Senin, 08 September 2025

Kata Pengantar:

Coba bayangkan, ketika ekonomi lagi lesu di banyak negara, pemerintah justru turun tangan kasih keringanan pajak biar rakyat bisa bernapas. Contohnya Yunani dan India yang berani “diskon pajak” besar-besaran buat dorong ekonomi mereka[1][2]. Tapi, kok di Indonesia malah kebalikannya? Alih-alih meringankan beban, pemerintah kita justru memperketat pajak dan gencar melakukan pengawasan. Tulisan ini akan ngulik fenomena unik ini secara santai tapi mendalam. Tujuannya biar kita paham kenapa negara lain bisa kasih kelonggaran pajak saat ekonomi seret, sementara Indonesia justru tancap gas pungut pajak. Yuk, kita kupas bareng-bareng dengan bahasa sederhana lengkap dengan dasar aturan resminya biar valid dan bisa dipertanggungjawabkan. Selamat membaca!

Bab 1: Pengetahuan Umum atas Tema Utama

Di kala ekonomi melemah, umumnya pemerintah di berbagai negara bakal ambil langkah ekspansif buat nyelametin pertumbuhan. Maksudnya gimana? Sederhananya, mereka biasanya ngurangin beban pajak atau nambah bantuan supaya rakyat ada duit lebih buat belanja. Logikanya, kalau orang punya uang lebih (gara-gara pajak turun), mereka bisa belanja banyak, konsumsi naik, ekonomi pun ketolong deh. Contoh nyata, Yunani lagi lemah ekonominya habis krisis utang panjang, langsung diguyur reformasi pajak besar-besaran sama pemerintahnya. Perdana Menteri Yunani, Kyriakos Mitsotakis, ngumumin pemotongan pajak penghasilan gila-gilaan demi bantu kelas menengah yang megap-megap hadapi biaya hidup tinggi[1]. Salah satu langkah ekstrimnya, penghasilan pertama hingga €20 ribu (sekitar Rp384 juta) bagi keluarga dengan 4 anak atau lebih, dibebaskan dari pajak penghasilan sama sekali[1]. Gak cuma itu, Yunani juga nurunin tarif pajak buat penghasilan menengah (€40k–€60k) dan membebaskan pajak anak muda <25 tahun sampai penghasilan €20 ribu[3]. Bahkan pajak properti dan PPN pun dipangkas di daerah tertentu demi meringankan beban hidup rakyat[4]. Luar biasa, kan? Pemerintah sana sadar rakyat butuh stimulus, bukan beban tambahan.

Contoh lain, India. Negara ini juga menghadapi tantangan ekonomi global, tapi responsnya tokcer: pangkas pajak ratusan barang konsumsi harian supaya dompet warganya gak jebol dan belanja tetap jalan[5][2]. Menteri Keuangan India, Nirmala Sitharaman, di September 2025 mutusin nyederhanain struktur pajak barang dan jasa (GST) dari tadinya 4 lapis tarif, disederhanakan jadi cuma 2 tarif aja: 5% dan 18%[6]. Imbasnya, barang kebutuhan sehari-hari macam sabun, pasta gigi, shampoo turun pajaknya dari 18% jadi 5%[2]. Barang elektronik rumah tangga kaya AC, TV, sampai mobil kecil yang tadinya kena 28%, dipotong jadi cukup 18%[2]. Tujuannya jelas, harga barang turun, rakyat jadi lebih mampu beli, konsumsi domestik naik. Nah menariknya, India juga gak gegabah; mereka tau butuh pemasukan, jadi mereka tetapkan tarif pajak khusus 40% untuk barang super mewah dan *sin goods* alias barang berdosa (misal rokok, minuman bersoda, mobil mesin >1500 cc)[7]. Artinya, cuma barang luks dan yang gak sehat aja yang pajaknya dinaikin, sementara ratusan barang lain buat rakyat banyak justru diturunin pajaknya. Strategi India ini bikin rakyat lega karena barang kebutuhan jadi murah, ekonomi dalam negeri pun diharap terpacu tanpa terlalu ngorbanin penerimaan negara. Dua contoh di atas nunjukin pola umum: saat ekonomi seret, pajak dilonggarkan biar rakyat ada napas dan daya beli terjaga.

