Selasa, 07 Oktober 2025

 

I. Pendahuluan: Memahami Penerimaan / Penghasilan



A. Kontrak Sosial Kita: Dari UU Lama ke UU HPP


Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pilar utama pendanaan negara, layaknya iuran kas kelas yang digunakan untuk membiayai semua kebutuhan bersama, mulai dari infrastruktur hingga layanan publik. Aturan main mengenai PPh ini diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang secara berkala mengalami penyempurnaan. Reformasi besar-besaran terjadi melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 yang kemudian diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Perubahan-perubahan ini bertujuan menciptakan sistem yang lebih sederhana, adil, dan memberikan insentif ekonomi.

Laporan ini bertujuan untuk mengupas tuntas dan menyederhanakan mekanisme PPh di Indonesia, membaginya ke dalam tiga kategori utama sesuai Pasal 4 UU PPh: PPh Non-Final (Pasal 4 Ayat 1), PPh Final (Pasal 4 Ayat 2), dan Bukan Objek Pajak (Pasal 4 Ayat 3). Pemahaman yang jelas tentang tiga kategori ini sangat esensial karena menentukan cara Wajib Pajak (WP) menghitung dan melaporkan penghasilan mereka, serta memastikan kepatuhan di tengah dinamika peraturan baru.


B. Tiga Kelompok Penghasilan WP OP : Pengenalan Konsep Final, Non-Final, dan Bukan Objek Pajak


Untuk memudahkan pemahaman bagi masyarakat awam, khususnya dalam konteks media sosial, pendapatan dapat diibaratkan sebagai hasil yang harus dimasukkan ke dalam tiga "keranjang" pajak yang berbeda:

  1. Keranjang 1: PPh Non-Final (Pasal 4 Ayat 1), atau bisa kita sebut dengan Keranjang Cicilan. Ini adalah penghasilan yang pajaknya dibayar secara bertahap atau dicicil selama setahun (melalui pemotongan PPh Pasal 21, 22, atau 23). Potongan ini berfungsi sebagai kredit pajak. Di akhir tahun, seluruh penghasilan digabungkan, dan WP wajib menghitung ulang total utang pajak final mereka menggunakan tarif progresif. Setelah dikurangi cicilan yang sudah dibayar, WP mungkin harus membayar kekurangan atau berhak mendapatkan kelebihan bayar.

  2. Keranjang 2: PPh Final (Pasal 4 Ayat 2), atau Keranjang Sekali Bayar. Pajak atas penghasilan ini bersifat selesai di tempat dan lunas. Begitu transaksi terjadi dan pajak dipotong, kewajiban pajak atas penghasilan tersebut berakhir. Jumlah ini tidak perlu digabungkan atau dihitung ulang dalam SPT Tahunan, memberikan kepastian dan penyederhanaan administrasi.

  3. Keranjang 3: Bukan Objek Pajak (Pasal 4 Ayat 3), atau Keranjang Yang Sudah Pasti Aman. Ini adalah jenis pendapatan yang, meskipun diterima, secara hukum dikecualikan dari pengenaan PPh oleh negara. Pengecualian ini diberikan karena alasan tertentu, seperti mendorong investasi, tujuan sosial, atau karena pendapatan tersebut sudah dipajaki pada tingkatan badan (menghindari pajak berganda).


II. Keranjang 1: PPh Non-Final (Pasal 4 Ayat 1) — Aturan Main Penghitungan Akhir Tahun


Penghasilan Non-Final adalah semua pendapatan yang, setelah dikurangi biaya-biaya yang diperbolehkan, akan dikenakan PPh Pasal 17 pada akhir tahun buku.


A. Pintu Utama: PPh Pasal 17 (Tarif Berlapis untuk Orang Pribadi)


PPh Pasal 17 adalah landasan utama perhitungan PPh Non-Final. Ini diterapkan pada Penghasilan Kena Pajak (PKP), yang merupakan penghasilan bersih setelah dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP Orang Pribadi (OP). Perubahan tarif di UU HPP memperkuat konsep keadilan vertikal, yaitu beban pajak yang lebih besar bagi WP berpenghasilan tinggi.1

Tarif Progresif WP OP (UU HPP) 1:

UU HPP memperluas basis tarif termurah (5%) untuk meringankan beban kelas menengah ke bawah, sekaligus menambahkan lapisan tarif tertinggi.

