Kata Pengantar:
Coba bayangkan, ketika ekonomi lagi lesu di banyak negara, pemerintah justru
turun tangan kasih keringanan pajak biar rakyat bisa bernapas. Contohnya Yunani
dan India yang berani “diskon pajak” besar-besaran buat dorong ekonomi
mereka[1][2]. Tapi, kok di Indonesia malah
kebalikannya? Alih-alih meringankan beban, pemerintah kita justru memperketat
pajak dan gencar melakukan pengawasan. Tulisan ini akan ngulik fenomena unik
ini secara santai tapi mendalam. Tujuannya biar kita paham kenapa negara lain
bisa kasih kelonggaran pajak saat ekonomi seret, sementara Indonesia justru
tancap gas pungut pajak. Yuk, kita kupas bareng-bareng dengan bahasa sederhana lengkap
dengan dasar aturan resminya biar valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
Selamat membaca!
Bab 1: Pengetahuan Umum atas Tema Utama
Di kala ekonomi melemah, umumnya pemerintah di berbagai negara bakal ambil
langkah ekspansif buat nyelametin pertumbuhan. Maksudnya gimana?
Sederhananya, mereka biasanya ngurangin beban pajak atau nambah bantuan
supaya rakyat ada duit lebih buat belanja. Logikanya, kalau orang punya uang
lebih (gara-gara pajak turun), mereka bisa belanja banyak, konsumsi naik,
ekonomi pun ketolong deh. Contoh nyata, Yunani lagi lemah ekonominya
habis krisis utang panjang, langsung diguyur reformasi pajak besar-besaran sama
pemerintahnya. Perdana Menteri Yunani, Kyriakos Mitsotakis, ngumumin pemotongan
pajak penghasilan gila-gilaan demi bantu kelas menengah yang megap-megap
hadapi biaya hidup tinggi[1]. Salah satu langkah ekstrimnya, penghasilan pertama hingga €20 ribu
(sekitar Rp384 juta) bagi keluarga dengan 4 anak atau lebih, dibebaskan
dari pajak penghasilan sama sekali[1]. Gak cuma itu, Yunani juga nurunin tarif pajak buat penghasilan
menengah (€40k–€60k) dan membebaskan pajak anak muda <25 tahun sampai
penghasilan €20 ribu[3]. Bahkan pajak properti dan PPN pun dipangkas di daerah tertentu demi
meringankan beban hidup rakyat[4]. Luar biasa, kan? Pemerintah sana sadar rakyat butuh stimulus, bukan
beban tambahan.
Contoh lain, India. Negara ini juga menghadapi tantangan ekonomi
global, tapi responsnya tokcer: pangkas pajak ratusan barang konsumsi harian
supaya dompet warganya gak jebol dan belanja tetap jalan[5][2]. Menteri Keuangan India, Nirmala Sitharaman, di September 2025 mutusin
nyederhanain struktur pajak barang dan jasa (GST) dari tadinya 4 lapis
tarif, disederhanakan jadi cuma 2 tarif aja: 5% dan 18%[6]. Imbasnya, barang kebutuhan sehari-hari macam sabun, pasta gigi,
shampoo turun pajaknya dari 18% jadi 5%[2]. Barang elektronik rumah tangga kaya AC, TV, sampai mobil kecil
yang tadinya kena 28%, dipotong jadi cukup 18%[2]. Tujuannya jelas, harga barang turun, rakyat jadi lebih mampu beli,
konsumsi domestik naik. Nah menariknya, India juga gak gegabah; mereka tau
butuh pemasukan, jadi mereka tetapkan tarif pajak khusus 40% untuk barang
super mewah dan *sin goods* alias barang berdosa (misal
rokok, minuman bersoda, mobil mesin >1500 cc)[7]. Artinya, cuma barang luks dan yang gak sehat aja yang pajaknya
dinaikin, sementara ratusan barang lain buat rakyat banyak justru diturunin
pajaknya. Strategi India ini bikin rakyat lega karena barang kebutuhan jadi
murah, ekonomi dalam negeri pun diharap terpacu tanpa terlalu ngorbanin
penerimaan negara. Dua contoh di atas nunjukin pola umum: saat ekonomi
seret, pajak dilonggarkan biar rakyat ada napas dan daya beli terjaga.