Bab 2: Pembahasan – Perspektif Ekonomi

Sekarang, mari tengok kondisi ekonomi Indonesia terkini. Meski pejabat sering bilang “ekonomi kita baik-baik saja, kok, tumbuh 5%”[8], faktanya di lapangan gak seindah itu. Banyak indikator ekonomi yang bikin kening berkerut. Awal 2025 malah sempat terjadi deflasi – yaitu harga-harga turun karena lesunya permintaan[9]. Sekilas, harga turun kedengarannya bagus, tapi sebenernya deflasi itu lampu kuning ekonomi. Kenapa? Karena deflasi nunjukin daya beli masyarakat lagi lemah banget – orang-orang nahan belanja sampai harga harus turun. Pemerintah sempet jumawa bilang “deflasi tanda harga terkendali”, tapi para ekonom langsung bilang sebaliknya: deflasi justru gejala konsumsi domestik loyo[9]. Gak heran, banyak perusahaan kelimpungan, penjualan seret, ujung-ujungnya PHK (pemutusan hubungan kerja) meningkat. Contohnya di sektor manufaktur, gara-gara pesanan lesu baik dari dalam maupun luar negeri, banyak pabrik merumahkan karyawan[10]. Sektor pariwisata dan perhotelan apalagi – sampai ada hotel yang tutup di Bogor karena sepi tamu, 150 karyawan kena PHK seketika[11].

Dampak berantai ekonomi lesu ini kerasa banget di masyarakat. Mudik Lebaran 2025 pun sepi, padahal biasanya itu tradisi rame tiap tahun. Data Kemenhub nunjukin jumlah pemudik turun drastis ~24% dibanding tahun sebelumnya[12][13]. Kok bisa mudik sepi? Ya karena banyak orang ngekang pengeluaran, mikir dua kali buat ongkos pulang kampung, takut keuangan menipis[13]. Harga-harga kebutuhan pokok yang naik plus pendapatan yang gak naik-naik bikin orang mending diem di rumah daripada jalan-jalan. Perputaran uang pas Lebaran pun turun signifikan, dari ~Rp157 triliun (2024) jadi cuma ~Rp137 triliun di 2025[10]. Intinya, rakyat lagi hemat karena lagi susah. Daya beli masyarakat beneran loyo sekarang.

Dari sisi pemerintah, ekonomi melemah ini pukulan telak ke penerimaan negara. Penerimaan pajak Indonesia mulai 2025 malah turun dibanding tahun lalu. Bayangin, sampai Mei 2025 total penerimaan perpajakan (pajak + bea cukai) cuma Rp806,2 triliun, turun 7,2% dibanding Mei 2024[14]. Biasanya penerimaan pajak naik seiring ekonomi tumbuh, tapi ini malah melorot – tanda bahwa aktivitas ekonomi melambat (penjualan turun => pajak yang dipungut juga ikut turun). Pendapatan lain negara juga seret, dividen BUMN yang biasanya nyumbang puluhan triliun ke kas negara sekarang hilang karena dialihkan ke Danantara (semacam sovereign wealth fund baru). Sesuai UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN, mulai 2025 dividen BUMN gak masuk APBN lagi[15]. Padahal targetnya awalnya negara bisa terima Rp90 triliun dari laba BUMN[16], eh sekarang duit segede itu diserap Danantara dan gak bisa langsung dipake nutup APBN. Otomatis, pemerintah kehilangan salah satu sumber penerimaan negara yang lumayan gede. Double kill: ekonomi lemah pajak seret, ditambah PNBP berkurang, pusinglah kepala keuangan negara.