Lapisan PKP

Tarif

Keterangan

Hingga Rp 60 Juta

5%

Lapisan termurah diperluas (sebelumnya Rp 50 Juta)

Di atas Rp 60 Juta hingga Rp 250 Juta

15%


Di atas Rp 250 Juta hingga Rp 500 Juta

25%


Di atas Rp 500 Juta hingga Rp 5 Miliar

30%


Di atas Rp 5 Miliar

35%

Lapisan tarif tertinggi yang baru

Untuk Wajib Pajak Badan atau Bentuk Usaha Tetap (BUT), tarif PPh Badan yang berlaku sejak tahun 2022 dan seterusnya ditetapkan sebesar 22% dari jumlah penghasilan bruto.1 Penghitungan pajak berdasarkan laba bersih ini mendorong WP untuk menyelenggarakan pembukuan yang teliti.

Contoh Penghasilan Non-Final Murni (Pasal 4 Ayat 1):

Termasuk di sini adalah 1. Penghasilan dari Usaha/Pekerja Bebas (misalnya, laba bersih dari aktivitas perdagangan atau jasa dokter setelah dikurangi biaya operasional) dan 2. Keuntungan Jual Harta (Non-Usaha/Non-HTB), yaitu keuntungan dari penjualan aset yang tidak dikenakan PPh Final, seperti penjualan saham perusahaan non-bursa atau kendaraan pribadi.


B. PPh Potongan: PPh Pasal 23 (Potongan Cicilan Non-Final)


PPh Pasal 23 merupakan mekanisme pemotongan pajak di sumbernya, yang dilakukan oleh pihak yang membayarkan penghasilan. Potongan ini berfungsi sebagai "cicilan" (kredit pajak) yang dapat diperhitungkan oleh WP penerima untuk mengurangi total PPh terutang di akhir tahun.2 Mekanisme PPh 23 ini berperan penting dalam pengawasan pajak, memastikan penerimaan sebagian PPh Pasal 17 secara real-time melalui sistem e-Bupot Unifikasi.

Tarif 15% (Untuk Penghasilan Modal):

Tarif ini dikenakan atas modal, meliputi: 3. Bunga, Dividen, dan Royalti.3 Potongan PPh 23 sebesar 15% dari bruto berlaku jika dividen tidak memenuhi syarat untuk diinvestasikan (khusus untuk WP Badan/OP non-investasi). Selain itu, Hadiah dan Penghargaan (Non-Undian) yang diterima oleh WP Badan atau BUT juga dikenakan PPh 23 sebesar 15%.4

Tarif 2% (Untuk Sewa dan Jasa):

Tarif PPh 23 sebesar 2% dikenakan atas: 4. Sewa Harta (Selain Tanah/Bangunan), seperti sewa peralatan kantor atau mesin 3, dan Imbalan atas jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan, dan jasa lain-lain yang bukan merupakan objek PPh Pasal 21. Jika penerima penghasilan (WP Badan) tidak memiliki NPWP, tarifnya dinaikkan menjadi 4%.


C. Penghasilan Khusus Non-Final Lainnya (Pasal 4 Ayat 1)


Beberapa sumber pendapatan lain yang wajib dilaporkan dan dihitung ulang di akhir tahun meliputi:

  1. Penerimaan Kembali Pajak yang Dibebankan: Uang pengembalian pajak (restitusi) yang sebelumnya dicatat sebagai biaya pengurang penghasilan. Saat diterima kembali, ia menjadi penghasilan yang dikenakan PPh.

  2. Perolehan Pembayaran Berkala: Penghasilan seperti pembayaran pensiun atau anuitas secara rutin.

  3. Keuntungan Pembebasan Utang: Jumlah utang yang dihapuskan oleh kreditur (debt forgiveness) dianggap sebagai penghasilan yang menambah kekayaan WP.

  4. Keuntungan Selisih Kurs: Keuntungan yang diperoleh dari fluktuasi nilai tukar mata uang asing.

  5. Penghasilan WP Luar Negeri (BUT): Penghasilan yang diperoleh entitas asing yang beroperasi di Indonesia melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) dikenakan tarif PPh Badan 22%.

