Kamis, 17 Juli 2025

 


Kata Pengantar

Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif bagi para pengusaha orang pribadi di Indonesia mengenai kewajiban Pajak Penghasilan (PPh). Memahami aspek perpajakan adalah fondasi penting untuk memastikan keberlangsungan dan pertumbuhan usaha yang sehat. Pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah menetapkan berbagai skema perhitungan PPh yang disesuaikan dengan skala dan jenis kegiatan usaha.

Laporan ini disusun untuk menyajikan informasi mengenai berbagai skema PPh bagi pengusaha orang pribadi, dimulai dari Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT), skema PPh Final berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, perhitungan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), hingga kewajiban Pembukuan. Setiap bagian akan dilengkapi dengan dasar hukum yang relevan, penjelasan yang mudah dipahami, serta contoh perhitungan yang rinci.

 

Bab 1 Pendahuluan

 

a. Mengapa Kita Perlu Membahas Pajak Penghasilan untuk Pengusaha Orang Pribadi?

 

Pajak merupakan salah satu pilar penting dalam pembangunan sebuah negara, dan sebagai warga negara yang baik, memenuhi kewajiban perpajakan adalah bentuk kontribusi terhadap kemajuan bersama. Bagi pengusaha, khususnya orang pribadi, Pajak Penghasilan (PPh) adalah kewajiban utama yang harus dipenuhi secara teratur. Pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP), telah merancang beragam skema perhitungan PPh untuk mengakomodasi berbagai skala dan jenis usaha, dengan tujuan untuk menciptakan sistem yang adil dan mudah diterapkan.

Memahami berbagai skema ini sangat penting. Tanpa pengetahuan yang memadai, seorang pengusaha mungkin secara tidak sengaja memilih metode perhitungan pajak yang tidak efisien atau bahkan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Misalnya, sebuah usaha kecil yang sebenarnya dapat memanfaatkan tarif PPh Final yang lebih sederhana, justru terjebak dalam kompleksitas pembukuan yang tidak perlu. Pemahaman yang mendalam mengenai opsi-opsi ini dapat membantu pengusaha mengoptimalkan kewajiban pajaknya, menghindari potensi denda atau sanksi di kemudian hari, dan pada akhirnya, menghemat sumber daya yang dapat dialokasikan kembali untuk pengembangan bisnis. Pengetahuan ini bukan sekadar kepatuhan, melainkan sebuah investasi waktu yang akan memberikan keuntungan finansial dan ketenangan dalam jangka panjang.

 

b. Pentingnya Memahami Berbagai Skema Perpajakan

 

Dalam sistem perpajakan Indonesia, terdapat beberapa "jalur" atau skema yang dapat dipilih atau wajib diikuti oleh pengusaha orang pribadi dalam menghitung PPh. Jalur-jalur ini disesuaikan dengan besarnya omzet (peredaran bruto) dan karakteristik jenis usaha yang dijalankan. Pembahasan ini akan mencakup pengusaha yang dikategorikan sebagai "Orang Pribadi Pengusaha Tertentu" (OPPT), pengusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dapat menggunakan tarif PPh Final 0,5% berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022, pengusaha yang diperbolehkan menggunakan metode "pencatatan" sederhana dengan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), hingga pengusaha yang diwajibkan menyelenggarakan "pembukuan" secara lengkap.

Pemilihan skema yang tepat memiliki implikasi yang luas, tidak hanya terkait kepatuhan terhadap peraturan pajak, tetapi juga sebagai bagian dari strategi bisnis secara keseluruhan. Setiap skema memiliki tingkat beban administrasi, potensi jumlah pajak yang harus dibayar, dan bahkan persepsi bisnis di mata otoritas pajak yang berbeda. Memilih skema yang tidak sesuai dapat mengakibatkan pembayaran pajak yang lebih besar dari yang seharusnya, atau sebaliknya, menghadapi pemeriksaan pajak yang memakan waktu dan sumber daya. Misalnya, skema PPh Final 0,5% dan NPPN dirancang untuk menyederhanakan administrasi, sementara pembukuan memerlukan sistem pencatatan yang lebih rinci. Jika pengusaha memilih skema yang terlalu rumit untuk skala usahanya, hal itu akan menambah biaya operasional dan mengurangi efisiensi. Sebaliknya, jika memilih skema yang terlalu sederhana padahal omzetnya sudah besar, hal itu dapat berujung pada sanksi dan masalah hukum. Oleh karena itu, keputusan dalam memilih skema perpajakan merupakan langkah strategis yang secara langsung memengaruhi operasional dan kesehatan keuangan bisnis.