Nah, melihat kondisi ekonomi yang kayak gini, kebijakan yang pro-ekonomi semestinya adalah meringankan beban rakyat biar konsumsi terpacu lagi. Ini pendapat banyak ekonom loh, bukan cuma asumsi kosong. Salah satu solusi konkrit yang lagi kenceng disuarain: naikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) buat orang pribadi. Saat ini PTKP (alias ambang penghasilan setahun yang gak kena pajak) masih mentok di Rp54 juta per tahun sejak 2016[17]. Artinya, kalau gaji kita di bawah Rp4,5 juta per bulan, mestinya bebas PPh sesuai aturan (PMK No.101/PMK.010/2016). Masalahnya, udah 7-8 tahun angka PTKP gak diubah, padahal inflasi jalan terus. Yang dulunya gaji 4 jutaan dianggap kecil sekarang mah pas-pasan buat hidup, tapi tetap kepotong pajak karena threshold-nya gak naik. Ekonom dari Celios, Bhima Yudhistira, bilang wajar buruh teriak minta PTKP dinaikkan jadi Rp90 juta per tahun (Rp7,5 juta per bulan)[18]. Menurut Bhima, usulan ini mendesak dan rasional di tengah daya beli pekerja yang tergerus banyak potongan (pajak PPh21, BPJS, dll)[19]. Kalau PTKP naik, otomatis gaji segitu bakal bebas pajak, pekerja bakal bawa pulang uang lebih banyak. Dampaknya? Disposable income naik, konsumsi rumah tangga tumbuh lebih tinggi – ekonomi terdorong deh[20]. Bhima bahkan menegaskan pemerintah gak perlu paranoid kehilangan penerimaan PPh Pasal 21 (pajak gaji) karena penurunan itu bakal kebayar sama naiknya penerimaan PPN dan pajak lain dari konsumsi yang meningkat[20]. Simpelnya, kasih rakyat napas sekarang, nanti mereka belanja lagi dan negara juga yang untung dari pajak-pajak lain. Ide ini masuk akal banget secara ekonomi, apalagi data menunjukkan rasio pendapatan yang bisa dibelanjakan rakyat kita makin turun sejak pandemi[21]. Jadi, dari kacamata ekonomi murni: saat ekonomi lesu, harusnya kebijakan pajak diarahkan membantu meningkatkan daya beli, bukan sebaliknya.

Bab 3: Pembahasan – Perspektif Perpajakan

Sekarang mari kita lihat kenyataan kebijakan pajak di Indonesia tahun 2025 ini. Apakah pemerintah mengikuti jurus Yunani atau India yang mengendurkan pajak? Sayangnya nggak, cuy. Pemerintah Indonesia cenderung memperketat sektor pajak di tengah ekonomi yang melemah. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan tegas bilang tahun 2026 gak ada rencana naikin tarif pajak atau bikin pajak baru, "pajaknya tetap sama, tapi enforcement dan kepatuhan akan ditingkatkan," ujarnya[22]. Artinya, pengawasan dan penegakan hukum pajak diperketat gila-gilaan. Bahas gampangnya: yang dulunya mungkin lolos nggak lapor pajak, sekarang bakal dikejar; yang biasa ngemplang, siap-siap dikepret. Fokus pemerintah saat ini mengoptimalkan penerimaan dengan segala cara yang ada tanpa resmi naikkin tarif. Contohnya, Sri Mulyani bilang sistem sedang dibenahi dan Core Tax system baru mau dioptimalkan buat integrasi data dan pengawasan transaksi, termasuk transaksi digital[23]. Jadi jangan heran kalau sekarang apa-apa jadi kena intip sama DJP, transaksi digital yang dulu abu-abu pun mulai kena radar pajak.

