Kata Pengantar
Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif bagi para pengusaha orang pribadi di Indonesia mengenai kewajiban Pajak Penghasilan (PPh). Memahami aspek perpajakan adalah fondasi penting untuk memastikan keberlangsungan dan pertumbuhan usaha yang sehat. Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah menetapkan berbagai skema perhitungan PPh yang disesuaikan dengan skala dan jenis kegiatan usaha.
Laporan ini disusun untuk menyajikan
informasi mengenai berbagai skema PPh bagi pengusaha orang pribadi, dimulai
dari Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT), skema PPh Final berdasarkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, perhitungan menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), hingga kewajiban Pembukuan. Setiap bagian
akan dilengkapi dengan dasar hukum yang relevan, penjelasan yang mudah
dipahami, serta contoh perhitungan yang rinci.
Bab 1 Pendahuluan
a. Mengapa Kita Perlu
Membahas Pajak Penghasilan untuk Pengusaha Orang Pribadi?
Pajak merupakan salah satu pilar penting
dalam pembangunan sebuah negara, dan sebagai warga negara yang baik, memenuhi
kewajiban perpajakan adalah bentuk kontribusi terhadap kemajuan bersama. Bagi
pengusaha, khususnya orang pribadi, Pajak Penghasilan (PPh) adalah kewajiban
utama yang harus dipenuhi secara teratur. Pemerintah, melalui Direktorat
Jenderal Pajak (DJP), telah merancang beragam skema perhitungan PPh untuk
mengakomodasi berbagai skala dan jenis usaha, dengan tujuan untuk menciptakan
sistem yang adil dan mudah diterapkan.
Memahami berbagai skema ini sangat penting.
Tanpa pengetahuan yang memadai, seorang pengusaha mungkin secara tidak sengaja
memilih metode perhitungan pajak yang tidak efisien atau bahkan tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, sebuah usaha kecil yang sebenarnya
dapat memanfaatkan tarif PPh Final yang lebih sederhana, justru terjebak dalam
kompleksitas pembukuan yang tidak perlu. Pemahaman yang mendalam mengenai
opsi-opsi ini dapat membantu pengusaha mengoptimalkan kewajiban pajaknya, menghindari
potensi denda atau sanksi di kemudian hari, dan pada akhirnya, menghemat sumber
daya yang dapat dialokasikan kembali untuk pengembangan bisnis. Pengetahuan ini
bukan sekadar kepatuhan, melainkan sebuah investasi waktu yang akan memberikan
keuntungan finansial dan ketenangan dalam jangka panjang.
b. Pentingnya Memahami
Berbagai Skema Perpajakan
Dalam sistem perpajakan Indonesia, terdapat
beberapa "jalur" atau skema yang dapat dipilih atau wajib diikuti
oleh pengusaha orang pribadi dalam menghitung PPh. Jalur-jalur ini disesuaikan
dengan besarnya omzet (peredaran bruto) dan karakteristik jenis usaha yang
dijalankan. Pembahasan ini akan mencakup pengusaha yang dikategorikan sebagai
"Orang Pribadi Pengusaha Tertentu" (OPPT), pengusaha Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dapat menggunakan tarif PPh Final 0,5%
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, pengusaha yang
diperbolehkan menggunakan metode "pencatatan" sederhana dengan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), hingga pengusaha yang diwajibkan
menyelenggarakan "pembukuan" secara lengkap.
Pemilihan skema yang tepat memiliki
implikasi yang luas, tidak hanya terkait kepatuhan terhadap peraturan pajak,
tetapi juga sebagai bagian dari strategi bisnis secara keseluruhan. Setiap
skema memiliki tingkat beban administrasi, potensi jumlah pajak yang harus
dibayar, dan bahkan persepsi bisnis di mata otoritas pajak yang berbeda.
Memilih skema yang tidak sesuai dapat mengakibatkan pembayaran pajak yang lebih
besar dari yang seharusnya, atau sebaliknya, menghadapi pemeriksaan pajak yang
memakan waktu dan sumber daya. Misalnya, skema PPh Final 0,5% dan NPPN
dirancang untuk menyederhanakan administrasi, sementara pembukuan memerlukan
sistem pencatatan yang lebih rinci. Jika pengusaha memilih skema yang terlalu
rumit untuk skala usahanya, hal itu akan menambah biaya operasional dan
mengurangi efisiensi. Sebaliknya, jika memilih skema yang terlalu sederhana
padahal omzetnya sudah besar, hal itu dapat berujung pada sanksi dan masalah
hukum. Oleh karena itu, keputusan dalam memilih skema perpajakan merupakan langkah
strategis yang secara langsung memengaruhi operasional dan kesehatan keuangan
bisnis.
c. Apa yang Akan Anda
Dapatkan dari Video Ini?
Setelah menyimak pembahasan ini, pembaca
akan memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai:
●
Berbagai
kategori pengusaha orang pribadi dari perspektif perpajakan.
●
Dasar
hukum dan aturan yang melandasi setiap skema perhitungan Pajak Penghasilan.
●
Metode
penghitungan Pajak Penghasilan secara rinci, dilengkapi dengan contoh-contoh
yang mudah diikuti.
●
Kewajiban-kewajiban
spesifik yang harus dipenuhi dalam setiap skema perpajakan.
● Tips praktis untuk memastikan kepatuhan
pajak dan mengoptimalkan kewajiban perpajakan.
Semua
informasi akan disajikan dengan bahasa yang lugas dan sederhana, agar mudah
dipahami oleh berbagai kalangan. Setiap poin penting yang disampaikan akan
selalu didukung dengan dasar hukum yang jelas, sehingga pembaca dapat
memverifikasi keabsahan informasi dan merasa yakin dalam menerapkan ketentuan
perpajakan.
Bab 2 Pembahasan Inti
a. Perhitungan PPh untuk
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)
i. Dasar Hukum
yang Mengatur OPPT
Ketentuan mengenai Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)
diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010. Lebih
lanjut, mengenai angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi OPPT diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.03/2018 Pasal 7.1
ii. Siapa
Sebenarnya yang Dimaksud dengan Orang Pribadi Pengusaha Tertentu?
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) adalah Wajib Pajak orang
pribadi yang menjalankan kegiatan usaha perdagangan atau jasa. Namun, perlu
digarisbawahi bahwa kategori ini tidak mencakup jasa yang berkaitan dengan
pekerjaan bebas, seperti profesi dokter, pengacara, atau akuntan. Ciri khas
utama dari OPPT adalah kepemilikan satu atau lebih tempat kegiatan usaha yang
lokasinya berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak.1 Contoh konkret dari
OPPT adalah seorang pedagang pengecer yang memiliki beberapa toko kelontong,
butik, atau warung makan yang tersebar di lokasi yang berbeda dari kediamannya.
iii. Kapan Seseorang Dikatakan sebagai
OPPT?
