Kamis, 09 Oktober 2025


Latar Belakang dan Tujuan PER-18/PJ/2025

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2025 Tahun 2025 tentang Tindak Lanjut atas Data Konkret ditetapkan pada 24 September 2025[1]. Aturan ini diterbitkan sebagai langkah lanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak. PMK 15/2025 sebelumnya telah mengatur bahwa adanya “data konkret yang menyebabkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar” dapat menjadi dasar dilakukannya pemeriksaan pajak (Pasal 4 ayat (1) huruf l PMK 15/2025)[2]. Namun, definisi dan jenis data konkret tersebut belum dijabarkan secara rinci dalam PMK, sehingga Ditjen Pajak menerbitkan PER-18/PJ/2025 untuk memperjelas hal ini.

Diterbitkannya PER-18/PJ/2025 memiliki tujuan utama untuk meningkatkan kepatuhan pajak melalui tindak lanjut data konkret, sekaligus memberikan kepastian hukum dan akuntabilitas bagi otoritas pajak maupun wajib pajak[3][4]. Poin pertimbangan dalam aturan ini menyatakan: “untuk memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak serta akuntabilitas dalam menindaklanjuti data konkret perlu mengatur ketentuan mengenai tindak lanjut atas data konkret”[5]. Artinya, aturan ini diharapkan membuat langkah pengawasan pajak lebih transparan dan objektif, baik bagi fiskus (petugas pajak) maupun wajib pajak.

Pengertian Data Konkret Menurut Pasal 2 Ayat (1)

Data konkret dalam konteks perpajakan adalah data atau informasi tertentu yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan seorang Wajib Pajak. Pasal 2 ayat (1) PER-18/PJ/2025 menyebutkan bahwa data konkret mencakup data yang dimiliki DJP berupa:

·       (a) “Faktur Pajak yang sudah memperoleh persetujuan melalui sistem informasi milik DJP, tetapi belum atau tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak pada SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)”[6].

·       (b) “Bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) yang belum atau tidak dilaporkan oleh penerbit bukti pemotongan atau pemungutan pada SPT Masa PPh”[6].

·       (c) “Bukti transaksi atau data perpajakan lain yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak, yang memerlukan pengujian secara sederhana”[6].

Dengan kata lain, data konkret bisa berupa: (a) data faktur PPN yang sudah tercatat di sistem DJP namun tidak dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) PPN oleh wajib pajak, (b) data bukti potong/pungut PPh yang tidak dilaporkan dalam SPT PPh oleh pihak yang seharusnya melaporkannya, atau (c) data transaksi dan informasi lain yang langsung bisa digunakan menghitung pajak terutang. Ciri khas data konkret ini adalah DJP sudah memiliki data tersebut (misalnya dari sistem elektronik, pihak ketiga, atau dokumen resmi) dan membutuhkan pengujian sederhana saja untuk menilai kepatuhan. Pengujian secara sederhana berarti data itu cukup jelas dan spesifik sehingga petugas pajak bisa dengan cepat memverifikasi kebenarannya tanpa perlu audit mendalam.

Contoh mudah Pasal 2 ayat (1):
- Faktur Pajak (PPN) yang tidak dilaporkan: Misalnya, PT XYZ membeli barang dari pemasok dan menerima Faktur Pajak yang valid (sudah disetujui sistem DJP). Faktur ini sebenarnya harus dilaporkan oleh pemasok dan juga dicantumkan oleh PT XYZ (jika berhak kredit pajak masukan) dalam SPT Masa PPN. Jika faktur tersebut tidak dilaporkan oleh PT XYZ dalam SPT Masa PPN, sistem DJP akan melihat adanya faktur yang “nyangkut” – faktur ada di database DJP tapi tidak muncul di laporan PPN PT XYZ. Data faktur yang tidak dilaporkan ini tergolong data konkret dan dapat langsung ditindaklanjuti oleh DJP
[7]. Akibatnya, PT XYZ berisiko mendapat teguran atau pemeriksaan pajak atas temuan ini.
- Bukti Potong PPh yang tidak dilaporkan: Contoh lain, CV ABC selaku pemberi kerja memotong pajak penghasilan Pasal 21 karyawannya setiap bulan. Namun, CV ABC tidak menyetor atau melaporkan pemotongan PPh tersebut dalam SPT Masa PPh Pasal 21. Di sisi lain, para karyawan menerima bukti potong dan mungkin melaporkannya di SPT Tahunan mereka, atau DJP mengetahui jumlah pemotongan dari data pelaporan SPT karyawan. Ketidaksesuaian ini akan terdeteksi oleh DJP sebagai data konkret – yaitu ada bukti potong PPh yang seharusnya dilaporkan CV ABC tapi tidak dilaporkan. DJP dapat langsung menindaklanjuti data ini karena mengindikasikan pajak yang dipotong tidak disetor sebagaimana mestinya.