Selain penegakan, pemerintah juga mengubah mekanisme pemungutan pajak tertentu untuk garap sektor ekonomi baru, yang sebenarnya buat banyak orang kerasa kayak pajak baru. Contoh paling heboh tahun 2025: Pajak E-commerce. Mulai pertengahan 2025, pedagang online yang jualan via marketplace (Tokopedia, Shopee, dsb.) resmi dikenai pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5%) oleh platform[24][25]. Aturan detailnya diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 37/2025 yang berlaku mulai 14 Juli 2025[24][26]. Intinya, pemerintah nunjuk marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan pedagang UMKM dalam negeri di platform mereka[27]. Tapi tenang, bukan berarti semua penjual online auto kena potong. Ada syaratnya: hanya pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta setahun yang bakal dipungut 0,5% dari omzet penjualannya[28][25]. Buat yang omzetnya masih kecil (≤ Rp500 juta setahun), bebas potongan asal lapor surat pernyataan omzet ke marketplace supaya mereka tahu si penjual masuk kategori bebas[29]. Pemerintah ngeklaim, “Eh ini bukan pajak baru lho ya, cuma cara pungutnya aja yang diubah”. Memang betul, tarif 0,5% UMKM ini sudah ada sejak PP 23/2018 dan dilanjut di UU HPP 2021, cuma bedanya dulu pedagang nyetor sendiri pajaknya (self-assessed), sekarang dipotong otomatis lewat marketplace[30]. Tujuannya supaya lebih banyak pedagang yang taat pajak dan transaksi digital lebih transparan, karena jujur banyak yang dulu mungkin ogah lapor kalau gak dipaksa. Nah, bagi sebagian pelaku UMKM online, kebijakan ini tentu berasa berat. Baru bangkit dari pandemi, ekonomi lagi loyo, eh kena kewajiban setor pajak (meski kecil tarifnya). Banyak juga yang komplain “kok bukannya dibantu, malah ditarik-tarik beginian”. Tapi dari sisi pemerintah, langkah ini dianggap adil supaya usaha digital dan konvensional sama-sama kena pajak gak ada yang sembunyi-sembunyi[30][31]. Yang jelas, pajak e-commerce 0,5% ini menambah daftar panjang kebijakan pajak 2025 yang dirasa kurang empati sama situasi ekonomi lesu.

Terus, apa lagi? Ada juga wacana yang sebenarnya udah diatur di UU HPP bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bisa naik jadi 12% paling lambat 2025 (sebelumnya April 2022 sudah naik dari 10% ke 11%). Pemerintah sempat sinyalin bakal menaikkan PPN jadi 12% di tahun 2025 demi tambah pemasukan negara[32][33]. Kebijakan ini sempat jadi perdebatan panas karena dilakukan saat ekonomi lagi tertekan. Banyak pengamat mengingatkan, PPN itu pajak konsumsi yang bersifat regresif – artinya lebih berat bagi orang miskin daripada orang kaya[34]. Kalau PPN dinaikkan pas daya beli rakyat melemah, itu bisa jadi blunder: harga barang naik, orang makin gak kuat beli, ujungnya ekonomi bisa tambah lesu dan penerimaan pajak malah merosot. Ini bukan cuma teori, bahkan ilmuwan abad 14 Ibn Khaldun udah wanti-wanti: kalau pajak terlalu tinggi saat ekonomi lemah, pemasukan negara justru bisa turun karena aktivitas ekonomi mati[35]. Konsep ini mirip Laffer Curve-nya ekonomi modern. Untungnya, melihat kondisi sekarang, pemerintah mulai hati-hati soal rencana kenaikan PPN ini. Sri Mulyani belakangan janji tarif pajak gak akan dinaikkan di 2026 kok, biar gak makin membebani rakyat[22]. Mudah-mudahan janji ini dipegang teguh, karena jelas kalau dipaksain naik pas ekonomi lesu, yang ada target pajak juga bisa-bisa meleset karena konsumsi keburu drop.

