Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa (Menkeu baru) menegaskan tidak akan
mendukung rencana program tax amnesty jilid III. Ia khawatir kebijakan pengampunan
pajak berulang justru merusak kredibilitas penegakan hukum pajak dan
mendorong perilaku tidak patuh[1].
Latar Belakang Kebijakan dan Sikap Pemerintah
Pada 19 September 2025, Menkeu baru Purbaya Yudhi Sadewa secara tegas
menyatakan penolakan terhadap wacana Tax Amnesty jilid III
(program pengampunan pajak tahap ketiga)[2]. Wacana pemberlakuan tax amnesty baru ini sebelumnya muncul dalam
daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 usulan DPR RI[3]. Namun, Purbaya menegaskan pemerintah tidak mendukung rencana
tersebut dan meminta wajib pajak (WP) tidak berharap lagi akan adanya
pengampunan pajak baru dalam waktu dekat.
Dalam pandangan Purbaya, mengulang kebijakan amnesti pajak justru berbahaya
bagi sistem perpajakan. Ia beralasan bahwa jika pemerintah terlalu sering
memberi pengampunan, hal itu akan melemahkan kredibilitas pemerintah
dalam penegakan pajak dan mengirim sinyal keliru kepada para pembayar pajak[1]. “Kalau amnesty berkali-kali, bagaimana jadi kredibilitas amnesty?
Itu memberikan sinyal ke pembayar pajak bahwa boleh melanggar, nanti ke depan
ada amnesty lagi,” ujarnya mencontohkan logika pikir para pengemplang pajak[1]. Dengan kata lain, pemberian amnesti pajak berulang kali bisa
ditafsirkan bahwa penghindaran pajak akan terus ditoleransi karena nantinya selalu
ada kesempatan baru untuk pemutihan kewajiban[1].
Purbaya mengingatkan bahwa Indonesia sudah dua kali melaksanakan
program pengampunan pajak (tahun 2016 dan 2022). Bila dilakukan lagi untuk
ketiga kali, menurutnya hal itu akan dimanfaatkan oleh WP tidak patuh untuk
terus mengemplang pajak sambil menunggu pengampunan berikutnya[4]. “Ini sudah dua (kali) kan... Nanti tiga, empat, lima, enam, tujuh,
delapan, ya sudah. Pesannya adalah kibulin aja pajaknya, nanti kita
tunggu tax amnesty, pemutihannya di situ. Itu yang nggak boleh,” tegas
Purbaya mengkritik mentalitas yang bisa muncul jika tax amnesty terus diulang[4].
Sebagai gantinya, pemerintah di bawah arahan Menkeu Purbaya lebih
memilih fokus memperkuat penegakan aturan pajak yang ada dan mendorong perluasan
basis pajak melalui pertumbuhan ekonomi sehat[5]. Ia menilai penerimaan negara seharusnya ditingkatkan dengan cara
meningkatkan kepatuhan dan pertumbuhan, bukan dengan memberikan kelonggaran
berulang. “Kita optimalkan semua peraturan yang ada, minimalkan penggelapan
pajak. Kita majukan ekonomi supaya dengan tax ratio konstan misalnya, pajak
tumbuh maka penerimaan lebih banyak. Kita fokuskan di situ dulu,”
ujarnya menekankan prioritas kebijakan fiskal tanpa tax amnesty jilid III[5].
Perspektif Pemerintah: Kredibilitas, Kepatuhan, dan Keadilan Fiskal
Dari sudut pandang pemerintah selaku regulator, keputusan menolak
tax amnesty baru didasari pertimbangan menjaga kredibilitas hukum dan
keadilan dalam sistem perpajakan. Beberapa alasan kunci yang dikemukakan
dan didukung oleh para pengamat pajak, antara lain:
- Moral Hazard dan Kepatuhan: Pemberian
amnesti pajak berulang kali berisiko mendorong mentalitas “nanti
diampuni lagi” di kalangan WP[6]. Bila WP yakin akan ada pengampunan di masa depan, mereka
cenderung menunda atau menghindari pembayaran pajak, berharap bisa bebas
dari sanksi pada kesempatan amnesti berikutnya. Pola pikir ini jelas
melemahkan semangat kepatuhan sukarela dan menciptakan moral
hazard sistemik[6].