Delapan Jenis Bukti Transaksi Termasuk Data Konkret (Pasal 2 Ayat (2))

Pasal 2 ayat (2) PER-18/PJ/2025 memberikan rincian delapan contoh bukti transaksi atau data perpajakan yang termasuk kategori data konkret (huruf a sampai dengan h)[8]. Kedelapan jenis data ini pada dasarnya merupakan berbagai modus ketidakpatuhan atau ketidaksesuaian pelaporan yang dapat langsung dihitung dampaknya terhadap pajak terutang. Berikut penjelasan kedelapan poin tersebut, disertai contoh sederhana untuk membantu pemahaman:

  1. Kelebihan Kompensasi PPN yang Tidak Didukung SPT Sebelumnya – Pasal 2 ayat (2) huruf a menyebut “kelebihan kompensasi pada SPT Masa PPN yang tidak didukung dengan kelebihan bayar pada SPT Masa PPN sebelumnya”[9]. Artinya, Wajib Pajak mengklaim kelebihan kredit PPN (kompensasi) di suatu masa pajak padahal tidak ada kelebihan bayar di masa pajak sebelumnya. Contohnya, PT MajuJaya pada SPT PPN masa September 2025 mengaku memiliki kelebihan pajak masukan Rp50 juta yang dikompensasikan dari bulan sebelumnya, sehingga mengurangi PPN terutang. Namun, SPT PPN Agustus 2025 sebelumnya tidak menunjukkan adanya kelebihan bayar (misalnya Agustus justru nihil atau kurang bayar). Klaim kompensasi fiktif Rp50 juta ini akan terlihat janggal di sistem DJP. Data kompensasi fiktif tersebut digolongkan sebagai data konkret karena DJP dapat langsung menghitung selisih PPN yang seharusnya dibayar[10]. Implikasi bagi PT MajuJaya: DJP kemungkinan akan meminta klarifikasi atau langsung melakukan pemeriksaan atas data ini, dan jika terbukti salah, PT MajuJaya harus membayar kekurangan PPN plus sanksi.
  2. Penghitungan Ulang Pajak Masukan oleh WP yang Tidak Berhak – Pasal 2 ayat (2) huruf b mengatur “penghitungan kembali pajak masukan sebagai pengurang pajak keluaran oleh Wajib Pajak yang tidak berhak menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan terutang dan tidak terutang pajak”[11]. Secara sederhana, ini berarti Wajib Pajak yang sebenarnya tidak berhak menggunakan metode atau pedoman kredit pajak masukan tertentu telah menghitung ulang PPN masukan untuk mengurangi PPN keluarannya. Contoh kasus: PT ABC menjual barang yang sebagian dikenai PPN dan sebagian tidak dikenai PPN (melakukan penyerahan terutang dan tidak terutang). Untuk WP semacam ini, ada aturan khusus tentang berapa pajak masukan yang boleh dikreditkan (proporsional). Misal PT ABC tidak mengikuti aturan proporsi tersebut dan malah mengkreditkan seluruh pajak masukan seolah-olah semua penjualannya terutang PPN. DJP kemudian menjalankan penghitungan kembali pajak masukan PT ABC sesuai aturan seharusnya, dan menemukan WP ini telah mengkreditkan pajak masukan terlalu besar. Selisih akibat perhitungan yang salah itu merupakan data konkret karena langsung menunjukkan pajak kurang bayar yang harus dibayar PT ABC. Data konkret ini bisa memicu DJP melakukan pemeriksaan spesifik atas PPN PT ABC untuk menagih kekurangan pajaknya.
  3. PPN Disetor di Muka yang Tidak atau Kurang Dibayar – Pasal 2 ayat (2) huruf c menyebut “Pajak Pertambahan Nilai disetor di muka yang tidak atau kurang dibayar”[12]. Maksudnya, ada kewajiban pembayaran PPN di muka (misalnya dalam skema tertentu, seperti PPN atas kegiatan bangun sendiri, PPN impor yang harus dibayar sebelum barang keluar, atau mekanisme lain di mana PPN dibayar di awal) namun Wajib Pajak tidak membayar sama sekali atau membayar kurang dari seharusnya. Contoh: CV XYZ melakukan impor barang kena pajak yang seharusnya membayar PPN impor di muka sebesar Rp100 juta sebelum barang keluar dari bea cukai. Tetapi CV XYZ hanya membayar Rp50 juta atau bahkan tidak membayar sama sekali, mungkin dengan harapan lolos dari pengecekan. Data pembayaran PPN impor ini terintegrasi dengan sistem DJP dan ketertinggalan pembayaran sebesar Rp50 juta akan muncul sebagai anomali. Bagi DJP, informasi PPN di muka kurang bayar ini adalah data konkret – ada bukti bahwa pajak yang seharusnya dibayar di muka ternyata belum dipenuhi. CV XYZ berpotensi segera ditagih kekurangannya atau dikenai pemeriksaan. (Catatan: Istilah “PPN disetor di muka” bisa mencakup berbagai skenario, intinya pajak yang wajib dibayar sebelum suatu proses dilanjutkan, tapi WP tidak melunasi penuh.)
