P Lending terkait Pajak
Secara
resmi, P2P Lending didefinisikan dalam Pasal 1 angka 12 PMK 69/2022
sebagai “penyelenggaraan layanan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan
penerima pinjaman secara langsung melalui sistem elektronik (internet)”.
Layanan ini mencakup versi konvensional maupun syariah, di mana lender
memperoleh imbalan berupa bunga pinjaman atau bagi hasil yang dibayar
borrower melalui platform[7].
Dalam P2P lending, terdapat tiga pihak utama: penyelenggara platform,
pemberi pinjaman (lender/investor), dan penerima pinjaman (borrower)[1].
Ketiganya memiliki peran berbeda yang memengaruhi implikasi perpajakan
masing-masing.
Objek Pajak Penghasilan: Berdasarkan Pasal 4
ayat (1) UU PPh, setiap tambahan ekonomis yang diterima wajib pajak
dengan nama dan bentuk apapun merupakan objek pajak[4].
Ini termasuk penghasilan bunga atas pinjam-meminjam uang. Dengan kata
lain, bunga pinjaman P2P lending adalah penghasilan yang terutang PPh
bagi pihak yang menerimanya (lender/investor)[8].
Imbal hasil yang diperoleh lender dari P2P lending diperlakukan sama seperti
bunga dari pinjaman konvensional secara pajak[9].
Sebelum adanya aturan khusus, perlakuan pajaknya mengacu ke ketentuan umum:
pihak penerima bunga wajib melaporkan penghasilan itu dan dikenai pajak sesuai
tarif yang berlaku (progresif untuk orang pribadi, atau tarif pajak badan)[10].
Namun, dalam praktik awal P2P, timbul kebingungan karena tidak semua transaksi
melibatkan pemotong resmi PPh. Borrower perorangan misalnya, bukan subjek
pemotong PPh, sehingga mekanisme pemotongan PPh Pasal 23 atas bunga P2P sempat
tidak berjalan sebelum ada aturan khusus[11].
Hal ini menyebabkan lender melaporkan sendiri bunga P2P sebagai “Penghasilan
Dalam Negeri Lainnya” di SPT dan dikenai tarif umum (bukan tarif 15%)[10].
Kondisi ini kurang ideal karena bisa menimbulkan tarif pajak lebih tinggi bagi
lender serta ketidakpastian administrasi.
Status PPN atas Layanan P2P: Di sisi lain, Undang-Undang
PPN dan peraturan turunannya biasanya mengecualikan jasa keuangan
(seperti pinjaman oleh bank/lembaga keuangan) dari pengenaan PPN (tidak
terutang PPN). Pinjam-meminjam uang oleh bank dianggap bukan objek PPN.
Namun, bagaimana dengan platform P2P? Platform P2P Lending bukan bank atau
koperasi, melainkan entitas teknologi finansial. Pemerintah memandang jasa
yang diberikan platform P2P (mempertemukan pendana dan peminjam, penempatan
dana, administrasi pinjaman, dsb.) sebagai Jasa Kena Pajak yang terutang
PPN[12].
Hal ini diatur dalam PMK 69/2022, di mana penyerahan layanan pinjam meminjam
berbasis teknologi oleh perusahaan fintech dikenai PPN dengan Dasar
Pengenaan Pajak (DPP) berupa fee, komisi, atau imbalan lain yang
diterima sehubungan layanan tersebut[5].
Dengan aturan ini, biaya layanan yang dikenakan platform kepada pengguna
(baik ke lender maupun borrower) tidak lagi dikecualikan seperti jasa keuangan
konvensional, melainkan diperlakukan sebagai objek PPN.
PMK 69/PMK.03/2022 sebagai Payung Hukum:
Terbitnya PMK 69 pada 30 Maret 2022 memberikan kepastian hukum bagi perpajakan
P2P lending[6].
Pada Pasal 3 ayat (4) PMK tersebut, Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam
(platform P2P) ditunjuk sebagai pemotong PPh atas penghasilan bunga
yang dibayar melalui platform[6].
Tarif pemotongannya diatur sebesar 15% (PPh Pasal 23) untuk lender yang
merupakan Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap, dan 20% (PPh
Pasal 26) untuk lender Wajib Pajak Luar Negeri (non-BUT), atau sesuai tarif
perjanjian pajak jika ada[6].
Penunjukan platform sebagai pemotong pajak ini penting karena menutup celah
ketika borrower tidak berstatus pemotong. Selain itu, PMK 69 juga secara
eksplisit memasukkan terminologi P2P lending sebagai objek pajak yang diatur,
menegaskan bahwa bunga P2P lending merupakan objek PPh dan fee
layanan P2P merupakan objek PPN. Dengan landasan ini, bab-bab selanjutnya
akan mengurai kewajiban PPh dan PPN dari sudut pandang masing-masing pihak:
borrower, lender/investor, dan platform.
BAB 2 – PERLAKUAN PAJAK P2P LENDING DARI SISI BORROWER, LENDER/INVESTOR, & PLATFORM
Pada
bab ini kita membahas skema perpajakan dalam transaksi P2P lending sehari-hari.
Transaksi P2P melibatkan aliran dana dan imbalan antar tiga pihak, sehingga
perlu dilihat dampak PPh dan PPN pada masing-masing pihak: (1)
Penerima Pinjaman (Borrower), (2) Pemberi Pinjaman/Investor (Lender),
dan (3) Penyelenggara Platform P2P.
2.1 Penerima Pinjaman (Borrower)
a. Pajak
Penghasilan (PPh) bagi Borrower: Penerima pinjaman
mendapatkan dana pinjaman yang bukan merupakan penghasilan, karena
pinjaman akan menjadi kewajiban yang harus dilunasi. Oleh karena itu, uang
pokok pinjaman yang diterima tidak dikenakan PPh (pinjaman bukan objek
pajak penghasilan selama memang ada kewajiban mengembalikan). Namun, ketika
borrower membayar bunga pinjaman kepada lender, pembayaran bunga ini tidak
bisa dibiayakan sembarangan. Jika borrower merupakan wajib pajak badan
atau usaha (misal PT atau CV yang meminjam untuk modal usaha), beban
bunga pinjaman dapat dikurangkan sebagai biaya usaha sepanjang pinjaman itu
digunakan untuk kegiatan yang menunjang penghasilan kena pajak (prinsip 3M:
mendapat, menagih, memelihara penghasilan). Jadi bunga pinjaman P2P bagi
borrower usaha bisa menjadi biaya deductible dalam perhitungan PPh
badan. Sementara itu, bila borrower adalah orang pribadi yang meminjam
untuk keperluan konsumtif (bukan dalam rangka usaha), bunga yang dibayar
tersebut biasanya tidak dapat dikurangkan untuk tujuan pajak karena
bukan biaya usaha.
