Kata Pengantar
Selamat
datang kepada para pembaca, khususnya para pengusaha dan individu yang aktif
dalam berbagai kegiatan ekonomi di Indonesia. Laporan ini hadir untuk membahas
sebuah perubahan fundamental dalam sistem administrasi perpajakan di negara
kita, yaitu penggantian Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang dengan Nomor
Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU). Perubahan ini mungkin terdengar teknis
dan rumit, namun sesungguhnya memiliki dampak praktis yang signifikan bagi
banyak pihak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Tujuan utama laporan ini adalah menyajikan informasi
mengenai NITKU secara jelas, sederhana, dan komprehensif. Diharapkan, dengan
membaca laporan ini, pembaca dapat memahami esensi dari perubahan ini,
mengetahui apa saja yang perlu disiapkan, dan beradaptasi dengan lancar dalam
melaksanakan kewajiban perpajakan. Laporan ini dirancang sebagai panduan yang
mudah dicerna, bahkan bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pajak yang
mendalam. Mari kita selami bersama identitas baru ini untuk administrasi pajak
yang lebih mudah dan efisien.
Bab 1: Pendahuluan – Mengenal NITKU dan
Perubahannya
1.1 Apa Itu NITKU?
NITKU adalah singkatan dari Nomor Identitas Tempat
Kegiatan Usaha. Ini merupakan sebuah nomor identitas unik yang diberikan oleh
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk setiap lokasi kegiatan usaha Wajib Pajak
yang beroperasi secara terpisah dari alamat tempat tinggal atau tempat
kedudukan utama Wajib Pajak.1 Definisi ini mencakup setiap tempat di mana Wajib Pajak
menjalankan kegiatan usahanya, termasuk tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak itu sendiri.2
Secara resmi, definisi NITKU ini diperkenalkan melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor
136 Tahun 2023 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi,
Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.1 Peraturan
ini menjadi landasan hukum utama bagi keberadaan dan penggunaan NITKU dalam
sistem perpajakan Indonesia.
Mengenai formatnya, NITKU berbeda dengan NPWP yang
umumnya terdiri dari 15 atau 16 digit. NITKU memiliki format yang lebih
panjang, yaitu 22 digit angka. Format ini tersusun dari 16 digit Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) Pusat Wajib Pajak, diikuti dengan 6 digit nomor urut cabang
yang akan dihasilkan secara otomatis oleh sistem DJP.1 Penambahan
6 digit ini memungkinkan identifikasi yang lebih spesifik untuk setiap lokasi
kegiatan usaha yang dimiliki oleh satu Wajib Pajak Pusat.
1.2 Mengapa NPWP Cabang Diganti NITKU? Latar Belakang dan Alasan
Utama
Perubahan
dari NPWP Cabang menjadi NITKU bukanlah kebijakan yang berdiri sendiri,
melainkan bagian integral dari upaya besar modernisasi sistem administrasi
perpajakan di Indonesia. Inisiatif ini didorong oleh Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang bertujuan
untuk menciptakan sistem pajak yang lebih efisien dan terintegrasi.5
Salah satu alasan utama di balik perubahan ini adalah
untuk penyederhanaan administrasi
perpajakan. Tujuannya adalah mempermudah Wajib Pajak, khususnya badan usaha
yang memiliki banyak cabang, dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Dengan
adanya NITKU, proses administrasi pajak diharapkan menjadi lebih sederhana dan
terpusat.1
Perbedaan paling mendasar yang menjadi alasan utama
penggantian ini adalah sentralisasi
kewajiban perpajakan. Berbeda dengan NPWP Cabang yang sebelumnya memiliki
kewajiban perpajakan sendiri (seperti pelaporan dan pembayaran pajak), NITKU
tidak memiliki kewajiban perpajakan. Ini berarti semua kewajiban perpajakan,
seperti penyetoran pajak, pembuatan bukti potong, penerbitan faktur pajak, dan
pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT), kini harus dilakukan menggunakan NPWP
Pusat.1 Perubahan ini diharapkan dapat mempermudah administrasi
dan meringankan biaya kepatuhan bagi Wajib Pajak.1
Penyederhanaan administrasi ini, meskipun disebut sebagai
"penyederhanaan", pada dasarnya merupakan sentralisasi beban kerja. Bagi setiap cabang, memang ada
penyederhanaan karena tidak lagi perlu mengelola kewajiban pajak secara
mandiri. Namun, bagi
entitas bisnis secara keseluruhan, khususnya kantor pusat, ini berarti adanya
peningkatan beban dalam hal konsolidasi data dan pelaporan. Kantor pusat
kini harus mampu mengumpulkan, mengelola, dan melaporkan data transaksi dari
semua cabang secara terpusat dengan akurat. Hal ini menuntut adanya integrasi
yang lebih kuat antara sistem akuntansi dan perpajakan kantor pusat dengan
operasional cabang.