  6. Penghasilan Pejabat Negara/PNS/TNI/Polri: Gaji, tunjangan, dan imbalan lainnya dikenakan PPh Pasal 21, yang perhitungannya menggunakan tarif Pasal 17 (Non-Final).5

  7. Tambahan Kekayaan Netto yang belum dikenakan pajak: Jika dalam pemeriksaan pajak ditemukan adanya penambahan harta yang tidak dapat dibuktikan sumber penghasilannya, harta tersebut dianggap sebagai penghasilan yang belum dilaporkan dan dikenakan PPh Non-Final.

  8. Imbalan Bunga dalam UU KUP: Bunga yang diterima WP dari DJP karena keterlambatan pengembalian kelebihan bayar pajak (restitusi) atau keterlambatan penerbitan surat ketetapan.6


III. Keranjang 2: PPh Final (Pasal 4 Ayat 2) — Pajak Sekali Bayar, Selesai di Tempat


PPh Final dikenakan atas jenis penghasilan spesifik yang pajaknya dianggap selesai saat pembayaran atau transaksi terjadi. Ini memberikan kepastian dan menyederhanakan pelaporan.


A. Kebijakan Sektor Mikro dan Kecil


Penghasilan UMKM (PP 55/2022):

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 mengatur PPh Final untuk UMKM. Kebijakan ini berfungsi sebagai fase transisi, mendorong UMKM untuk tumbuh dengan tarif pajak yang sangat rendah sebelum beralih ke rezim normal.

  1. Tarif dan Batas: PPh Final dikenakan sebesar 0,5% dari omzet bruto bulanan, berlaku untuk WP yang memiliki omzet maksimum Rp 4,8 Miliar setahun.7

  2. Insentif Baru (Non-Objek untuk OP): UU HPP memberikan insentif besar bagi WP OP pelaku UMKM. Omzet hingga Rp 500 Juta per tahun dikecualikan dari pengenaan PPh 0,5% (Bukan Objek Pajak). PPh 0,5% baru dikenakan atas omzet yang melebihi batas Rp 500 Juta.7

  3. Jangka Waktu: Fasilitas PPh Final 0,5% ini berlaku terbatas: 7 tahun untuk WP OP, 4 tahun untuk CV/Firma, dan 3 tahun untuk PT. Setelah periode ini berakhir, mereka wajib beralih ke rezim PPh Non-Final (Pasal 17/22%) yang dihitung berdasarkan laba bersih.


B. Transaksi Properti dan Konstruksi


Pengenaan PPh Final pada sektor ini bertujuan memberikan kepastian dalam transaksi bernilai besar:

  1. Pengalihan Harta Tanah dan Bangunan (HTB): Penjualan rumah atau tanah dikenakan PPh Final sebesar 2,5% dari nilai bruto pengalihan.8

  2. Penghasilan dari Penyerahan Bangunan secara BOT/BTO: Penghasilan yang diterima dari skema Build, Operate, Transfer atau sejenisnya dikenakan PPh Final 5% dari nilai tertinggi (nilai pasar atau nilai perjanjian).

  3. Penghasilan Jasa Konstruksi (PP 9/2022): PPh Final diterapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2022.9 Terdapat perbedaan tarif yang berfungsi sebagai insentif kualitas:

  • Jasa konstruksi bersertifikasi dikenakan tarif PPh Final yang lebih rendah (contoh: 2,65% untuk pekerjaan konstruksi terintegrasi).

  • Jasa konstruksi tanpa sertifikasi dikenakan tarif yang lebih tinggi, yaitu 4% dari nilai kontrak.9 Perbedaan tarif ini adalah instrumen non-fiskal yang mendorong penyedia jasa konstruksi untuk memenuhi standar profesionalisme melalui sertifikasi.


C. Penghasilan Khusus dan Keberuntungan


  1. Hadiah Undian: Setiap hadiah yang diperoleh dari undian (lotere, kupon, atau sejenisnya) wajib dikenakan PPh Final Pasal 4(2) sebesar 25% dari jumlah bruto hadiah.4

  2. Uang Pesangon yang Dibayarkan Sekaligus: Meskipun mekanismenya melalui PPh Pasal 21, uang pesangon yang dibayar satu kali dikenakan PPh Final dengan tarif progresif (0% hingga 25%).10 Tujuannya adalah menyederhanakan administrasi bagi karyawan yang baru saja kehilangan pekerjaan.