 

c. Apa yang Akan Anda Dapatkan dari Video Ini?

 

Setelah menyimak pembahasan ini, pembaca akan memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai:

     Berbagai kategori pengusaha orang pribadi dari perspektif perpajakan.

     Dasar hukum dan aturan yang melandasi setiap skema perhitungan Pajak Penghasilan.

     Metode penghitungan Pajak Penghasilan secara rinci, dilengkapi dengan contoh-contoh yang mudah diikuti.

     Kewajiban-kewajiban spesifik yang harus dipenuhi dalam setiap skema perpajakan.

     Tips praktis untuk memastikan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan kewajiban perpajakan.

Semua informasi akan disajikan dengan bahasa yang lugas dan sederhana, agar mudah dipahami oleh berbagai kalangan. Setiap poin penting yang disampaikan akan selalu didukung dengan dasar hukum yang jelas, sehingga pembaca dapat memverifikasi keabsahan informasi dan merasa yakin dalam menerapkan ketentuan perpajakan.

 

Bab 2 Pembahasan Inti

 

a. Perhitungan PPh untuk Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT)

 

 

i. Dasar Hukum yang Mengatur OPPT

 

Ketentuan mengenai Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2010. Lebih lanjut, mengenai angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi OPPT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 215/PMK.03/2018 Pasal 7.1

 

ii. Siapa Sebenarnya yang Dimaksud dengan Orang Pribadi Pengusaha Tertentu?

 

Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha perdagangan atau jasa. Namun, perlu digarisbawahi bahwa kategori ini tidak mencakup jasa yang berkaitan dengan pekerjaan bebas, seperti profesi dokter, pengacara, atau akuntan. Ciri khas utama dari OPPT adalah kepemilikan satu atau lebih tempat kegiatan usaha yang lokasinya berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak.1 Contoh konkret dari OPPT adalah seorang pedagang pengecer yang memiliki beberapa toko kelontong, butik, atau warung makan yang tersebar di lokasi yang berbeda dari kediamannya.

 

iii. Kapan Seseorang Dikatakan sebagai OPPT?

 

Seseorang dikategorikan sebagai OPPT apabila memenuhi kriteria yang telah disebutkan, yaitu menjalankan usaha perdagangan atau jasa (bukan pekerjaan bebas) dan memiliki tempat usaha yang terpisah dari tempat tinggalnya. Kriteria ini tetap berlaku meskipun tempat usaha dan tempat tinggal Wajib Pajak berada dalam wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang sama.1

 

iv. Kewajiban Perpajakan bagi OPPT

 

Kewajiban utama bagi OPPT adalah pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Cabang. Setiap lokasi usaha yang berbeda wajib didaftarkan untuk memperoleh NPWP di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha tersebut. Selain itu, Wajib Pajak juga harus mendaftarkan NPWP di KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal mereka, yang dikenal sebagai NPWP Domisili.1

Kewajiban memiliki NPWP cabang ini menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berupaya memantau peredaran bruto dari setiap lokasi usaha secara terpisah. Meskipun pada akhirnya seluruh peredaran bruto akan digabungkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi, pemantauan per lokasi ini penting untuk memastikan akurasi data dan keadilan dalam pemungutan pajak. Dengan adanya NPWP cabang, setiap lokasi usaha diharapkan melaporkan omzetnya secara terpisah, yang mempermudah DJP dalam melacak sumber penghasilan dan mencegah adanya omzet yang tidak tercatat. Bagi pengusaha, hal ini berarti perlunya pencatatan omzet yang rapi dan terperinci untuk setiap lokasi usaha.