- Aspek Keadilan: Kebijakan tax amnesty
yang terus diulang dinilai tidak adil bagi WP yang patuh. Mereka
yang selama ini taat membayar pajak atau telah mengikuti program
pengampunan sebelumnya bisa merasa dirugikan secara moral. Sebaliknya,
para pelanggar justru diberikan insentif keringanan dan kemudahan melalui
amnesti[7]. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan fiskal dan
berpotensi mengikis legitimasi sistem perpajakan di mata publik[7]. Seorang pengamat bahkan menyebut bahwa meski tax amnesty cara
cepat dan efisien untuk tambah penerimaan, cara ini “mengabaikan asas
keadilan” sehingga mencederai rasa keadilan pajak di masyarakat[8].
- Kredibilitas Penegakan Hukum: Pemerintah
khawatir seringnya pemberian pengampunan pajak akan melemahkan wibawa
penegakan hukum. Terlalu banyak amnesti menciptakan kesan pemerintah tidak
serius menindak pelanggaran pajak[9]. Akibatnya efek jera menurun – WP tidak lagi takut sanksi karena
mengandalkan amnesti – dan upaya penegakan hukum pajak menjadi tidak
efektif. Menkeu Purbaya menyebut siklus amnesti berulang akan membuat WP
berpikir pemerintah “boleh dilanggar” aturannya karena toh nanti akan
diberi maaf lagi[1]. Demi menjaga otoritas hukum, konsistensi kebijakan diperlukan: “Kalau
tax amnesty tiap beberapa tahun, nanti semuanya menyelundupkan duit...
Jadi message-nya kurang bagus,” ujarnya memperingatkan[10].
- Konsistensi Kebijakan dan Reformasi Pajak:
Pengampunan pajak seharusnya bersifat luar biasa (sekali saja) bukan
menjadi kebijakan rutin. Jika terlalu sering, justru menunjukkan inkonsistensi
kebijakan fiskal dan ketidakpastian bagi WP dan pelaku usaha[11]. Pemerintah perlu menjaga iklim kebijakan yang stabil dan dapat
diprediksi; terus-menerus mengulang tax amnesty mengganggu ekspektasi
tersebut[12]. Selain itu, fokus berlebihan pada solusi instan berpotensi
menggeser perhatian dari upaya reformasi perpajakan yang sistemik
(misalnya pembenahan administrasi, penyempurnaan regulasi, peningkatan
layanan dan teknologi pajak) yang justru lebih penting untuk meningkatkan
kepatuhan jangka panjang[13].
Poin-poin di atas menjelaskan mengapa pemerintah – khususnya Menkeu
Purbaya – mengambil sikap keras menolak tax amnesty jilid III. Secara historis,
Indonesia sudah melaksanakan dua kali pengampunan pajak (tahun 2016 dan
Program Pengungkapan Sukarela 2022). Program pertama pada 2016 sukses secara
jangka pendek meningkatkan penerimaan (uang tebusan terkumpul Rp114 triliun,
dengan deklarasi harta mencapai Rp4.707 triliun)[14] dan memperluas basis data pajak, namun efektivitasnya dalam
meningkatkan kepatuhan jangka panjang dipertanyakan. Banyak studi menunjukkan
perbaikan kepatuhan hanya sementara, sementara efek jangka panjangnya bisa
kontraproduktif karena munculnya risiko moral hazard tadi[15]. Program kedua (2022) juga menghasilkan penerimaan tambahan (sekitar
Rp61 triliun PPh final) tetapi dikritik tidak signifikan memperbaiki kepatuhan
dan justru memperkuat preseden menunggu pengampunan selanjutnya[16]. Menkeu Purbaya dan para ahli khawatir mengulang amnesti pajak lagi
di 2025 hanya akan mengulang kesalahan yang sama dan merusak fondasi
kepatuhan pajak yang ingin dibangun.
Perspektif Wajib Pajak: Harapan vs. Kenyataan Tanpa Tax Amnesty
Dari sisi wajib pajak, reaksi terhadap penolakan tax amnesty jilid III
ini cenderung terbagi. Sebagian WP, terutama yang selama ini patuh,
justru mendukung keputusan pemerintah. Mereka merasa berulangnya pengampunan
pajak akan mencederai semangat keadilan. WP yang patuh bisa merasa dikorbankan
karena disiplin mereka tak dihargai, sementara para pengemplang justru terus
diberi kesempatan leluasa. Keputusan Menkeu Purbaya menolak amnesti baru
dianggap langkah melindungi WP patuh dan menegakkan fairness: tidak ada lagi “hadiah”
bagi yang melanggar aturan pajak berulang kali.