Bab 2: Pembahasan – Perspektif Ekonomi
Sekarang, mari tengok kondisi ekonomi Indonesia terkini. Meski
pejabat sering bilang “ekonomi kita baik-baik saja, kok, tumbuh 5%”[8], faktanya di lapangan gak seindah itu. Banyak indikator ekonomi yang
bikin kening berkerut. Awal 2025 malah sempat terjadi deflasi – yaitu
harga-harga turun karena lesunya permintaan[9]. Sekilas, harga turun kedengarannya bagus, tapi sebenernya deflasi itu
lampu kuning ekonomi. Kenapa? Karena deflasi nunjukin daya beli masyarakat
lagi lemah banget – orang-orang nahan belanja sampai harga harus turun.
Pemerintah sempet jumawa bilang “deflasi tanda harga terkendali”, tapi para
ekonom langsung bilang sebaliknya: deflasi justru gejala konsumsi domestik
loyo[9]. Gak heran, banyak perusahaan kelimpungan, penjualan seret,
ujung-ujungnya PHK (pemutusan hubungan kerja) meningkat. Contohnya di
sektor manufaktur, gara-gara pesanan lesu baik dari dalam maupun luar negeri,
banyak pabrik merumahkan karyawan[10]. Sektor pariwisata dan perhotelan apalagi – sampai ada hotel yang
tutup di Bogor karena sepi tamu, 150 karyawan kena PHK seketika[11].
Dampak berantai ekonomi lesu ini kerasa banget di masyarakat. Mudik
Lebaran 2025 pun sepi, padahal biasanya itu tradisi rame tiap tahun. Data
Kemenhub nunjukin jumlah pemudik turun drastis ~24% dibanding tahun sebelumnya[12][13]. Kok bisa mudik sepi? Ya karena banyak orang ngekang pengeluaran,
mikir dua kali buat ongkos pulang kampung, takut keuangan menipis[13]. Harga-harga kebutuhan pokok yang naik plus pendapatan yang gak
naik-naik bikin orang mending diem di rumah daripada jalan-jalan. Perputaran
uang pas Lebaran pun turun signifikan, dari ~Rp157 triliun (2024) jadi cuma
~Rp137 triliun di 2025[10]. Intinya, rakyat lagi hemat karena lagi susah. Daya beli masyarakat
beneran loyo sekarang.
Dari sisi pemerintah, ekonomi melemah ini pukulan telak ke penerimaan
negara. Penerimaan pajak Indonesia mulai 2025 malah turun dibanding tahun
lalu. Bayangin, sampai Mei 2025 total penerimaan perpajakan (pajak + bea
cukai) cuma Rp806,2 triliun, turun 7,2% dibanding Mei 2024[14]. Biasanya penerimaan pajak naik seiring ekonomi tumbuh, tapi ini malah
melorot – tanda bahwa aktivitas ekonomi melambat (penjualan turun =>
pajak yang dipungut juga ikut turun). Pendapatan lain negara juga seret, dividen
BUMN yang biasanya nyumbang puluhan triliun ke kas negara sekarang hilang
karena dialihkan ke Danantara (semacam sovereign wealth fund baru).
Sesuai UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN, mulai 2025 dividen BUMN gak
masuk APBN lagi[15]. Padahal targetnya awalnya negara bisa terima Rp90 triliun dari laba
BUMN[16], eh sekarang duit segede itu diserap Danantara dan gak bisa langsung
dipake nutup APBN. Otomatis, pemerintah kehilangan salah satu sumber penerimaan
negara yang lumayan gede. Double kill: ekonomi lemah pajak seret,
ditambah PNBP berkurang, pusinglah kepala keuangan negara.
Nah, melihat kondisi ekonomi yang kayak gini, kebijakan yang
pro-ekonomi semestinya adalah meringankan beban rakyat biar konsumsi
terpacu lagi. Ini pendapat banyak ekonom loh, bukan cuma asumsi kosong.