  3. Penghasilan Transaksi Saham/Sekuritas di Bursa: Penjualan saham di Bursa Efek Indonesia dikenakan PPh Final sebesar 0,1% dari nilai transaksi, yang dipotong langsung oleh bursa.11

  4. Penghasilan Transaksi Kripto: Termasuk dalam PPh Final di bawah Pasal 4(2), dikenakan PPh Final yang saat ini berkisar antara 0,1% hingga 0,2% dari nilai transaksi.

  5. Selisih Lebih Revaluasi Aktiva Tetap (Pasal 19): Keuntungan yang timbul dari penilaian kembali aset tetap perusahaan dikenakan PPh Final dengan tarif khusus (misalnya, 10%).12

Penerapan PPh Final pada transaksi pasar modal dan kripto adalah strategi efisiensi. Mengingat volume dan frekuensi transaksi yang tinggi, penggunaan PPh Final yang dipotong di sumbernya memastikan penerimaan negara yang cepat dan membebaskan WP dari kesulitan menghitung keuntungan/kerugian modal setiap tahunnya.


IV. Keranjang 3: Bukan Objek Pajak (Pasal 4 Ayat 3) — Uang yang Boleh Disimpan Penuh Tentu Dengan Syarat


Ini adalah penghasilan yang dikecualikan dari PPh karena alasan kebijakan khusus atau untuk menghindari pajak berganda.


A. Revolusi Dividen (UU HPP)


Salah satu perubahan paling penting dalam UU HPP adalah insentif dividen untuk mendorong investasi domestik.

Penghasilan Dividen yang Diterima WP DN (Jika Diinvestasikan):

Berdasarkan UU HPP, dividen yang diterima oleh WP Orang Pribadi atau WP Badan dari dalam negeri, sepenuhnya menjadi Bukan Objek Pajak (0%) jika dana tersebut diinvestasikan kembali di wilayah NKRI sesuai dengan peraturan yang berlaku.13

Kebijakan ini merupakan langkah makroekonomi untuk memobilisasi modal dalam negeri. Tujuannya adalah mengarahkan pemegang saham untuk menginvestasikan kembali keuntungan mereka ke berbagai sektor domestik, alih-alih menimbun dana atau membawanya keluar negeri. Apabila dividen tersebut tidak diinvestasikan sesuai syarat, maka ia akan dikenakan PPh Pasal 17 (bagi OP) atau PPh Pasal 23 (bagi Badan).


B. Pengecualian Sosial dan Kelembagaan


  1. Premi Asuransi: Premi yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada penerima manfaat (WP OP) dikecualikan dari PPh, khususnya yang terkait dengan asuransi kesehatan, jiwa, dwiguna, dan beasiswa. Pengecualian ini bertujuan untuk mendukung jaminan sosial.

  2. Iuran Perkumpulan yang Anggotanya dari Pekerja Bebas: Iuran yang diterima oleh organisasi profesi atau perkumpulan, sepanjang digunakan untuk kegiatan operasional atau profesi (nirlaba), dikecualikan dari PPh.

  3. Surplus Bank Indonesia (BI): Surplus yang diperoleh Bank Sentral (BI) dikecualikan dari PPh, karena BI merupakan entitas negara yang diatur secara khusus.


V. Analisis Mendalam 22 Jenis Penghasilan Spesifik (Peta Lengkap)


Tabel V.A.1 menyajikan rangkuman komprehensif dari 22 jenis penghasilan spesifik yang diminta, diklasifikasikan berdasarkan status PPh, pasal terkait, dan tarif yang berlaku sesuai dengan UU PPh terbaru.

Tabel V.A.1: Peta Klasifikasi 22 Jenis Penghasilan PPh (UU HPP)


No.

Jenis Penghasilan

Klasifikasi PPh

Pasal PPh

Tarif Dasar

Contoh/Keterangan Utama

1

Penghasilan dari Usaha/Pekerja Bebas

Non-Final

Pasal 4(1) sttd Psl 17

Progresif (OP 5%-35%), 22% (Badan)

Laba bersih dari toko, konsultan, atau profesi lainnya.

2

Keuntungan Jual Harta (Non-Usaha, Non-HTB)

Non-Final

Pasal 4(1) sttd Psl 17

Progresif / 22%

Keuntungan penjualan aset pribadi selain properti.