Seseorang dikategorikan sebagai OPPT
apabila memenuhi kriteria yang telah disebutkan, yaitu menjalankan usaha
perdagangan atau jasa (bukan pekerjaan bebas) dan memiliki tempat usaha yang
terpisah dari tempat tinggalnya. Kriteria ini tetap berlaku meskipun tempat
usaha dan tempat tinggal Wajib Pajak berada dalam wilayah kerja Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) yang sama.1
iv. Kewajiban Perpajakan bagi OPPT
Kewajiban utama bagi OPPT adalah pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Cabang. Setiap lokasi usaha yang berbeda wajib didaftarkan untuk memperoleh
NPWP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat
usaha tersebut. Selain itu, Wajib Pajak juga harus mendaftarkan NPWP di KPP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal mereka, yang dikenal sebagai NPWP
Domisili.1
Kewajiban memiliki NPWP cabang ini
menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berupaya memantau peredaran
bruto dari setiap lokasi usaha secara terpisah. Meskipun pada akhirnya seluruh
peredaran bruto akan digabungkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh
Orang Pribadi, pemantauan per lokasi ini penting untuk memastikan akurasi data
dan keadilan dalam pemungutan pajak. Dengan adanya NPWP cabang, setiap lokasi
usaha diharapkan melaporkan omzetnya secara terpisah, yang mempermudah DJP
dalam melacak sumber penghasilan dan mencegah adanya omzet yang tidak tercatat.
Bagi pengusaha, hal ini berarti perlunya pencatatan omzet yang rapi dan
terperinci untuk setiap lokasi usaha.
v. Berapa Tarif PPh Pasal 25 dan Kapan
Harus Dibayar?
Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal
25 untuk OPPT ditetapkan sebesar 0,75%
dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha.1 Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ini harus
dilakukan paling lambat
tanggal 15 bulan
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Sebagai contoh, omzet
yang diperoleh pada bulan Januari wajib dibayarkan paling lambat pada tanggal
15 Februari.2 Untuk penyetoran pajak ini, Kode Akun Pajak (KAP) yang
digunakan adalah
411125 dengan Kode Jenis Setoran (KJS) 101.2
vi. Apa Fungsi
Pembayaran PPh Pasal 25 ini?
Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ini memiliki sifat tidak final. Artinya, jumlah pajak yang
telah dibayarkan setiap bulan tersebut dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak saat Wajib Pajak
menghitung Pajak Penghasilan terutang pada akhir tahun pajak dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.1
Tujuan utama dari pengenaan PPh Pasal 25 ini adalah untuk
menyederhanakan proses perhitungan bagi Wajib Pajak. Dengan skema ini,
pengusaha tidak perlu mengumpulkan data omzet, menghitung penghasilan neto,
atau melakukan perhitungan pajak yang rumit setiap bulan. Cukup dengan membayar
berdasarkan persentase omzet bulanan dari masing-masing tempat usaha.2
vii. Bagaimana Kaitannya dengan Skema PPh
Final 0,5% (PP No. 55 Tahun 2022)?
Ini merupakan aspek penting yang perlu
dipahami. Apabila seorang Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)
telah memilih untuk menggunakan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final berdasarkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun
2022 (yang merupakan pembaruan dari PP Nomor 23 Tahun 2018), maka kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 sebesar
0,75% ini ditiadakan.2
Kondisi ini menunjukkan adanya pilihan yang
saling meniadakan antara kewajiban PPh Pasal 25 OPPT dan PPh Final UMKM. PPh
Final 0,5% (PP 55/2022) dan PPh Pasal 25 OPPT 0,75% sama-sama dihitung
berdasarkan omzet. Namun, PPh Final bersifat final dan tidak dapat dikreditkan
di akhir tahun, sedangkan PPh Pasal 25 bersifat tidak final dan berfungsi
sebagai kredit pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak memberlakukan
pengenaan pajak ganda atau menciptakan kebingungan dalam perhitungan. Oleh
karena itu, jika Wajib Pajak memilih untuk menggunakan skema PPh Final,
kewajiban PPh Pasal 25 secara otomatis tidak berlaku. Hal ini memberikan
fleksibilitas bagi pengusaha kecil untuk memilih skema yang paling
menguntungkan atau paling mudah dari segi administrasi, meskipun PPh Final
memiliki batasan waktu penggunaan.
viii. Contoh
Perhitungan PPh Tahunan OPPT (dengan PTKP)
Ilustrasi Kasus: Bapak Budi adalah seorang pengusaha toko kelontong yang
memiliki 2 (dua) tempat usaha di kota yang berbeda. Tempat tinggal Bapak Budi
ada di Surabaya (KPP Pratama Rungkut), sementara kedua toko kelontongnya ada di
Sidoarjo (KPP Pratama Sidoarjo) dan Gresik (KPP Pratama Gresik). Bapak Budi
berstatus Kawin dengan 1 anak (K/1). Bapak Budi tidak memilih untuk menggunakan
skema PPh Final PP 55 Tahun 2022.
Data Omzet Bulanan
(Contoh Bulan Januari 2024):
●
Toko Sidoarjo: Rp
150.000.000
●
Toko Gresik: Rp
100.000.000
Kewajiban NPWP: Bapak Budi memiliki
NPWP Domisili di KPP Pratama Rungkut dan NPWP Cabang di KPP Pratama Sidoarjo
dan KPP Pratama Gresik.
Perhitungan PPh Pasal 25
Bulanan (Angsuran):
●
PPh Pasal 25 Toko
Sidoarjo = 0,75% x Rp 150.000.000 = Rp 1.125.000
●
PPh Pasal 25 Toko Gresik
= 0,75% x Rp 100.000.000 = Rp 750.000
●
Total PPh Pasal 25 yang
dibayar bulan Januari = Rp 1.125.000 + Rp 750.000 = Rp 1.875.000
Asumsi Omzet Stabil Sepanjang Tahun:
●
Total Omzet Setahun =
(Rp 150.000.000 + Rp 100.000.000) x 12 bulan = Rp 250.000.000 x 12 = Rp
3.000.000.000
●
Total PPh Pasal 25 yang
Sudah Dibayar Setahun = Rp 1.875.000 x 12 = Rp 22.500.000 (Jumlah ini akan
menjadi Kredit Pajak di akhir tahun)
Perhitungan PPh Tahunan (Menggunakan Norma Perhitungan
Penghasilan Neto/NPPN, karena omzet di bawah Rp 4,8 Miliar dan tidak
menggunakan PPh Final):
●
Asumsi Persentase NPPN
untuk usaha toko kelontong di wilayah Bapak Budi adalah 15% (persentase ini
bervariasi tergantung Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan wilayah, ini hanya
contoh).5
●
Penghasilan Neto = Total Omzet Setahun x
Persentase NPPN
○
Penghasilan Neto = Rp
3.000.000.000 x 15% = Rp 450.000.000
●
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
○
PTKP
untuk status K/1 (Kawin dengan 1 tanggungan) = Rp 54.000.000 (Wajib Pajak) + Rp
4.500.000 (Kawin) + Rp 4.500.000 (1 Tanggungan) = Rp 63.000.000.6
●
Penghasilan Kena Pajak (PKP):
○
PKP = Penghasilan Neto -
PTKP
○
PKP = Rp 450.000.000 -
Rp 63.000.000 = Rp 387.000.000
●
PPh Terutang (Menggunakan Tarif Progresif Pasal 17 Undang-Undang
PPh): 6
○
Lapisan 1: 5% x Rp
60.000.000 = Rp 3.000.000
○
Lapisan
2: 15% x (Rp 250.000.000 - Rp 60.000.000) = 15% x Rp 190.000.000 = Rp