  4. Pemanfaatan Insentif Pajak yang Tidak Sesuai Ketentuan – Pasal 2 ayat (2) huruf d menyebut “pemanfaatan insentif pajak yang tidak sesuai ketentuan”[13]. Ini berarti Wajib Pajak menggunakan fasilitas atau insentif pajak yang sebenarnya tidak berhak ia dapatkan atau melanggar syarat penggunaannya. Contohnya, selama pandemi pemerintah memberi insentif PPh Final UMKM 0% untuk omzet tertentu. UD Sejahtera mengklaim mendapat fasilitas pajak ini dan tidak membayar PPh final selama beberapa bulan, padahal setelah diverifikasi, UD Sejahtera tidak memenuhi syarat (misal omzetnya di atas batas UMKM atau sektor usahanya tidak termasuk yang dapat insentif). Data klaim insentif yang tidak berhak ini akan muncul di sistem DJP, misalnya DJP melihat UD Sejahtera melapor nol pajak berkat insentif, tetapi data profilnya tidak memenuhi kriteria insentif. Pelanggaran pemanfaatan insentif tersebut adalah data konkret[13]. DJP dapat langsung menindaklanjuti dengan pencabutan insentif, penagihan pajak yang seharusnya dibayar, plus sanksi administrasi. Contoh nyata lain: perusahaan yang menggunakan insentif tax holiday di luar ketentuan, atau melanggar syarat investasi minimal namun tetap mengklaim tarif pajak lebih rendah.
  5. Pengkreditan Pajak Masukan yang Tidak Sesuai Ketentuan – Pasal 2 ayat (2) huruf e memuat “pengkreditan pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan”[14]. Artinya Wajib Pajak mengkreditkan PPN masukan secara tidak semestinya, melanggar aturan yang berlaku. Contoh: PT DEF membeli sedan mewah dan mengkreditkan PPN masukan atas pembelian mobil tersebut. Padahal, menurut aturan PPN, pajak masukan atas sedan untuk bukan objek usaha (kendaraan penumpang tertentu) tidak boleh dikreditkan. Jika PT DEF tetap mengkreditkan PPN mobil itu di SPT Masa PPN, DJP melalui sistem e-Faktur dapat mendeteksi karena faktur pajak pembelian mobil tercatat, namun sebenarnya tidak berhak dikreditkan. Ini menjadi data konkret kategori pengkreditan pajak masukan tak sesuai aturan. DJP bisa menindaklanjuti dengan melakukan koreksi: mengeluarkan Surat Tagihan Pajak untuk menarik kembali PPN masukan yang dikreditkan tidak sah tersebut beserta dendanya. Contoh lain: pengkreditan pajak masukan yang melewati jangka waktu (misal faktur pajak sudah lewat 3 bulan tidak dikreditkan, tapi kemudian diam-diam dikreditkan terlambat), atau mengkreditkan pajak masukan atas barang/jasa yang tidak berkaitan dengan usaha kena pajak. Semua itu jika terdeteksi akan dianggap data konkret pelanggaran pengkreditan PPN masukan.
  6. Penghasilan yang Tidak atau Kurang Dilaporkan (Data Bukti Potong & Norma) – Pasal 2 ayat (2) huruf f mencakup “penghasilan yang tidak atau kurang dilaporkan berdasarkan data bukti potong yang dimiliki DJP dan/atau kekeliruan sehubungan dengan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto”[15]. Poin ini mengacu pada penghasilan Wajib Pajak yang tidak dilaporkan seluruhnya dalam SPT, padahal DJP memiliki data pemotongan pajaknya, atau adanya kesalahan penerapan norma penghasilan neto. Contoh pertama: Seorang konsultan freelance (WP Orang Pribadi) memiliki beberapa klien yang memotong PPh Pasal 21/26 atas jasanya. DJP memiliki data bukti potong PPh sebesar Rp100 juta atas penghasilan si konsultan (dari formulir 1721 atau laporan pemotongan). Namun, saat konsultan tersebut melaporkan SPT Tahunan, ia hanya mencantumkan penghasilan Rp70 juta. Selisih Rp30 juta yang tidak dilaporkan ini akan terlihat karena DJP memegang bukti potong dari klien-klien tadi. Ini jelas data konkret: ada penghasilan Rp30 juta yang sudah diketahui DJP tapi tidak muncul di SPT[16]. Wajib Pajak akan diminta klarifikasi dan berpotensi diperiksa atas kurang lapor penghasilan tersebut. Contoh kedua: WP Orang Pribadi dengan usaha kecil diperbolehkan menghitung penghasilan neto menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) (semacam % tertentu dari omzet sebagai laba neto) asalkan syaratnya terpenuhi (omzet < Rp4.8 miliar setahun, dan lapor pemberitahuan penggunaan norma). Jika WP ini salah menggunakan norma, misalnya omzetnya sebenarnya sudah di atas Rp4.8 M tapi tetap menggunakan norma (harusnya pembukuan sebenarnya), maka perhitungan pajaknya jadi lebih kecil dari seharusnya. DJP bisa memiliki data omzet sebenarnya (misal dari PPN atau data pihak ketiga) dan melihat WP melaporkan penghasilan terlalu kecil dengan dalih norma. Kesalahan penggunaan norma ini juga dianggap data konkret karena dapat dihitung berapa pajak kurang bayarnya secara cepat.
  7. Data dari Ketetapan atau Putusan Sengketa Pajak yang Inkrah – Pasal 2 ayat (2) huruf g mencakup “data dan/atau keterangan yang bersumber dari ketetapan, keputusan di bidang perpajakan, dan/atau putusan atas sengketa penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang bersifat inkrah, yang dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan yang tidak atau kurang dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT”[17]. Sederhananya, jika ada putusan final (inkracht) dari otoritas pajak atau pengadilan pajak terkait sengketa atau penetapan pajak, dan putusan itu mengungkap data tertentu tentang penghasilan atau transaksi yang belum dilaporkan oleh Wajib Pajak, maka data tersebut menjadi data konkret baru bagi DJP. Contoh: PT GHI terlibat sengketa pajak untuk tahun 2022 di Pengadilan Pajak, dan dalam putusan inkrah disebutkan ada penjualan tersembunyi senilai Rp5 miliar yang sebelumnya tidak dilaporkan PT GHI. Putusan ini sudah final dan mengkonfirmasi adanya penghasilan tak terlapor. Informasi penjualan Rp5 miliar tak terlapor dari putusan tersebut bisa langsung dipakai DJP sebagai data konkret untuk menagih pajak yang kurang bayar (misal PPh Badan tahun 2022 atas Rp5 miliar tersebut)[17]. DJP tak perlu mencari data lagi karena putusan hukum itu sendiri sudah menjadi bukti. Ini meningkatkan kepastian hukum: WP tidak bisa menyangkal data yang sudah diputuskan secara hukum tetap. DJP dapat menerbitkan ketetapan pajak sesuai data putusan tersebut tanpa harus melalui prosedur panjang lagi.
  8. Data dari Proses Konfirmasi (SP2DK) yang Tidak Ditindaklanjuti WP – Pasal 2 ayat (2) huruf h adalah “data dan/atau keterangan yang telah diterbitkan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK), dan dibuat Berita Acara Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan yang memuat persetujuan Wajib Pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakan ... namun pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut belum atau tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah disetujui”[18]. Ini agak panjang, intinya: DJP sudah pernah meminta klarifikasi data kepada Wajib Pajak melalui SP2DK, Wajib Pajak sudah datang/merespons dan bahkan menyetujui untuk melakukan pembayaran atau pembetulan (tertulis dalam Berita Acara yang ditandatangani WP atau kuasanya), tetapi sampai tenggat waktu yang disepakati, Wajib Pajak tidak menindaklanjuti janji tersebut. Data yang sudah melalui proses SP2DK dan disepakati tapi diingkari ini kemudian dianggap data konkret yang siap ditindak. Contoh: DJP mengirim SP2DK kepada PT JKL karena menemukan indikasi omzet yang tidak dilaporkan. PT JKL datang meeting dengan fiskus, mengakui kekurangan omzet dan berjanji akan membayar kurang pajak Rp200 juta paling lambat akhir bulan, tertuang dalam Berita Acara yang ditandatangani direktur PT JKL. Namun, hingga lewat batas waktu, PT JKL tidak membayar sepeser pun. Dalam kasus ini, DJP sudah pegang “pengakuan” WP dalam BAP, sehingga sisa data tersebut kini jadi data konkret final[18]. Tanpa menunggu lagi, DJP dapat langsung melakukan tindakan lanjutan (misal pemeriksaan khusus atau langsung menerbitkan surat ketetapan pajak berdasarkan pengakuan Rp200 juta tadi). Bagi WP, poin ini penting: jika sudah menyepakati temuan dan janji bayar, segeralah penuhi, karena ingkar janji akan langsung berbuah tindakan tegas.