Kewajiban Pemotongan PPh: Dalam transaksi
pinjaman konvensional, borrower yang berbentuk badan dikenai kewajiban memotong
PPh Pasal 23 atas bunga yang dibayarkannya kepada pemberi pinjaman (lender)
sebesar 15%[13]. Namun dalam
skema P2P lending setelah tahun 2022, aturan berubah: platform P2P
ditunjuk sebagai pemotong PPh. Artinya, borrower tidak perlu memotong
PPh Pasal 23 atas bunga yang dibayar melalui platform[14]. Contohnya, PT
XYZ meminjam melalui platform A, dan membayar bunga kepada investor via
platform tersebut. PT XYZ tidak memotong PPh 23 atas bunga itu;
sebaliknya platform A akan otomatis melakukan pemotongan sebelum menyalurkan
bunga ke investor[14]. Hal ini sesuai
Pasal 3 PMK 69/2022 yang mengalihkan kewajiban pemotongan ke penyelenggara
fintech. Jadi dari perspektif borrower, pembayaran bunga melalui platform
relatif simpel: bayar bunga bruto + lapor SPT tahunan bahwa bunga
tersebut sebagai biaya (bagi WP Badan). Jika platform tidak berizin/tdk
terdaftar di OJK (misal pinjaman dilakukan via platform ilegal atau secara
langsung peer-to-peer tanpa perantara resmi), aturan umum berlaku: borrower
badan harus memotong PPh 23 atas bunga tersebut[15]. Namun, pada P2P
legal, hal ini tidak terjadi karena sudah dipotong oleh platform.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi Borrower: Dari sudut pandang borrower, PPN muncul ketika membayar biaya
layanan kepada platform. Umumnya, platform P2P mengenakan biaya
administrasi atau provisi kepada penerima pinjaman, misalnya sejumlah
persen dari nilai pinjaman atau biaya tetap saat pinjaman cair. Biaya
layanan platform ini terutang PPN karena merupakan imbalan atas jasa
penunjangan pinjaman yang diberikan platform[12]. Tarif PPN
11% dikenakan atas fee tersebut. Contoh, Borrower PT XYZ mendapat pinjaman
Rp100 juta melalui platform dan dikenakan biaya administrasi 1% (Rp1
juta) oleh platform. Platform wajib memungut PPN 11% dari biaya Rp1 juta, yakni
PPN Rp110 ribu. Jadi total yang dibayar borrower untuk fee platform =
Rp1.110.000. PPN ini disetor oleh platform ke kas negara sebagai pajak
keluaran mereka. Bagi borrower PT XYZ yang merupakan Pengusaha Kena Pajak
(PKP), PPN atas biaya ini dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan,
karena biaya platform terkait kegiatan usahanya (misal pinjaman untuk modal
kerja). Borrower dapat mencantumkan faktur pajak dari platform dan
mengkreditkan Rp110 ribu tersebut dalam SPT Masa PPN-nya. Sebaliknya, jika
borrower bukan PKP (misal individu atau UMKM non-PKP), PPN itu menjadi bagian
dari biaya yang harus ditanggung (tidak dapat dikreditkan).
Ringkasnya untuk Borrower: Penerimaan pinjaman
tidak kena PPh, pembayaran bunga dapat menjadi biaya (untuk WP Badan) namun
borrower tidak perlu memotong PPh selama lewat platform resmi. Borrower
menanggung PPN atas jasa platform pada setiap fee/komisi yang dibebankan
platform kepadanya. Tidak ada PPN atas bunga pinjaman itu sendiri (bunga bukan
penyerahan jasa oleh borrower, melainkan justru imbalan ke lender). Borrower
hanya perlu memperhitungkan PPN dalam biaya layanan platform dan memastikan
dokumentasi (faktur pajak) lengkap.
2.2 Pemberi Pinjaman /
Investor (Lender)
a. Pajak
Penghasilan (PPh) bagi Lender/Investor: Bagi pemberi
pinjaman, bunga yang diterima dari P2P lending merupakan penghasilan kena
pajak. Sesuai UU PPh Pasal 4(1), bunga termasuk dalam definisi objek pajak[8]. Perlakuan
pajaknya diatur lebih rinci melalui PMK 69/2022. Saat borrower membayar
bunga melalui platform, platform akan memotong PPh atas bunga ini sebelum
meneruskan ke lender. Tarif PPh Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto
bunga dikenakan bila lender adalah Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) atau Bentuk
Usaha Tetap (BUT)[6]. Jika
lender merupakan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) non-BUT, platform
memotong PPh Pasal 26 sebesar 20% dari bunga bruto atau tarif sesuai Tax
Treaty jika ada perjanjian (misal investor dari negara mitra)[6]. Pemotongan
ini final bagi WPLN (karena WPLN tidak lapor SPT di Indonesia), sedangkan
bagi WPDN pemotongan ini bersifat kredit pajak.
Mari ilustrasikan dengan contoh sederhana: Ibu Ani (WPOP dalam
negeri) dan PT Maju (WP badan dalam negeri) masing-masing mendanai
pinjaman melalui platform. Misalkan Ibu Ani mendanai Rp60 juta dan PT Maju Rp40
juta dari total pinjaman Rp100 juta kepada Borrower, dengan bunga 2% per bulan.
Artinya, setiap bulan borrower membayar bunga Rp2 juta. Melalui platform, bunga
dialokasikan ke Ibu Ani sebesar Rp1,2 juta dan ke PT Maju Rp800 ribu
(proporsional terhadap kontribusi pendanaan). Platform akan memotong PPh 23
sebesar 15% dari masing-masing: - Untuk Ibu Ani: 15% × Rp1.200.000 = Rp180.000
(PPh 23)
- Untuk PT Maju: 15% × Rp800.000 = Rp120.000 (PPh 23)
Platform kemudian menyalurkan bunga neto yang diterima
masing-masing (Ibu Ani menerima Rp1.020.000 setelah potong pajak, PT Maju
menerima Rp680.000). Platform juga menerbitkan bukti potong PPh Pasal 23
atas nama Ibu Ani dan PT Maju sebagai kredit pajak[16][17].
Pelaporan SPT bagi Lender: Ibu Ani selaku
orang pribadi harus melaporkan penghasilan bunga P2P tersebut dalam SPT Tahunan
PPh Orang Pribadi. Berdasarkan PMK 69/2022 Pasal 3 ayat (3), penghasilan
bunga P2P wajib dilaporkan dalam SPT tahunan pemberi pinjaman[16]. Di
formulir SPT, Ibu Ani akan memasukkan total bunga P2P yang ia terima dalam
kategori “Penghasilan Dalam Negeri Lainnya” (penghasilan bunga)[18]. Karena
Ibu Ani adalah WPOP, total penghasilan tersebut akan digabung dengan
penghasilan lain (misal gaji, usaha, dll) dan dikenai tarif progresif Pasal
17 UU PPh sesuai lapisan penghasilannya[19]. Tariff
progresif mulai 5%, 15%, 25%, 30% hingga 35% (tarif 35% untuk penghasilan >
Rp5 miliar). PPh Pasal 23 sebesar Rp180 ribu yang sudah dipotong platform dapat
dikreditkan untuk mengurangi pajak terutang Ibu Ani[20]. Misalnya,
jika setelah menggabung seluruh pendapatan, pajak terutang Ibu Ani atas total
penghasilan (termasuk bunga P2P) adalah Rp200 ribu, maka dengan kredit Rp180
ribu, ia tinggal membayar kekurangan Rp20 ribu. Sebaliknya, jika ternyata tarif
efektif Ibu Ani hanya 5% (karena total penghasilannya rendah), maka potongan
15% tadi mungkin berlebih dan bisa menjadi lebih bayar yang dikembalikan
melalui mekanisme restitusi. Intinya, bagi WPOP domestik, potongan 15%
bukan final, melainkan pembayaran di muka (creditable)[20].
