Jumat, 11 Juli 2025

Pasal 34 Ayat 3 Dikatakan : 

Identitas Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang meliputi nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor Induk Kependudukan, dan nomor paspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b wajib diisi sesuai dengan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, Nomor Induk Kependudukan, dan nomor paspor yang sebenarnya atau sesungguhnya. 


Pasla 34 Ayat 4 Dikatakan :

Bagi subjek pajak dalam negeri, nama dan alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diisi sesuai dengan nama dan alamat Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.


Dan Pasal 34 Ayat 5 Dikatakan :

Dalam hal:

  • a. nama dan/atau alamat yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) berbeda dengan nama dan/atau alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya; atau
  • b. alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya belum diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan perubahan data agar nama dan/atau alamat yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya.


Dan hal yang terpenting adalah di Pasal 34 Ayat 7 :
Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan kondisi:
  • a. Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dimaksud dikirimkan atau diserahkan ke tempa kegiatan usaha yang berada di kawasan tertentu atau tempat tertentu yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut yang berbeda dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dimaksud; dan
  • b. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dimaksud merupakan penyerahan yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut, 
alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib diisi dengan alamat tempat kegiatan usaha yang menerima Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Dan Ketika tidak diserahkan dengan fasilitas / kawasan tertentu disebutkan dalam Pasal 34 ayat 8 :

Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dengan kondisi Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dimaksud dikirimkan atau diserahkan ke tempat kegiatan usaha yang:

  • a. berada di kawasan tertentu atau tempat tertentu yang mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut, tetapi penyerahan dimaksud tidak mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut;

  • atau b. tidak berada di kawasan tertentu atau tempat tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, yang berbeda dengan tempat tinggal atau tempat kedudukan Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dimaksud, alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diisi dengan alamat tempat kegiatan usaha yang menerima Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau huruf b.

CONTOH 1 :

Pencantuman Alamat Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak dalam Faktur Pajak Pada bulan Oktober 2025, PT D yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan rincian sebagai berikut.

Penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT E yang bertempat kedudukan di Gedung Tinggi, Lantai 9, Jalan Gatot Subroto No. 420, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190. Alamat PT E tersebut merupakan alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.

Atas penyerahan tersebut, PT D wajib :

membuat Faktur Pajak dengan mencantumkan alamat PT E, yaitu Gedung Tinggi, Lantai 9, Jalan Gatot Subroto No. 420, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190. 2)

 

CONTOH 2 :

Penyerahan Barang Kena Pajak kepada CV F yang bertempat kedudukan di Jalan Jenderal Sudirman Kav. 560, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190. Alamat CV F tersebut merupakan alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya.

Namun, alamat yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak yaitu Jalan Gatot Subroto No. 425, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190.

Perbedaan alamat tersebut terjadi karena CV F baru pindah alamat dan belum mengajukan permohonan perubahan data.

Atas penyerahan tersebut, PT D wajib membuat Faktur Pajak dengan mencantumkan alamat CV F sesuai dengan:

a)      alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya, yaitu Jalan Jenderal Sudirman Kav. 560, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190;

b)     atau alamat yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, yaitu Jalan Gatot Subroto No. 425, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190.

Mengingat alamat yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak berbeda dengan alamat yang sebenarnya atau sesungguhnya maka CV F harus mengajukan permohonan perubahan data alamat yang diadministrasikan dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak agar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya atau sesungguhnya, sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak mengenai petunjuk pelaksanaan administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak.

CONTOH 3 :

Penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT G yang bertempat kedudukan di Jalan T.M.P. Kalibata No. 100G, RT 60/RW 70, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12750.

PT G terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Wajib - 271 - Pajak Besar Satu dengan Nomor Pokok Wajib Pajak 0019999999091000.

PT G mempunyai tempat kegiatan usaha yang berada di kawasan berikat yang atas penyerahannya mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut. Tempat kegiatan usaha PT G tersebut beralamat di Jalan Raya Semarang Kendal KM 12, Kelurahan Randugarut, Kecamatan Tugu, Semarang 50181 dengan nomor identitas tempat kegiatan usaha 0019999999091000000001.

Dalam hal atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, Barang Kena Pajak dikirimkan ke alamat tempat kegiatan usaha PT G dan mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut maka PT D :

Wajib membuat Faktur Pajak :

dengan mencantumkan alamat tempat kegiatan usaha PT G, yaitu Jalan Raya Semarang Kendal KM 12, Kelurahan Randugarut, Kecamatan Tugu, Semarang 50181.

 

CONTOH 4 :

 Penyerahan Barang Kena Pajak kepada PT CD yang bertempat kedudukan di Jalan T.M.P. Kalibata No. 100H, RT 60/RW 70, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12750. PT CD terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu dengan Nomor Pokok Wajib Pajak 0018888888091000.

PT CD mempunyai tempat kegiatan usaha yang berada di Jalan Jalur Sutera Bar No. 3Z, Panunggangan Timur, Pinang, Tangerang 15143 dengan nomor identitas tempat kegiatan usaha 0018888888091000000001.