Di atas telah diuraikan delapan situasi (a sampai h) yang semuanya mewakili kasus-kasus konkret ketidakpatuhan pajak. Kesamaan dari semua data tersebut adalah: DJP sudah punya buktinya dan bisa langsung menghitung pajak yang kurang dibayar tanpa perlu spekulasi. Wajib Pajak yang mengalami salah satu situasi di atas sebaiknya segera melakukan pembetulan atau klarifikasi, karena data tersebut pasti akan ditindaklanjuti DJP.

Tindak Lanjut Data Konkret: Pengawasan dan Pemeriksaan (Pasal 3)

Bagaimana DJP menindaklanjuti data konkret? Menurut Pasal 3 PER-18/PJ/2025, setiap data konkret wajib ditindaklanjuti melalui pengawasan dan/atau pemeriksaan[19]. Hal ini berarti DJP tidak akan membiarkan data konkret yang terdeteksi begitu saja; mereka harus mengambil langkah aktif. Dua opsi tindak lanjutnya yaitu:

  • Pengawasan – ini bisa diartikan sebagai pemantauan atau penanganan non-formal terlebih dahulu. Misalnya, petugas KPP (Kantor Pajak) akan mengawasi data tersebut, mungkin dengan mengirim surat himbauan atau panggilan klarifikasi informal ke Wajib Pajak. Pengawasan adalah tahap untuk melihat apakah Wajib Pajak bersedia secara sukarela memperbaiki kesalahannya setelah diingatkan.
  • Pemeriksaan – jika diperlukan atau jika pengawasan tidak cukup, DJP akan melakukan pemeriksaan pajak. Uniknya, pemeriksaan yang dilakukan atas data konkret adalah pemeriksaan spesifik[20]. Pemeriksaan spesifik (sesuai PMK 15/2025) artinya audit yang fokus hanya pada hal-hal terkait data konkret tersebut dan tidak menyeluruh ke semua aspek pajak Wajib Pajak[21]. Pemeriksaan spesifik ini disebut juga pemeriksaan khusus dan memiliki jangka waktu yang relatif singkat dibanding pemeriksaan biasa.

Sebagai gambaran, PMK 15/2025 mengatur bahwa pemeriksaan spesifik karena data konkret maksimal berlangsung 1 bulan saja[22]. Bahkan lebih rinci, jangka waktu pemeriksaan teknisnya hanya 10 hari kerja ditambah 10 hari kerja untuk proses diskusi hasil akhir (PAHP) dan pelaporan[23]. Ini jauh lebih cepat dibanding pemeriksaan regular yang bisa berbulan-bulan. Tujuannya agar penanganan kasus data konkret segera tuntas dan tidak berlarut-larut.

Bagi Wajib Pajak, ketentuan Pasal 3 ini memberikan sinyal penting: setiap data konkret pasti ditindaklanjuti. Jika Anda memiliki “masalah” seperti yang dijabarkan di Pasal 2 (misalnya ada faktur belum dilaporkan, dsb), hampir dapat dipastikan akan ada aksi dari DJP, entah itu sekadar diingatkan (pengawasan) atau langsung diperiksa. Kabar baiknya, jika diperiksa, lingkupnya terbatas pada masalah tersebut saja, tidak melebar ke hal lain, sehingga prosesnya lebih cepat dan jelas.

Implikasi dan Kepastian Hukum bagi Wajib Pajak

Dengan adanya PER-18/PJ/2025, implikasi bagi Wajib Pajak cukup signifikan. Aturan ini mempermudah DJP untuk menemukan ketidaksesuaian dalam laporan pajak dan menindaknya secara cepat. Berikut beberapa implikasi kunci:

  • Peningkatan Pengawasan terhadap Wajib Pajak “Nakal”: Wajib Pajak yang tidak patuh atau sengaja menyembunyikan kewajiban (sering disebut WP nakal) kini lebih mudah terjaring. Data-data konkret kebanyakan bersumber dari sistem atau dokumen resmi (misal e-Faktur, laporan SPT pihak ketiga, putusan hukum, dll), sehingga kecurangan atau kelalaian akan tertangkap basah. Wajib Pajak yang selama ini mungkin “bermain api” – misalnya tidak melaporkan faktur, menyalahgunakan insentif, atau ingkar janji atas temuan pajak – sebaiknya segera berbenah. Begitu data konkret teridentifikasi, DJP akan bergerak cepat melakukan pengawasan/pemeriksaan. Tidak ada lagi tempat bersembunyi bagi pelanggaran yang sudah terekam datanya.
  • Efek Jera dan Sanksi: Bagi WP yang ketahuan melalui data konkret, konsekuensinya bisa berupa tagihan pajak kurang bayar ditambah sanksi bunga atau denda. Misalnya, jika karena data konkret ditemukan kurang bayar PPN, DJP bisa menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan tambahan sanksi bunga sesuai UU KUP. Bila pelanggarannya serius (misal sengaja tidak setor pajak yang dipotong), bisa saja ada sanksi pidana (meski biasanya didahului dengan kesempatan sanksi administrasi dulu). Intinya, WP tidak bertanggung jawab akan menanggung akibat finansial dan hukum dari data konkret ini. Aturan ini diharapkan menimbulkan efek jera, sehingga WP berpikir dua kali sebelum tidak melaporkan kewajiban pajak.
  • Wajib Pajak Patuh Mendapat Kepastian Hukum: Bagi WP yang sudah patuh, PER-18/PJ/2025 justru memberikan kepastian hukum dan rasa aman. Mengapa? Karena aturan ini menjelaskan secara jelas kriteria data yang akan ditindaklanjuti. WP bisa mengetahui bahwa selama ia melaporkan semuanya dengan benar (sehingga tidak muncul data konkret negatif di sistem DJP), maka kecil kemungkinan terkena pemeriksaan khusus yang mendadak. DJP berjanji fokus pada data konkret yang obyektif, bukan sekadar dugaan subjektif. Ini meningkatkan transparansi: langkah pengawasan lebih fair (adil) karena berbasis data nyata[24][25]. Selain itu, bila pun diperiksa akibat data tertentu, WP tahu bahwa ruang lingkupnya hanya hal tersebut, tidak melebar ke mana-mana. Hal ini lebih menjamin kepastian hukum dan menghindarkan WP patuh dari “kejutan” pemeriksaan luas tanpa sebab jelas. Tentunya WP harus tetap menjaga kepatuhan di semua aspek, tetapi setidaknya tidak perlu khawatir diperiksa hanya karena kecurigaan umum – harus ada data konkret yang mendasari.
  • Perbaikan Akuntabilitas DJP: Dari sudut pandang WP, aturan ini juga memaksa DJP lebih akuntabel dan profesional. Karena data konkret terdefinisi jelas, petugas pajak tidak boleh sewenang-wenang mencari-cari kesalahan di luar data tersebut. Setiap tindakan pemeriksaan punya basis yang dapat ditunjukkan ke WP (misal: “Anda tidak lapor faktur X senilai sekian, buktinya ada di sistem kami[26]”). Ini baik untuk hubungan otoritas dengan WP karena mengurangi sengketa yang bersifat persepsi. Jika pun terjadi sengketa, misalnya WP merasa data itu sudah dilaporkan, WP bisa menunjukkan bukti pelaporannya. Jadi kedua belah pihak berbicara berdasarkan data konkret yang sama, bukan asumsi. Transparansi ini diharapkan meningkatkan kepercayaan WP pada sistem pajak.

Perlu dicatat bahwa tidak semua pemeriksaan pajak hanya karena data konkret. DJP masih bisa melakukan pemeriksaan dengan alasan lain (misal risiko tinggi, restitusi, random audit, dsb.). Namun, data konkret kini menjadi salah satu pemicu utama pemeriksaan cepat. Bagi WP, ini berarti area-area yang dirinci sebagai data konkret harus diperhatikan ekstra.

Selain itu, kekeliruan kecil pun berdampak besar di era ini. Seperti dikatakan pada artikel Pajakku, “Kesalahan kecil sekalipun, jika terekam sebagai data konkret, dapat berujung pemeriksaan pajak”[27]. Contohnya, lupa melaporkan satu faktur PPN, meski nilainya kecil, tetap saja terekam di sistem dan formalnya DJP wajib menindaklanjuti. Jadi WP perlu lebih cermat agar hal-hal kecil tidak luput dari pelaporan.

Langkah Persiapan Wajib Pajak Menghadapi Aturan Ini

Menghadapi PER-18/PJ/2025, Wajib Pajak sebaiknya proaktif menilai kepatuhannya dan melakukan langkah-langkah pencegahan. Berikut beberapa tips dan persiapan yang perlu dilakukan agar WP tidak terjerat masalah data konkret:

  • Evaluasi Kesesuaian Laporan Pajak: Tinjau kembali laporan-laporan pajak Anda (SPT Masa dan Tahunan). Pastikan tidak ada transaksi atau data yang terlewat. Cocokkan misalnya: semua Faktur Pajak keluaran yang pernah Anda terbitkan sudah masuk SPT Masa PPN, dan semua Faktur Pajak masukan yang Anda terima (yang ingin dikreditkan) sudah Anda laporkan dengan benar. Demikian pula, pastikan seluruh bukti potong/pungut PPh yang Anda terbitkan sudah dilaporkan di SPT Masa terkait. Dengan melakukan pengecekan internal, Anda bisa menemukan lebih awal jika ada faktur atau bukti potong yang tercecer dan segera membetulkannya sebelum DJP menemukannya.
  • Lakukan Pembetulan SPT Jika Diperlukan: Apabila dari evaluasi ditemukan misalnya ada penghasilan yang belum dilaporkan, pemanfaatan insentif yang ternyata tidak berhak, atau kesalahan pengkreditan pajak, segeralah lakukan pembetulan SPT. Pembetulan SPT (dengan membayar kekurangan pajak plus bunga) jauh lebih baik daripada ketahuan DJP duluan. Jika WP secara sukarela membetulkan sebelum ada tindakan DJP, biasanya sanksi yang dikenakan hanya bunga sesuai UU KUP, tidak ada denda tambahan 50% yang muncul kalau sampai ketetapan pemeriksaan. Jadi ada insentif untuk self-correction. Contoh, jika Anda sadar telah salah mengkreditkan PPN, ajukan SPT Masa PPN pembetulan untuk memperbaiki kredit tersebut dan setor kekurangannya. Hal ini akan menghindarkan data itu menjadi “bendera merah” di sistem DJP.
  • Manfaatkan Fitur Cross-Check DJP: DJP kini punya banyak saluran data yang terintegrasi. Gunakan fasilitas seperti e-Faktur dan e-Bupot untuk mengecek data Anda. Misal, pada aplikasi e-Faktur, Anda bisa melihat Daftar Faktur Pajak Masukan yang disetujui supplier. Pastikan tidak ada faktur masukan valid yang tidak Anda akui di SPT. Begitu pula cek di e-Bupot (bukti potong elektronik) untuk melihat daftar bukti potong PPh yang Anda terbitkan atau terima. Dengan mencocokkan data-data ini, Anda bisa mengetahui kalau ada ketidaksesuaian. Intinya, samakan data Anda dengan data DJP sejauh mungkin, karena DJP pasti akan menggunakan data mereka dalam analisis.
  • Patuhilah Syarat Insentif dan Norma: Jika Anda mendapat fasilitas atau insentif pajak (misal pembebasan, pengurangan tarif, insentif pandemi, dsb.), pastikan penggunaan Anda sesuai aturan. Simpan dokumen persyaratan, dan cek ulang apakah Anda benar-benar memenuhi kriteria. Jangan memaksakan diri memakai insentif bila tidak yakin berhak. Demikian juga jika Anda menggunakan norma penghitungan neto dalam pelaporan pajak, pastikan omzet Anda masih dalam batas, dan Anda telah menyampaikan laporan penggunaan norma sesuai prosedur. Jika situasi bisnis berubah (omzet naik, berganti usaha), sesuaikan cara perhitungan pajak Anda dengan ketentuan terbaru agar tidak disalahkan kemudian.
  • Tanggapilah SP2DK dengan Serius: Apabila menerima Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dari KPP, jangan abaikan. SP2DK adalah tahap awal DJP mengkonfirmasi data yang mereka anggap konkret. Responlah dengan baik: berikan penjelasan dan data pendukung. Jika ternyata DJP benar (misal ada penghasilan kurang lapor), lebih baik akui dan selesaikan di tahap ini. Anda bisa menyelesaikannya secara administrasi (misal membayar kekurangannya) sebelum naik jadi pemeriksaan. Namun, hindari janji kosong: jika dalam Berita Acara hasil SP2DK Anda setuju membayar sejumlah pajak, penuhi komitmen tersebut tepat waktu. Seperti dijelaskan sebelumnya, ingkar janji akan membuat DJP langsung mengambil tindakan tegas dengan data konkret SP2DK itu[18]. Jadi, lebih baik berhati-hati saat menyepakati sesuatu; pastikan Anda mampu melaksanakannya.
  • Dokumentasikan Semua Transaksi dengan Baik: Di era pengawasan berbasis data, pencatatan dan dokumentasi adalah penyelamat. Simpan arsip faktur pajak, bukti setor, bukti potong, keputusan terkait pajak, dan dokumen lain dengan rapi. Jadi jika suatu saat DJP menanyakan data tertentu, Anda siap membuktikan posisi Anda. Misalnya, jika DJP menduga ada omzet tak dilaporkan, Anda bisa menunjukkan pembukuan atau dokumen kontrak bahwa mungkin transaksi tersebut bukan objek pajak atau sudah dilaporkan di tempat lain. Dokumentasi yang lengkap bisa mencegah DJP mengkategorikan info sebagai data konkret keliru.
  • Konsultasi dengan Ahli Pajak: Jika merasa aturan ini kompleks, jangan ragu berkonsultasi dengan konsultan pajak atau ahli. Sebagai WP, wajar jika tidak familiar dengan setiap detail teknis (contoh: tidak semua orang paham apa itu “norma penghitungan neto” atau detail aturan PPN). Konsultan berpengalaman dapat membantu mengaudit kepatuhan pajak internal Anda sebelum DJP melakukannya. Mereka bisa menunjuk area rawan (misal, “Ini ada faktur pajak yang belum dilaporkan, sebaiknya dibetulkan”) dan memberi solusi. Ingat, tujuan aturan ini untuk meningkatkan kepatuhan, jadi proaktiflah mencari solusi agar bisnis Anda tetap dalam koridor aturan.