PT Maju selaku WP badan akan melaporkan bunga Rp800 ribu yang
diterimanya sebagai bagian dari penghasilan usaha dalam SPT PPh Badan[21].
Penghasilan bunga ini akan digabung dengan pendapatan operasional PT Maju
lainnya, dikurangi biaya-biaya, lalu dikenai PPh Badan dengan tarif umum (22%
pada 2025). PPh 23 sebesar Rp120 ribu yang dipotong platform menjadi kredit
pajak untuk PT Maju[21],
mengurangi PPh Badan terutang. Jika PT Maju misalnya setelah perhitungan
mendapat PPh terutang Rp500 ribu, maka setelah kredit Rp120 ribu, masih harus
bayar Rp380 ribu. Apabila PT Maju ternyata rugi fiskal atau penghasilannya
kecil sehingga pajak terutang kurang dari kredit, kelebihan bisa direstitusi.
Perbedaan Perlakuan: Lender Orang Pribadi vs Badan. Secara mekanisme pemotongan, tidak ada perbedaan tarif (sama-sama 15%
PPh 23) bagi WP OP maupun WP Badan dalam negeri. Perbedaan muncul saat
pelaporan dan penyelesaian pajak: - Orang Pribadi (WPOP): Bunga P2P
menambah lapisan penghasilan yang dikenai tarif progresif. Potongan 15% mungkin
kurang/lebih dari kewajiban akhirnya tergantung total income. Orang pribadi
tidak dapat membebankan biaya terkait investasi ini secara spesifik, kecuali
yang diatur (umumnya investasi pasif tidak punya biaya yang boleh dikurangkan
kecuali mungkin biaya bank, dll, yang minor). - Badan: Bunga P2P masuk
penghasilan kena pajak badan (tarif flat 22%). Bedanya, WP Badan dapat
mengurangkan biaya terkait. Misal, jika PT Maju membayar biaya layanan
platform atau biaya administrasi bank untuk investasi ini, biaya tersebut dapat
diakui sebagai pengurang penghasilan (selama wajar dan terkait
usaha/pendapatan). Dengan demikian, beban pajak efektif badan bisa dipengaruhi
oleh biaya pendanaan, sedangkan OP tidak secara spesifik.
Investor Badan di sektor keuangan: Apabila
pemberi pinjaman adalah lembaga keuangan seperti bank atau perusahaan
pembiayaan yang berinvestasi di P2P, bunga yang diterima merupakan
pendapatan operasional mereka. Pajaknya tetap dipotong 15% di muka, namun
lembaga keuangan biasanya dikenai PPh Badan atas laba bersihnya. Tidak ada
perlakuan final khusus, sehingga mekanismenya serupa dengan WP Badan biasa.
Hanya saja, lembaga seperti bank memiliki pengecualian PPh Pasal 23 jika
transaksinya antar lembaga keuangan tertentu. Namun dalam konteks P2P, platform
tetap diwajibkan potong 15% tanpa kecuali (tidak ada ketentuan pengecualian
pemotongan bagi bank, misalnya, dalam PMK 69). Jadi bank pun kalau menjadi
lender di platform P2P, akan menerima bunga dipotong 15%, nanti dikreditkan
dalam SPT badan bank tersebut.
Investor WNA atau Badan Luar Negeri: Seperti
disinggung, Wajib Pajak Luar Negeri yang menikmati bunga P2P di
Indonesia akan dipotong PPh Pasal 26 sebesar 20% final[6]. Contoh,
jika A Inc (perusahaan AS) mendanai pinjaman dan dapat bunga
Rp1.400.000, platform memotong 20% = Rp280.000 PPh 26[22]. A Inc
menerima bunga neto Rp1.120.000. Karena A Inc bukan subjek pajak dalam negeri,
pajak 20% itu final dan A Inc tidak punya kewajiban lapor SPT di Indonesia
(namun bisa mengklaim foreign tax credit di negaranya sesuai aturan setempat). Tax
treaty dapat mengurangi tarif ini; misal jika negara A Inc memiliki
perjanjian P3B dengan Indonesia yang mengatur tarif pajak atas bunga lebih
rendah (misal 10%), maka A Inc dapat menyerahkan Surat Keterangan Domisili
untuk menikmati tarif lebih rendah sesuai P3B. Jika investor luar negeri
berbentuk BUT (misal ia ada Bentuk Usaha Tetap di Indonesia), diperlakukan
sebagai WPDN (tarif 15% PPh 23 kreditable).
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi Lender/Investor: Bagaimana sisi PPN untuk investor? Bunga yang diterima lender tidak
terutang PPN. Bunga pinjaman bukan merupakan imbalan atas penyerahan
barang/jasa yang dilakukan oleh lender, melainkan hasil dari modal uang yang
dipinjamkan. Dalam konteks ini, tidak ada PPN output yang harus dipungut oleh
lender kepada borrower. Hal ini konsisten dengan perlakuan di sektor keuangan
bahwa bunga, diskonto, bagi hasil adalah objek PPh, namun bukan objek PPN
(jasa keuangan pengecualian PPN).
Namun, lender/investor mungkin dikenai PPN saat membayar fee layanan
kepada platform. Beberapa platform P2P selain membebankan biaya ke
borrower, juga memotong komisi dari lender atas jasa pengelolaan
investasi. Misalnya, platform mengenakan fee 1% dari bunga yang didapat
lender sebagai komisi. Jika Ibu Ani memperoleh bunga Rp1.200.000, platform bisa
memotong Rp12.000 (1%) sebagai fee layanan dari sisi lender. Fee Rp12.000 ini
oleh platform dikenai PPN 11% – artinya Ibu Ani sebenarnya terkena PPN
Rp1.320 (11% × 12.000) yang dipungut dengan mengurangi pembayarannya.
Praktiknya, platform mungkin langsung memotong Rp13.320 dari bunga Ibu Ani
(Rp12.000 + PPN Rp1.320) dan menyetorkan PPN tersebut. Bagi investor perorangan
seperti Ibu Ani, PPN ini hanyalah pengurangan hasil investasi (tidak bisa
dikreditkan). Bagi investor badan (misal PT Maju) yang berstatus PKP, bisakah
dikreditkan? Ini area yang perlu dicermati: PPN masukan hanya dapat
dikreditkan atas pengeluaran yang berkaitan dengan penyerahan terutang PPN.
Pendapatan bunga bagi PT Maju sebenarnya bukan penyerahan kena pajak
(itu penghasilan di luar objek PPN). Jika PT Maju adalah perusahaan manufaktur
yang berinvestasi di P2P, pendapatan bunganya bukan output PPN, sehingga fee
platform mungkin dianggap tidak berkaitan dengan penyerahan kena pajak utama.