Salah satu solusi konkrit yang lagi kenceng disuarain: naikkan batas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) buat orang pribadi. Saat ini PTKP
(alias ambang penghasilan setahun yang gak kena pajak) masih mentok di Rp54
juta per tahun sejak 2016[17]. Artinya, kalau gaji kita di bawah Rp4,5 juta per bulan, mestinya bebas
PPh sesuai aturan (PMK No.101/PMK.010/2016). Masalahnya, udah 7-8 tahun
angka PTKP gak diubah, padahal inflasi jalan terus. Yang dulunya gaji 4 jutaan
dianggap kecil sekarang mah pas-pasan buat hidup, tapi tetap kepotong pajak
karena threshold-nya gak naik. Ekonom dari Celios, Bhima Yudhistira,
bilang wajar buruh teriak minta PTKP dinaikkan jadi Rp90 juta per tahun
(Rp7,5 juta per bulan)[18]. Menurut Bhima, usulan ini mendesak dan rasional di tengah daya
beli pekerja yang tergerus banyak potongan (pajak PPh21, BPJS, dll)[19]. Kalau PTKP naik, otomatis gaji segitu bakal bebas pajak,
pekerja bakal bawa pulang uang lebih banyak. Dampaknya? Disposable income
naik, konsumsi rumah tangga tumbuh lebih tinggi – ekonomi terdorong deh[20]. Bhima bahkan menegaskan pemerintah gak perlu paranoid kehilangan
penerimaan PPh Pasal 21 (pajak gaji) karena penurunan itu bakal kebayar
sama naiknya penerimaan PPN dan pajak lain dari konsumsi yang meningkat[20]. Simpelnya, kasih rakyat napas sekarang, nanti mereka belanja lagi dan
negara juga yang untung dari pajak-pajak lain. Ide ini masuk akal banget secara
ekonomi, apalagi data menunjukkan rasio pendapatan yang bisa dibelanjakan
rakyat kita makin turun sejak pandemi[21]. Jadi, dari kacamata ekonomi murni: saat ekonomi lesu, harusnya
kebijakan pajak diarahkan membantu meningkatkan daya beli, bukan sebaliknya.
Bab 3: Pembahasan – Perspektif Perpajakan
Sekarang mari kita lihat kenyataan kebijakan pajak di Indonesia
tahun 2025 ini. Apakah pemerintah mengikuti jurus Yunani atau India yang mengendurkan
pajak? Sayangnya nggak, cuy. Pemerintah Indonesia cenderung memperketat
sektor pajak di tengah ekonomi yang melemah. Menteri Keuangan Sri Mulyani
bahkan tegas bilang tahun 2026 gak ada rencana naikin tarif pajak atau bikin
pajak baru, "pajaknya tetap sama, tapi enforcement dan kepatuhan
akan ditingkatkan," ujarnya[22]. Artinya, pengawasan dan penegakan hukum pajak diperketat
gila-gilaan. Bahas gampangnya: yang dulunya mungkin lolos nggak lapor
pajak, sekarang bakal dikejar; yang biasa ngemplang, siap-siap dikepret. Fokus
pemerintah saat ini mengoptimalkan penerimaan dengan segala cara yang ada
tanpa resmi naikkin tarif. Contohnya, Sri Mulyani bilang sistem sedang
dibenahi dan Core Tax system baru mau dioptimalkan buat integrasi data
dan pengawasan transaksi, termasuk transaksi digital[23]. Jadi jangan heran kalau sekarang apa-apa jadi kena intip sama DJP,
transaksi digital yang dulu abu-abu pun mulai kena radar pajak.