28.500.000
○
Lapisan
3: 25% x (Rp 387.000.000 - Rp 250.000.000) = 25% x Rp 137.000.000 = Rp
34.250.000
○
Total PPh Terutang
Setahun = Rp 3.000.000 + Rp 28.500.000 + Rp 34.250.000 = Rp 65.750.000
●
PPh Kurang/Lebih Bayar:
○
PPh Terutang Setahun: Rp
65.750.000
○
Kredit Pajak (PPh Pasal
25 yang sudah dibayar): Rp 22.500.000 (-)
○
PPh Kurang Bayar (PPh Pasal 29) = Rp 43.250.000 (Jumlah ini harus dilunasi saat pelaporan SPT Tahunan)
Tabel 1: Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Pasal 17 UU PPh)
Lapisan
Penghasilan Kena Pajak (PKP) |
Tarif Pajak |
Hingga Rp 60.000.000
per tahun |
5% |
Di atas Rp 60.000.000
s.d. Rp 250.000.000 per tahun |
15% |
Di atas Rp 250.000.000
s.d. Rp 500.000.000 per tahun |
25% |
Di atas Rp 500.000.000
s.d. Rp 5.000.000.000 per tahun |
30% |
Di atas Rp
5.000.000.000 per tahun |
35% |
Sumber: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (UU HPP) 6 |
|
Tabel 2: Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP) Tahun 2024
Status Wajib Pajak |
Besaran PTKP Setahun |
TK/0 (Tidak Kawin,
Tanpa Tanggungan) |
Rp 54.000.000 |
TK/1 (Tidak Kawin, 1
Tanggungan) |
Rp 58.500.000 |
TK/2 (Tidak Kawin, 2
Tanggungan) |
Rp 63.000.000 |
TK/3 (Tidak Kawin, 3
Tanggungan) |
Rp 67.500.000 |
K/0 (Kawin, Tanpa
Tanggungan) |
Rp 58.500.000 |
K/1 (Kawin, 1
Tanggungan) |
Rp 63.000.000 |
K/2 (Kawin, 2
Tanggungan) |
Rp 67.500.000 |
K/3 (Kawin, 3
Tanggungan) |
Rp 72.000.000 |
K/I/0 (Kawin,
Penghasilan Istri Digabung, Tanpa Tanggungan) |
Rp 112.500.000 |
K/I/1 (Kawin,
Penghasilan Istri Digabung, 1 Tanggungan) |
Rp 117.000.000 |
K/I/2 (Kawin,
Penghasilan Istri Digabung, 2 Tanggungan) |
Rp 121.500.000 |
K/I/3 (Kawin,
Penghasilan Istri Digabung, 3 Tanggungan) |
Rp 126.000.000 |
Sumber: PMK No. 101/PMK.010/2016, UU HPP tidak mengubah
besaran PTKP 6 |
|
Kedua tabel ini merupakan dasar penting dalam perhitungan PPh
terutang bagi wajib pajak orang pribadi di semua skema, kecuali PPh Final yang
tidak menggunakan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Dengan adanya tabel ini,
pembaca dapat dengan mudah merujuk dan memahami contoh perhitungan, serta
menghitung estimasi pajak mereka sendiri. Penempatan tabel di awal contoh
perhitungan PPh tahunan memudahkan pembaca untuk menggunakannya sebagai
referensi di seluruh bagian laporan.
b. Perhitungan PPh untuk Orang Pribadi dengan
Peredaran Bruto Tertentu (Skema PPh Final PP No. 55 Tahun 2022)
i. Dasar Hukum
PPh Final UMKM
Skema Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk Usaha Mikro, Kecil,
dan Menengah (UMKM) diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di
Bidang Pajak Penghasilan, yang merupakan pembaruan dari PP Nomor 23 Tahun 2018.
Aturan pelaksana lebih lanjut mengenai
skema ini terdapat dalam Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164/PMK.03/2023.10
ii. Siapa Saja yang Boleh Menggunakan Skema
PPh Final 0,5% ini?
Skema PPh Final 0,5% ini dapat digunakan
oleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, yaitu omzetnya tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam
satu tahun pajak terakhir.10 Penting untuk diketahui bahwa omzet ini
dihitung dari total seluruh gerai atau outlet, baik pusat maupun cabang. Selain
itu, jika terdapat kewajiban perpajakan suami-istri yang memilih pisah harta
(PH) atau memilih terpisah (MT) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang
berbeda, omzet gabungan keduanya juga akan diperhitungkan.1
Skema ini dirancang untuk menyederhanakan
kewajiban pajak bagi UMKM, mengurangi beban administrasi, dan mendorong
kepatuhan. Dengan tarif yang rendah dan perhitungan yang mudah (omzet dikalikan
0,5%), diharapkan UMKM dapat lebih fokus pada pengembangan bisnis mereka.
Kemudahan ini sangat membantu, terutama bagi UMKM yang mungkin kesulitan dalam
menyelenggarakan pembukuan yang kompleks. Tarif yang langsung dikenakan pada
omzet bruto menghilangkan kebutuhan untuk menghitung laba bersih dan berbagai
biaya, yang seringkali menjadi kendala bagi pengusaha kecil. Ini merupakan
bentuk dukungan konkret dari pemerintah untuk sektor UMKM.
iii. Apa itu Peredaran Bruto untuk Skema
0,5%?
Peredaran bruto dalam konteks ini
didefinisikan sebagai seluruh imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau
nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan
penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis lainnya.10 Apabila omzet usaha Wajib Pajak melebihi
Rp 4,8 Miliar dalam tahun berjalan, PPh Final UMKM tetap akan dikenakan hingga
akhir tahun pajak tersebut. Namun, mulai tahun pajak berikutnya, Wajib Pajak
wajib beralih ke skema umum (yaitu pembukuan atau perhitungan menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto/NPPN).1
iv. Batasan Omzet Rp 500 Juta yang Tidak
Dikenakan PPh Final
Ini merupakan fasilitas yang sangat
menguntungkan, khususnya bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Berdasarkan
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, bagian peredaran bruto dari usaha hingga Rp 500 Juta dalam 1 Tahun Pajak tidak
dikenai PPh Final 0,5%.10
Batasan Rp 500 juta ini dihitung secara
kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak. Artinya, Wajib
Pajak baru akan mulai membayar PPh Final 0,5% jika total omzet kumulatif mereka
dalam setahun sudah melampaui angka Rp 500 juta.
Adanya batasan Rp 500 juta bebas pajak ini
merupakan insentif yang signifikan bagi UMKM orang pribadi, terutama bagi
mereka yang baru merintis usaha atau yang masih berskala mikro. Kebijakan ini
bertujuan untuk mengurangi beban pajak di tahap awal pertumbuhan bisnis,
sehingga memungkinkan pengusaha untuk menginvestasikan kembali modalnya dan
mendorong lebih banyak individu untuk berwirausaha secara formal. Hal ini
memberikan "ruang bernafas" bagi UMKM untuk berkembang tanpa langsung
terbebani pajak, sekaligus mendorong mereka untuk tetap melaporkan Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan meskipun kewajiban pajaknya nihil. Ini adalah
kebijakan yang sangat konkret dalam mendukung perkembangan UMKM.
v. Jangka Waktu Penggunaan Skema PPh Final
Skema PPh Final 0,5% ini tidak berlaku
selamanya. Terdapat batasan waktu penggunaan yang berbeda, tergantung pada
jenis badan usaha Wajib Pajak 10:
●
Wajib Pajak Orang Pribadi: Dapat menggunakan skema ini selama 7
tahun.
●
Wajib Pajak Badan (Koperasi, CV, Firma,
BUMDes, BUM Desa Bersama):
Dapat menggunakan skema ini selama 4 tahun.
● Wajib
Pajak Badan (Perseroan Terbatas/PT): Dapat menggunakan skema ini selama 3 tahun.