Hal ini dapat menyebabkan PPN atas fee platform tidak bisa dikreditkan
(atau hanya proporsional bisa diklaim sebagian sesuai rasio pemberian pinjaman
terhadap kegiatan usaha utama). Untuk kehati-hatian, banyak perusahaan
menganggap biaya terkait investasi pasif sebagai biaya non-produktif,
sehingga PPN-nya tidak dikreditkan. Sebaliknya, jika investor adalah perusahaan
yang bergerak di bisnis pemberian pinjaman (lending), bisa jadi
pendapatan bunganya dianggap bagian dari kegiatan (meski outputnya dikecualikan
PPN menurut UU). Dalam UU HPP 2021, pemerintah mengubah status jasa keuangan
menjadi dibebaskan PPN (bukan tidak terutang), sehingga PKP yang hanya
melakukan penyerahan dibebaskan PPN tetap tidak memungut PPN namun dapat
mengkredit pajak masukannya sesuai ketentuan. Namun, regulasi detailnya
cukup kompleks. Secara praktis, PPN atas fee platform bagi lender biasanya menjadi
beban saja, kecuali investor adalah badan yang secara tegas bisa mengkredit
(kondisi jarang).
Ringkasnya untuk Lender: PPh atas bunga sudah
dipotong 15% (WPDN) atau 20% (WPLN) oleh platform. Lender domestik melaporkan
bunga di SPT tahunan, menggabung dengan penghasilan lain dan mengkredit
potongan PPh tersebut[18]. Lender
perorangan kena tarif progresif, lender badan tarif pajak badan, dengan
potongan pajak sebagai kredit[21]. Dari sisi
PPN, lender tidak memungut PPN atas bunga, tapi menanggung PPN atas setiap fee
layanan platform yang dibebankan kepadanya (misal komisi platform). PPN itu
disetor oleh platform; lender sekadar menerima hasil investasi setelah dipotong
komisi plus PPN.
2.3 Penyelenggara Platform P2P (Fintech Lending Company)
a.
Pajak Penghasilan (PPh) bagi Platform: Perusahaan
fintech penyelenggara P2P lending (misalnya PT ABC Fintech) adalah subjek pajak
badan dalam negeri. Mereka memperoleh penghasilan dari fee, komisi, atau
biaya layanan yang dibebankan kepada pengguna (borrower dan/atau lender).
Semua penghasilan tersebut merupakan objek PPh Badan yang akan dihitung
dalam laba-rugi perusahaan. Tarif PPh Badan 22% (tahun 2025) berlaku
atas laba kena pajak perusahaan fintech. Dalam menghitung laba kena pajak,
tentunya platform boleh mengurangkan biaya-biaya operasional mereka (gaji
pegawai, biaya pemasaran, infrastruktur IT, dll) sesuai aturan pajak. Tidak ada
perlakuan pajak yang istimewa semata-mata karena mereka fintech; PPh Badannya
mengikuti ketentuan umum UU PPh. Satu hal khusus, PMK 69/2022 memberi mandat
tambahan: platform wajib melakukan pemotongan dan pemungutan pajak. Dari
sisi PPh, platform bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 23/26 atas bunga[6].
Kewajiban ini menjadikan platform sebagai Wajib Pajak Pemotong, mirip
seperti perusahaan pada umumnya yang memotong PPh 21 karyawan atau PPh 23 saat
bayar jasa. Platform P2P harus: - Memotong PPh 23/26 saat meneruskan bunga ke
lender sesuai tarif (15%/20%), - Menyetorkan PPh tersebut ke kas negara sebelum
jatuh tempo (misal paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya untuk PPh 23/26),
- Membuat Bukti Potong PPh dan memberikannya kepada setiap lender yang
dipotong[16], -
Melaporkan pemotongan itu di SPT Masa PPh Pasal 23/26 setiap bulannya.
Kewajiban ini diatur di Pasal 4 PMK 69/2022 dan aturan pelaksana umum
pemotongan PPh. Dengan adanya PMK ini, mekanisme pemotongan jelas: platform
P2P adalah pemotong pajak resmi, sehingga lender dapat menerima bukti
potong untuk keperluan kredit pajak[16].
Dari perspektif platform, PPh yang mereka potong ini bukan pajak mereka
sendiri, melainkan pajak milik para lender yang harus disetor. Platform
tidak menanggung bebannya (kecuali mereka lalai memotong, maka mereka bisa kena
sanksi). Yang perlu diperhatikan platform adalah aspek administrasi: memastikan
sistem mereka bisa menghitung potongan tiap lender (apalagi jika 1 lender
mendanai banyak pinjaman, platform boleh menerbitkan 1 bukti potong total per
bulan per lender untuk efisiensi[23]).
Juga, platform perlu mengantisipasi jika ada lender tanpa NPWP; sesuai aturan
umum, tarif pemotongan PPh 23 naik jadi 30% dari bunga bila lender WPDN
tidak ber-NPWP (tarif lebih tinggi 100% sesuai UU Pasal 23 ayat (1a)). Hal ini
tidak disebut eksplisit di PMK 69, tetapi UU tetap berlaku. Jadi platform
sebaiknya mewajibkan lender memasukkan NPWP agar tidak kena tarif dobel.
Selain kewajiban potong PPh atas bunga, platform tentu juga punya
kewajiban PPh Pasal 21 (potong gaji pegawai), PPh Pasal 23 (potong jika bayar
jasa ke vendor), PPh Final UMKM kalau ada, dsb, seperti perusahaan lain. Namun
itu di luar konteks langsung P2P lending, sehingga tidak dibahas detail di
sini.
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi Platform: Dari sisi platform, seluruh jasa layanan yang diberi ke pengguna
merupakan Jasa Kena Pajak (JKP) sesuai PMK 69. Platform P2P wajib
dikukuhkan sebagai PKP apabila omzetnya melebihi Rp4,8 miliar setahun (dan
kenyataannya mayoritas platform pasti melebihi threshold ini mengingat besarnya
transaksi). Sebagai PKP, platform memungut PPN 11% atas setiap
penyerahan jasa ke borrower maupun lender. Apa saja penyerahan jasa ini?
Bisa berupa: jasa mencarikan pendana (ke borrower), jasa menyediakan
akses investasi (ke lender), jasa administrasi pinjaman, dsb.
Biasanya termanifestasi sebagai biaya administrasi, platform fee, komisi.
Misal: - Platform mengenakan biaya administrasi Rp2 juta ke borrower
saat pinjaman cair[24].
Maka atas Rp2 juta ini platform kenakan PPN Rp220 ribu (11%). Borrower
bayar total Rp2,22 juta, platform setor Rp220 ribu sebagai PPN keluaran. -
Platform memotong komisi 0,1% dari bunga kepada lender[25].
Jika dalam 1 bulan total bunga dibayar borrower Rp2 juta, 0,1% = Rp2.000
merupakan komisi platform dari lender. Platform kenakan PPN 11% = Rp220
atas komisi tersebut, menguranginya dari hasil lender. Jumlah yang kecil, namun
dalam skala banyak lender dan waktu, akumulasi bisa besar.
Dari berita terkini, realisasi menunjukkan bahwa PPN dari sektor P2P
lending justru memberi kontribusi signifikan. Hingga Feb 2025, penerimaan
pajak dari fintech P2P mencapai Rp3,23 triliun, di mana PPN Dalam Negeri
atas jasa platform P2P mencapai Rp1,68 triliun (terbesar di antara komponen
pajaknya)[26].