Selain penegakan, pemerintah juga mengubah mekanisme pemungutan
pajak tertentu untuk garap sektor ekonomi baru, yang sebenarnya buat banyak
orang kerasa kayak pajak baru. Contoh paling heboh tahun 2025: Pajak
E-commerce. Mulai pertengahan 2025, pedagang online yang jualan via
marketplace (Tokopedia, Shopee, dsb.) resmi dikenai pemungutan Pajak
Penghasilan (PPh) Final 0,5%) oleh platform[24][25]. Aturan detailnya diatur di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
37/2025 yang berlaku mulai 14 Juli 2025[24][26]. Intinya, pemerintah nunjuk marketplace sebagai pemungut PPh Pasal
22 atas penjualan pedagang UMKM dalam negeri di platform mereka[27]. Tapi tenang, bukan berarti semua penjual online auto kena potong. Ada
syaratnya: hanya pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta setahun yang
bakal dipungut 0,5% dari omzet penjualannya[28][25]. Buat yang omzetnya masih kecil (≤ Rp500 juta setahun), bebas potongan
asal lapor surat pernyataan omzet ke marketplace supaya mereka tahu si
penjual masuk kategori bebas[29]. Pemerintah ngeklaim, “Eh ini bukan pajak baru lho ya, cuma cara
pungutnya aja yang diubah”. Memang betul, tarif 0,5% UMKM ini sudah ada
sejak PP 23/2018 dan dilanjut di UU HPP 2021, cuma bedanya dulu pedagang
nyetor sendiri pajaknya (self-assessed), sekarang dipotong otomatis
lewat marketplace[30]. Tujuannya supaya lebih banyak pedagang yang taat pajak dan transaksi
digital lebih transparan, karena jujur banyak yang dulu mungkin ogah lapor
kalau gak dipaksa. Nah, bagi sebagian pelaku UMKM online, kebijakan ini tentu berasa
berat. Baru bangkit dari pandemi, ekonomi lagi loyo, eh kena kewajiban
setor pajak (meski kecil tarifnya). Banyak juga yang komplain “kok bukannya
dibantu, malah ditarik-tarik beginian”. Tapi dari sisi pemerintah, langkah ini
dianggap adil supaya usaha digital dan konvensional sama-sama kena pajak
gak ada yang sembunyi-sembunyi[30][31]. Yang jelas, pajak e-commerce 0,5% ini menambah daftar panjang
kebijakan pajak 2025 yang dirasa kurang empati sama situasi ekonomi
lesu.
Terus, apa lagi? Ada juga wacana yang sebenarnya udah diatur di UU HPP
bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bisa naik jadi 12% paling lambat
2025 (sebelumnya April 2022 sudah naik dari 10% ke 11%). Pemerintah sempat
sinyalin bakal menaikkan PPN jadi 12% di tahun 2025 demi tambah
pemasukan negara[32][33]. Kebijakan ini sempat jadi perdebatan panas karena dilakukan saat
ekonomi lagi tertekan. Banyak pengamat mengingatkan, PPN itu pajak
konsumsi yang bersifat regresif – artinya lebih berat bagi orang miskin
daripada orang kaya[34]. Kalau PPN dinaikkan pas daya beli rakyat melemah, itu bisa jadi
blunder: harga barang naik, orang makin gak kuat beli, ujungnya ekonomi bisa
tambah lesu dan penerimaan pajak malah merosot. Ini bukan cuma teori,
bahkan ilmuwan abad 14 Ibn Khaldun udah wanti-wanti: kalau pajak
terlalu tinggi saat ekonomi lemah, pemasukan negara justru bisa turun karena
aktivitas ekonomi mati[35]. Konsep ini mirip Laffer Curve-nya ekonomi modern. Untungnya,
melihat kondisi sekarang, pemerintah mulai hati-hati soal rencana kenaikan PPN
ini. Sri Mulyani belakangan janji tarif pajak gak akan dinaikkan di 2026
kok, biar gak makin membebani rakyat[22]. Mudah-mudahan janji ini dipegang teguh, karena jelas kalau dipaksain
naik pas ekonomi lesu, yang ada target pajak juga bisa-bisa meleset karena
konsumsi keburu drop.