Jangka
waktu ini dihitung sejak Tahun Pajak 2018 (bagi Wajib Pajak yang terdaftar
sebelum 2018) atau Tahun Terdaftar (bagi Wajib Pajak yang terdaftar setelah
2018).10 Setelah jangka waktu tersebut berakhir,
Wajib Pajak wajib beralih ke ketentuan umum (yaitu pembukuan atau perhitungan
menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto/NPPN), meskipun peredaran bruto
dalam setahun masih di bawah Rp 4,8 Miliar.10
Wajib Pajak juga memiliki opsi untuk
memilih beralih ke skema PPh umum (berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang
PPh) lebih awal, yaitu mulai tahun pajak berikutnya, dengan menyampaikan
Pemberitahuan kepada DJP paling lambat akhir tahun pajak melalui DJP Online.10
Batasan waktu ini menunjukkan bahwa PPh
Final 0,5% adalah fasilitas sementara yang dirancang untuk membantu UMKM
beradaptasi dan tumbuh. Setelah periode tertentu, diasumsikan UMKM sudah lebih
mapan dan siap untuk beralih ke sistem perpajakan umum yang lebih komprehensif,
yang mencerminkan laba riil usaha. Ini adalah mekanisme transisi yang mendorong
UMKM untuk meningkatkan kapasitas administrasi dan pelaporan keuangannya
seiring dengan pertumbuhan usaha.
vi. Siapa Saja yang TIDAK Boleh Menggunakan
Skema PP No. 55 Tahun 2022?
Meskipun omzetnya di bawah Rp 4,8 Miliar,
terdapat beberapa jenis penghasilan atau Wajib Pajak yang tidak diperbolehkan
menggunakan skema PPh Final 0,5% ini 1:
●
Penghasilan dari Jasa Sehubungan dengan
Pekerjaan Bebas:
Ini adalah poin penting. Contoh profesi yang termasuk dalam kategori ini adalah
dokter, notaris, arsitek, akuntan, pengacara, konsultan, seniman, olahragawan,
penasihat, pengajar, peneliti, dan agen asuransi. Jika seseorang berprofesi
sebagai arsitek yang bekerja secara mandiri, penghasilannya tidak dapat dikenai
PPh Final 0,5%.1
●
Wajib Pajak yang Memilih Dikenai PPh
Berdasarkan Tarif Umum (Pasal 17 UU PPh): Jika Wajib Pajak secara sadar telah
memilih untuk tidak menggunakan skema PPh Final.
●
Wajib Pajak Badan Berbentuk Persekutuan
Komanditer (CV) atau Firma yang Dibentuk oleh Beberapa Orang Pribadi dengan
Keahlian Khusus:
Terutama jika mereka menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa pekerjaan bebas.
Contohnya adalah Firma Konsultan Pajak yang didirikan oleh
akuntan.1
●
Penghasilan dari Luar Negeri:
Pajak atas penghasilan ini sudah terutang atau telah dibayar di luar negeri.1
●
Penghasilan yang Sudah Dikenai PPh Final dengan Ketentuan
Tersendiri: Contohnya adalah
penghasilan dari sewa tanah atau bangunan yang sudah memiliki rezim PPh
Finalnya sendiri.1
●
Penghasilan yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak (Non-Objek
Pajak): Contohnya adalah bantuan atau sumbangan
tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan.1
●
Penghasilan dari Modal: Seperti bunga, dividen,
royalti, sewa (jika bukan usaha pokok), serta keuntungan dari penjualan harta
atau hak yang tidak digunakan untuk usaha.10
● Penghasilan
Lain-lain:
Seperti pembebasan utang dan hadiah.10
Pengecualian
ini dibuat untuk memastikan bahwa skema PPh Final 0,5% tepat sasaran, yaitu
untuk UMKM di sektor perdagangan dan jasa umum, bukan untuk profesi yang secara
tradisional memiliki struktur biaya dan penghasilan yang berbeda. Selain itu,
pengecualian ini juga berlaku untuk jenis penghasilan yang sudah memiliki rezim
pajak final tersendiri. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan
fasilitas dan menjaga keadilan dalam sistem perpajakan. Pekerjaan bebas,
misalnya, seringkali memiliki biaya-biaya spesifik yang dapat dikurangkan,
sehingga pengenaan PPh Final mungkin tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
Demikian pula, penghasilan dari modal atau sewa sudah dikenai PPh Finalnya
sendiri, sehingga tidak perlu dikenai PPh Final UMKM lagi.
vii. Laporan
Rincian Peredaran Bruto: Apa dan Bagaimana Bentuknya? (Contoh Tabel)
Meskipun Wajib Pajak menggunakan skema PPh Final 0,5%, mereka
tetap memiliki kewajiban untuk membuat Laporan
Rincian Peredaran Bruto dan melampirkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan. Laporan ini sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk
memantau omzet Wajib Pajak, terutama untuk menentukan kapan batasan Rp 500 juta
terlampaui dan kapan batas waktu penggunaan skema 0,5% berakhir.10
Format laporan ini diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164/PMK.03/2023.
Laporan tersebut terbagi menjadi dua bagian utama 15:
1.
Rincian Tempat Usaha: Bagian ini mencakup informasi mengenai
seluruh cabang atau tempat kegiatan usaha lainnya. Wajib Pajak perlu merinci
informasi seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/Nomor Induk Kependudukan
(NIK)/ID TKU (Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha), nama tempat usaha, dan
alamat.15
2. Rincian
Peredaran Bruto dan PPh Final:
Bagian ini merupakan rekapitulasi omzet bulanan Wajib Pajak dan jumlah PPh
Final yang telah dibayarkan.
Kewajiban
pelaporan rincian peredaran bruto ini menunjukkan bahwa, meskipun perhitungan
PPh Final disederhanakan, DJP tetap membutuhkan data yang akurat untuk tujuan
pengawasan dan analisis kebijakan. Laporan ini juga berfungsi sebagai jembatan
bagi UMKM untuk membiasakan diri dengan pencatatan keuangan dasar, yang akan
sangat membantu ketika mereka harus beralih ke metode pembukuan atau Norma
Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) di masa depan. Hal ini memastikan bahwa
pemerintah memiliki data yang memadai untuk statistik, pemantauan batas omzet
Rp 500 juta, dan batas waktu 7 tahun.
Tabel 3: Contoh Format
Laporan Rincian Peredaran Bruto (Adaptasi dari PMK-164/PMK.03/2023)
No. |
NPWP/NIK/ID TKU |
Nama Tempat Usaha |
Alamat Tempat Usaha |
Jan |
Feb |
Mar |
... |
Des |
Total Peredaran Bruto
(Setahun) |
PPh Final Terutang
(Setahun) |
Keterangan |
1 |
12.345.678.9-XXX.001 |
Toko Maju Jaya |
Jl. Raya No. 1,
Jakarta |
XXX |
XXX |
XXX |
... |
XXX |
XXX |
XXX |
|
2 |
12.345.678.9-XXX.002 |
Toko Maju Sejahtera |
Jl. Damai No. 2,
Bandung |
XXX |
XXX |
XXX |
... |
XXX |
XXX |
XXX |
|
Total |
|
|
|
XXX |
XXX |
XXX |
... |
XXX |
XXX |
XXX |
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
viii. Contoh
Perhitungan PPh Tahunan Skema PP No. 55 Tahun 2022 (dengan PTKP)
Ilustrasi
Kasus:
Ibu Ani adalah seorang pengusaha katering di Surabaya. Statusnya Kawin dengan 2
anak (K/2). Ibu Ani memilih menggunakan PPh Final PP 55 Tahun 2022.