3

Bunga, Dividen, Royalti (Non-Final/Non-investasi)

Non-Final (Potongan)

Pasal 23

15%

Berlaku jika dividen Badan DN/OP tidak memenuhi syarat investasi.3

4

Sewa Harta (Selain Tanah/Bangunan)

Non-Final (Potongan)

Pasal 23

2%

Sewa alat berat, mesin, atau kendaraan operasional.3

5

Hadiah Undian

Final

Pasal 4(2)

25%

Hadiah dari lotre atau kupon berhadiah.4

6

Penerimaan Kembali Pajak yang Dibebankan

Non-Final

Pasal 4(1)

Progresif / 22%

Pengembalian pajak yang sebelumnya dicatat sebagai biaya.

7

Perolehan Pembayaran Berkala (Pensiun Rutin)

Non-Final

Pasal 4(1) sttd Psl 17

Progresif

Pembayaran pensiun atau anuitas bulanan.

8

Keuntungan Pembebasan Utang

Non-Final

Pasal 4(1)

Progresif / 22%

Utang yang dihapuskan.

9

Keuntungan Selisih Kurs Mata Uang Asing

Non-Final

Pasal 4(1)

Progresif / 22%

Keuntungan dari konversi valas.

10

Penghasilan Transaksi Saham di Bursa

Final

Pasal 4(2)

0,1%

Dipotong otomatis oleh bursa.11

11

Penghasilan Transaksi Kripto

Final

Pasal 4(2) (PMK)

0,1% - 0,2%

PPh Final atas nilai transaksi aset digital.

12

Selisih Lebih Revaluasi Aktiva (Penilaian Kembali)

Final

Pasal 19

Tarif Khusus (e.g. 10%)

Keuntungan akibat kenaikan nilai aset perusahaan.12

13

Pengalihan Harta Tanah dan Bangunan (HTB)

Final

Pasal 4(2)

2,5%

Penjualan rumah atau tanah.8

14

Penghasilan dari Penyerahan Bangunan secara BOT/BTO

Final

Pasal 4(2)

5%

Penghasilan dari proyek Build, Operate, Transfer.

15

Uang Pesangon yang Dibayarkan Sekaligus

Final

PPh Pasal 21 Final

Progresif (0% - 25%)

Kompensasi PHK/pensiun dini satu kali bayar.10

16

Penghasilan WP Luar Negeri (BUT)

Non-Final

Pasal 17

22% (Badan)

Penghasilan yang diperoleh entitas asing yang beroperasi di DN.

17

Penghasilan Pejabat Negara/PNS/TNI/Polri

Non-Final

Pasal 21 sttd Psl 17

Progresif

Gaji dan tunjangan bulanan.5

18

Penghasilan Jasa Konstruksi

Final

Pasal 4(2) (PP 9/2022)

1,75% - 4%

Tarif tergantung kepemilikan sertifikasi.9

19

Penghasilan Dividen yang diterima WP DN (jika diinvestasikan)

Bukan Objek Pajak

Pasal 4(3)

0%

Insentif investasi sesuai UU HPP.13

20

Penghasilan UMKM (Omzet  Rp 4,8 M)

Final

Pasal 4(2) (PP 55/2022)

0,5%

WP OP dibebaskan PPh 0,5% jika omzet  Rp 500 Juta.7

21

Premi Asuransi (Dibayar Perusahaan Asuransi ke OP)

Bukan Objek Pajak

Pasal 4(3)

0%

Pengecualian untuk tujuan perlindungan.

22

Iuran Perkumpulan (dari anggota pekerja bebas)

Bukan Objek Pajak

Pasal 4(3)

0%

Untuk kegiatan sosial/profesi (nirlaba).

23

Tambahan Kekayaan Netto yang belum dikenakan pajak

Non-Final

Pasal 4(1) sttd Psl 17

Progresif / 22%

Harta yang ditemukan saat pemeriksaan (koreksi).

24

Imbalan Bunga dalam UU KUP

Non-Final

Pasal 4(1) sttd Psl 17

Progresif / 22%

Bunga dari DJP atas keterlambatan restitusi.6

25

Surplus Bank Indonesia (BI)

Bukan Objek Pajak

Pasal 4(3)

0%

Ketentuan khusus untuk entitas negara.


VI. Penutup: Memastikan Kepatuhan dan Edukasi


Klasifikasi penghasilan ke dalam tiga keranjang PPh—Non-Final, Final, dan Bukan Objek Pajak—merupakan fondasi dari sistem perpajakan Indonesia saat ini, khususnya pasca-implementasi UU HPP. Sistem ini tidak hanya bertujuan memaksimalkan penerimaan negara, tetapi juga mengarahkan perilaku ekonomi. Pemberlakuan tarif PPh Final 0,5% UMKM yang terbatas waktu memaksa WP kecil untuk beranjak ke rezim pajak yang lebih akuntabel setelah bisnis mereka matang. Demikian pula, pengecualian PPh atas dividen yang diinvestasikan adalah mekanisme fiskal yang kuat untuk mendorong rekapitalisasi modal di dalam negeri.