 

v. Berapa Tarif PPh Pasal 25 dan Kapan Harus Dibayar?

 

Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk OPPT ditetapkan sebesar 0,75% dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha.1 Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ini harus dilakukan paling lambat

tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Sebagai contoh, omzet yang diperoleh pada bulan Januari wajib dibayarkan paling lambat pada tanggal 15 Februari.2 Untuk penyetoran pajak ini, Kode Akun Pajak (KAP) yang digunakan adalah

411125 dengan Kode Jenis Setoran (KJS) 101.2

 

vi. Apa Fungsi Pembayaran PPh Pasal 25 ini?

 

Pembayaran angsuran PPh Pasal 25 ini memiliki sifat tidak final. Artinya, jumlah pajak yang telah dibayarkan setiap bulan tersebut dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak saat Wajib Pajak menghitung Pajak Penghasilan terutang pada akhir tahun pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Orang Pribadi.1

Tujuan utama dari pengenaan PPh Pasal 25 ini adalah untuk menyederhanakan proses perhitungan bagi Wajib Pajak. Dengan skema ini, pengusaha tidak perlu mengumpulkan data omzet, menghitung penghasilan neto, atau melakukan perhitungan pajak yang rumit setiap bulan. Cukup dengan membayar berdasarkan persentase omzet bulanan dari masing-masing tempat usaha.2

 

vii. Bagaimana Kaitannya dengan Skema PPh Final 0,5% (PP No. 55 Tahun 2022)?

 

Ini merupakan aspek penting yang perlu dipahami. Apabila seorang Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (OPPT) telah memilih untuk menggunakan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 (yang merupakan pembaruan dari PP Nomor 23 Tahun 2018), maka kewajiban pembayaran PPh Pasal 25 sebesar 0,75% ini ditiadakan.2

Kondisi ini menunjukkan adanya pilihan yang saling meniadakan antara kewajiban PPh Pasal 25 OPPT dan PPh Final UMKM. PPh Final 0,5% (PP 55/2022) dan PPh Pasal 25 OPPT 0,75% sama-sama dihitung berdasarkan omzet. Namun, PPh Final bersifat final dan tidak dapat dikreditkan di akhir tahun, sedangkan PPh Pasal 25 bersifat tidak final dan berfungsi sebagai kredit pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak memberlakukan pengenaan pajak ganda atau menciptakan kebingungan dalam perhitungan. Oleh karena itu, jika Wajib Pajak memilih untuk menggunakan skema PPh Final, kewajiban PPh Pasal 25 secara otomatis tidak berlaku. Hal ini memberikan fleksibilitas bagi pengusaha kecil untuk memilih skema yang paling menguntungkan atau paling mudah dari segi administrasi, meskipun PPh Final memiliki batasan waktu penggunaan.

 

viii. Contoh Perhitungan PPh Tahunan OPPT (dengan PTKP)

 

Ilustrasi Kasus: Bapak Budi adalah seorang pengusaha toko kelontong yang memiliki 2 (dua) tempat usaha di kota yang berbeda. Tempat tinggal Bapak Budi ada di Surabaya (KPP Pratama Rungkut), sementara kedua toko kelontongnya ada di Sidoarjo (KPP Pratama Sidoarjo) dan Gresik (KPP Pratama Gresik). Bapak Budi berstatus Kawin dengan 1 anak (K/1). Bapak Budi tidak memilih untuk menggunakan skema PPh Final PP 55 Tahun 2022.

Data Omzet Bulanan (Contoh Bulan Januari 2024):

     Toko Sidoarjo: Rp 150.000.000

     Toko Gresik: Rp 100.000.000

Kewajiban NPWP: Bapak Budi memiliki NPWP Domisili di KPP Pratama Rungkut dan NPWP Cabang di KPP Pratama Sidoarjo dan KPP Pratama Gresik.