Data Omzet Bulanan Tahun
2024:
●
Januari: Rp 40.000.000
●
Februari: Rp 45.000.000
●
Maret: Rp 50.000.000
●
April: Rp 60.000.000
●
Mei: Rp 70.000.000
●
Juni: Rp 80.000.000
●
Juli: Rp 75.000.000
●
Agustus: Rp 65.000.000
●
September: Rp 55.000.000
●
Oktober: Rp 60.000.000
●
November: Rp 70.000.000
●
Desember: Rp 80.000.000
Perhitungan PPh Final 0,5% dengan Batasan Rp 500 Juta:
●
Total Omzet Kumulatif
hingga Desember = Rp 40.000.000 + 45.000.000 + 50.000.000 + 60.000.000 +
70.000.000 + 80.000.000 + 75.000.000 + 65.000.000 + 55.000.000 + 60.000.000 +
70.000.000 + 80.000.000 = Rp 750.000.000
●
Bagian Omzet yang Tidak
Dikenakan PPh = Rp 500.000.000
●
Bagian Omzet yang
Dikenakan PPh = Total Omzet Kumulatif - Batasan Rp 500 Juta
○
= Rp 750.000.000 - Rp
500.000.000 = Rp 250.000.000
●
PPh Final Terutang
Setahun = 0,5% x Rp 250.000.000 = Rp 1.250.000 14
Pelunasan: Ibu Ani wajib menyetor
PPh Final sebesar Rp 1.250.000 ini ke kas negara. Pembayaran dilakukan setiap
bulan jika omzet kumulatif sudah melewati Rp 500 juta. Misalnya, jika omzet
kumulatif mencapai Rp 500 juta di bulan Juli, maka PPh Final mulai dihitung dari
omzet bulan Juli dan seterusnya.
Kaitannya dengan PTKP: Dalam skema PPh Final 0,5%, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
tidak digunakan dalam perhitungan
PPh terutang karena PPh ini dihitung langsung dari omzet bruto dan bersifat
final. Namun, PTKP tetap relevan untuk menentukan status dan tanggungan dalam
pelaporan SPT Tahunan.11
Pelaporan SPT Tahunan: Ibu Ani tetap wajib melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
(menggunakan Formulir 1770) dan melampirkan Laporan Rincian Peredaran Bruto.
Dalam formulir 1770-III, bagian A angka 16, Wajib Pajak perlu memilih
"PP23/PP55" dan mengisi penghasilan bruto per bulan serta PPh Final
yang telah dibayar.11
c. Perhitungan PPh untuk
Orang Pribadi yang Melakukan PENCATATAN (Menggunakan Norma Perhitungan
Penghasilan Neto/NPPN)
i. Dasar Hukum Penggunaan NPPN
Penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan
Neto (NPPN) diatur dalam Pasal 14
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh).
Aturan pelaksana lebih lanjut mengenai NPPN dapat ditemukan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-17/PJ/2015 dan Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 54/PMK.03/2021.5
ii. Apa itu Norma Perhitungan Penghasilan
Neto (NPPN)?
Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN)
dapat diibaratkan sebagai "rumus cepat" yang disediakan oleh
pemerintah untuk menghitung penghasilan bersih atau penghasilan neto Wajib
Pajak. Dengan menggunakan NPPN, Wajib Pajak tidak perlu repot mencatat dan
menghitung setiap biaya satu per satu. Penghasilan neto yang dihasilkan dari
perhitungan ini kemudian akan menjadi dasar untuk menghitung Pajak Penghasilan
(PPh) terutang.5
Tujuan utama dari NPPN adalah untuk
menyederhanakan proses perhitungan PPh, khususnya bagi Wajib Pajak yang tidak
diwajibkan atau mungkin tidak memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan
pembukuan secara lengkap.5
iii. Siapa yang Dapat Menggunakan Norma
Ini?
Norma ini dapat digunakan oleh Wajib Pajak
orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, seperti
dokter, pengacara, konsultan, atau pedagang, dengan syarat peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4,8 Miliar.1
Apabila peredaran bruto Wajib Pajak sudah
mencapai atau melebihi Rp 4,8 Miliar, maka Wajib Pajak tersebut wajib menyelenggarakan pembukuan, dan
tidak lagi diperbolehkan menggunakan metode pencatatan dengan NPPN.5
Beberapa contoh jenis pekerjaan bebas atau
kegiatan usaha yang dapat menggunakan NPPN antara lain tenaga ahli (seperti
dokter, notaris, arsitek, akuntan, pengacara), olahragawan, pekerja di bidang
seni (seperti pemusik, penyanyi, pelawak, aktor, penari, bintang iklan, kru
film), peneliti, pengarang, penerjemah, agen, perantara, pedagang, pengawas
proyek, serta agen asuransi.5
NPPN memberikan fleksibilitas bagi
pengusaha dan pekerja bebas dengan omzet menengah untuk tidak terbebani oleh
pembukuan penuh, namun tetap membayar pajak berdasarkan perkiraan laba yang
wajar. Ini berfungsi sebagai jembatan antara skema PPh Final yang sangat
sederhana dan pembukuan yang lebih kompleks. Bagi mereka yang omzetnya di bawah
Rp 4,8 Miliar tetapi tidak memenuhi syarat untuk PPh Final (misalnya pekerjaan
bebas), atau bagi UMKM yang telah melewati batas waktu penggunaan PPh Final,
NPPN menjadi pilihan yang logis. Metode ini mengurangi beban administrasi
dibandingkan pembukuan, namun tetap menghitung pajak berdasarkan perkiraan
laba, bukan hanya omzet.
iv. Kewajiban Pengguna NPPN
Terdapat beberapa kewajiban penting bagi
Wajib Pajak yang memilih menggunakan NPPN:
●
Pemberitahuan Penggunaan NPPN: Ini adalah kewajiban paling krusial. Wajib
Pajak orang pribadi yang ingin menggunakan NPPN harus memberitahukan niatnya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).1
●
Pencatatan Peredaran Bruto: Meskipun tidak wajib menyelenggarakan
pembukuan lengkap, Wajib Pajak tetap wajib menyelenggarakan pencatatan atas
peredaran bruto (omzet) mereka secara teratur.18
● Penyimpanan
Dokumen:
Wajib Pajak harus menyimpan semua catatan dan bukti pendukung yang relevan
selama 10 tahun di Indonesia.18
v. Kapan NPPN Harus Diberitahukan ke DJP?
Pemberitahuan penggunaan NPPN harus
disampaikan dalam jangka waktu tiga
bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Ini berarti batas waktu penyampaian adalah paling lambat tanggal
31 Maret setiap tahunnya.1
Apabila Wajib Pajak baru terdaftar, pemberitahuan penggunaan
NPPN disampaikan paling lambat 3 bulan sejak tanggal terdaftar atau pada akhir
tahun pajak, tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu.20
vi. Bagaimana Cara Melakukan Pemberitahuan
Penggunaan NPPN di Coretax?
Saat ini, Wajib Pajak dapat memberitahukan
penggunaan NPPN secara daring melalui sistem Coretax DJP, yang sangat
memudahkan prosesnya.21 Berikut adalah langkah-langkah detailnya,
sesuai panduan dari DJP 21:
1.
Akses Coretax DJP: Buka peramban web Anda dan masuk ke akun
Coretax DJP melalui alamat https://coretaxdjp.pajak.go.id/.
2.
Pilih Modul "Layanan Wajib
Pajak": Di
halaman utama, temukan dan klik modul "Layanan Wajib Pajak".
3.