Namun, sebagian WP lain – terutama yang memiliki kekayaan
tersembunyi atau yang belum sepenuhnya patuh – mungkin kecewa dan khawatir.
Mereka inilah yang paling terkena dampaknya akibat tiadanya tax amnesty
lanjutan. Kelompok ini sebelumnya berharap pemerintah baru memberi kesempatan
lagi untuk membersihkan catatan pajak mereka dengan denda ringan. Biasanya yang
termasuk kelompok ini adalah wajib pajak orang pribadi kaya (high-net-worth
individuals) maupun entitas bisnis yang masih memiliki aset atau penghasilan
yang belum dilaporkan sepenuhnya. Bagi mereka, program pengampunan pajak ibarat
“jalan pintas” untuk legitimasi harta dengan biaya relatif murah
dibanding bila ketahuan dan ditagih beserta sanksinya. Ketika Menkeu baru
menutup pintu amnesti, praktis harapan mereka pupus – artinya bila ke
depan ada temuan pajak, mereka harus menghadapi konsekuensi penuh sesuai hukum
(pajak terutang, denda administrasi tinggi, bahkan sanksi pidana jika berat).
Helpdesk program Tax Amnesty di kantor pusat DJP (2017). Program pengampunan
pajak diminati WP karena memberi kesempatan “memutihkan” kewajiban dengan tarif
lebih rendah dari normal. Namun, pemerintah kini mengingatkan bahwa jangan ada
lagi ekspektasi pengampunan serupa di masa depan.
Dari perspektif WP yang menantikan amnesti, terdapat argumen
bahwa pemerintah kini memiliki akses data yang jauh lebih luas tentang
harta dan penghasilan WP, sehingga para WP merasa “terpojok”. Sejak program
sebelumnya, Ditjen Pajak (DJP) telah mengumpulkan banyak informasi melalui
perluasan basis data dan kerja sama pertukaran data dengan berbagai lembaga
(termasuk data keuangan domestik dan global/AEOI). Pemerintah bahkan gencar
menelusuri aset WP di luar negeri dan membangun kerja sama internasional untuk
mengejar harta tersembunyi[17]. Dengan asimetri informasi yang semakin menipis, WP berargumen
idealnya mereka diberi kesempatan menyinkronkan data dan “start dari
nol” lagi melalui tax amnesty. Menurut pandangan ini, amnesti jilid III
bisa menjadi cara bagi WP untuk sukarela mengungkap seluruh hartanya sesuai
data yang dimiliki DJP tanpa ancaman sanksi berat. Setelah itu, barulah
penegakan hukum dilakukan secara tegas. Mereka merasa jika pemerintah tiba-tiba
menindak berdasarkan data yang ada tanpa memberi opsi pemutihan terakhir, ada kesan
ketidakadilan — karena pemerintah mendapat data lengkap sedangkan WP
tidak diberi kesempatan memperbaiki laporan secara damai.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa kelompok WP yang berpikir demikian sebenarnya
telah diberikan kesempatan di dua program terdahulu. Pemerintah pada 2016
sudah menyatakan itu kesempatan emas “sekali seumur hidup” untuk deklarasi
sukarela. Bagi yang belum memanfaatkannya, Program Pengungkapan Sukarela (TA
jilid II 2022) menjadi peluang lanjutan meski tarif tebusan lebih tinggi. Faktanya,
banyak WP besar telah memanfaatkan kedua program tersebut, sehingga yang
tersisa kemungkinan adalah segelintir yang terus menunggu. Pemerintah menilai
memberikan kesempatan ketiga justru mengirim sinyal buruk dan tidak adil
bagi yang sudah patuh sejak awal maupun yang sudah berpartisipasi di program
sebelumnya[18][7]. Pendekatan pemerintah sekarang adalah penegakan hukum tanpa
kompromi: setelah dua kali pengampunan, WP yang masih bandel akan ditindak
sesuai aturan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Menko Polhukam awal 2025 bahwa
dalam penegakan hukum “tidak ada istilah maaf” dan pemerintah akan tegas
memberantas pelanggaran pajak dan korupsi tanpa tebang pilih[19].