Di sisi lain, pemerintah klaim masih berpihak ke kelompok lemah
lewat berbagai insentif pajak yang sudah ada. Contohnya, usaha kecil dengan
omzet ≤ Rp500 juta per tahun tetap dibebaskan dari PPh[36] (ini sesuai amanat UU HPP juga, yang menaikkan threshold UMKM bebas
pajak). Terus, omzet UMKM sampai Rp4,8 miliar cuma kena pajak final 0,5% (tadi
sudah dibahas)[36]. Pemerintah juga gak mengenakan PPN untuk jasa pendidikan dan
kesehatan karena itu kebutuhan dasar[37]. Bahkan Sri Mulyani bilang masyarakat berpenghasilan di bawah Rp60
juta/tahun tidak dikenai PPh[37]. (Angka Rp60 juta ini kurang lebih merujuk PTKP Rp54 juta ditambah
komponen tanggungan; intinya gaji kecil bebas pajak.) Semua kebijakan itu
tujuannya supaya kelompok berpenghasilan rendah terlindungi. So, fair juga
diakui bahwa Indonesia sebenarnya punya beberapa kebijakan pajak pro-rakyat
miskin, misalnya pengecualian pajak untuk kebutuhan pokok (sembako tetap
bebas PPN sesuai UU, jasa kesehatan & pendidikan bebas PPN[37], dan UMKM kecil bebas PPh). Hanya saja, isu utamanya sekarang: apakah
kebijakan yang ada ini cukup? Mengingat situasi ekonomi luar biasa berat,
banyak yang menilai perlu langkah ekstra seperti diskon pajak sementara
atau kenaikan PTKP tadi. Sayangnya, sampai menjelang akhir 2025 ini, kita belum
lihat pemerintah Indonesia melakukan “terobosan” fiskal yang signifikan
seperti Yunani atau India. Pemerintah terlihat lebih fokus ngejar target
penerimaan – mungkin karena butuh nutupin bolong pendapatan (kayak hilangnya
dividen BUMN tadi) dan concern jaga kredibilitas fiskal. Namun, dengan
memeras sektor pajak di kala ekonomi lesu, muncul kekhawatiran jangan-jangan
ini kontraproduktif. Jangan lupa lho, tax ratio Indonesia juga lagi
turun (indikator yang nunjukin kemampuan negara pungut pajak dari ekonomi)[38]. Kuartal I 2025 tax buoyancy (elastisitas pajak) bahkan sempat -3,71,
artinya ekonomi tumbuh 1% justru pajak turun 3,71%[38]. Ini pertanda ada yang gak beres: mungkin karena basis pajaknya
gak tumbuh atau justru kebijakan pajaknya ngerem ekonomi. Serba dilematis,
bukan?
Bab
4: Kesimpulan dan Saran
Kesimpulannya, kita ngeliat kontras tajam
antara kebijakan pajak di beberapa negara versus Indonesia saat ekonomi
melemah. Yunani dan India milih strategi gas rem blong dalam memberikan
insentif pajak – mereka paham ekonomi sehat dulu, nanti pajak ngikut sehat.
Yunani potong pajak gila-gilaan biar kelas menengahnya kuat lagi[1][4]. India reformasi GST besar-besaran, nurunin tarif sebagian besar
barang biar rakyat mau belanja, sambil naikin pajak barang mewah biar tetep ada
pemasukan[2][39]. Indonesia? Pemerintah kita sejauh ini cenderung defensif.
Gak naikin tarif sih (takut makin gak populer mungkin), tapi juga gak ngasih
diskon apa-apa. Malahan, pengawasan pajak diperketat, pedagang online
ditarik pajaknya, rencana PPN naik 12% sempet dimajuin (walau akhirnya ditahan)[32][22]. Semua ini kesannya jangka pendek banget, fokus ke “bagaimana
uang negara jangan berkurang sekarang”, tapi bisa jadi ngorbanin pertumbuhan
jangka menengah. Ibarat orang sakit yang harusnya dikasih vitamin (stimulus),
ini malah diporsir kerja rodi bayar iuran tinggi – lama-lama drop dong.