Dalam hal atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, Barang Kena Pajak dikirimkan ke alamat tempat kegiatan usaha PT CD maka PT D wajib : 

membuat Faktur Pajak dengan mencantumkan alamat tempat kedudukan PT CD, yaitu Jalan T.M.P. Kalibata No. 100H, RT 60/RW 70, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12750 

atau tempat kegiatan usaha PT CD, yaitu Jalan Jalur Sutera Bar No. 3Z, Panunggangan Timur, Pinang, Tangerang 15143.

 

ADAPUN Tabel nya sebagai berikut :

TRANSAKSI PEMBELIAN DENGAN FASILITAS / TIDAK

Barang DIkirimkan ke alamat pembeli sesuai TKU / TERDAFTAR

Alamat Terdaftar Pembeli (di DJP)

Alamat Tempat Kegiatan Usaha Pembeli (jika ada)

Ketentuan Faktur Pajak Wajib Dibuat Dengan Alamat

Tidak

Gedung Tinggi, Lantai 9, Jalan Gatot Subroto No. 420, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190 (Alamat Sebenarnya dan Terdaftar)

Gedung Tinggi, Lantai 9, Jalan Gatot Subroto No. 420, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190

Tidak ada/Sama dengan alamat terdaftar

Gedung Tinggi, Lantai 9, Jalan Gatot Subroto No. 420, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190

Tidak

Jalan Jenderal Sudirman Kav. 560, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190 (Alamat Sebenarnya)

Jalan Gatot Subroto No. 425, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190

Tidak ada/Sama dengan alamat terdaftar

Jalan Jenderal Sudirman Kav. 560, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190; ATAU Jalan Gatot Subroto No. 425, Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12190. (Catatan: Pembeli harus mengajukan permohonan perubahan data alamat agar sesuai dengan keadaan sebenarnya)

Ya

Jalan Raya Semarang Kendal KM 12, Kelurahan Randugarut, Kecamatan Tugu, Semarang 50181 (Alamat TKU, Kawasan Berikat)

Jalan T.M.P. Kalibata No. 100G, RT 60/RW 70, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12750

Jalan Raya Semarang Kendal KM 12, Kelurahan Randugarut, Kecamatan Tugu, Semarang 50181 (Kawasan Berikat, dengan NITKU)

Jalan Raya Semarang Kendal KM 12, Kelurahan Randugarut, Kecamatan Tugu, Semarang 50181

Tidak

Jalan Jalur Sutera Bar No. 3Z, Panunggangan Timur, Pinang, Tangerang 15143 (Alamat TKU)

Jalan T.M.P. Kalibata No. 100H, RT 60/RW 70, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12750

Jalan Jalur Sutera Bar No. 3Z, Panunggangan Timur, Pinang, Tangerang 15143 (dengan NITKU)

Jalan T.M.P. Kalibata No. 100H, RT 60/RW 70, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan 12750; ATAU Jalan Jalur Sutera Bar No. 3Z, Panunggangan Timur, Pinang, Tangerang 15143


 

Kata Pengantar

Selamat datang kepada para pembaca, khususnya para pengusaha dan individu yang aktif dalam berbagai kegiatan ekonomi di Indonesia. Laporan ini hadir untuk membahas sebuah perubahan fundamental dalam sistem administrasi perpajakan di negara kita, yaitu penggantian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang dengan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU). Perubahan ini mungkin terdengar teknis dan rumit, namun sesungguhnya memiliki dampak praktis yang signifikan bagi banyak pihak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Tujuan utama laporan ini adalah menyajikan informasi mengenai NITKU secara jelas, sederhana, dan komprehensif. Diharapkan, dengan membaca laporan ini, pembaca dapat memahami esensi dari perubahan ini, mengetahui apa saja yang perlu disiapkan, dan beradaptasi dengan lancar dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Laporan ini dirancang sebagai panduan yang mudah dicerna, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pajak yang mendalam. Mari kita selami bersama identitas baru ini untuk administrasi pajak yang lebih mudah dan efisien.

 

Bab 1: Pendahuluan – Mengenal NITKU dan Perubahannya

 

 

1.1 Apa Itu NITKU?

 

NITKU adalah singkatan dari Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha. Ini merupakan sebuah nomor identitas unik yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk setiap lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak yang beroperasi secara terpisah dari alamat tempat tinggal atau tempat kedudukan utama Wajib Pajak.1 Definisi ini mencakup setiap tempat di mana Wajib Pajak menjalankan kegiatan usahanya, termasuk tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak itu sendiri.2

Secara resmi, definisi NITKU ini diperkenalkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.1 Peraturan ini menjadi landasan hukum utama bagi keberadaan dan penggunaan NITKU dalam sistem perpajakan Indonesia.

Mengenai formatnya, NITKU berbeda dengan NPWP yang umumnya terdiri dari 15 atau 16 digit. NITKU memiliki format yang lebih panjang, yaitu 22 digit angka. Format ini tersusun dari 16 digit Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Pusat Wajib Pajak, diikuti dengan 6 digit nomor urut cabang yang akan dihasilkan secara otomatis oleh sistem DJP.1 Penambahan 6 digit ini memungkinkan identifikasi yang lebih spesifik untuk setiap lokasi kegiatan usaha yang dimiliki oleh satu Wajib Pajak Pusat.