Pilih Menu "Layanan
Administrasi":
Selanjutnya, pilih menu "Layanan Administrasi", lalu submenu
"Buat Permohonan Layanan Administrasi".
4.
Cari Layanan "NPPN": Pada kolom pencarian "Jenis Pelayanan
Wajib Pajak", ketik "NPPN" atau gulir ke bawah untuk menemukan
dan memilih kode "AS.04 Pemberitahuan Penggunaan NPPN dan Pembukuan
Stelsel Kas".
5.
Pilih Kategori Sub-Layanan: Pilih "AS.04-01 Pemberitahuan
Penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN)".
6.
Konfirmasi Pemberitahuan: Sistem akan menampilkan notifikasi
"AS.04-01 Pemberitahuan Penggunaan NPPN". Klik "Simpan".
7.
Halaman Informasi Umum: Anda akan diarahkan ke halaman informasi
umum permohonan Wajib Pajak. Pada halaman ini, klik
"Alur Kasus".
8.
Lengkapi Kolom Informasi: Isi informasi yang
diminta, termasuk "Tahun Pajak" (misalnya 2025), "Jumlah
Peredaran Bruto" (berdasarkan omzet tahun sebelumnya), dan
"Kota/Kabupaten Anda".
9.
Simpan Informasi: Setelah semua kolom
terisi, centang kotak pernyataan ("check box") dan klik
"Simpan". Pastikan muncul notifikasi "Success. Save was
Successful".
10. Buat Formulir PDF: Gulir ke bawah dan klik "Create PDF" untuk
menghasilkan formulir permohonan penggunaan NPPN.
11. Lengkapi Kolom Formulir
PDF: Isi kolom yang muncul, seperti "Keaslian dokumen"
(pilih "original/copy"), "Klasifikasi dokumen" (dari
"biasa" hingga "sangat segera dan rahasia"),
"Deskripsi dokumen" (opsional), "Catatan dan komentar"
(opsional), "Tag dokumen" (opsional), "Jenis pajak",
"Tahun pajak", dan "Bulan pajak" (bulan saat Anda
menyampaikan pemberitahuan).
12. Simpan Formulir PDF: Setelah semua kolom wajib terisi, klik "Simpan".
Dokumen PDF "Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto" akan dibuat. Anda juga dapat mengunduh atau melihat dokumen ini.
13. Tanda Tangan Digital: Bubuhkan tanda tangan digital pada formulir pemberitahuan NPPN.
14.
Ajukan Permohonan: Setelah ditandatangani, klik
"Simpan", dan jika berhasil, klik "Submit".
15. Cek
Status Permohonan:
Anda dapat memverifikasi status permohonan Anda di submenu informasi umum.
Pemberitahuan dianggap selesai ketika statusnya berubah menjadi
"Selesai" dan kolom "Hasil Kasus Ditutup" tercentang. Submenu "alur kasus" akan menunjukkan "Kasus
Ditutup".
16. Lihat
Bukti:
Anda dapat melihat Bukti Penerimaan Elektronik dan Surat Pemberitahuan
Penggunaan NPPN di submenu "Dokumen Kasus".
vii. Dampak Jika Orang Pribadi Tidak
Melaporkan Penggunaan NPPN
Ini adalah aspek yang sangat penting untuk diperhatikan dengan
serius. Apabila seorang Wajib Pajak memenuhi syarat untuk menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) tetapi tidak
menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam
jangka waktu yang telah ditentukan (paling lambat 31 Maret), maka Wajib Pajak
tersebut secara otomatis akan dianggap
memilih untuk menyelenggarakan pembukuan.1
Konsekuensi dari kelalaian ini dapat cukup
signifikan:
●
Kewajiban Pembukuan: Wajib Pajak akan diwajibkan untuk membuat
pembukuan lengkap, yang jauh lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak sumber
daya (waktu, tenaga, biaya) dibandingkan dengan pencatatan sederhana yang
diizinkan dengan NPPN.19
●
Penghitungan Pajak Berdasarkan Laba Riil: DJP dapat mengenakan pajak berdasarkan
laba usaha riil Wajib Pajak (yang dihitung dari pembukuan), yang berpotensi
menghasilkan jumlah pajak terutang yang lebih besar dibandingkan perhitungan
menggunakan NPPN.19
●
Risiko Pemeriksaan Pajak yang Meningkat: Terdapat peningkatan risiko pemeriksaan
pajak jika DJP menemukan ketidaksesuaian dalam laporan keuangan atau jika Wajib
Pajak tidak dapat menunjukkan pembukuan yang memadai.22
● Potensi
Denda dan Sanksi:
Wajib Pajak juga berpotensi dikenakan denda dan sanksi akibat perbedaan
perhitungan atau ketidakpatuhan dalam penyelenggaraan pembukuan.22
Kegagalan
untuk memberitahukan penggunaan NPPN secara otomatis mengalihkan kewajiban ke
pembukuan, yang merupakan beban administratif dan finansial yang jauh lebih
besar bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini menunjukkan bahwa
kelalaian administratif sekecil apa pun dapat berakibat fatal pada kewajiban
perpajakan yang lebih berat dan peningkatan risiko sanksi. Pemerintah
memberikan fasilitas NPPN untuk kemudahan, namun ada syarat yang harus
dipenuhi, yaitu pemberitahuan. Jika syarat ini tidak dipenuhi, DJP akan
berasumsi bahwa Wajib Pajak mampu dan memilih untuk menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan memerlukan sistem akuntansi yang lebih canggih, kemungkinan
membutuhkan bantuan tenaga ahli, dan memakan waktu yang lebih banyak. Ini dapat menjadi beban yang berat bagi UMKM yang belum siap.
Oleh karena itu, batas waktu pemberitahuan NPPN adalah "jendela
kesempatan" yang sangat penting dan tidak boleh terlewatkan.
viii. Contoh
Perhitungan PPh Tahunan dengan NPPN (dengan PTKP)
Ilustrasi Kasus: Bapak Chandra adalah seorang konsultan IT di Jakarta. Statusnya
Kawin dengan 3 tanggungan (K/3). Omzet
bruto dari jasa konsultasi IT Bapak Chandra pada tahun 2024 adalah Rp
1.200.000.000. Bapak Chandra telah memberitahukan penggunaan NPPN kepada DJP.
Data
Tambahan:
● Persentase NPPN untuk jasa konsultan IT di
Jakarta (sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan wilayah) adalah 50%.1
Perhitungan Penghasilan Neto:
●
Penghasilan Neto =
Peredaran Bruto x Persentase NPPN
●
Penghasilan Neto = Rp
1.200.000.000 x 50% = Rp 600.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
●
PTKP untuk status K/3
(Kawin dengan 3 tanggungan) = Rp 72.000.000.6
Penghasilan Kena Pajak (PKP):
●
PKP = Penghasilan Neto -
PTKP
●
PKP = Rp 600.000.000 -
Rp 72.000.000 = Rp 528.000.000
PPh Terutang (Menggunakan Tarif Progresif Pasal 17 Undang-Undang
PPh): 6
●
Lapisan 1: 5% x Rp
60.000.000 = Rp 3.000.000
●
Lapisan
2: 15% x (Rp 250.000.000 - Rp 60.000.000) = 15% x Rp 190.000.000 = Rp
28.500.000
●
Lapisan
3: 25% x (Rp 500.000.000 - Rp 250.000.000) = 25% x Rp 250.000.000 = Rp
62.500.000
●
Lapisan
4: 30% x (Rp 528.000.000 - Rp 500.000.000) = 30% x Rp 28.000.000 = Rp 8.400.000
●
Total PPh Terutang
Setahun = Rp 3.000.000 + Rp 28.500.000 + Rp 62.500.000 + Rp 8.400.000 = Rp 102.400.000
Kredit Pajak (Angsuran PPh Pasal 25): Bapak Chandra wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan
berdasarkan perhitungan ini (PPh Terutang Setahun dibagi 12 bulan). Angsuran
ini akan menjadi kredit pajak di akhir tahun.