Perubahan ini juga merupakan dukungan terhadap
kebijakan "Satu Data Indonesia". Penggunaan NITKU,
bersamaan dengan implementasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP bagi
orang pribadi, bertujuan untuk mencapai data Wajib Pajak yang lebih akurat dan
terintegrasi. Hal ini sejalan dengan visi pemerintah untuk mewujudkan kebijakan
"Satu Data Indonesia", yang diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi administrasi perpajakan secara keseluruhan.6
Meskipun tidak
lagi memiliki kewajiban perpajakan mandiri, NITKU tetap memegang peran penting
sebagai identifikasi transaksi antar
cabang. Nomor ini digunakan dalam pembuatan
dokumen perpajakan seperti faktur, bukti potong, dan SPT untuk secara spesifik
membedakan cabang mana yang melakukan transaksi atau aktivitas tertentu.1 Ini
memungkinkan DJP untuk tetap memiliki visibilitas terhadap aktivitas ekonomi di
setiap lokasi usaha, meskipun kewajiban pajaknya terpusat.
1.3 Perbedaan Mendasar antara NITKU dan
NPWP Cabang
Untuk mempermudah pemahaman mengenai perubahan ini,
sangat penting untuk melihat perbedaan inti antara NPWP Cabang yang lama dan
NITKU yang baru. Perbedaan paling krusial terletak pada fungsi dan kewajiban
perpajakannya. Tabel berikut menyajikan perbandingan yang jelas dan ringkas
antara keduanya:
Tabel 1: Perbandingan NITKU dan
NPWP Cabang
Fitur
|
NPWP Cabang (Lama)
|
NITKU (Baru)
|
Definisi
|
Nomor
identitas yang diberikan untuk tempat kegiatan usaha yang terpisah, untuk
pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan.9
|
Nomor
identitas yang diberikan untuk tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang
terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.1
|
Format
|
Umumnya 15 digit.11
|
22 digit, terdiri dari 16 digit NPWP Pusat + 6 digit nomor
urut cabang.1
|
Fungsi
Utama
|
Melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakan secara mandiri untuk cabang.9
|
Hanya
sebagai identitas lokasi untuk membedakan transaksi antar cabang dan
keperluan administrasi tertentu.1
|
Kewajiban
Perpajakan
|
Memiliki
kewajiban perpajakan sendiri (penyetoran, pelaporan, pemotongan/pemungutan
pajak).5
|
Tidak
memiliki kewajiban perpajakan mandiri. Semua kewajiban pajak dilakukan oleh
NPWP Pusat.1
|
Penerbitan
Kartu Fisik
|
Ada kartu
fisik NPWP Cabang.
|
Tidak
disediakan kartu fisik NITKU.12
|
Penggunaan
untuk Pelaporan/Penyetoran
|
Digunakan untuk pelaporan dan penyetoran pajak cabang secara
terpisah.5
|
Semua
pelaporan dan penyetoran pajak dilakukan menggunakan NPWP Pusat.5
|
Bab 2: Pembahasan Inti – Seluk Beluk NITKU
yang Perlu Anda Ketahui
2.1 Dasar Peraturan NITKU Secara Lengkap
Implementasi NITKU memiliki landasan hukum yang kuat
dalam peraturan perpajakan di Indonesia. Perubahan ini telah diatur secara
komprehensif untuk memberikan kepastian hukum bagi seluruh Wajib Pajak. Berikut
adalah beberapa dasar peraturan penting terkait NITKU:
●
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP):
Undang-undang ini menjadi payung hukum bagi perubahan identitas Wajib Pajak,
termasuk pengenalan NITKU. UU HPP mengamanatkan modernisasi administrasi
perpajakan untuk mewujudkan sistem yang lebih efektif dan efisien.4
●
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi
Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi
Pemerintah:
○
Pasal
1 angka 6: Mendefinisikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU)
sebagai nomor identitas yang diberikan bagi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak
yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.6
○
Pasal
9 ayat (1): Menyatakan bahwa terhadap Wajib Pajak cabang yang telah
diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang sebelum Peraturan Menteri ini
berlaku, Direktur Jenderal Pajak memberikan Nomor Identitas Tempat Kegiatan
Usaha (NITKU).10
○
Pasal