Dengan langkah-langkah di atas, diharapkan Wajib Pajak dapat terhindar dari masalah akibat data konkret. Prinsip dasarnya: laporkan pajak dengan benar, cocokkan data dengan pihak lain, dan segera perbaiki jika ada kesalahan. Jika semua kewajiban dipenuhi dengan baik, maka munculnya data konkret negatif bisa dihindari.

Kesimpulan

PER-18/PJ/2025 hadir sebagai respon pemerintah untuk memperkuat pengawasan pajak berbasis data konkret yang objektif. Aturan ini mulai berlaku sejak 24 September 2025[1] dan menjadi panduan bagi DJP dalam menindaklanjuti berbagai data ketidakpatuhan yang terekam di sistem atau dokumen resmi. Bagi Wajib Pajak, hal ini berarti lebih transparan sekaligus lebih disiplin: transparan karena jelas apa saja jenis data yang diawasi (Pasal 2 ayat (1) dan (2) telah merincinya secara gamblang), dan disiplin karena kelalaian sekecil apapun kini dapat terdeteksi dan berujung tindakan[27].

Namun, Wajib Pajak tidak perlu melihat aturan ini sebagai ancaman, melainkan sebagai pengingat untuk tertib. Dengan mengetahui isi aturan, WP dapat melakukan tindakan preventif: memastikan tidak ada faktur, bukti potong, atau transaksi yang luput dilaporkan; tidak menyalahgunakan fasilitas pajak; dan selalu menepati janji ketika diberi kesempatan klarifikasi. Bagi WP yang sudah jujur dan patuh, aturan ini justru memberi ketenangan karena DJP akan bertindak berdasarkan data valid, bukan dugaan.

Singkatnya, kepatuhan pajak yang baik adalah kunci. Aturan PER-18/PJ/2025 menegaskan motto bahwa “data bicara” – jika data Anda bersih, Anda tak perlu khawatir, tetapi jika data menunjukkan sebaliknya, DJP berhak menindak. Semoga dengan narasi dan contoh-contoh di atas, setiap pembaca (bahkan yang awam sekalipun) bisa memahami esensi PER-18/PJ/2025 dengan mudah. Yang terpenting, mari jadikan aturan ini sebagai motivasi untuk lebih tertib dalam administrasi perpajakan, demi kebaikan bersama: kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan peningkatan penerimaan bagi negara. [5][4]


[1] [3] [5] [8] Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER - 18/PJ/2025 - Ortax

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/26464

[2] [21] PER-18/PJ/2025 Soal Tindak Lanjut Data Konkret Dirilis, Unduh di Sini

https://news.ddtc.co.id/berita/download-peraturan/1813994/per-18pj2025-soal-tindak-lanjut-data-konkret-dirilis-unduh-di-sini

[4] [6] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [17] [18] [19] [20] [22] PER 18/2025 Terbit! Dirjen Pajak Tindaklanjuti Data Konkret Ini untuk Pengawasan dan Pemeriksaan  - PAJAK.COM

https://www.pajak.com/pajak/per-18-2025-terbit-dirjen-pajak-tindaklanjuti-data-konkret-ini-untuk-pengawasan-dan-pemeriksaan/

[7] [16] [27] Jenis Data Konkret Pajak dalam PER-18/PJ/2025 yang Harus Diketahui Wajib Pajak

https://artikel.pajakku.com/jenis-data-konkret-pajak-dalam-per-18pj2025-yang-harus-diketahui-wajib-pajak

[23] Diperiksa karena Data Konkret, Jangka Waktu Jadi Kilat

https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1814174/diperiksa-karena-data-konkret-jangka-waktu-jadi-kilat

[24] [25] Indonesia - Update On Tax Audit Rule: Data Utilization For Tax Audit Optimization. - Conventus Law

https://conventuslaw.com/report/update-on-tax-audit-rule-data-utilization-for-tax-audit-optimization/

[26] PER 18/2025 Diterbitkan! Dirjen Pajak Menindaklanjuti Data Konkret untuk Pengawasan dan Pemeriksaan – Mitra Konsultindo Group

https://mitrakonsultindo.co.id/2025/09/per-18-2025-diterbitkan-dirjen-pajak-menindaklanjuti-data-konkret-untuk-pengawasan-dan-pemeriksaan/

 

#PER18PJ2025 #DataKonkret #PajakIndonesia #WajibPajak #KepatuhanPajak

#DJP #PeraturanPajak #SPT #FakturPajak #PPh #PPN #SP2DK

#PemeriksaanPajak #TransparansiPajak #TaxUpdate #TaxCompliance

#UMKM #BisnisPatuh #ReformasiPajak

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.