Di sisi lain, pemerintah klaim masih berpihak ke kelompok lemah lewat berbagai insentif pajak yang sudah ada. Contohnya, usaha kecil dengan omzet ≤ Rp500 juta per tahun tetap dibebaskan dari PPh[36] (ini sesuai amanat UU HPP juga, yang menaikkan threshold UMKM bebas pajak). Terus, omzet UMKM sampai Rp4,8 miliar cuma kena pajak final 0,5% (tadi sudah dibahas)[36]. Pemerintah juga gak mengenakan PPN untuk jasa pendidikan dan kesehatan karena itu kebutuhan dasar[37]. Bahkan Sri Mulyani bilang masyarakat berpenghasilan di bawah Rp60 juta/tahun tidak dikenai PPh[37]. (Angka Rp60 juta ini kurang lebih merujuk PTKP Rp54 juta ditambah komponen tanggungan; intinya gaji kecil bebas pajak.) Semua kebijakan itu tujuannya supaya kelompok berpenghasilan rendah terlindungi. So, fair juga diakui bahwa Indonesia sebenarnya punya beberapa kebijakan pajak pro-rakyat miskin, misalnya pengecualian pajak untuk kebutuhan pokok (sembako tetap bebas PPN sesuai UU, jasa kesehatan & pendidikan bebas PPN[37], dan UMKM kecil bebas PPh). Hanya saja, isu utamanya sekarang: apakah kebijakan yang ada ini cukup? Mengingat situasi ekonomi luar biasa berat, banyak yang menilai perlu langkah ekstra seperti diskon pajak sementara atau kenaikan PTKP tadi. Sayangnya, sampai menjelang akhir 2025 ini, kita belum lihat pemerintah Indonesia melakukan “terobosan” fiskal yang signifikan seperti Yunani atau India. Pemerintah terlihat lebih fokus ngejar target penerimaan – mungkin karena butuh nutupin bolong pendapatan (kayak hilangnya dividen BUMN tadi) dan concern jaga kredibilitas fiskal. Namun, dengan memeras sektor pajak di kala ekonomi lesu, muncul kekhawatiran jangan-jangan ini kontraproduktif. Jangan lupa lho, tax ratio Indonesia juga lagi turun (indikator yang nunjukin kemampuan negara pungut pajak dari ekonomi)[38]. Kuartal I 2025 tax buoyancy (elastisitas pajak) bahkan sempat -3,71, artinya ekonomi tumbuh 1% justru pajak turun 3,71%[38]. Ini pertanda ada yang gak beres: mungkin karena basis pajaknya gak tumbuh atau justru kebijakan pajaknya ngerem ekonomi. Serba dilematis, bukan?

Bab 4: Kesimpulan dan Saran

Kesimpulannya, kita ngeliat kontras tajam antara kebijakan pajak di beberapa negara versus Indonesia saat ekonomi melemah. Yunani dan India milih strategi gas rem blong dalam memberikan insentif pajak – mereka paham ekonomi sehat dulu, nanti pajak ngikut sehat. Yunani potong pajak gila-gilaan biar kelas menengahnya kuat lagi[1][4]. India reformasi GST besar-besaran, nurunin tarif sebagian besar barang biar rakyat mau belanja, sambil naikin pajak barang mewah biar tetep ada pemasukan[2][39]. Indonesia? Pemerintah kita sejauh ini cenderung defensif. Gak naikin tarif sih (takut makin gak populer mungkin), tapi juga gak ngasih diskon apa-apa. Malahan, pengawasan pajak diperketat, pedagang online ditarik pajaknya, rencana PPN naik 12% sempet dimajuin (walau akhirnya ditahan)[32][22]. Semua ini kesannya jangka pendek banget, fokus ke “bagaimana uang negara jangan berkurang sekarang”, tapi bisa jadi ngorbanin pertumbuhan jangka menengah. Ibarat orang sakit yang harusnya dikasih vitamin (stimulus), ini malah diporsir kerja rodi bayar iuran tinggi – lama-lama drop dong.

Dari analisis di atas, saran saya sebagai konsultan pajak sekaligus ekonom yang udah 20 tahun lebih ngamatin pasang-surut kebijakan: Pemerintah Indonesia perlu sedikit bergeser ke paradigma pro-pertumbuhan tanpa takut dianggap lemah. Beberapa langkah konkrit yang bisa dipertimbangin: (1) Naikkan segera PTKP orang pribadi. Serius deh, angka Rp54 juta itu udah gak relevan di 2025. Naikkin lah minimal ke Rp90 juta per tahun kayak aspirasi buruh[18], atau kalau mau bertahap ya Rp72 juta dulu juga oke. Dampaknya langsung terasa ke jutaan pekerja, gaji mereka lebih utuh, bisa belanja lebih tanpa overbudget pemerintah. Lagipula, seperti kata Bhima, penurunan penerimaan PPh21 bisa ketutup sama naiknya pajak lain akibat konsumsi naik[20]. Ini kebijakan win-win jangka menengah. (2) Tunda kenaikan PPN 12%. Kalau perlu, kaji ulang malah. Kondisi sekarang belum ideal buat naikin pajak konsumsi. Mending fokus betulin kepatuhan dan perluasan basis pajak aja dulu (misal perbaiki data base pajak, implementasi Core Tax beneran dimaksimalkan). Kenaikan PPN bisa dibicarain lagi nanti pas ekonomi udah beneran pulih di atas 5%++ konsisten. (3) Beri insentif pajak temporer ke sektor-sektor terdampak parah, seperti manufaktur padat karya, pariwisata/hotel, dan sektor yang banyak PHK. Bisa berupa pengurangan tarif PPh badan sementara, penundaan angsuran pajak, atau diskon PPN sektor pariwisata. Toh pemerintah pernah lakukan hal ginian pas awal pandemi 2020-2021 (ada insentif pajak resto, hotel, dll), kenapa sekarang enggan? Kalau alasannya khawatir penerimaan turun, ya buat skema yang terukur misal insentif bersyarat. Intinya jangan pukul rata semua sektor harus bayar pajak normal padahal kondisi tiap sektor beda.