11 ayat (1) huruf b: Menyebutkan bahwa terhitung sejak tanggal 1 Januari 2024
(kemudian diubah menjadi 1 Juli 2024 oleh PMK 136/2023), Wajib Pajak
menggunakan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha sebagai identitas tempat
kegiatan usaha yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan.9
●
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022:
○
Pasal
I angka 3: Mengubah ketentuan Pasal 9 ayat (3) PMK 112/2022, memperpanjang
penggunaan NPWP Cabang untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan
hingga tanggal 30 Juni 2024.13
○
Pasal
I angka 5: Mengubah ketentuan Pasal 11 ayat (1) PMK 112/2022, menetapkan
bahwa mulai 1 Juli 2024, Wajib Pajak menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK)
sebagai NPWP, NPWP 16 digit, dan NITKU dalam layanan administrasi yang
diselenggarakan DJP dan pihak lain.13
●
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-6/PJ/2024 tentang Penggunaan NIK sebagai
NPWP, NPWP dengan Format 16 Digit, dan NITKU dalam Layanan Administrasi
Perpajakan:
○
Pasal
2 ayat (1) huruf d, e, f, g: Merinci jenis layanan
administrasi perpajakan yang dapat diakses menggunakan NIK, NPWP 16 digit, dan
NITKU mulai 1 Juli 2024. Layanan tersebut meliputi pendaftaran Wajib Pajak
(e-Registration), akun profil Wajib Pajak pada DJP Online, informasi konfirmasi
status Wajib Pajak (KSWP), penerbitan bukti potong dan pelaporan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21/26, Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Penghasilan Unifikasi, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal
21/26 instansi pemerintah, dan pengajuan keberatan (e-Objection).14
●
Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-7/PJ/2025 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengusaha Kena Pajak, Objek Pajak Pajak
Bumi dan Bangunan serta Perincian Jenis, Dokumen, dan Saluran untuk Pelaksanaan
Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan:
○
Pasal
33:
Merinci secara spesifik fungsi dan kegunaan NITKU dalam berbagai administrasi
perpajakan, yang akan dijelaskan lebih lanjut pada sub-bab berikutnya.2
Untuk memudahkan pemahaman mengenai dasar hukum NITKU, berikut
adalah ringkasan dalam bentuk tabel:
Tabel 2: Ringkasan Landasan
Hukum NITKU
Peraturan
|
Nomor & Tahun
|
Pasal & Ayat
|
Relevansi dengan NITKU
|
Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
|
UU No. 7 Tahun 2021
|
-
|
Payung
hukum modernisasi administrasi perpajakan, termasuk pengenalan NITKU.5
|
Peraturan Menteri Keuangan
|
PMK No. 112/PMK.03/2022
|
Pasal 1 angka 6
|
Mendefinisikan
NITKU sebagai identitas tempat kegiatan usaha terpisah.6
|
|
|
Pasal 9 ayat (1)
|
Pemberian NITKU secara jabatan untuk NPWP Cabang yang sudah
ada.10
|
|
|
Pasal 11 ayat (1) huruf b
|
Penggunaan
NITKU sebagai identitas tempat kegiatan usaha mulai 1 Januari 2024 (diubah ke
1 Juli 2024).9
|
Peraturan Menteri Keuangan
|
PMK No. 136 Tahun 2023
|
Pasal I angka 3
|
Memperpanjang penggunaan NPWP Cabang hingga 30 Juni 2024.13
|
|
|
Pasal I angka 5
|
Menetapkan
implementasi penuh NIK/NPWP 16 digit/NITKU mulai 1 Juli 2024.13
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
|
PER-6/PJ/2024
|
Pasal 2 ayat (1) huruf d, e, f, g
|
Merinci layanan administrasi yang menggunakan NIK/NPWP 16
digit/NITKU mulai 1 Juli 2024.14
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak
|
PER-7/PJ/2025
|
Pasal 33
|
Merinci fungsi dan kegunaan spesifik NITKU dalam administrasi
perpajakan.2
|
2.2 Fungsi dan Kegunaan Penting NITKU
Meskipun
NITKU tidak memiliki kewajiban perpajakan sendiri, perannya sangat vital dalam
administrasi perpajakan yang terpusat. NITKU berfungsi sebagai penanda lokasi
yang memungkinkan DJP untuk melacak dan mengelola data secara lebih granular. Berdasarkan Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2, serta
informasi tambahan dari sumber lain, NITKU digunakan untuk:
●
Identifikasi
Lokasi Tempat Bekerja Pegawai: NITKU
membantu dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa Pajak Penghasilan (PPh)
Pasal 21. Dengan demikian, DJP dapat mengidentifikasi lokasi fisik tempat
setiap pegawai bekerja, yang penting untuk analisis data ketenagakerjaan dan
kepatuhan pajak.2
●
Pemberian Akses
Pembuatan Bukti Potong PPh dan Faktur Pajak: Pengurus atau pegawai di kantor cabang dapat diberikan akses untuk membuat
atau menandatangani bukti pemotongan PPh dan faktur pajak. NITKU berfungsi
sebagai penanda lokasi transaksi, memastikan bahwa dokumen-dokumen ini secara
akurat mencerminkan
asal-usul transaksi meskipun kewajiban pajaknya terpusat di NPWP Pusat.1
●
Identifikasi Lokasi Usaha untuk Pelaporan Peredaran
Usaha: Peran ini sangat penting bagi Wajib Pajak
Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) dan Wajib Pajak Badan yang dikenakan
PPh Final. NITKU
memungkinkan mereka untuk melaporkan peredaran usaha di tiap-tiap tempat
kegiatan usaha dalam SPT Tahunan PPh, memberikan gambaran yang jelas
mengenai kontribusi setiap lokasi terhadap total omzet.2
●
Identifikasi Alamat PKP Penjual/Pembeli untuk Faktur
Pajak: NITKU digunakan untuk mengidentifikasi
alamat Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik sebagai penjual Barang Kena Pajak (BKP)
atau pemberi Jasa Kena Pajak (JKP), maupun sebagai pembeli BKP atau penerima
JKP. Selain itu, NITKU juga mengidentifikasi alamat pengiriman atau penyerahan
BKP/JKP. Hal ini memastikan keakuratan informasi pada faktur pajak dan
mempermudah pelacakan transaksi.2
●
Identifikasi Lokasi Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): NITKU mempermudah pelaporan objek PBB, membantu DJP
dalam mengelola data PBB secara lebih efisien dan akurat berdasarkan lokasi
fisik objek pajak.2
●
Administrasi Kepabeanan: Untuk kepentingan administrasi kepabeanan, NITKU
digunakan untuk identifikasi
kawasan-kawasan berfasilitas tertentu, seperti kawasan bebas atau
kawasan berikat.4 Ini menunjukkan bahwa NITKU memiliki relevansi lintas
sektor dalam administrasi negara.
● Administrasi
Perpajakan Lainnya: NITKU juga
mendukung berbagai fungsi perpajakan lainnya yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.2
Berikut adalah ringkasan fungsi utama NITKU
dalam bentuk tabel:
Tabel 3:
Fungsi Utama NITKU Berdasarkan Peraturan
Fungsi NITKU
|
Relevansi
|
Landasan Peraturan
|
Identifikasi
Lokasi Tempat Bekerja Pegawai
|
Membantu
pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk akurasi data lokasi kerja.
|
Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2
|
Pemberian Akses Pembuatan Bukti Potong PPh dan Faktur Pajak
|
Memungkinkan PIC cabang membuat dokumen pajak dengan penanda
lokasi transaksi.
|
Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2
|
Identifikasi
Lokasi Usaha untuk Pelaporan Peredaran Usaha
|
Penting bagi OPPT dan Badan PPh Final untuk melaporkan omzet
per lokasi.
|
Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2
|
Identifikasi
Alamat PKP Penjual/Pembeli untuk Faktur Pajak
|
Memastikan
keakuratan identitas pihak dalam faktur pajak dan lokasi pengiriman.
|
Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2
|
Identifikasi
Lokasi Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
|
Mempermudah pelaporan dan pengelolaan data objek PBB.
|
Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2
|
Administrasi Kepabeanan
|
Digunakan untuk identifikasi kawasan berfasilitas (bebas,
berikat, dll.).
|
4
|
Administrasi Perpajakan Lainnya
|
Mendukung berbagai fungsi perpajakan sesuai ketentuan yang
berlaku.
|
Pasal 33 PER-7/PJ/2025 2
|
2.3 Prosedur Memperoleh dan Menghapus NITKU
Proses
perolehan dan penghapusan NITKU dirancang untuk memastikan bahwa setiap lokasi
kegiatan usaha Wajib Pajak tercatat dengan akurat dalam sistem DJP.