Dari analisis di atas, saran saya sebagai konsultan pajak
sekaligus ekonom yang udah 20 tahun lebih ngamatin pasang-surut kebijakan:
Pemerintah Indonesia perlu sedikit bergeser ke paradigma pro-pertumbuhan
tanpa takut dianggap lemah. Beberapa langkah konkrit yang bisa
dipertimbangin: (1) Naikkan segera PTKP orang pribadi. Serius deh, angka
Rp54 juta itu udah gak relevan di 2025. Naikkin lah minimal ke Rp90 juta per
tahun kayak aspirasi buruh[18], atau kalau mau bertahap ya Rp72 juta dulu juga oke. Dampaknya
langsung terasa ke jutaan pekerja, gaji mereka lebih utuh, bisa belanja lebih
tanpa overbudget pemerintah. Lagipula, seperti kata Bhima, penurunan
penerimaan PPh21 bisa ketutup sama naiknya pajak lain akibat konsumsi naik[20]. Ini kebijakan win-win jangka menengah. (2) Tunda kenaikan
PPN 12%. Kalau perlu, kaji ulang malah. Kondisi sekarang belum ideal buat
naikin pajak konsumsi. Mending fokus betulin kepatuhan dan perluasan basis
pajak aja dulu (misal perbaiki data base pajak, implementasi Core Tax
beneran dimaksimalkan). Kenaikan PPN bisa dibicarain lagi nanti pas ekonomi
udah beneran pulih di atas 5%++ konsisten. (3) Beri insentif pajak temporer
ke sektor-sektor terdampak parah, seperti manufaktur padat karya,
pariwisata/hotel, dan sektor yang banyak PHK. Bisa berupa pengurangan tarif PPh
badan sementara, penundaan angsuran pajak, atau diskon PPN sektor pariwisata.
Toh pemerintah pernah lakukan hal ginian pas awal pandemi 2020-2021 (ada
insentif pajak resto, hotel, dll), kenapa sekarang enggan? Kalau alasannya
khawatir penerimaan turun, ya buat skema yang terukur misal insentif bersyarat.
Intinya jangan pukul rata semua sektor harus bayar pajak normal padahal
kondisi tiap sektor beda.
(4) Maksimalkan sumber pendapatan non-pajak yang masih mungkin tanpa
bebani rakyat. Contohnya, hasil keuntungan Danantara
ke depan harus dipastikan mengalir lagi ke APBN. Oke lah 2025 negara
“kehilangan” Rp90 T dividen BUMN[16], tapi pastikan itu beneran diinvestasiin optimal sama Danantara supaya
hasilnya bisa jadi tambahan penerimaan di masa depan (entah lewat pajak dividen
atau bagi hasil lain). Jangan sampai uang negara parkir di situ gak jelas
gunanya ke APBN. Selain itu, bisa genjot PNBP SDA (minyak, mineral) dengan tata
kelola lebih baik, karena sektor itu lumayan menopang pendapatan juga.
(5) Tingkatkan belanja yang berdampak langsung ke ekonomi rakyat. Loh kok masuk bahas belanja? Iya, soalnya pajak dan belanja itu dua
sisi koin kebijakan fiskal. Kalau pemerintah ngeyel gak mau turunin
pajak, minimal kasih kompensasi dengan bansos dan stimulus
langsung ke masyarakat dan UMKM. Contoh, bansos 2025 ternyata malah dipotong
~16%[40] – ini kontradiktif saat daya beli lemah. Harusnya bansos dipertahanin
atau ditambah sementara waktu biar masyarakat kecil terbantu dan konsumsi
terjaga. Pemerintah juga bisa dorong proyek padat karya, subsidi bunga UMKM,
atau program lain yang nyuntikin duit ke ekonomi rakyat kecil. Dengan begitu, efek
negatif pajak ketat bisa agak tertutupi sama dorongan belanja pemerintah.
Terakhir, (6) Jujur dan akui keadaan. Stop narasi “ekonomi kita
aman kok, luar aja yang babak belur”. Sudah banyak indikator menunjukkan
ekonomi domestik kita pun lagi sakit[9][41]. Gak ada salahnya pemerintah ngaku “iya kita lagi slowdown” terus ajak
masyarakat gotong royong atasi dengan kebijakan yang fair. Kalau terus-terusan
pencitraan “baik-baik saja”, nanti kebijakan yang diambil pun jadi gak tepat
sasaran karena based on asumsi keliru. Kejujuran dalam melihat masalah
adalah langkah awal untuk solusi tepat. Rakyat juga lebih percaya kalau
pemerintah transparan soal kondisi, ketimbang pakai jurus ngegas “semua baik,
kita paling hebat se-Asia” padahal di rumah sendiri banyak yang sengsara.