Perlu ditekankan bahwa klasifikasi PPh ini sangat bergantung pada detail transaksi. Kesalahan dalam menentukan apakah suatu penghasilan bersifat Final, Non-Final (dapat dikreditkan), atau bahkan Bukan Objek Pajak, dapat berakibat pada ketidaksesuaian laporan SPT Tahunan dan memicu pemeriksaan pajak. Sebagai contoh, sewa tanah dan bangunan bersifat final, sementara sewa peralatan bersifat non-final (PPh 23).3 Wajib Pajak harus memahami perbedaan tipis ini. Dengan memahami kerangka hukum dan implikasi dari masing-masing jenis PPh, Wajib Pajak dapat mengelola keuangan mereka dengan lebih strategis dan memastikan kepatuhan yang optimal. Memahami pajak adalah kontribusi terbesar Warga Negara kepada negaranya.

Karya yang dikutip

  1. Tarif Pasal 17: Rumus Menghitung Penghasilan Kena Pajak - OnlinePajak, diakses Oktober 5, 2025, https://www.online-pajak.com/tentang-pph-final/tarif-pasal-17

  2. Tarif PPh 23: Ketentuan Penting & Contoh Perhitungannya - OnlinePajak, diakses Oktober 5, 2025, https://www.online-pajak.com/tentang-bukti-potong/tarif-pph-23

  3. Pemotongan Pajak Penghasilan - Pasal 23, diakses Oktober 5, 2025, https://www.pajak.go.id/id/pemotongan-pajak-penghasilan-pasal-23

  4. Pajak Hadiah : Tarif dan Cara Menghitungnya, diakses Oktober 5, 2025, https://klikpajak.id/blog/pajak-hadiah-lomba-17-agustus/

  5. PPh Pasal 21 Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/Polri, dan Pensiunannya - DDTC News, diakses Oktober 5, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1800240/pph-pasal-21-pejabat-negara-pns-anggota-tnipolri-dan-pensiunannya

  6. Wajib Pajak Bisa Terima Imbalan Bunga Karena Hal Ini! Apa Saja? - Enforce A, diakses Oktober 5, 2025, https://enforcea.com/Blog/wajib-pajak-bisa-terima-imbalan-bunga-karena-hal-ini-apa-saja

  7. Perpanjangan PPh Final UMKM Dijamin Berlaku Meski Aturan ..., diakses Oktober 5, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1814142/perpanjangan-pph-final-umkm-dijamin-berlaku-meski-aturan-belum-rilis

  8. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1996 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 1994 TENT - JDIH Kementerian Keuangan, diakses Oktober 5, 2025, https://jdih-old.kemenkeu.go.id/FullText/1996/27TAHUN1996PP.pdf

  9. PPh Final Jasa Konstruksi Terbaru: Tarif, Contoh, Cara Menghitung dan Pelaporan, diakses Oktober 5, 2025, https://msmconsulting.co.id/news/149/pph-final-jasa-konstruksi-terbaru-tarif-contoh-cara-menghitung-dan-pelaporan

  10. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Uang Pesangon - Ortax, diakses Oktober 5, 2025, https://ortax.org/pemotongan-pph-pasal-21-atas-uang-pesangon

  11. Ketentuan Pajak Atas Transaksi Jual Beli Saham - Ortax, diakses Oktober 5, 2025, https://ortax.org/ketentuan-pajak-atas-transaksi-jual-beli-saham

  12. PPh Pasal 19 - Direktorat Jenderal Pajak, diakses Oktober 5, 2025, https://pajak.go.id/id/pph-pasal-19

  13. Dividen Dalam Negeri dengan Syarat Tertentu Dikenai PPh Memberatkan Wajib Pajak Orang Pribadi - Mahkamah Konstitusi RI, diakses Oktober 5, 2025, https://www.mkri.id/berita/dividen-dalam-negeri-dengan-syarat-tertentu-dikenai-pph-memberatkan-wajib-pajak-orang-pribadi-21746

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.