Ini menandakan fee layanan yang dikenakan platform sangat bernilai ekonomis dan
merupakan objek pajak penting.
Platform P2P juga berhak mengkreditkan PPN masukan atas
biaya-biaya yang terkait usahanya (misal beli server, iklan, sewa kantor,
dikenai PPN masukan). Mereka akan menjalankan administrasi PPN seperti PKP
lain: membuat faktur pajak output, menyetor PPN, lapor SPT Masa PPN. Biasanya,
PPN keluaran dari fee kemungkinan cukup besar, sementara PPN masukan mungkin
bisa dikreditkan penuh kecuali jika ada sebagian usahanya yang non-JKP. Tapi
mengingat semua core business-nya JKP, mestinya full credit.
Catatan: Tidak ada PPN yang dikenakan atas
transaksi penyaluran dana pinjaman atau pembayaran bunga antara
borrower dan lender karena itu bukan jasa dari platform. Platform hanya
memfasilitasi, dan PPN hanya mengenai imbalan jasa platform. Jadi platform tidak
memungut PPN atas bunga pinjaman (bunga bukan objek PPN), hanya atas fee
yang ia bebankan ke pengguna.
Ilustrasi Menyeluruh (Alur Pajak): Berikut
contoh ringkas satu siklus: PT XYZ meminjam Rp100 juta di Platform ABC, didanai
oleh Investor Individu (Ani) Rp60jt dan Investor Badan (PT Maju) Rp40jt.
Platform kenakan fee 2% dari plafon ke PT XYZ = Rp2jt + PPN 11% Rp220rb
(dibayar borrower). Bunga per bulan 2% (Rp2jt) dibayar PT XYZ via platform.
Platform potong PPh23: Ani Rp180rb, PT Maju Rp120rb; potong komisi misal 1%
bunga: Rp12rb dari Ani, Rp8rb dari PT Maju, + PPN masing-masing Rp1.320 dan
Rp880. Platform lalu transfer ke Ani Rp1.200.000 - 15% - fee+PPN = sekitar
Rp1.018.680; ke PT Maju Rp800.000 -15% - fee+PPN = ±Rp679.120 (sekadar
ilustrasi). Platform setor PPN (Rp220rb + 1.320 + 880) dan PPh (Rp180rb +
Rp120rb) ke kas negara, lapor SPT Masa terkait. PT XYZ bisa kreditkan PPN
Rp220rb, Ani dan PT Maju dapat bukti potong PPh 23 untuk SPT tahunan. Dengan
mekanisme ini, setiap pihak telah memenuhi kewajiban pajak masing-masing secara
terintegrasi dan sesuai aturan.
BAB 3 – ISU LANJUTAN DAN GREY AREA DALAM PERPAJAKAN P2P LENDING
Bab
ini membahas beberapa area abu-abu (grey area) dan hal khusus dalam
perpajakan P2P lending ditinjau dari ketiga sisi (borrower, lender/investor,
dan platform) yang belum tertuang secara eksplisit di uraian utama. Termasuk di
dalamnya skenario kegagalan bayar (default), perbedaan perlakuan ketika investor
perorangan vs badan, serta implikasi lain seperti penghapusan utang.
Tujuannya untuk memberikan pemahaman lebih komprehensif dan saran terhadap
potensi celah regulasi.
3.1 Perbedaan Perlakuan Pajak: Investor Orang Pribadi vs Badan vs Luar Negeri
Telah
disinggung sebelumnya bahwa investor perorangan dan badan dipajaki dengan
cara serupa pada saat pemotongan, namun output akhirnya berbeda. Di
sini kita garis bawahi beberapa hal praktis:
- Tarif Efektif Pajak atas Bunga: Seorang
investor individu mungkin bertanya, “Apakah bunga P2P lending saya
dipajaki final 15% seperti deposito?” Jawabannya: Tidak final,
melainkan bagian dari penghasilan biasa. Hal ini bisa jadi grey area dalam
pemahaman masyarakat. Banyak yang mengira potong 15% artinya beres urusan
pajak (karena mirip final). Padahal, lender wajib lapor di SPT dan
menghitung ulang dengan tarif progresif[19]. Konsekuensinya, bagi individu dengan penghasilan tinggi (tarif
marginal >15%), investasi P2P lending bisa kena pajak lebih besar dari
15%. Misal, Pak Budi dengan tarif pajak 30% mendapatkan bunga P2P Rp10
juta tahun ini. Platform potong Rp1,5 juta (15%). Di akhir tahun, Pak Budi
lapor SPT, bunga Rp10 juta itu masuk total penghasilannya dan kena pajak
30% = Rp3 juta. Kredit pajak Rp1,5 juta sudah ada, tapi dia masih harus
bayar kurang Rp1,5 juta lagi. After-tax return Pak Budi dari P2P
jadi lebih rendah. Bandingkan dengan bunga deposito bank yang dikenai PPh
final 20% saja. Hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan kebijakan: apakah
perlu bunga P2P dibuat final? Saat ini belum, sehingga investor khususnya
high-net-worth perlu mewaspadai implikasi ini. Bagi investor
kecil-menengah dengan lapisan pajak <=15%, pemotongan 15% biasanya
sudah cukup atau malah berlebih (bisa restitusi). Saran: Investor
perorangan sebaiknya menghitung estimasi pajak akhirnya, jangan
beranggapan 15% final. Pemerintah bisa mempertimbangkan penegasan status
(final vs tidak) untuk kesederhanaan, namun selama tidak ada, edukasi
diperlukan.
- NPWP Investor: Platform wajib meminta
NPWP investor. Jika investor tidak ber-NPWP, berdasarkan aturan PPh
23, pemotongan harus tarif 100% lebih tinggi (Pasal 23 ayat (1a) UU
PPh). Artinya, bisa dipotong 30%. Ini jelas merugikan investor dan
platform (sulit menarik investor jika potongannya tinggi). PMK 69 tak
mengatur khusus soal ini, sehingga aturan umum berlaku. Grey area di sini
barangkali bagaimana implementasi: platform mungkin melarang
non-NPWP berinvestasi (untuk hindari repot tarif 30%). Atau jika
membolehkan, harus transparan ke investor bahwa potongan pajaknya double. Solusi:
Calon investor P2P sebaiknya memiliki NPWP terlebih dahulu demi efisiensi
pajak.
- Investor Badan Pajak Final? Kadang timbul
tanya, apakah ada kemungkinan perlakuan final bagi badan tertentu? Misal,
pendapatan bunga obligasi bagi reksa dana kadang final (dikecualikan
pajak). Untuk P2P lending, tidak ada ketentuan khusus yang
menjadikan bunga itu final bagi pihak manapun selain WPLN. Semua WPDN
wajib gabung ke penghasilan biasa. Bahkan jika sebuah perusahaan
menjadikan P2P lending sebagai bisnis utama (semacam special purpose
vehicle), tetap dikenai PPh Badan biasa atas laba. Pengecualian
atau insentif belum ada di regulasi sekarang.
- Investor Luar Negeri & Treaty: Grey
area lain bisa terjadi jika platform kurang sosialisasi soal tax treaty.