Pemberian
NITKU secara Jabatan:
Bagi
Wajib Pajak Cabang yang sudah memiliki NPWP Cabang sebelum berlakunya NITKU,
DJP akan memberikan NITKU secara otomatis (jabatan) tanpa perlu mengajukan
permohonan. Informasi NITKU ini dapat dicek dengan mudah melalui akun DJP
Online NPWP Pusat (dengan masuk ke menu Profil, lalu memilih Daftar NPWP
Cabang) atau dengan mencetak ulang Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar
(SKT) terbaru di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar.
Pelaporan dan Penerbitan NITKU untuk Cabang Baru/Lokasi
Usaha Baru:
Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk melaporkan tempat
kegiatan usaha baru ke DJP paling lambat 1 bulan setelah saat berdirinya
kegiatan usaha tersebut.Pelaporan ini dapat dilakukan secara elektronik melalui
portal Wajib Pajak (sistemcoretax),
laman/aplikasi yang terintegrasi dengan sistem DJP, atau melalui contact center DJP.18
Apabila
Wajib Pajak tidak melaporkan tempat kegiatan usaha barunya, KPP memiliki
wewenang untuk memberikan NITKU secara jabatan setelah melakukan penelitian
administrasi terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan.12
Ini menunjukkan bahwa DJP akan proaktif dalam memastikan semua lokasi usaha
teridentifikasi.
Khusus
untuk objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seperti perkebunan, kehutanan,
pertambangan minyak dan gas, pertambangan panas bumi, pertambangan mineral dan
batubara, serta objek PBB sektor lainnya, dan juga sub-unit Wajib Pajak
instansi pemerintah, NITKU akan diterbitkan secara jabatan saat nomor objek
pajak (NOP) diterbitkan.18
Pendekatan
DJP yang menggabungkan pemberian secara jabatan dan kewajiban pelaporan dari
Wajib Pajak menunjukkan adanya upaya untuk menyeimbangkan otomatisasi dengan
akurasi data. Wajib Pajak perlu memahami bahwa mereka tidak bisa pasif dalam
hal ini. Mereka harus secara aktif memantau status
NITKU mereka dan memastikan semua lokasi usaha yang relevan terdaftar atau
dihapus sesuai dengan kondisi riil. Kegagalan untuk proaktif dapat menyebabkan DJP mengambil tindakan
secara jabatan, yang mungkin tidak selalu sesuai dengan kondisi atau
keinginan Wajib Pajak, bahkan
berpotensi menimbulkan sanksi jika ada ketidaksesuaian data yang signifikan.
Penghapusan NITKU:
Jika Wajib Pajak sudah tidak melakukan kegiatan usaha di
tempat kegiatan usaha yang terdaftar, NITKU yang telah dimiliki harus dihapus.
Proses penghapusan ini penting untuk menjaga keakuratan data perpajakan.
Apabila Wajib Pajak tidak menghapus NITKU tersebut, DJP memiliki kewenangan
untuk menghapus NITKU secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi
atas Wajib Pajak yang bersangkutan. Untuk NPWP Cabang yang akan diganti NITKU
dan tidak lagi memiliki kewajiban perpajakan, Wajib Pajak disarankan mengajukan
penghapusan NPWP Cabang ke KPP tempat NPWP tersebut terdaftar.
2.4 NITKU untuk Orang Pribadi Pengusaha
Tertentu (OPPT)
NITKU tidak hanya relevan bagi badan usaha dengan banyak
cabang, tetapi juga memiliki implikasi penting bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
Pengusaha Tertentu (OPPT). OPPT adalah individu yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas di satu atau lebih tempat kegiatan usaha selain tempat
tinggalnya.
Peran NITKU bagi OPPT:
Bagi OPPT, NITKU digunakan untuk mengidentifikasi lokasi
tempat tinggal, tempat kedudukan, dan cabang tempat kegiatan usaha yang
dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final. Hal ini memungkinkan pelaporan
peredaran usaha di tiap-tiap tempat kegiatan usaha dalam Surat Pemberitahuan
(SPT) Tahunan PPh.