 

1.2 Mengapa NPWP Cabang Diganti NITKU? Latar Belakang dan Alasan Utama

 

Perubahan dari NPWP Cabang menjadi NITKU bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri, melainkan bagian integral dari upaya besar modernisasi sistem administrasi perpajakan di Indonesia. Inisiatif ini didorong oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan untuk menciptakan sistem pajak yang lebih efisien dan terintegrasi.5

Salah satu alasan utama di balik perubahan ini adalah untuk penyederhanaan administrasi perpajakan. Tujuannya adalah mempermudah Wajib Pajak, khususnya badan usaha yang memiliki banyak cabang, dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dengan adanya NITKU, proses administrasi pajak diharapkan menjadi lebih sederhana dan terpusat.1

Perbedaan paling mendasar yang menjadi alasan utama penggantian ini adalah sentralisasi kewajiban perpajakan. Berbeda dengan NPWP Cabang yang sebelumnya memiliki kewajiban perpajakan sendiri (seperti pelaporan dan pembayaran pajak), NITKU tidak memiliki kewajiban perpajakan. Ini berarti semua kewajiban perpajakan, seperti penyetoran pajak, pembuatan bukti potong, penerbitan faktur pajak, dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), kini harus dilakukan menggunakan NPWP Pusat.1 Perubahan ini diharapkan dapat mempermudah administrasi dan meringankan biaya kepatuhan bagi Wajib Pajak.1

Penyederhanaan administrasi ini, meskipun disebut sebagai "penyederhanaan", pada dasarnya merupakan sentralisasi beban kerja. Bagi setiap cabang, memang ada penyederhanaan karena tidak lagi perlu mengelola kewajiban pajak secara mandiri. Namun, bagi entitas bisnis secara keseluruhan, khususnya kantor pusat, ini berarti adanya peningkatan beban dalam hal konsolidasi data dan pelaporan. Kantor pusat kini harus mampu mengumpulkan, mengelola, dan melaporkan data transaksi dari semua cabang secara terpusat dengan akurat. Hal ini menuntut adanya integrasi yang lebih kuat antara sistem akuntansi dan perpajakan kantor pusat dengan operasional cabang.

Perubahan ini juga merupakan dukungan terhadap kebijakan "Satu Data Indonesia". Penggunaan NITKU, bersamaan dengan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP bagi orang pribadi, bertujuan untuk mencapai data Wajib Pajak yang lebih akurat dan terintegrasi. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mewujudkan kebijakan "Satu Data Indonesia", yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi administrasi perpajakan secara keseluruhan.6

Meskipun tidak lagi memiliki kewajiban perpajakan mandiri, NITKU tetap memegang peran penting sebagai identifikasi transaksi antar cabang. Nomor ini digunakan dalam pembuatan dokumen perpajakan seperti faktur, bukti potong, dan SPT untuk secara spesifik membedakan cabang mana yang melakukan transaksi atau aktivitas tertentu.1 Ini memungkinkan DJP untuk tetap memiliki visibilitas terhadap aktivitas ekonomi di setiap lokasi usaha, meskipun kewajiban pajaknya terpusat.

 

1.3 Perbedaan Mendasar antara NITKU dan NPWP Cabang

 

Untuk mempermudah pemahaman mengenai perubahan ini, sangat penting untuk melihat perbedaan inti antara NPWP Cabang yang lama dan NITKU yang baru. Perbedaan paling krusial terletak pada fungsi dan kewajiban perpajakannya. Tabel berikut menyajikan perbandingan yang jelas dan ringkas antara keduanya:

Tabel 1: Perbandingan NITKU dan NPWP Cabang

 

Fitur

NPWP Cabang (Lama)

NITKU (Baru)

Definisi

Nomor identitas yang diberikan untuk tempat kegiatan usaha yang terpisah, untuk pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.9

Nomor identitas yang diberikan untuk tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.1

Format

Umumnya 15 digit.11

22 digit, terdiri dari 16 digit NPWP Pusat + 6 digit nomor urut cabang.1

Fungsi Utama

Melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan secara mandiri untuk cabang.9

Hanya sebagai identitas lokasi untuk membedakan transaksi antar cabang dan keperluan administrasi tertentu.1

Kewajiban Perpajakan

Memiliki kewajiban perpajakan sendiri (penyetoran, pelaporan, pemotongan/pemungutan pajak).5

Tidak memiliki kewajiban perpajakan mandiri. Semua kewajiban pajak dilakukan oleh NPWP Pusat.1

Penerbitan Kartu Fisik

Ada kartu fisik NPWP Cabang.