Contoh, investor asing dari Singapura seharusnya bisa minta tarif PPh 26
hanya 10% (berdasarkan P3B RI-Singapura) alih-alih 20%. Platform harus
siap menerima Surat Keterangan Domisili (SKD) dari investor asing
agar bisa menerapkan tarif lebih rendah sesuai P3B. Jika tidak,
default-nya potong 20%[27][28]. Sebagai saran, platform perlu menyediakan prosedur mudah bagi
WPLN menyerahkan SKD. Bagi investor asing, ini penting untuk tidak overpay
pajak (walau bisa klaim kredit di negaranya, tapi lebih baik langsung
rendah di sini).
3.2 Kegagalan Bayar (Default) dan Restrukturisasi: Dampak Pajak bagi Lender & Borrower
Kegagalan
bayar (default) adalah risiko nyata di P2P lending.
Bagaimana perlakuan pajaknya ketika borrower gagal membayar sebagian atau
seluruh pinjaman? Kita tinjau dari perspektif lender (investor) dan
borrower:
·
Dampak ke Lender/Investor
(Piutang Macet): Jika borrower gagal bayar, lender
menghadapi kerugian atas pokok pinjaman dan bunga yang tak tertagih.
Dari sisi PPh, ada dua hal: bunga yang belum dibayar dan pokok
yang macet. Bunga yang tidak dibayar berarti lender tidak menerima
penghasilan, sehingga tentu tidak akan dipotong PPh (pemotongan
hanya terjadi saat pembayaran realisasi). Misal, bulan tertentu borrower gagal
bayar bunga, maka platform tidak memotong PPh karena tidak ada pembayaran. Jadi
lender tidak punya kewajiban pajak atas bunga yang tidak jadi diterima.
Lalu, bagaimana dengan pokok pinjaman yang macet? Misalkan investor
sudah mengeluarkan modal Rp100 juta, yang akhirnya tidak kembali Rp20 juta (bad
debt). Bagi investor perorangan, kerugian ini sifatnya kerugian modal
pribadi. Pajak penghasilan orang pribadi di Indonesia tidak mengenal
kompensasi rugi untuk investasi perorangan semacam ini (kecuali rugi usaha).
Jadi Pak Budi yang kehilangan Rp20 juta tidak bisa “mengurangi” penghasilan
kena pajaknya secara langsung dengan kerugian tersebut. Itu risiko investasi
non-pajak.
Bagi
investor badan (perusahaan), piutang yang tak tertagih bisa
dipertimbangkan sebagai beban kerugian yang mungkin dapat dikurangkan
dari laba kena pajak, dengan syarat tertentu. UU PPh Pasal 6(1)
memperbolehkan kerugian piutang sebagai pengurang penghasilan bruto,
asal memenuhi ketentuan: telah dibebankan dalam laporan laba-rugi komersial,
dan ada upaya penagihan atau penyelesaian tertentu serta notif ke DJP
sesuai PMK yang berlaku. Umumnya, syarat penghapusan piutang: penagihan sudah
dilakukan maksimal, debitur pailit atau tidak punya kemampuan bayar, dan
penghapusan piutang diumumkan dalam pengumuman umum atau dilaporkan ke DJP.
Jika syarat itu dipenuhi, kerugian piutang bisa diakui sebagai biaya.
Jadi PT Maju yang rugi Rp20 juta karena default dapat menghapus piutang
tersebut dan membebankannya, sehingga mengurangi laba fiskal (pajak pun
berkurang). Catatan: jika PT Maju bukan bergerak di bidang pemberian
pinjaman, DJP bisa mencermati apakah pemberian pinjaman ini aktivitas wajar
bisnisnya. Namun sepanjang pencatatan rapi, hak piutang ada, dan telah dihapus
sesuai aturan, hal ini dapat dibenarkan. Grey area-nya mungkin: tidak
semua skema P2P memberi bukti kuat bagi investor untuk menunjukkan piutang
sudah tak tertagih. Sebaiknya platform memfasilitasi dokumen (misal pernyataan
gagal bayar, bukti legal borrower pailit, dll) agar lender badan dapat
justifikasi penghapusan.
·
Dampak ke Borrower (Utang Tak
Terbayar): Bagi borrower, utang yang gagal dibayar
sering kali berujung pada restrukturisasi atau penghapusan. Jika terjadi
penghapusan utang (debt write-off), misalnya platform/lender memutuskan
mengikhlaskan sebagian utang, maka secara pajak borrower mendapatkan
keuntungan akibat penghapusan utang. UU PPh Pasal 4 ayat (1) huruf d
menyebut keuntungan karena pembebasan utang termasuk penghasilan kena
pajak. Ilustrasinya: Tuan X berutang Rp100 juta, mampu membayar Rp80 juta lalu
sisa Rp20 juta dihapuskan oleh lender. Rp20 juta yang dihapuskan ini menjadi
penghasilan bagi Tuan X di tahun tersebut[29].
Walaupun tidak ada arus kas masuk, penghapusan utang dianggap menambah kekayaan
debitur karena kewajiban berkurang tanpa pembayaran[30].
Dengan demikian, Tuan X harus melaporkan Rp20 juta sebagai penghasilan (luar
usaha) di SPT dan dikenai PPh sesuai statusnya (OP progresif atau Badan tarif
normal). Pengecualian: Jika penghapusan utang terjadi karena debitur pailit
sesuai putusan pengadilan atau skema tertentu yang diatur pemerintah (misal
UMKM kecil dihapuskan dalam program tertentu), mungkin ada pengecualian pajak.
Namun secara umum, debt forgiveness = objek pajak.
Restrukturisasi
Utang: Adakalanya, alih-alih dihapus total, utang
direstrukturisasi: diperpanjang tenor, pengurangan bunga, atau debt to
equity swap (utang ditukar jadi penyertaan modal). Dalam P2P lending ritel,
debt-equity swap jarang (kecuali lender setuju ambil saham debitur, yang tak
lazim untuk pinjaman kecil). Jika bunga dipangkas sebagai bagian
restrukturisasi, maka bunga yang tidak ditagih itu juga bisa dianggap
dihapuskan sehingga keuntungan bagi borrower (namun dalam praktek, biasanya
hanya penjadwalan ulang). Grey area: borrower perorangan sering tidak
paham bahwa utang yang dihapus bisa kena pajak. Dan jujur, pemantauan DJP pada
level individu yang utangnya dihapus mungkin minimal saat ini. Tapi untuk
borrower badan, DJP bisa melihat di laporan keuangan ada utang dihapuskan, dan
akan menuntut itu diakui sebagai penghasilan. Oleh sebab itu, perusahaan
borrower harus waspada.
Kesimpulan default: Dari segi platform,
default bisa berarti berkurangnya komisi yang diterima (karena komisi sering
berbasis persentase pembayaran). Pajaknya menyesuaikan: kalau fee tak jadi
diperoleh, ya pendapatan lebih rendah berarti PPN keluaran dan PPh Badan
platform pun lebih kecil, tidak masalah. Tantangannya lebih ke bisnis daripada
pajak. Justru efek pajak signifikan ada di lender (soal piutang macet
deductible atau tidak) dan borrower (utang dihapus jadi penghasilan). Saran:
- Lender badan: dokumentasikan upaya penagihan, dapatkan bukti debitur default
permanen, lakukan prosedur hapus buku sesuai PMK, agar aman mengklaim rugi. -
Borrower: kalau dapat keringanan/penghapusan, ingat potensi pajaknya.