Penerapan NITKU untuk OPPT menunjukkan perluasan jangkauan pengawasan pajak
oleh DJP. OPPT seringkali merupakan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(UMKM) atau individu yang memiliki beberapa lokasi usaha, seperti beberapa
warung, kios, atau toko daring dengan gudang terpisah. Dengan mewajibkan NITKU,
DJP memperluas kemampuan pengawasan dan pengumpulan data hingga ke segmen Wajib
Pajak ini. Ini adalah bagian dari strategi DJP untuk mendapatkan visibilitas
yang lebih granular terhadap seluruh aktivitas ekonomi di Indonesia, termasuk
yang dilakukan oleh individu dengan beberapa sumber penghasilan dari lokasi
berbeda. Langkah ini berpotensi meningkatkan kepatuhan dan penerimaan pajak
dari sektor UMKM, namun juga menuntut pemahaman yang lebih baik dari para
pelaku usaha ini mengenai kewajiban identifikasi lokasi usahanya.
2.5 Masa Transisi dan Implementasi Penuh
NITKU
Peralihan dari NPWP Cabang ke NITKU telah diatur dengan
masa transisi yang cermat untuk memberikan waktu yang cukup bagi Wajib Pajak
dan sistem administrasi perpajakan untuk beradaptasi dengan perubahan besar
ini.
Masa Transisi NPWP Cabang:
NPWP Cabang yang lama masih dapat digunakan untuk
pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan hingga tanggal 30 Juni
2024.12 Ini berarti selama periode tersebut, Wajib Pajak masih bisa menggunakan
NPWP Cabang mereka untuk pelaporan dan pembayaran pajak.
Implementasi Penuh NITKU:
Terhitung sejak tanggal 1 Juli 2024, Wajib Pajak secara
bertahap wajib menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai NPWP, NPWP
dengan format 16 digit, dan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) dalam
seluruh layanan administrasi yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal
Pajak dan pihak lain.4 Tanggal ini menandai dimulainya era baru dalam
administrasi pajak yang lebih terintegrasi dan berbasis data.
Layanan yang Menggunakan NITKU Sejak 1 Juli 2024:
Beberapa layanan administrasi perpajakan yang telah
diatur untuk menggunakan NITKU sejak 1 Juli 2024 antara lain:
●
Pendaftaran Wajib Pajak (e-Registration).
●
Akses akun
profil Wajib Pajak pada DJP Online.
●
Informasi konfirmasi status Wajib Pajak (KSWP).
●
Penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26
(e-Bupot 21/26).
●
Penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Unifikasi
(e-Bupot Unifikasi).
●
Penerbitan bukti potong dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21/26
instansi pemerintah dan SPT Masa PPh Unifikasi instansi pemerintah (e-Bupot
Instansi Pemerintah).
●
Pengajuan keberatan (e-Objection).
Penyesuaian
Sistem Pihak Lain:
Penting
untuk dicatat bahwa pihak lain yang mensyaratkan penggunaan NPWP dalam layanan
administrasinya, seperti bank atau lembaga keuangan, diberikan perpanjangan
waktu untuk menyesuaikan sistem mereka hingga 31 Desember 2024. Ini menunjukkan
bahwa meskipun DJP telah menetapkan tanggal implementasi penuh untuk
layanannya, mereka menyadari bahwa entitas di luar DJP mungkin memerlukan waktu
lebih lama untuk sepenuhnya mengintegrasikan NITKU ke dalam sistem mereka.
Adanya
masa transisi dan perpanjangan waktu bagi pihak lain mengindikasikan adanya kesiapan sistem dan potensi kendala
yang mungkin timbul. Potensi kendala atau ketidaklancaran masih bisa terjadi,
terutama dalam transaksi yang melibatkan pihak ketiga yang belum sepenuhnya
siap. Wajib Pajak perlu memahami bahwa tidak semua layanan atau pihak akan
langsung siap 100% pada 1 Juli 2024. Oleh karena itu, kesabaran dan komunikasi proaktif mungkin diperlukan jika
menghadapi masalah. Situasi ini juga menyoroti pentingnya bagi Wajib Pajak
untuk memastikan data NITKU mereka valid di sistem DJP, agar proses transisi
berjalan semulus mungkin.
2.6 Dampak dan Konsekuensi Jika Wajib Pajak
Tidak Memiliki atau Keliru Mencantumkan NITKU
Ketidakpatuhan atau kesalahan dalam pencantuman NITKU
dapat menimbulkan konsekuensi serius dalam administrasi perpajakan, terutama
karena sistem DJP semakin terintegrasi dan otomatis.