Tidak disediakan kartu fisik NITKU.12

Penggunaan untuk Pelaporan/Penyetoran

Digunakan untuk pelaporan dan penyetoran pajak cabang secara terpisah.5

Semua pelaporan dan penyetoran pajak dilakukan menggunakan NPWP Pusat.5

 

Bab 2: Pembahasan Inti – Seluk Beluk NITKU yang Perlu Anda Ketahui

 

 

2.1 Dasar Peraturan NITKU Secara Lengkap

 

Implementasi NITKU memiliki landasan hukum yang kuat dalam peraturan perpajakan di Indonesia. Perubahan ini telah diatur secara komprehensif untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh Wajib Pajak. Berikut adalah beberapa dasar peraturan penting terkait NITKU:

     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP): Undang-undang ini menjadi payung hukum bagi perubahan identitas Wajib Pajak, termasuk pengenalan NITKU. UU HPP mengamanatkan modernisasi administrasi perpajakan untuk mewujudkan sistem yang lebih efektif dan efisien.4

     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah:

     Pasal 1 angka 6: Mendefinisikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) sebagai nomor identitas yang diberikan bagi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.6

     Pasal 9 ayat (1): Menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak cabang yang telah diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, Direktur Jenderal Pajak memberikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).10

     Pasal 11 ayat (1) huruf b: Menyebutkan bahwa terhitung sejak tanggal 1 Januari 2024 (kemudian diubah menjadi 1 Juli 2024 oleh PMK 136/2023), Wajib Pajak menggunakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha sebagai identitas tempat kegiatan usaha yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan.9

     Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022:

     Pasal I angka 3: Mengubah ketentuan Pasal 9 ayat (3) PMK 112/2022, memperpanjang penggunaan NPWP Cabang untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan hingga tanggal 30 Juni 2024.13

     Pasal I angka 5: Mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (1) PMK 112/2022, menetapkan bahwa mulai 1 Juli 2024, Wajib Pajak menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP, NPWP 16 digit, dan NITKU dalam layanan administrasi yang diselenggarakan DJP dan pihak lain.13

     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2024 tentang Penggunaan NIK sebagai NPWP, NPWP dengan Format 16 Digit, dan NITKU dalam Layanan Administrasi Perpajakan:

     Pasal 2 ayat (1) huruf d, e, f, g: Merinci jenis layanan administrasi perpajakan yang dapat diakses menggunakan NIK, NPWP 16 digit, dan NITKU mulai 1 Juli 2024. Layanan tersebut meliputi pendaftaran Wajib Pajak (e-Registration), akun profil Wajib Pajak pada DJP Online, informasi konfirmasi status Wajib Pajak (KSWP), penerbitan bukti potong dan pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26 instansi pemerintah, dan pengajuan keberatan (e-Objection).14

     Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 tentang Petunjuk Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan serta Perincian Jenis, Dokumen, dan Saluran untuk Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan:

     Pasal 33: Merinci secara spesifik fungsi dan kegunaan NITKU dalam berbagai administrasi perpajakan, yang akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab berikutnya.2

Untuk memudahkan pemahaman mengenai dasar hukum NITKU, berikut adalah ringkasan dalam bentuk tabel:

Tabel 2: Ringkasan Landasan Hukum NITKU

 

Peraturan

Nomor & Tahun

Pasal & Ayat

Relevansi dengan NITKU

Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)

UU No. 7 Tahun 2021

-

Payung hukum modernisasi administrasi perpajakan, termasuk pengenalan NITKU.5

Peraturan Menteri Keuangan

PMK No. 112/PMK.03/2022

Pasal 1 angka 6

Mendefinisikan NITKU sebagai identitas tempat kegiatan usaha terpisah.6

 

 

Pasal 9 ayat (1)

Pemberian NITKU secara jabatan untuk NPWP Cabang yang sudah ada.10

 

 

Pasal 11 ayat (1) huruf b

Penggunaan NITKU sebagai identitas tempat kegiatan usaha mulai 1 Januari 2024 (diubah ke 1 Juli 2024).9

Peraturan Menteri Keuangan

PMK No. 136 Tahun 2023

Pasal I angka 3

Memperpanjang penggunaan NPWP Cabang hingga 30 Juni 2024.13

 

 

Pasal I angka 5

Menetapkan implementasi penuh NIK/NPWP 16 digit/NITKU mulai 1 Juli 2024.13

Peraturan Direktur Jenderal Pajak

PER-6/PJ/2024

Pasal 2 ayat (1) huruf d, e, f, g

Merinci layanan administrasi yang menggunakan NIK/NPWP 16 digit/NITKU mulai 1 Juli 2024.14

Peraturan Direktur Jenderal Pajak

PER-7/PJ/2025

Pasal 33

Merinci fungsi dan kegunaan spesifik NITKU dalam administrasi perpajakan.2

 

2.2 Fungsi dan Kegunaan Penting NITKU

 

Meskipun NITKU tidak memiliki kewajiban perpajakan sendiri, perannya sangat vital dalam administrasi perpajakan yang terpusat. NITKU berfungsi sebagai penanda lokasi yang memungkinkan DJP untuk melacak dan mengelola data secara lebih granular. Berdasarkan Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2, serta informasi tambahan dari sumber lain, NITKU digunakan untuk:

     Identifikasi Lokasi Tempat Bekerja Pegawai: NITKU membantu dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Dengan demikian, DJP dapat mengidentifikasi lokasi fisik tempat setiap pegawai bekerja, yang penting untuk analisis data ketenagakerjaan dan kepatuhan pajak.2