Konsultasi ke konsultan pajak mungkin diperlukan agar tidak lalai lapor
penghasilan penghapusan utang.
3.3 Isu Lain dan Rekomendasi Kebijakan
Beberapa
isu tambahan patut dibahas singkat: - Belum Optimalnya Kepatuhan Lender
Individu: Sebelum ada PMK 69, banyak lender individu mungkin tidak
melaporkan penghasilan bunganya atau salah kategorikan. Dengan mekanisme
bukti potong sekarang, diharapkan kepatuhan naik. Namun diperlukan edukasi
berkelanjutan. Platform sebaiknya mengingatkan investor untuk melaporkan bunga
P2P dan menggunakan bukti potong di SPT. DJP sendiri telah menegaskan kewajiban
pelaporan ini di Pasal 3 PMK 69[16]. - Integrasi
Data Platform dengan DJP: Guna menutup grey area, DJP bisa memanfaatkan
data dari platform (karena platform pasti punya data siapa terima bunga
berapa). Mungkin ke depan dilakukan automatic exchange data domestik.
Hal ini demi menghindari investor yang coba tidak melaporkan di SPT. Keadilan
bagi semua investor tercapai bila semua melaporkan. - Ketentuan PPN Jasa
Keuangan: Seperti diketahui, melalui UU HPP ada perubahan bahwa jasa
keuangan jadi dikenai PPN tapi dibebaskan (bukan tidak terutang). Ini
sedikit teknis, namun implikasinya PKP di sektor keuangan bisa kreditkan pajak
masukan. Dalam konteks P2P, jasa platform tidak dibebaskan PPN melainkan
benar-benar dikenai (karena sudah dipungut PPN keluaran). Grey area yang
mungkin muncul: bagaimana dengan P2P lending syariah? Apakah fee dan
bagi hasil dalam skema syariah diperlakukan sama? PMK 69 mencakup yang syariah
juga, menyebut imbal hasil syariah diperlakukan setara bunga[7]. Jadi
baik konvensional maupun syariah, pajaknya sama secara prinsip. - Biaya
Bunga Sebagai Objek PPh Final? Sekedar wacana, beberapa ahli pajak pernah
mengusulkan agar bunga P2P lending dikenai PPh Final (misal 15%) untuk
menyederhanakan, sekaligus menyetarakan dengan bunga deposito. Hingga kini
aturan belum ke arah itu. Namun, pemerintah berhasil mengumpulkan pajak
cukup besar dari skema non-final ini (sekitar Rp832,59 miliar PPh 23 DN dan
Rp720,74 miliar PPh 26 LN hingga Feb 2025)[26].
Artinya, meski bukan final, pemotongan berjalan dan penerimaan meningkat. Trade-off-nya,
mungkin sebagian investor berpikir ulang investasi bila pajak progresif
menggerus return mereka. Saran kebijakan: Evaluasi apakah perlu
menjadikan final atau menurunkan tarif untuk merangsang investasi P2P. Atau
memberi batasan tertentu misal penghasilan bunga P2P sampai jumlah tertentu
final, sisanya progresif, dsb (belum ada sekarang, ini hanya gagasan).
·
Stempel & Bea Materai: Tak boleh dilupakan hal kecil, setiap perjanjian pinjam meminjam
biasanya memerlukan bea materai Rp10.000 pada dokumen perjanjian
(berdasarkan UU Bea Meterai). Platform biasanya sudah mengakomodir hal ini
dalam perjanjian digital mereka (materai elektronik). Bea materai bukan pajak
penghasilan atau PPN, tapi termasuk kewajiban perpajakan lain yang melekat pada
transaksi utang-piutang. Pengaruhnya kecil dan umumnya ditanggung borrower
(misal biaya admin sudah termasuk meterai). Disebut sekilas agar gambaran
lengkap.
Grey
area penutup: Secara umum, setelah terbitnya PMK
69/2022, kebijakan perpajakan P2P lending menjadi jauh lebih jelas
dibanding sebelumnya[6][31]. Area
abu-abu yang tersisa lebih pada implementasi (misal pelaporan lender OP, klaim
rugi lender badan, pajak penghapusan utang borrower) daripada kekosongan
aturan. Regulasi perpajakan terus berkembang mengikuti model bisnis, sehingga
mungkin saja di masa depan pemerintah mengeluarkan petunjuk teknis tambahan
atau penyesuaian tarif untuk sektor ini.
BAB 4 – KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan: P2P Lending sebagai bagian dari ekonomi digital memiliki perlakuan
perpajakan yang unik namun telah diatur cukup komprehensif oleh pemerintah.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa poin utama:
- Pajak Penghasilan (PPh): Bunga
pinjaman P2P lending merupakan objek PPh bagi investor/lender.
Platform P2P bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 23/26 sebesar 15%
(WPDN/BUT) atau 20% (WPLN) atas bunga yang dibayarkan borrower[6]. Bagi lender dalam negeri, potongan ini tidak final, melainkan
dapat dikreditkan di SPT Tahunan[20]. Lender orang pribadi menggabungkan bunga ke penghasilan lain dan
dikenai tarif progresif; lender badan memasukkannya ke penghasilan kena
pajak badan[19][21]. Borrower tidak memotong PPh lagi jika melalui platform[14], tetapi jika pinjaman dilakukan tanpa platform resmi, borrower
badan harus memotong sesuai aturan umum. Penghasilan platform
(fee/komisi) menjadi objek PPh Badan yang dikenai tarif 22% dan platform
wajib melaksanakan fungsi pemotongan PPh atas bunga dan pelaporan bukti
potong[16].
- Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Layanan
yang disediakan platform P2P (penempatan dana, administrasi pinjaman,
matchmaking) merupakan Jasa Kena Pajak[5]. Platform wajib memungut PPN 11% atas fee atau komisi yang
dikenakannya kepada borrower maupun lender. Bunga pinjaman itu sendiri bebas
PPN (bukan objek PPN bagi borrower/lender). Borrower menanggung PPN
atas biaya administrasi yang dibebankan platform (dapat dikreditkan jika
borrower PKP)[12]. Lender menanggung PPN atas komisi yang dipotong platform dari
bunga (umumnya tidak bisa dikreditkan kecuali mungkin untuk investor badan
dalam kondisi khusus). Platform menyetor PPN keluaran tersebut setelah
mengkreditkan PPN masukannya, dan melaporkan di SPT Masa PPN. Dengan skema
ini, sektor P2P lending telah memberikan kontribusi PPN signifikan
(tercatat Rp1,68 Triliun PPN hingga Feb 2025)[26], menandakan keberhasilan menjaring pajak dari ekonomi digital
finansial.
- Tinjauan dari Tiga Sisi:
·
Penerima Pinjaman (Borrower): Tidak terkena PPh atas dana pinjaman yang diterima. Membayar bunga
yang dapat menjadi pengurang pajak (biaya) jika untuk usaha. Tidak perlu
memotong PPh bunga (platform yang potong)[14]. Wajib membayar PPN atas jasa platform (fee administrasi)[5]. Dalam kasus restrukturisasi, borrower bisa dikenai pajak penghasilan
bila utangnya dihapus (keuntungan karena penghapusan utang)[30].