(4) Maksimalkan sumber pendapatan non-pajak yang masih mungkin tanpa bebani rakyat. Contohnya, hasil keuntungan Danantara ke depan harus dipastikan mengalir lagi ke APBN. Oke lah 2025 negara “kehilangan” Rp90 T dividen BUMN[16], tapi pastikan itu beneran diinvestasiin optimal sama Danantara supaya hasilnya bisa jadi tambahan penerimaan di masa depan (entah lewat pajak dividen atau bagi hasil lain). Jangan sampai uang negara parkir di situ gak jelas gunanya ke APBN. Selain itu, bisa genjot PNBP SDA (minyak, mineral) dengan tata kelola lebih baik, karena sektor itu lumayan menopang pendapatan juga.

(5) Tingkatkan belanja yang berdampak langsung ke ekonomi rakyat. Loh kok masuk bahas belanja? Iya, soalnya pajak dan belanja itu dua sisi koin kebijakan fiskal. Kalau pemerintah ngeyel gak mau turunin pajak, minimal kasih kompensasi dengan bansos dan stimulus langsung ke masyarakat dan UMKM. Contoh, bansos 2025 ternyata malah dipotong ~16%[40] – ini kontradiktif saat daya beli lemah. Harusnya bansos dipertahanin atau ditambah sementara waktu biar masyarakat kecil terbantu dan konsumsi terjaga. Pemerintah juga bisa dorong proyek padat karya, subsidi bunga UMKM, atau program lain yang nyuntikin duit ke ekonomi rakyat kecil. Dengan begitu, efek negatif pajak ketat bisa agak tertutupi sama dorongan belanja pemerintah.

Terakhir, (6) Jujur dan akui keadaan. Stop narasi “ekonomi kita aman kok, luar aja yang babak belur”. Sudah banyak indikator menunjukkan ekonomi domestik kita pun lagi sakit[9][41]. Gak ada salahnya pemerintah ngaku “iya kita lagi slowdown” terus ajak masyarakat gotong royong atasi dengan kebijakan yang fair. Kalau terus-terusan pencitraan “baik-baik saja”, nanti kebijakan yang diambil pun jadi gak tepat sasaran karena based on asumsi keliru. Kejujuran dalam melihat masalah adalah langkah awal untuk solusi tepat. Rakyat juga lebih percaya kalau pemerintah transparan soal kondisi, ketimbang pakai jurus ngegas “semua baik, kita paling hebat se-Asia” padahal di rumah sendiri banyak yang sengsara.

Sebagai penutup, saya pengen tekankan: pajak itu ibarat darah bagi negara, vital untuk biayain pembangunan. Tapi kalau tubuh (ekonomi) lagi lemah, ngambil darah kebanyakan bisa bikin kolaps. Maka perlu keseimbangan – di saat tertentu negara harus berani ngurangin “tarikan darah” (pajak) supaya ekonomi bisa recovery dan produksi darah baru lebih banyak. Begitu ekonomi pulih, pajak bisa normal lagi, bahkan naik karena basisnya udah lebih luas dan kuat.