     Pemberian Akses Pembuatan Bukti Potong PPh dan Faktur Pajak: Pengurus atau pegawai di kantor cabang dapat diberikan akses untuk membuat atau menandatangani bukti pemotongan PPh dan faktur pajak. NITKU berfungsi sebagai penanda lokasi transaksi, memastikan bahwa dokumen-dokumen ini secara akurat mencerminkan asal-usul transaksi meskipun kewajiban pajaknya terpusat di NPWP Pusat.1

     Identifikasi Lokasi Usaha untuk Pelaporan Peredaran Usaha: Peran ini sangat penting bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) dan Wajib Pajak Badan yang dikenakan PPh Final. NITKU memungkinkan mereka untuk melaporkan peredaran usaha di tiap-tiap tempat kegiatan usaha dalam SPT Tahunan PPh, memberikan gambaran yang jelas mengenai kontribusi setiap lokasi terhadap total omzet.2

     Identifikasi Alamat PKP Penjual/Pembeli untuk Faktur Pajak: NITKU digunakan untuk mengidentifikasi alamat Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik sebagai penjual Barang Kena Pajak (BKP) atau pemberi Jasa Kena Pajak (JKP), maupun sebagai pembeli BKP atau penerima JKP. Selain itu, NITKU juga mengidentifikasi alamat pengiriman atau penyerahan BKP/JKP. Hal ini memastikan keakuratan informasi pada faktur pajak dan mempermudah pelacakan transaksi.2

     Identifikasi Lokasi Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): NITKU mempermudah pelaporan objek PBB, membantu DJP dalam mengelola data PBB secara lebih efisien dan akurat berdasarkan lokasi fisik objek pajak.2

     Administrasi Kepabeanan: Untuk kepentingan administrasi kepabeanan, NITKU digunakan untuk identifikasi kawasan-kawasan berfasilitas tertentu, seperti kawasan bebas atau kawasan berikat.4 Ini menunjukkan bahwa NITKU memiliki relevansi lintas sektor dalam administrasi negara.

     Administrasi Perpajakan Lainnya: NITKU juga mendukung berbagai fungsi perpajakan lainnya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.2

Berikut adalah ringkasan fungsi utama NITKU dalam bentuk tabel:

Tabel 3: Fungsi Utama NITKU Berdasarkan Peraturan

 

Fungsi NITKU

Relevansi

Landasan Peraturan

Identifikasi Lokasi Tempat Bekerja Pegawai

Membantu pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk akurasi data lokasi kerja.

Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2

Pemberian Akses Pembuatan Bukti Potong PPh dan Faktur Pajak

Memungkinkan PIC cabang membuat dokumen pajak dengan penanda lokasi transaksi.

Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2

Identifikasi Lokasi Usaha untuk Pelaporan Peredaran Usaha

Penting bagi OPPT dan Badan PPh Final untuk melaporkan omzet per lokasi.

Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2

Identifikasi Alamat PKP Penjual/Pembeli untuk Faktur Pajak

Memastikan keakuratan identitas pihak dalam faktur pajak dan lokasi pengiriman.

Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2

Identifikasi Lokasi Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Mempermudah pelaporan dan pengelolaan data objek PBB.

Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2

Administrasi Kepabeanan

Digunakan untuk identifikasi kawasan berfasilitas (bebas, berikat, dll.).

4

Administrasi Perpajakan Lainnya

Mendukung berbagai fungsi perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2

 

2.3 Prosedur Memperoleh dan Menghapus NITKU

 

Proses perolehan dan penghapusan NITKU dirancang untuk memastikan bahwa setiap lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak tercatat dengan akurat dalam sistem DJP.

Pemberian NITKU secara Jabatan:

Bagi Wajib Pajak Cabang yang sudah memiliki NPWP Cabang sebelum berlakunya NITKU, DJP akan memberikan NITKU secara otomatis (jabatan) tanpa perlu mengajukan permohonan. Informasi NITKU ini dapat dicek dengan mudah melalui akun DJP Online NPWP Pusat (dengan masuk ke menu Profil, lalu memilih Daftar NPWP Cabang) atau dengan mencetak ulang Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) terbaru di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar.

 

Pelaporan dan Penerbitan NITKU untuk Cabang Baru/Lokasi Usaha Baru:

Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk melaporkan tempat kegiatan usaha baru ke DJP paling lambat 1 bulan setelah saat berdirinya kegiatan usaha tersebut.Pelaporan ini dapat dilakukan secara elektronik melalui portal Wajib Pajak (sistemcoretax), laman/aplikasi yang terintegrasi dengan sistem DJP, atau melalui contact center DJP.18

Apabila Wajib Pajak tidak melaporkan tempat kegiatan usaha barunya, KPP memiliki wewenang untuk memberikan NITKU secara jabatan setelah melakukan penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan.12 Ini menunjukkan bahwa DJP akan proaktif dalam memastikan semua lokasi usaha teridentifikasi.