Dampak pada WP Berpenghasilan Tinggi dan Pengemplang Pajak
Kelompok individu kaya dan WP besar yang belum sepenuhnya patuh
pajak merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari tiadanya tax
amnesty jilid III. Berikut beberapa implikasi bagi mereka:
- Tidak Ada “Diskon” Pajak Lagi: Tanpa
amnesti baru, WP harus membayar kewajiban pajak tersembunyi sesuai
ketentuan umum jika terdeteksi, yakni dengan tarif normal plus denda
administrasi, bahkan bunga dan sanksi pidana bila memenuhi unsur. Pada
program amnesti sebelumnya, mereka bisa menebus dengan tarif spesial jauh
lebih rendah dari tarif pajak normal[20]. Ketiadaan program serupa berarti biaya kepatuhan yang
tertunda akan jauh lebih mahal sekarang. Bagi WP sangat kaya dengan
aset tak dilaporkan, ini ancaman finansial serius.
- Peningkatan Risiko Pemeriksaan dan Sanksi:
DJP dengan data yang telah dimiliki (dari laporan amnesti sebelumnya, data
perbankan, AEOI, dsb.) kemungkinan akan menggiatkan penegakan hukum.
WP besar yang dulu enggan ikut amnesti kini berisiko tinggi menjadi target
audit, investigasi, atau penegakan hukum lainnya. Risiko dikenakan sanksi
pidana perpajakan pun meningkat bila ditemukan unsur penggelapan yang
signifikan dan disengaja. Tanpa amnesti, bargaining position WP
non-patuh melemah – pemerintah tidak lagi menawarkan karpet merah,
melainkan penindakan tegas.
- Dilema Repatriasi dan Investasi: Salah
satu tujuan tax amnesty adalah menarik dana tersembunyi (khususnya di luar
negeri) masuk ke dalam negeri. WP kaya yang menunggu amnesti mungkin
menahan dana di luar atau di “bawah radar”. Dengan ditolaknya amnesti,
pemerintah mengirim pesan bahwa lebih baik WP segera melaporkan dan
membawa pulang dana dengan mekanisme biasa atau investasi legal. Namun,
bisa jadi sebagian WP justru memilih terus menyembunyikan asetnya atau
mencari celah lain, meski opsi itu makin sulit karena kerja sama global anti-evasi
pajak semakin kuat. Efek lainnya, investor besar yang semula berharap
kepastian pengampunan mungkin perlu menyusun ulang strategi
kepatuhan pajaknya agar sesuai aturan tanpa ampun.
Di sisi lain, bagi wajib pajak yang selama ini sudah patuh,
keputusan tidak ada amnesti baru justru memberikan sinyal positif.
Pemerintah dianggap serius menegakkan level playing field perpajakan –
dimana kepatuhan akan dihargai, dan pelanggaran tidak terus-menerus dihapus
lewat kebijakan politis. Hal ini diharapkan membangun trust bahwa sistem
pajak makin adil. Ke depan, jika pemerintah konsisten, WP patuh tidak merasa
diperlakukan bodoh karena ternyata tak ada “jalan belakang” bagi yang
melanggar. Dengan demikian keputusan Menkeu Purbaya dapat memotivasi kepatuhan
jangka panjang: WP besar akan berpikir dua kali untuk mengemplang karena tidak
ada lagi jaminan pengampunan, sementara WP patuh merasa prinsip keadilan
dijaga.
Penilaian Kritis dan Kesimpulan
Secara kritis, langkah Menkeu baru menolak tax amnesty jilid III
mengandung trade-off yang perlu dicermati. Dari sudut pandang
kebijakan fiskal jangka panjang, keputusan ini selaras dengan rekomendasi
banyak pakar agar pemerintah fokus pada pembenahan sistem daripada solusi
instan. Repeated tax amnesty memang ibarat obat pereda nyeri sementara –
cepat meningkatkan penerimaan dan mengungkap basis pajak tersembunyi – tetapi
tidak menyembuhkan akar masalah kepatuhan. Bahkan, seperti diuraikan di atas,
berulang kali memberi pengampunan bisa menggerus disiplin pajak dan rasa
keadilan. Banyak pihak menilai kebijakan pengampunan pajak seharusnya cukup
sekali saja untuk memberi kesempatan WP membereskan masa lalu[13]. Setelah itu, pemerintah wajib meningkatkan penegakan hukum agar efek
jera tercipta dan kepercayaan publik bahwa sistem pajak tegas tapi adil
dapat terwujud.
