Melihat UU PPH Pasal 15 adapun beberapa tarif yang berkaitan dengan Perusahaan Pelayaran dan penerbangan adalah sebagai berikut :
- Perusahaan pelayaran=> Laba bersih = 6% x Omzet Bruto=> Pajak penghasilan = 1,8% x Omzet Bruto => Dengan Kode MAP : 411129 - 101
- Perusahaan pelayaran dalam negeri=> Laba bersih = 4% x Omzet Bruto=> Pajak penghasilan = 1,2% x Omzet Bruto => Dengan Kode MAP : 411128 - 410
- Pelayaran asing dan / atau perusahaan maskapai penerbangan =>Laba bersih = 6% x Omzet Bruto => Pajak penghasilan = 2.64% x Omzet Bruto => Dengan Kode MAP : 411128 - 411
Sebelum kita membahas mengenai perusahaan pelayaran ada beberapa termin yang harus dimengerti terlebih dahulu.
Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-852/PJ.341/2003, dijelaskan beberapa terminologi mengenai Charter / Sewa jasa angkutan kapal (Baik lautan dan udara) yaitu sebagai berikut :
- Sewa berdasarkan Pemakaian Ruang (Space Charter) baik untuk orang ataupun barang => Maka Dikenakan PPH Pasal 15 dimana pihak pencharter / penyewa melakukan pemotongan pajak.
- Sewa Berdasarkan Pemakaian Waktu (Time Charter) => Maka Dikenakan PPH Pasal 15 dimana pihak pencharter / penyewa melakukan pemotongan pajak.
- Sewa Kapal Tanpa Awak (Bareboat Charter) => Maka sewa seperti ini dikenakan PPH Pasal 23 Ayat 1 Huruf C UU PPh.
- Sewa Kapal Dengan Awal (Fully Manned Basis) => Maka Dikenakan PPH Pasal 15 dimana pihak pencharter / penyewa melakukan pemotongan pajak.
Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 27/PJ.4/1995 didalam ketentuan ini mengatur mengenai norma penghasilan untuk perusahaan dan penerbangan baik luar dan dalam negeri. Dalam SE ini disebutkan bahwa perjanjian charter meliputi seluruh bentuk charter. Adapun WP yang diatur didalam SE ini adalah:
- Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran / penerbangan yang bertempat kedudukan di Luar negeri yang melakukan usahanya melalui BUT di indonesia => 2.64% dari peredaran bruto, jika tidak dilakukan berdasarkan charter maka dikenakan PPH Pasal 26.
- Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran / penerbangan dalam negeri yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter. => 1.8 Persen dari peredaran bruto.
Didalam SE NOMOR SE - 32/PJ.4/1996 yang mengatur khusus mengenai perusahaan penerbangan dan pelayaran Luar Negeri yang melakukan usahanya di Indonesia melalui BUT memiliki ketentuan sbb : Besarnya PPh yang wajib dipotong untuk perusahaan seperti ini adalah 2.64% dari peredaran bruto dan bersifat final.
Kewajiban pihak pembayar / pengguna jasa dimana perjanjian adalah berdasarkan charter , maka diperlakukan sebagai berikut :
- Pihak yang mencharter wajib melakukan pemotongan PPH yang terutang pada saat terutang / saat pembayaran.
- Memberikan bukti potong , menyetorkan dan melaporkannnya.
Tetapi jika penghasilan diperoleh selain dari perjanjian charter maka , pihak perusahaan pelayaran LN yang memiliki BUT :
- Menyetor kan sendiri PPH yang terutang ke bank persepsi atau kantor pos dan giro.
- Melaporkan sendiri PPH tersebut.
Dan terakhir didalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-29/PJ. 4/1996 yang diatur mengenai hal ini adalah :Wajib Pajak Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri. :
- Dikenakan Pajak Penghasilan atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Sehingga penghasilan yang menjadi objek PPH untuk pelayaran DN adalah dari penghasilan pengangkutan baik barang ataupun orang :
- pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan lainnya di Indonesia;
- pelabuhan di Indonesia ke pelabuhan di luar Indonesia;
- pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan di Indonesia; dan
- pelabuhan di luar Indonesia ke pelabuhan lainnya di luar Indonesia.
- Besarnya PPh yang terutang adalah 1,2% dari peredaran bruto.
- Adapun tata cara pemotongannya adalah sebagai berikut :
- Dalam hal penghasilan yang diterima oleh perusahaan pelayaran dalam negeri berasal dari perjanjian charter maka yang melakukan pemotongan , pembayaran dan pelaporan adalah berasal dari Pihak Pemberi Penghasilan / Pengguna Jasa.
- Dalam hal penghasilanyang diterima oleh perusahaan pelayaran dalam negeri berasal dari perjanjian NON CHARTER maka yang melakukan pemotongan adalah : Pihak Pelayaran dan Penerbangan Dalam Negeri, begitu juga dengan penyetoran dan pelaporannya.
KESIMPULAN :
- Selama pihak perusahaan sebagai penyewa dan melakukan perjanjian berdasarkan charter baik itu space charter, time charter, fully manned basis dengan pihak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan DN dan atau Pelayaran dan penerbangan LN yang memiliki BUT : maka dikenakan PPH Pasal 15 dan yang melakukan pemotongan adalah pihak penyewa.
- Tetapi jika pihak perusahaan sebagai penyewa dan melakukan perjanjian tidak berdasarkan charter dengan pihak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan DN dan atau Pelayaran dan penerbangan LN yang memiliki BUT : maka seluruh pemotongan dari pihak penyewa tidak dilakukan , melainkan disetorkan dan dilaporkan sendiri oleh pihak perusahaan pelayaran dan penerbangan tersebut.
- Bagaimana dengan Pihak Perusahaan Pelayaran dan Penerbangan LN yang tidak memiliki BUT di Indonesia maka hal ini tidak diataru baik dalam SE 29 ataupun SE 32 diatas sehingga tetap dikenakan PPH Pasal 26 sebagai jasa lain dan nilainya adalah 20% dan bersifat Final.
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.