Khusus untuk objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seperti perkebunan, kehutanan, pertambangan minyak dan gas, pertambangan panas bumi, pertambangan mineral dan batubara, serta objek PBB sektor lainnya, dan juga sub-unit Wajib Pajak instansi pemerintah, NITKU akan diterbitkan secara jabatan saat nomor objek pajak (NOP) diterbitkan.18

Pendekatan DJP yang menggabungkan pemberian secara jabatan dan kewajiban pelaporan dari Wajib Pajak menunjukkan adanya upaya untuk menyeimbangkan otomatisasi dengan akurasi data. Wajib Pajak perlu memahami bahwa mereka tidak bisa pasif dalam hal ini. Mereka harus secara aktif memantau status NITKU mereka dan memastikan semua lokasi usaha yang relevan terdaftar atau dihapus sesuai dengan kondisi riil. Kegagalan untuk proaktif dapat menyebabkan DJP mengambil tindakan secara jabatan, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan kondisi atau keinginan Wajib Pajak, bahkan berpotensi menimbulkan sanksi jika ada ketidaksesuaian data yang signifikan.

Penghapusan NITKU:

Jika Wajib Pajak sudah tidak melakukan kegiatan usaha di tempat kegiatan usaha yang terdaftar, NITKU yang telah dimiliki harus dihapus. Proses penghapusan ini penting untuk menjaga keakuratan data perpajakan. Apabila Wajib Pajak tidak menghapus NITKU tersebut, DJP memiliki kewenangan untuk menghapus NITKU secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi atas Wajib Pajak yang bersangkutan. Untuk NPWP Cabang yang akan diganti NITKU dan tidak lagi memiliki kewajiban perpajakan, Wajib Pajak disarankan mengajukan penghapusan NPWP Cabang ke KPP tempat NPWP tersebut terdaftar.

 

2.4 NITKU untuk Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)

 

NITKU tidak hanya relevan bagi badan usaha dengan banyak cabang, tetapi juga memiliki implikasi penting bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT). OPPT adalah individu yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas di satu atau lebih tempat kegiatan usaha selain tempat tinggalnya.

Peran NITKU bagi OPPT:

Bagi OPPT, NITKU digunakan untuk mengidentifikasi lokasi tempat tinggal, tempat kedudukan, dan cabang tempat kegiatan usaha yang dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final. Hal ini memungkinkan pelaporan peredaran usaha di tiap-tiap tempat kegiatan usaha dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh.

Penerapan NITKU untuk OPPT menunjukkan perluasan jangkauan pengawasan pajak oleh DJP. OPPT seringkali merupakan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) atau individu yang memiliki beberapa lokasi usaha, seperti beberapa warung, kios, atau toko daring dengan gudang terpisah. Dengan mewajibkan NITKU, DJP memperluas kemampuan pengawasan dan pengumpulan data hingga ke segmen Wajib Pajak ini. Ini adalah bagian dari strategi DJP untuk mendapatkan visibilitas yang lebih granular terhadap seluruh aktivitas ekonomi di Indonesia, termasuk yang dilakukan oleh individu dengan beberapa sumber penghasilan dari lokasi berbeda. Langkah ini berpotensi meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak dari sektor UMKM, namun juga menuntut pemahaman yang lebih baik dari para pelaku usaha ini mengenai kewajiban identifikasi lokasi usahanya.

 

2.5 Masa Transisi dan Implementasi Penuh NITKU

Peralihan dari NPWP Cabang ke NITKU telah diatur dengan masa transisi yang cermat untuk memberikan waktu yang cukup bagi Wajib Pajak dan sistem administrasi perpajakan untuk beradaptasi dengan perubahan besar ini.

Masa Transisi NPWP Cabang:

NPWP Cabang yang lama masih dapat digunakan untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan hingga tanggal 30 Juni 2024.12 Ini berarti selama periode tersebut, Wajib Pajak masih bisa menggunakan NPWP Cabang mereka untuk pelaporan dan pembayaran pajak.

Implementasi Penuh NITKU:

Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2024, Wajib Pajak secara bertahap wajib menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP, NPWP dengan format 16 digit, dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) dalam seluruh layanan administrasi yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan pihak lain.4 Tanggal ini menandai dimulainya era baru dalam administrasi pajak yang lebih terintegrasi dan berbasis data.

Layanan yang Menggunakan NITKU Sejak 1 Juli 2024:

Beberapa layanan administrasi perpajakan yang telah diatur untuk menggunakan NITKU sejak 1 Juli 2024 antara lain:

     Pendaftaran Wajib Pajak (e-Registration).

     Akses akun profil Wajib Pajak pada DJP Online.

     Informasi konfirmasi status Wajib Pajak (KSWP).

     Penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 (e-Bupot 21/26).

     Penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Unifikasi (e-Bupot Unifikasi).

     Penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26 instansi pemerintah dan SPT Masa PPh Unifikasi instansi pemerintah (e-Bupot Instansi Pemerintah).

     Pengajuan keberatan (e-Objection).