●
Angsuran PPh Pasal 25
per bulan = Rp 102.400.000 / 12 = Rp 8.533.333
d. Perhitungan PPh untuk Orang Pribadi yang
Melakukan PEMBUKUAN
i. Dasar Hukum
Kewajiban Pembukuan
Kewajiban penyelenggaraan pembukuan diatur secara tegas dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang telah
mengalami perubahan terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang
Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).18
ii. Kapan Seseorang Wajib Melakukan
Pembukuan?
Wajib Pajak orang pribadi diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan dalam dua kondisi utama:
●
Apabila
Wajib Pajak menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun sudah
mencapai atau melebihi Rp 4,8 Miliar.5 Batasan omzet Rp 4,8 miliar ini menandakan
bahwa skala bisnis sudah cukup besar dan kompleks, sehingga memerlukan
pencatatan keuangan yang lebih detail dan akuntabel. Ini juga menjadi indikator kematangan bisnis di mata pemerintah.
●
Apabila Wajib Pajak
orang pribadi yang sebenarnya memenuhi syarat untuk menggunakan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) (karena omzetnya kurang dari Rp 4,8 Miliar)
tetapi tidak memberitahukan penggunaan
NPPN kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu yang
ditentukan, maka secara otomatis Wajib Pajak tersebut akan dianggap memilih dan
wajib menyelenggarakan pembukuan.1
Ketika omzet usaha sudah
besar, jumlah transaksi menjadi lebih banyak dan kompleks. Pembukuan yang
teratur memungkinkan perhitungan laba rugi yang akurat, yang pada gilirannya
menjadi dasar perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) yang lebih adil. Bagi DJP, pembukuan
yang rapi juga mempermudah proses audit dan verifikasi. Oleh karena itu,
pembukuan adalah standar yang diharapkan dari bisnis yang telah mencapai skala
tertentu.
iii. Apa Saja
Kewajiban bagi Wajib Pajak yang Melakukan Pembukuan?
Bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan, terdapat
beberapa kewajiban yang harus dipenuhi:
●
Pencatatan Teratur: Pembukuan adalah proses
pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi
keuangan. Ini
meliputi pencatatan harta, kewajiban, modal, penghasilan, biaya, serta harga
perolehan dan penyerahan barang atau jasa.1
●
Produk Akhir Laporan Keuangan: Hasil akhir dari proses pembukuan adalah
laporan keuangan yang lengkap. Laporan ini setidaknya harus terdiri dari Neraca
(yang menunjukkan posisi keuangan pada suatu waktu), Laporan Laba Rugi (yang
menggambarkan kinerja keuangan selama periode tertentu), dan Laporan Arus Kas
(yang menunjukkan aliran kas masuk dan keluar).18
●
Penyimpanan Dokumen: Wajib Pajak wajib menyimpan semua buku,
catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan mereka selama 10 tahun di Indonesia.18
● Pelaporan
SPT Tahunan dengan Laporan Keuangan: Saat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Wajib
Pajak wajib melampirkan laporan keuangan yang telah disusun berdasarkan
pembukuan tersebut.1
iv. Informasi Penting Lainnya Terkait
Pembukuan
Selain sebagai kewajiban hukum, pembukuan
juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi pengusaha. Dengan pembukuan yang
baik, pengusaha dapat memperoleh gambaran utuh mengenai kesehatan keuangan
usahanya, membuat keputusan bisnis yang lebih terinformasi, mempermudah proses
pengajuan pinjaman ke bank, dan lebih siap saat menghadapi audit.
Sanksi
Tidak Menyelenggarakan Pembukuan: Penting untuk diketahui bahwa jika Wajib Pajak wajib
menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak melakukannya, atau bahkan sengaja
memperlihatkan pembukuan palsu, mereka dapat dikenakan sanksi yang sangat
berat. Pajak terutang dapat ditetapkan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) dengan tambahan kenaikan pajak sebesar 100% (khusus untuk PPh Pasal
29 ditambah 50%). Selain itu, Wajib Pajak juga dapat dikenakan pidana penjara
hingga 6 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah pajak yang tidak
dibayar.24
Pembukuan yang baik bukan hanya sekadar
kewajiban hukum, melainkan juga merupakan praktik bisnis terbaik. Sanksi yang
berat menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menegakkan kepatuhan perpajakan,
sekaligus mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam dunia usaha. Bagi
pengusaha, ini berarti bahwa begitu bisnis mencapai skala tertentu, investasi
dalam sistem akuntansi yang memadai dan mungkin juga penggunaan jasa tenaga
ahli pajak menjadi suatu keharusan, bukan lagi pilihan. Hal ini mencerminkan
bahwa pemerintah mengharapkan tingkat profesionalisme yang lebih tinggi dari
bisnis yang sudah mapan.
v. Contoh
Perhitungan PPh Tahunan dengan Pembukuan (dengan PTKP)
Ilustrasi Kasus: Bapak Dani adalah seorang pengusaha garmen di Bandung.
Statusnya Kawin dengan 2 tanggungan (K/2). Omzet bruto usaha garmen Bapak Dani
pada tahun 2024 adalah Rp 6.000.000.000. Bapak Dani menyelenggarakan pembukuan.
Data Keuangan dari
Pembukuan:
●
Peredaran Bruto (Omzet)
= Rp 6.000.000.000
●
Biaya-biaya Usaha (Gaji
karyawan, sewa, listrik, bahan baku, dll.) = Rp 3.500.000.000
●
Penghasilan
Neto dari Usaha = Peredaran Bruto - Biaya-biaya Usaha
○
= Rp 6.000.000.000 - Rp
3.500.000.000 = Rp 2.500.000.000
● Asumsi tidak ada penghasilan atau biaya
lain di luar usaha.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):
●
PTKP untuk status K/2
(Kawin dengan 2 tanggungan) = Rp 67.500.000.6
Penghasilan Kena Pajak (PKP):
●
PKP
= Penghasilan Neto dari Usaha - PTKP
●
PKP = Rp 2.500.000.000 -
Rp 67.500.000 = Rp 2.432.500.000
PPh Terutang (Menggunakan Tarif Progresif Pasal 17 Undang-Undang
PPh): 6
●
Lapisan 1: 5% x Rp
60.000.000 = Rp 3.000.000
●
Lapisan
2: 15% x (Rp 250.000.000 - Rp 60.000.000) = 15% x Rp 190.000.000 = Rp
28.500.000
●
Lapisan
3: 25% x (Rp 500.000.000 - Rp 250.000.000) = 25% x Rp 250.000.000 = Rp
62.500.000
●
Lapisan
4: 30% x (Rp 2.432.500.000 - Rp 500.000.000) = 30% x Rp 1.932.500.000 = Rp
579.750.000
●
Total PPh Terutang
Setahun = Rp 3.000.000 + Rp 28.500.000 + Rp 62.500.000 + Rp 579.750.000 = Rp 673.750.000
Kredit Pajak (Angsuran PPh Pasal 25): Bapak Dani wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak yang menyelenggarakan
pembukuan dihitung berdasarkan PPh terutang tahun sebelumnya, dikurangi kredit
pajak (PPh yang dipotong/dipungut pihak lain), lalu dibagi 12. Angsuran ini
akan menjadi kredit pajak di akhir tahun.