Dari sisi penerimaan negara jangka pendek, tentu ada
konsekuensi. Dengan tiadanya amnesti, pemerintah kehilangan potensi uang
tebusan yang bisa saja didapat dalam 1-2 tahun ke depan. Misalnya, pada TA 2016
terkumpul Rp114 T, dan TA 2022 sekitar Rp61 T – jumlah yang tidak kecil. Namun,
pemerintah tampaknya bersedia mengorbankan penerimaan jangka pendek tersebut
demi tujuan lebih besar: membangun budaya kepatuhan pajak yang
berkelanjutan. Purbaya meyakini bahwa melalui pertumbuhan ekonomi dan perluasan
basis pajak yang natural, penerimaan pajak bisa meningkat secara sehat
tanpa perlu “stimulan” tax amnesty[5]. Pandangan ini menggarisbawahi pentingnya reformasi struktural:
memperbaiki administrasi pajak, menutup celah penghindaran, meningkatkan
pelayanan, dan memanfaatkan data untuk penegakan hukum konsisten – sehingga WP
mau tak mau patuh karena sistemnya kuat dan fair.
Sebagai penutup, keputusan Menkeu Purbaya menolak tax amnesty jilid III dapat dipandang sebagai upaya mengakhiri siklus kurang sehat dalam disiplin pajak Indonesia. Pemerintah ingin mengirim pesan tegas: bayarlah pajak dengan benar, jangan berharap pengampunan lagi. Ke depan, tantangan bagi pemerintah adalah membuktikan bahwa tanpa tax amnesty, mereka mampu mengoptimalkan penegakan pajak secara adil. Pengawasan dan penindakan harus konsisten, sehingga WP benar-benar merasakan bahwa era pembiaran sudah usai. Di saat yang sama, pembaruan sistem pajak (misal implementasi Coretax, integrasi data, perbaikan layanan) harus dipercepat agar compliance cost menurun dan compliance reward meningkat.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan basis pajak meluas dan
kepatuhan tumbuh tanpa perlu lagi bergantung pada skema pengampunan massal.
Kebijakan ini patut dikritisi secara konstruktif: publik harus terus mengawal
agar pemerintah serius menindak big fish pengemplang pasca dua kali
amnesti. Jika penegakan tegas berjalan, maka sikap menolak tax amnesty berulang
akan terbukti tepat dalam jangka panjang untuk menciptakan sistem pajak yang lebih
adil, kredibel, dan berkelanjutan[21][11].
Sumber:
1.
Purbaya Y. Sadewa – Pernyataan
penolakan tax amnesty berulang (19 September 2025)[1][10]
2.
Liputan6 – “Tax Amnesty Jilid
III Tak Adil Buat Masyarakat”, analisis Pratama Tax Research (3 Januari
2025)[8]
3.
Katadata – “Purbaya Tolak Tax
Amnesty Jilid 3: Beri Sinyal Wajib Pajak Boleh Melanggar”, alasan
pemerintah dan wacana DPR[22][23]
4.
IKPI – “Tax Amnesty Jilid III:
Solusi Instan atau Ancaman Jangka Panjang?”, poin-poin risiko amnesti
berulang (2024)[6][7]
5.
DetikFinance – “Purbaya Ogah
Ada Tax Amnesty Lagi”, fokus pemerintah pada kepatuhan (19 September 2025)[5][3]
[1] [2] [3] [5] [10] Purbaya Ogah Ada Tax Amnesty Lagi: Kibulin Aja Pajaknya, Nanti Tunggu
Pemutihan
[4] [22] [23] Purbaya Tolak Tax Amnesty Jilid
3: Beri Sinyal Wajib Pajak Boleh Melanggar - Makro Katadata.co.id
[6] [7] [9] [11] [12] [13] [14] [15] [18] [21] Tax Amnesty Jilid III: Solusi Instan atau Ancaman Jangka Panjang? -
Ikatan Konsultan Pajak Indonesia
https://ikpi.or.id/en/tax-amnesty-jilid-iii-solusi-instan-atau-ancaman-jangka-panjang-2/
[8] [17] [19] [20] Tax Amnesty Jilid III Tak Adil Buat Masyarakat - Bisnis Liputan6.com
https://www.liputan6.com/bisnis/read/5862623/tax-amnesty-jilid-iii-tak-adil-buat-masyarakat
[16] Tak Tegas Menggugah Kepatuhan Wajib Pajak - Tempo.co
https://www.tempo.co/ekonomi/berakhir-pada-kamis-lalu-apa-hasil-tax-amnesty-jilid-ii-835881
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.