Penyesuaian Sistem Pihak Lain:

Penting untuk dicatat bahwa pihak lain yang mensyaratkan penggunaan NPWP dalam layanan administrasinya, seperti bank atau lembaga keuangan, diberikan perpanjangan waktu untuk menyesuaikan sistem mereka hingga 31 Desember 2024. Ini menunjukkan bahwa meskipun DJP telah menetapkan tanggal implementasi penuh untuk layanannya, mereka menyadari bahwa entitas di luar DJP mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk sepenuhnya mengintegrasikan NITKU ke dalam sistem mereka.

Adanya masa transisi dan perpanjangan waktu bagi pihak lain mengindikasikan adanya kesiapan sistem dan potensi kendala yang mungkin timbul. Potensi kendala atau ketidaklancaran masih bisa terjadi, terutama dalam transaksi yang melibatkan pihak ketiga yang belum sepenuhnya siap. Wajib Pajak perlu memahami bahwa tidak semua layanan atau pihak akan langsung siap 100% pada 1 Juli 2024. Oleh karena itu, kesabaran dan komunikasi proaktif mungkin diperlukan jika menghadapi masalah. Situasi ini juga menyoroti pentingnya bagi Wajib Pajak untuk memastikan data NITKU mereka valid di sistem DJP, agar proses transisi berjalan semulus mungkin.

 

2.6 Dampak dan Konsekuensi Jika Wajib Pajak Tidak Memiliki atau Keliru Mencantumkan NITKU

Ketidakpatuhan atau kesalahan dalam pencantuman NITKU dapat menimbulkan konsekuensi serius dalam administrasi perpajakan, terutama karena sistem DJP semakin terintegrasi dan otomatis.

     Error "NITKU Pembeli Tidak Valid" pada Sistem E-Faktur/Coretax:
Salah satu dampak paling langsung adalah munculnya pesan kesalahan "NITKU Pembeli Tidak Valid" ketika mencoba mengimpor faktur pajak keluaran dalam format XML. Kesalahan ini secara khusus terjadi jika kolom 'Jenis ID Pembeli' diisi dengan "National ID" atau "NIK", dan 'ID TKU Pembeli' dibiarkan kosong atau diisi dengan tanda hubung (-). Untuk mengatasi ini, jika jenis ID pembeli adalah NPWP, maka 'ID TKU Pembeli' harus diisi dengan NITKU 22 digit yang benar. Jika jenis ID pembeli selain NPWP, maka 'ID TKU' harus diisi dengan '0000'. Masalah ini sangat krusial karena penerbitan faktur pajak merupakan komponen yang diwajibkan untuk pelaporan SPT Masa PPN, yang mulai wajib menggunakan sistem Coretax DJP per 1 Januari 2025, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024).23 Dengan demikian, NITKU yang tidak valid akan menghambat keberhasilan impor faktur pajak, yang pada gilirannya menghalangi pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Masa PPN.

     Tidak Dapat Membuat Faktur Pajak Pengganti untuk Kesalahan Identitas Pembeli:
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat membetulkan atau mengganti faktur pajak yang salah dalam pengisian atau penulisan. Namun, kesalahan tersebut tidak termasuk kesalahan dalam pengisian atau penulisan identitas pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b PER-11/PJ/2025.24 Ini berarti, jika kesalahan terletak pada NITKU pembeli, faktur pajak tersebut tidak dapat diperbaiki melalui mekanisme faktur pajak pengganti. Wajib Pajak harus mengajukan permohonan perubahan data agar nama dan/atau alamat yang diadministrasikan dalam sistem DJP sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.24

     Hambatan dalam Pelaporan SPT Masa PPN:
Seperti yang telah dijelaskan, kesalahan NITKU pada faktur pajak akan mencegah proses impor faktur ke dalam sistem DJP, yang secara langsung menghambat pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Masa PPN.23

     Potensi Sanksi Administratif:
Meskipun peraturan tidak secara spesifik menyebutkan sanksi langsung untuk ketiadaan NITKU, kegagalan dalam memenuhi kewajiban pelaporan tempat kegiatan usaha atau kesalahan dalam pencantuman identitas dapat berujung pada sanksi administratif sesuai ketentuan umum perpajakan yang berlaku. Ini dapat mencakup denda atau konsekuensi lain yang diatur dalam undang-undang perpajakan.

Konsekuensi ini menekankan pentingnya akurasi data dan otomatisasi kepatuhan. DJP sedang bergerak menuju sistem perpajakan yang sangat otomatis dan terintegrasi, di mana data yang akurat adalah fondasinya. Kegagalan dalam mencantumkan atau memiliki NITKU yang valid bukan lagi sekadar kesalahan kecil, melainkan dapat menghentikan seluruh rantai kepatuhan pajak. Ini berarti Wajib Pajak harus memahami bahwa data yang benar adalah kunci dalam perpajakan modern. Investasi dalam sistem pencatatan yang akurat dan pelatihan staf untuk memastikan pencantuman NITKU yang benar menjadi sangat penting untuk menghindari masalah kepatuhan dan potensi sanksi di masa depan. Wajib Pajak juga harus proaktif dalam memutakhirkan data mereka di DJP.