Sebagai penutup, saya pengen tekankan: pajak itu ibarat darah bagi
negara, vital untuk biayain pembangunan. Tapi kalau tubuh (ekonomi) lagi
lemah, ngambil darah kebanyakan bisa bikin kolaps. Maka perlu keseimbangan – di
saat tertentu negara harus berani ngurangin “tarikan darah” (pajak)
supaya ekonomi bisa recovery dan produksi darah baru lebih banyak. Begitu
ekonomi pulih, pajak bisa normal lagi, bahkan naik karena basisnya udah lebih
luas dan kuat.
Kata Penutup:
Jadi, apakah ekonomi Indonesia beneran baik-baik saja? Melihat semua
fakta dan bahasan kritis di atas, jawabannya masih meragukan. Pemerintah
perlu bergegas mengambil langkah berani namun terukur. Belajar dari Yunani dan
India, sedikit “pengorbanan” pajak jangka pendek bisa jadi vitamin untuk
ekonomi jangka panjang. Harapannya, ke depan Indonesia gak jalan sendiri
lawan arus. Bukannya melemahkan daya beli rakyat dengan kebijakan pajak
kaku, tapi menguatkan ekonomi rakyat dulu sehingga pada akhirnya penerimaan
pajak pun tumbuh berkelanjutan. Toh, ujung-ujungnya kesehatan ekonomi dan
penerimaan pajak negara itu saling terkait erat. Semoga tulisan opini ini
membuka mata banyak pihak. Mari diskusi dengan kepala dingin, demi Indonesia
yang lebih sejahtera. #PajakAdilEkonomiPulih 🚀
[1] [3] [4] Cara Yunani Angkat Kelas Menengah, Beri Keringanan Pajak Besar-besaran
[2] [5] [6] [7] [39] India cuts consumption tax to spur domestic demand | Khaleej Times
https://www.khaleejtimes.com/business/economy/india-cuts-consumption-tax-to-spur-domestic-demand
[8] BI dan Pemerintah Berbagi Beban
https://insight.kontan.co.id/news/bi-dan-pemerintah-berbagi-beban
[9] [10] [11] [12] [13] [40] [41] Ekonomi Indonesia Baik-baik Saja? Deflasi 2025, PHK Melonjak, Daya
Beli Ambruk, Mudik Sepi, Uang Tak Berputar!
[14] Penerimaan Pajak Mei 2025 Turun 10,1% jadi Rp683,3 Triliun, Ini
Penjelasan Sri Mulyani
[15] [16] Kemenkeu Resmi Hapus Pemasukan dari BUMN Usai Diambil Alih Danantara -
APBI-ICMA
[17] Sudah Tahu Tentang PTKP? Begini Penjelasannya
https://www.pajak.go.id/id/artikel/sudah-tahu-tentang-ptkp-begini-penjelasannya
[18] [19] [20] [21] Daya Beli Loyo, Ekonom Desak Prabowo Naikkan Batas Penghasilan Tidak
Kena Pajak - ADR Consulting
[22] [23] [36] [37] Sri Mulyani Jamin Tak Naikkan Pajak Tahun Depan, tapi Kepatuhan akan
Diperkuat
[24] [25] [26] [27] [28] [29] [30] [31] PMK 37/2025: Aturan Pajak Marketplace & E-commerce Terbaru
https://msmconsulting.co.id/news/201/pmk-37-2025-aturan-pajak-marketplace-e-commerce-terbaru
[32] [33] [34] [35] Kenaikan PPN Saat Ekonomi Tertekan, Inspirasi Teori Pajak Ibn Khaldun
- UMJ
https://umj.ac.id/opini/kenaikan-ppn-saat-ekonomi-tertekan-inspirasi-teori-pajak-ibn-khaldun/
[38] Tax Buoyancy Indonesia Melemah, Pemerintah Didorong Perkuat ...
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.