●
Error
"NITKU Pembeli Tidak Valid" pada Sistem E-Faktur/Coretax:
Salah satu dampak paling langsung adalah munculnya pesan
kesalahan "NITKU Pembeli Tidak Valid" ketika mencoba mengimpor faktur
pajak keluaran dalam format XML. Kesalahan ini secara khusus terjadi jika kolom
'Jenis ID Pembeli' diisi dengan "National ID" atau "NIK",
dan 'ID TKU Pembeli' dibiarkan kosong atau diisi dengan tanda hubung (-). Untuk
mengatasi ini, jika jenis ID pembeli adalah NPWP, maka 'ID TKU Pembeli' harus
diisi dengan NITKU 22 digit yang benar. Jika jenis ID pembeli selain NPWP, maka
'ID TKU' harus diisi dengan '0000'. Masalah ini sangat krusial karena
penerbitan faktur pajak merupakan komponen yang diwajibkan untuk pelaporan SPT
Masa PPN, yang mulai wajib menggunakan sistem Coretax DJP per 1 Januari 2025,
sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024).23
Dengan demikian, NITKU yang tidak valid akan menghambat keberhasilan impor
faktur pajak, yang pada gilirannya menghalangi pemenuhan kewajiban pelaporan
SPT Masa PPN.
●
Tidak Dapat
Membuat Faktur Pajak Pengganti untuk Kesalahan Identitas Pembeli:
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat membetulkan atau
mengganti faktur pajak yang salah dalam pengisian atau penulisan. Namun,
kesalahan tersebut tidak termasuk kesalahan dalam pengisian atau penulisan
identitas pembeli Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penerima Jasa Kena Pajak
(JKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b PER-11/PJ/2025.24 Ini
berarti, jika kesalahan terletak pada NITKU pembeli, faktur pajak tersebut tidak
dapat diperbaiki melalui mekanisme faktur pajak pengganti. Wajib Pajak harus
mengajukan permohonan perubahan data agar nama dan/atau alamat yang
diadministrasikan dalam sistem DJP sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.24
●
Hambatan
dalam Pelaporan SPT Masa PPN:
Seperti yang telah dijelaskan, kesalahan NITKU pada
faktur pajak akan mencegah proses impor faktur ke dalam sistem DJP, yang secara
langsung menghambat pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Masa PPN.23
●
Potensi
Sanksi Administratif:
Meskipun peraturan tidak secara spesifik menyebutkan
sanksi langsung untuk ketiadaan NITKU, kegagalan dalam memenuhi kewajiban
pelaporan tempat kegiatan usaha atau kesalahan dalam pencantuman identitas
dapat berujung pada sanksi administratif sesuai ketentuan umum perpajakan yang
berlaku. Ini dapat mencakup denda atau konsekuensi lain yang diatur dalam
undang-undang perpajakan.
Konsekuensi ini menekankan pentingnya akurasi data dan otomatisasi
kepatuhan. DJP sedang bergerak menuju sistem perpajakan yang sangat
otomatis dan terintegrasi, di mana data yang akurat adalah fondasinya.
Kegagalan dalam mencantumkan atau memiliki NITKU yang valid bukan lagi sekadar
kesalahan kecil, melainkan dapat menghentikan seluruh rantai kepatuhan pajak.
Ini berarti Wajib Pajak harus memahami bahwa data yang benar adalah kunci dalam
perpajakan modern. Investasi dalam sistem pencatatan yang akurat dan pelatihan
staf untuk memastikan pencantuman NITKU yang benar menjadi sangat penting untuk
menghindari masalah kepatuhan dan potensi sanksi di masa depan. Wajib Pajak
juga harus proaktif dalam memutakhirkan data mereka di DJP.
Berikut adalah ringkasan konsekuensi jika Wajib Pajak
tidak memiliki atau keliru mencantumkan NITKU:
Tabel 4:
Konsekuensi Tidak Memiliki/Keliru Mencantumkan NITKU
Situasi
|
Dampak/Konsekuensi
|
Landasan Peraturan
|
Tidak memiliki/keliru mencantumkan NITKU Pembeli pada faktur
pajak
|
Muncul error "NITKU Pembeli Tidak Valid" saat impor
XML, menghambat pelaporan SPT Masa PPN.
|
|
Kesalahan
pada identitas pembeli (termasuk NITKU) pada faktur pajak
|
Faktur
pajak tidak dapat dibetulkan atau diganti melalui mekanisme faktur pajak
pengganti.
|
Pasal 48 ayat (1) PER 11/PJ/2025, Pasal 33 huruf b PER
11/PJ/2025 24
|
NITKU tidak valid
|
Menghambat
pemenuhan kewajiban pelaporan SPT Masa PPN.
|
|
Kegagalan
pelaporan tempat kegiatan usaha atau kesalahan identitas
|
Potensi sanksi administratif sesuai ketentuan umum perpajakan.
|
|
Bab 3: Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan Utama
Perubahan
dari Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang menjadi Nomor Identitas Tempat
Kegiatan Usaha (NITKU) merupakan inovasi penting dalam administrasi perpajakan
di Indonesia. Kebijakan ini, yang berlandaskan pada Undang-Undang Harmonisasi
Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER-DJP), bertujuan
untuk menyederhanakan proses administrasi dan memusatkan kewajiban perpajakan
ke NPWP Pusat.