Berikut adalah ringkasan konsekuensi jika Wajib Pajak tidak memiliki atau keliru mencantumkan NITKU:

Tabel 4: Konsekuensi Tidak Memiliki/Keliru Mencantumkan NITKU

 

Situasi

Dampak/Konsekuensi

Landasan Peraturan

Tidak memiliki/keliru mencantumkan NITKU Pembeli pada faktur pajak

Muncul error "NITKU Pembeli Tidak Valid" saat impor XML, menghambat pelaporan SPT Masa PPN.

 

Kesalahan pada identitas pembeli (termasuk NITKU) pada faktur pajak

Faktur pajak tidak dapat dibetulkan atau diganti melalui mekanisme faktur pajak pengganti.

Pasal 48 ayat (1) PER 11/PJ/2025, Pasal 33 huruf b PER 11/PJ/2025 24

NITKU tidak valid

Menghambat pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Masa PPN.

 

Kegagalan pelaporan tempat kegiatan usaha atau kesalahan identitas

Potensi sanksi administratif sesuai ketentuan umum perpajakan.

 

 

Bab 3: Kesimpulan dan Saran

 

 

3.1 Kesimpulan Utama

 

Perubahan dari Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang menjadi Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) merupakan inovasi penting dalam administrasi perpajakan di Indonesia. Kebijakan ini, yang berlandaskan pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER-DJP), bertujuan untuk menyederhanakan proses administrasi dan memusatkan kewajiban perpajakan ke NPWP Pusat.

Peran utama NITKU adalah sebagai identitas lokasi kegiatan usaha, bukan sebagai subjek kewajiban perpajakan yang berdiri sendiri. Ini berarti semua pembayaran dan pelaporan pajak, termasuk PPh dan PPN, kini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari NPWP Pusat. Meskipun demikian, NITKU tetap krusial sebagai penanda lokasi transaksi dalam berbagai dokumen perpajakan, seperti faktur pajak dan bukti potong.

 

3.2 Saran Praktis untuk Pengusaha dan Orang Pribadi

 

Untuk memastikan kelancaran administrasi perpajakan dan menghindari potensi masalah, berikut adalah beberapa saran praktis bagi para pengusaha dan orang pribadi yang memiliki tempat kegiatan usaha:

     Segera Lakukan Pemutakhiran Data: Pastikan semua tempat kegiatan usaha Anda, baik yang sudah ada maupun yang baru didirikan, telah dilaporkan dan memiliki NITKU yang tercatat dengan benar dalam sistem administrasi DJP. Ini sangat penting, termasuk bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) yang memiliki lebih dari satu lokasi usaha. Kepatuhan proaktif dalam pemutakhiran data akan menghindarkan Anda dari tindakan DJP secara jabatan yang mungkin tidak sesuai dengan kondisi riil Anda.

     Pahami Peran NPWP Pusat: Ingatlah bahwa semua kewajiban perpajakan Anda, mulai dari penyetoran pajak, pemotongan/pemungutan pajak, hingga pelaporan SPT, kini sepenuhnya dilakukan melalui NPWP Pusat Anda. Pastikan sistem akuntansi dan perpajakan internal Anda mendukung sentralisasi ini, dengan kemampuan mengkonsolidasi data dari seluruh lokasi usaha.

     Manfaatkan Coretax: Rutinlah memeriksa status NITKU Anda melalui akun Coretax yang tentunya diakses dari NPWP Pusat. Fitur ini adalah cara termudah untuk memastikan bahwa data Anda valid dan mutakhir, serta untuk melihat daftar NITKU yang telah diberikan kepada lokasi usaha Anda.

     Edukasi Internal: Jika Anda memiliki karyawan atau penanggung jawab di cabang-cabang atau lokasi usaha Anda, pastikan mereka memahami fungsi NITKU, terutama dalam pembuatan faktur pajak dan bukti potong. Tekankan bahwa semua kewajiban perpajakan terpusat di kantor pusat, sehingga koordinasi dan akurasi data dari cabang menjadi vital.

     Konsultasikan dengan Ahli: Jika Anda memiliki keraguan, menghadapi kompleksitas dalam implementasi NITKU, atau memerlukan bantuan dalam menyesuaikan sistem internal Anda, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak berpengalaman. Mereka dapat memberikan panduan yang tepat dan solusi yang disesuaikan dengan kondisi spesifik usaha Anda.

     Tetap Terinformasi: Sistem dan ketentuan perpajakan dapat terus disempurnakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk tetap mengikuti perkembangan peraturan perpajakan dari DJP dan sumber-sumber terpercaya lainnya. Keterbaruan informasi akan membantu Anda menjaga kepatuhan pajak secara berkelanjutan.

Kata Penutup

Perubahan menuju NITKU adalah bagian dari evolusi administrasi perpajakan yang lebih modern dan efisien. Dengan memahami dan mengimplementasikan perubahan ini secara proaktif, Wajib Pajak tidak hanya akan memastikan kelancaran administrasi perpajakan mereka sendiri, tetapi juga turut berkontribusi positif bagi pembangunan negara melalui kepatuhan pajak yang lebih baik.

Semoga laporan ini bermanfaat dan menjadi panduan yang mudah dipahami bagi Anda