●
Misalnya, jika angsuran
PPh Pasal 25 yang sudah dibayar Bapak Dani sepanjang tahun 2024 adalah Rp
600.000.000.
●
PPh Kurang Bayar (PPh
Pasal 29) = Rp 673.750.000 - Rp 600.000.000 = Rp 73.750.000 (Jumlah ini harus dilunasi saat pelaporan SPT
Tahunan)
Bab 3 Kesimpulan dan Saran
a. Kesimpulan: Memilih Skema
Pajak yang Tepat untuk Usaha Anda
Dari pembahasan yang telah disajikan, dapat
disimpulkan bahwa tidak ada satu pendekatan tunggal yang cocok untuk semua
dalam hal perpajakan bagi pengusaha orang pribadi. Pemilihan skema Pajak
Penghasilan (PPh)—apakah itu PPh Final PP 55/2022, Norma Perhitungan
Penghasilan Neto (NPPN), atau Pembukuan—sangat bergantung pada peredaran bruto (omzet) usaha dan jenis
kegiatan usaha (apakah pekerjaan bebas atau bukan).
●
PPh Final PP 55/2022 (0,5%):
Skema ini merupakan yang paling sederhana dari segi perhitungan dan
administrasi. Sangat cocok untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan
omzet di bawah Rp 4,8 Miliar. Terdapat fasilitas bebas pajak hingga Rp 500 Juta
khusus bagi Wajib Pajak orang pribadi. Namun, penting untuk diingat bahwa skema
ini memiliki batas waktu penggunaan (7 tahun untuk orang pribadi) dan tidak
berlaku untuk penghasilan dari pekerjaan bebas.
●
Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN): Pilihan ini merupakan alternatif yang baik bagi pengusaha atau
pekerja bebas dengan omzet di bawah Rp 4,8 Miliar yang tidak ingin direpotkan
dengan pembukuan lengkap. Namun, penggunaan NPPN memerlukan pemberitahuan
kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) setiap tahunnya.
●
Pembukuan: Metode ini wajib bagi
pengusaha dengan omzet di atas Rp 4,8 Miliar. Selain itu, jika Wajib Pajak yang
seharusnya dapat menggunakan NPPN tidak memberitahukan penggunaannya, mereka
secara otomatis akan dianggap memilih dan wajib menyelenggarakan pembukuan.
Meskipun pembukuan lebih kompleks, metode ini memberikan gambaran keuangan yang
paling akurat dan merupakan praktik bisnis yang profesional.
Setiap skema perpajakan
memiliki "masa berlaku" dan "target audiens" yang spesifik.
Memahami batasan omzet (Rp 500 juta dan Rp 4,8 miliar) serta jenis pekerjaan
yang dijalankan adalah kunci untuk memilih skema yang paling menguntungkan dan
sesuai dengan kondisi bisnis. Pengetahuan
ini juga memungkinkan pengusaha untuk merencanakan transisi perpajakan di masa
depan. Pajak bukan hanya tentang kewajiban membayar, tetapi juga
tentang perencanaan strategis. Pengusaha
perlu memprediksi pertumbuhan omzet mereka agar dapat mengantisipasi kapan
harus beralih skema. Misalnya, UMKM yang omzetnya mendekati Rp 500 juta atau Rp
4,8 Miliar harus mulai mempersiapkan diri untuk perubahan metode perhitungan
atau bahkan beralih ke pembukuan. Ini adalah bagian integral dari manajemen
risiko dan perencanaan keuangan jangka panjang yang efektif.
b. Saran untuk Pengusaha
Orang Pribadi di Indonesia
Untuk memastikan kepatuhan pajak yang
optimal dan mendukung pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan, berikut adalah
beberapa saran penting bagi pengusaha orang pribadi di Indonesia:
●
1. Pahami Peredaran Bruto Anda dengan Baik: Selalu catat peredaran bruto (omzet) usaha
Anda dengan rapi dan akurat setiap bulan. Data ini adalah kunci utama untuk
menentukan skema pajak mana yang berlaku bagi Anda dan kapan Anda mungkin perlu
beralih ke skema lain. Pencatatan yang baik juga membantu dalam memantau
kinerja bisnis secara keseluruhan.
●
2. Jangan Ragu untuk Bertanya: Sistem perpajakan dapat terasa rumit. Jika
ada hal-hal yang tidak Anda mengerti atau ragu, jangan pernah ragu untuk
mencari klarifikasi. Anda dapat bertanya langsung ke Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) terdekat, menghubungi kring pajak
(1500200), atau berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional. Lebih baik
bertanya dan memastikan kebenaran daripada melakukan kesalahan yang dapat
berujung pada sanksi.
●
3. Manfaatkan Teknologi: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus
berinovasi dengan mengembangkan berbagai layanan digital, seperti sistem
Coretax. Manfaatkan fitur-fitur ini untuk memudahkan Anda dalam memenuhi
kewajiban perpajakan, seperti menyampaikan pemberitahuan penggunaan Norma
Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) atau melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan secara daring. Teknologi dapat sangat
mengurangi beban administratif.
●
4. Rencanakan Transisi Pajak:
Apabila Anda saat ini menggunakan skema PPh Final 0,5%, ingatlah bahwa ada
batasan waktu penggunaannya. Mulailah mempersiapkan diri untuk beralih ke NPPN
atau pembukuan jauh-jauh hari sebelum batas waktu tersebut berakhir. Persiapan
ini dapat meliputi belajar tentang pencatatan yang lebih detail,
menginvestasikan pada perangkat lunak akuntansi, atau menyiapkan anggaran untuk
menyewa tenaga ahli pajak atau akuntan. Perencanaan proaktif akan mencegah kejutan dan tekanan di
kemudian hari.
● 5.
Patuh dan Tepat Waktu:
Selalu bayar dan lapor pajak Anda tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Kepatuhan pajak tidak hanya mencerminkan integritas bisnis Anda,
tetapi juga akan menghindarkan Anda dari denda atau sanksi yang tidak perlu.
Pajak yang Anda bayarkan merupakan investasi penting untuk kemajuan bangsa, dan
dengan memenuhinya secara konsisten, Anda turut membangun fondasi bisnis yang
kuat dan berkelanjutan.
Saran-saran
ini menekankan pentingnya proaktivitas, perencanaan, dan pembelajaran
berkelanjutan dalam mengelola aspek perpajakan. Pajak seharusnya tidak
dipandang sebagai beban pasif, melainkan sebagai area yang memerlukan manajemen
aktif untuk memastikan kelangsungan dan pertumbuhan bisnis yang sehat.
Pengusaha yang adaptif dan proaktif dalam memahami serta memenuhi kewajiban
perpajakannya dapat mengubahnya menjadi keunggulan kompetitif, karena mereka
mampu mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien dan menghindari masalah
yang tidak diinginkan.
Kata Penutup
Semoga pembahasan ini dapat memberikan
pencerahan dan panduan yang jelas bagi seluruh pengusaha orang pribadi di
Indonesia. Pajak, pada dasarnya, akan menjadi mudah jika kita memahami cara
kerjanya. Dengan pemahaman yang baik dan kepatuhan yang konsisten, setiap
pengusaha tidak hanya berkontribusi pada pembangunan negara, tetapi juga
membangun fondasi bisnis yang kokoh dan berkelanjutan.
Terima kasih atas perhatian Teman Teman.