Peran
utama NITKU adalah sebagai identitas lokasi kegiatan usaha, bukan sebagai
subjek kewajiban perpajakan yang berdiri sendiri. Ini berarti semua pembayaran
dan pelaporan pajak, termasuk PPh dan PPN, kini menjadi tanggung jawab
sepenuhnya dari NPWP Pusat. Meskipun demikian, NITKU tetap krusial sebagai
penanda lokasi transaksi dalam berbagai dokumen perpajakan, seperti faktur
pajak dan bukti potong.
3.2 Saran Praktis untuk Pengusaha dan Orang
Pribadi
Untuk memastikan kelancaran administrasi perpajakan dan
menghindari potensi masalah, berikut adalah beberapa saran praktis bagi para
pengusaha dan orang pribadi yang memiliki tempat kegiatan usaha:
●
Segera Lakukan Pemutakhiran Data: Pastikan semua tempat kegiatan usaha Anda, baik yang
sudah ada maupun yang baru didirikan, telah dilaporkan dan memiliki NITKU yang
tercatat dengan benar dalam sistem administrasi DJP. Ini sangat penting,
termasuk bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) yang memiliki
lebih dari satu lokasi usaha. Kepatuhan proaktif dalam pemutakhiran data akan
menghindarkan Anda dari tindakan DJP secara jabatan yang mungkin tidak sesuai
dengan kondisi riil Anda.
●
Pahami Peran NPWP Pusat: Ingatlah bahwa semua kewajiban perpajakan Anda, mulai
dari penyetoran pajak, pemotongan/pemungutan pajak, hingga pelaporan SPT, kini
sepenuhnya dilakukan melalui NPWP Pusat Anda. Pastikan sistem akuntansi dan
perpajakan internal Anda mendukung sentralisasi ini, dengan kemampuan
mengkonsolidasi data dari seluruh lokasi usaha.
●
Manfaatkan Coretax: Rutinlah memeriksa status NITKU Anda melalui akun Coretax
yang tentunya diakses dari NPWP Pusat. Fitur ini adalah cara termudah untuk
memastikan bahwa data Anda valid dan mutakhir, serta untuk melihat daftar NITKU
yang telah diberikan kepada lokasi usaha Anda.
●
Edukasi Internal: Jika Anda memiliki karyawan atau penanggung jawab di
cabang-cabang atau lokasi usaha Anda, pastikan mereka memahami fungsi NITKU,
terutama dalam pembuatan faktur pajak dan bukti potong. Tekankan bahwa semua
kewajiban perpajakan terpusat di kantor pusat, sehingga koordinasi dan akurasi
data dari cabang menjadi vital.
●
Konsultasikan dengan Ahli: Jika Anda memiliki keraguan, menghadapi kompleksitas
dalam implementasi NITKU, atau memerlukan bantuan dalam menyesuaikan sistem
internal Anda, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak
berpengalaman. Mereka dapat memberikan panduan yang tepat dan solusi yang
disesuaikan dengan kondisi spesifik usaha Anda.
● Tetap
Terinformasi: Sistem dan ketentuan perpajakan dapat
terus disempurnakan. Oleh karena itu, sangat penting untuk tetap mengikuti
perkembangan peraturan perpajakan dari DJP dan sumber-sumber terpercaya
lainnya. Keterbaruan informasi akan membantu Anda menjaga kepatuhan pajak
secara berkelanjutan.
Kata Penutup
Perubahan menuju NITKU adalah bagian dari evolusi
administrasi perpajakan yang lebih modern dan efisien. Dengan memahami dan
mengimplementasikan perubahan ini secara proaktif, Wajib Pajak tidak hanya akan
memastikan kelancaran administrasi perpajakan mereka sendiri, tetapi juga turut
berkontribusi positif bagi pembangunan negara melalui kepatuhan pajak yang
lebih baik.
Semoga laporan ini bermanfaat dan menjadi panduan yang
mudah dipahami bagi Anda