·
Pemberi Pinjaman/Investor
(Lender): Menerima penghasilan bunga, dipotong PPh 15%
(WPDN) atau 20% (WPLN) di muka[6]. Bagi WPDN, melaporkan bunga di SPT dan tarif efektif tergantung
penghasilan total (bisa lebih tinggi atau lebih rendah dari 15%)[19]. Tidak dikenai PPN atas bunga yang diterima. Menanggung PPN atas
komisi platform (jika ada) yang mengurangi hasil investasi[12]. Bila investor adalah WP Badan, dapat menghapus piutang tak tertagih
sebagai biaya dengan syarat; WP OP tidak bisa. Investor luar negeri dikenai
final 20% (dapat treaty relief)[27].
·
Platform: Mendapat penghasilan dari fee, komisi layanan – objek PPh Badan 22%.
Wajib potong PPh 23/26 atas bunga dan lapor/setor sesuai ketentuan[6][16]. Wajib pungut PPN 11% atas jasa yang diberikan pada pengguna[5]. Harus menjaga kepatuhan administrasi (pemberian bukti potong ke
lender, faktur pajak ke borrower, dsb). Platform menjadi kunci penghubung yang
memastikan kewajiban pajak masing-masing pihak terpenuhi dalam ekosistem P2P.
Saran:
- Bagi Pemerintah/DJP: Teruskan sosialisasi
aturan pajak P2P lending kepada masyarakat, khususnya fokus bahwa
pemotongan 15% bukan final bagi investor domestik – sehingga mereka paham
untuk lapor SPT. Pertimbangkan melakukan integrasi data dengan platform
P2P untuk monitoring. Secara kebijakan, pemerintah dapat mengevaluasi
efektivitas pemajakan ini; misalnya, kaji kemungkinan menjadikan bunga P2P
final agar sederhana dan kompetitif dibanding instrumen lain. Juga,
pertimbangkan aturan spesifik soal perlakuan kerugian bagi investor
perorangan (saat ini tidak ada, mungkin ke depan difasilitasi lewat
mekanisme seperti capital loss treatment terbatas, meski ini agak
kontradiktif dengan konsep pajak OP global).
- Bagi Platform P2P: Pastikan infrastruktur
pajak di sistem berjalan baik – pemotongan PPh dan pemungutan PPN
otomatis. Berikan laporan pajak tahunan mudah diakses untuk lender
(rekap bunga dan potongan) agar mereka bisa lapor dengan benar. Edukasi
borrower korporat bahwa mereka tidak usah potong PPh lagi, cukup bayar
gross ke platform. Siapkan panduan bagi investor asing terkait SKD untuk
treaty. Selain itu, platform hendaknya membantu dalam kasus default: misal
memberikan surat keterangan gagal bayar ke lender untuk bukti pajak, dan
penjelasan ke borrower soal potensi pajak penghapusan utang. Ini akan
meningkatkan kepercayaan user bahwa aspek pajak ditangani profesional.
- Bagi Investor/Lender: Untuk individu, gunakan
NPWP dan laporkan penghasilan bunga P2P di SPT. Jangan tergoda
menganggap “pajak sudah dipotong selesai”, terutama bila penghasilan Anda
besar. Hitung setelah pajak return untuk memastikan investasi masih sesuai
harapan. Diversifikasikan portofolio dengan pertimbangan pajak (misal,
bandingkan efektif return P2P vs deposito vs obligasi setelah pajak).
Untuk investor perusahaan, siapkan dokumentasi jika pinjam-meminjam ini
bagian dari aktivitas treasury; koordinasi dengan tim akuntansi untuk
mencatat bunga sebagai penghasilan dan komisi sebagai biaya. Jika
mengalami kredit macet, konsultasikan dengan konsultan pajak untuk
prosedur hapus buku sesuai aturan agar rugi bisa diakui.
- Bagi Borrower: Jika Anda perusahaan,
manfaatkan pinjaman P2P untuk produktivitas sehingga bunga yang dibayar
bisa jadi biaya pengurang pajak (efektif menurunkan beban). Pastikan
membayar pinjaman tepat waktu karena denda keterlambatan pun biasanya
tidak bisa dibiayakan (dan mungkin ada PPh final 2% jika dikategorikan
denda sesuai PP 94/2010, meski hal itu belum diulas di atas). Bila Anda
individu borrower, sadari bahwa pinjaman bukan pendapatan (tidak kena
pajak), tapi kalau sampai restrukturisasi/diwrite-off, ada konsekuensi
pajak. Jadi berusahalah memenuhi kewajiban agar tidak menambah beban pajak
di kemudian hari.
Penutup: Dengan pemahaman yang benar atas aspek PPh dan PPN dalam P2P lending,
diharapkan semua pihak dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar
dan efisien. Regulasi pemerintah (PMK 69/2022) telah memberikan kepastian
hukum[6], sehingga tinggal bagaimana implementasi dilakukan konsisten. P2P
lending adalah inovasi finansial yang mendukung inklusi keuangan; perlakuan
pajak yang adil dan jelas akan mendorong pertumbuhan sektor ini sekaligus
memastikan negara mendapat haknya. Sinergi antara pelaku industri fintech dan
otoritas pajak perlu terus dijaga – misalnya melalui dialog apabila muncul grey
area baru seiring perkembangan produk. Dengan demikian, P2P lending bisa tumbuh
sehat, kontribusi pajaknya meningkat, tanpa menghambat inovasi.
Sebagai negara dengan target ekonomi
digital terbesar di Asia Tenggara, Indonesia telah berada di jalur yang tepat
dalam mengadaptasi regulasi perpajakan untuk model bisnis baru. Kepatuhan
pajak adalah bagian dari kesuksesan industri – investor merasa aman,
borrower terlindungi, dan pemerintah mendapat penerimaan untuk pembangunan[32]. Semoga dengan laporan ini, para pembaca (pelaku usaha, investor,
maupun pemerhati) mendapatkan gambaran lengkap sehingga dapat mengerti
kewajiban pajak di P2P lending dengan baik, dan dapat mengambil
keputusan atau tindakan yang tepat terkait aspek perpajakan di sektor ini. [6][12]
[1] [2] Perlunya Penegasan Perlakuan Pajak Peer to Peer Lending di Indonesia
[3] [5] [12] [14] [17] [22] [23] [24] [25] [31] Resmi Kena Pajak, Intip Cara Hitung PPh Fintech Lending - Konsultan
Pajak Semarang
[4] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [13] [16] Kepastian Hukum bagi Investor P2P Lending | Direktorat Jenderal Pajak
https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/kepastian-hukum-bagi-investor-p2p-lending
[15] [18] [19] [20] [21] [27] [28] Bagaimana Pengenaan Pajak atas Bunga dari P2P Lending? - Ortax
https://ortax.org/pajak-bunga-pinjaman-p2p-lending
[26] [32] Negara Raup Rp3,23 Triliun dari Pajak “Fintech P2P Lending” pada
Februari 2025 - PAJAK.COM
[29] [30] Pajak Memandang Debt to Equity Swap | Direktorat Jenderal Pajak
https://pajak.go.id/id/artikel/pajak-memandang-debt-equity-swap