Kata Penutup:
Jadi, apakah ekonomi Indonesia beneran baik-baik saja? Melihat semua fakta dan bahasan kritis di atas, jawabannya masih meragukan. Pemerintah perlu bergegas mengambil langkah berani namun terukur. Belajar dari Yunani dan India, sedikit “pengorbanan” pajak jangka pendek bisa jadi vitamin untuk ekonomi jangka panjang. Harapannya, ke depan Indonesia gak jalan sendiri lawan arus. Bukannya melemahkan daya beli rakyat dengan kebijakan pajak kaku, tapi menguatkan ekonomi rakyat dulu sehingga pada akhirnya penerimaan pajak pun tumbuh berkelanjutan. Toh, ujung-ujungnya kesehatan ekonomi dan penerimaan pajak negara itu saling terkait erat. Semoga tulisan opini ini membuka mata banyak pihak. Mari diskusi dengan kepala dingin, demi Indonesia yang lebih sejahtera. #PajakAdilEkonomiPulih 🚀


[1] [3] [4] Cara Yunani Angkat Kelas Menengah, Beri Keringanan Pajak Besar-besaran

https://ekonomi.bisnis.com/read/20250907/620/1909044/cara-yunani-angkat-kelas-menengah-beri-keringanan-pajak-besar-besaran

[2] [5] [6] [7] [39] India cuts consumption tax to spur domestic demand | Khaleej Times

https://www.khaleejtimes.com/business/economy/india-cuts-consumption-tax-to-spur-domestic-demand

[8] BI dan Pemerintah Berbagi Beban

https://insight.kontan.co.id/news/bi-dan-pemerintah-berbagi-beban

[9] [10] [11] [12] [13] [40] [41] Ekonomi Indonesia Baik-baik Saja? Deflasi 2025, PHK Melonjak, Daya Beli Ambruk, Mudik Sepi, Uang Tak Berputar!

https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/pr-019209299/ekonomi-indonesia-baik-baik-saja-deflasi-2025-phk-melonjak-daya-beli-ambruk-mudik-sepi-uang-tak-berputar?page=all

[14] Penerimaan Pajak Mei 2025 Turun 10,1% jadi Rp683,3 Triliun, Ini Penjelasan Sri Mulyani

https://ekonomi.bisnis.com/read/20250617/259/1885648/penerimaan-pajak-mei-2025-turun-101-jadi-rp6833-triliun-ini-penjelasan-sri-mulyani

[15] [16] Kemenkeu Resmi Hapus Pemasukan dari BUMN Usai Diambil Alih Danantara - APBI-ICMA

https://apbi-icma.org/media-article/kemenkeu-resmi-hapus-pemasukan-dari-bumn-usai-diambil-alih-danantara

[17] Sudah Tahu Tentang PTKP? Begini Penjelasannya

https://www.pajak.go.id/id/artikel/sudah-tahu-tentang-ptkp-begini-penjelasannya

[18] [19] [20] [21] Daya Beli Loyo, Ekonom Desak Prabowo Naikkan Batas Penghasilan Tidak Kena Pajak - ADR Consulting

https://konsultanpajakmalang.id/daya-beli-loyo-ekonom-desak-prabowo-naikkan-batas-penghasilan-tidak-kena-pajak/

[22] [23] [36] [37] Sri Mulyani Jamin Tak Naikkan Pajak Tahun Depan, tapi Kepatuhan akan Diperkuat

https://www.sanyangtaxconsultants.com/2025/130056/sri-mulyani-jamin-tak-naikkan-pajak-tahun-depan-tapi-kepatuhan-akan-diperkuat/

[24] [25] [26] [27] [28] [29] [30] [31] PMK 37/2025: Aturan Pajak Marketplace & E-commerce Terbaru

https://msmconsulting.co.id/news/201/pmk-37-2025-aturan-pajak-marketplace-e-commerce-terbaru

[32] [33] [34] [35] Kenaikan PPN Saat Ekonomi Tertekan, Inspirasi Teori Pajak Ibn Khaldun - UMJ

https://umj.ac.id/opini/kenaikan-ppn-saat-ekonomi-tertekan-inspirasi-teori-pajak-ibn-khaldun/

[38] Tax Buoyancy Indonesia Melemah, Pemerintah Didorong Perkuat ...

https://ikpi.or.id/en/tax-buoyancy-indonesia-melemah-pemerintah-didorong-perkuat-strategi-penerimaan-pajak/

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.