Perhitungan PPh Pasal 25 Bulanan (Angsuran):

     PPh Pasal 25 Toko Sidoarjo = 0,75% x Rp 150.000.000 = Rp 1.125.000

     PPh Pasal 25 Toko Gresik = 0,75% x Rp 100.000.000 = Rp 750.000

     Total PPh Pasal 25 yang dibayar bulan Januari = Rp 1.125.000 + Rp 750.000 = Rp 1.875.000

Asumsi Omzet Stabil Sepanjang Tahun:

     Total Omzet Setahun = (Rp 150.000.000 + Rp 100.000.000) x 12 bulan = Rp 250.000.000 x 12 = Rp 3.000.000.000

     Total PPh Pasal 25 yang Sudah Dibayar Setahun = Rp 1.875.000 x 12 = Rp 22.500.000 (Jumlah ini akan menjadi Kredit Pajak di akhir tahun)

Perhitungan PPh Tahunan (Menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto/NPPN, karena omzet di bawah Rp 4,8 Miliar dan tidak menggunakan PPh Final):

     Asumsi Persentase NPPN untuk usaha toko kelontong di wilayah Bapak Budi adalah 15% (persentase ini bervariasi tergantung Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan wilayah, ini hanya contoh).5

     Penghasilan Neto = Total Omzet Setahun x Persentase NPPN

     Penghasilan Neto = Rp 3.000.000.000 x 15% = Rp 450.000.000

     Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):

     PTKP untuk status K/1 (Kawin dengan 1 tanggungan) = Rp 54.000.000 (Wajib Pajak) + Rp 4.500.000 (Kawin) + Rp 4.500.000 (1 Tanggungan) = Rp 63.000.000.6

     Penghasilan Kena Pajak (PKP):

     PKP = Penghasilan Neto - PTKP

     PKP = Rp 450.000.000 - Rp 63.000.000 = Rp 387.000.000

     PPh Terutang (Menggunakan Tarif Progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh): 6

     Lapisan 1: 5% x Rp 60.000.000 = Rp 3.000.000

     Lapisan 2: 15% x (Rp 250.000.000 - Rp 60.000.000) = 15% x Rp 190.000.000 = Rp 28.500.000

     Lapisan 3: 25% x (Rp 387.000.000 - Rp 250.000.000) = 25% x Rp 137.000.000 = Rp 34.250.000

     Total PPh Terutang Setahun = Rp 3.000.000 + Rp 28.500.000 + Rp 34.250.000 = Rp 65.750.000

     PPh Kurang/Lebih Bayar:

     PPh Terutang Setahun: Rp 65.750.000

     Kredit Pajak (PPh Pasal 25 yang sudah dibayar): Rp 22.500.000 (-)

     PPh Kurang Bayar (PPh Pasal 29) = Rp 43.250.000 (Jumlah ini harus dilunasi saat pelaporan SPT Tahunan)

Tabel 1: Tarif Pajak Penghasilan Orang Pribadi (Pasal 17 UU PPh)

 

Lapisan Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Tarif Pajak

Hingga Rp 60.000.000 per tahun

5%

Di atas Rp 60.000.000 s.d. Rp 250.000.000 per tahun

15%

Di atas Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000 per tahun

25%

Di atas Rp 500.000.000 s.d. Rp 5.000.000.000 per tahun

30%

Di atas Rp 5.000.000.000 per tahun

35%

Sumber: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) 6

 

Tabel 2: Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Tahun 2024

 

Status Wajib Pajak

Besaran PTKP Setahun

TK/0 (Tidak Kawin, Tanpa Tanggungan)

Rp 54.000.000

TK/1 (Tidak Kawin, 1 Tanggungan)

Rp 58.500.000

TK/2 (Tidak Kawin, 2 Tanggungan)

Rp 63.000.000

TK/3 (Tidak Kawin, 3 Tanggungan)

Rp 67.500.000

K/0 (Kawin, Tanpa Tanggungan)

Rp 58.500.000

K/1 (Kawin, 1 Tanggungan)

Rp 63.000.000

K/2 (Kawin, 2 Tanggungan)

Rp 67.500.000

K/3 (Kawin, 3 Tanggungan)

Rp 72.000.000

K/I/0 (Kawin, Penghasilan Istri Digabung, Tanpa Tanggungan)

Rp 112.500.000

K/I/1 (Kawin, Penghasilan Istri Digabung, 1 Tanggungan)

Rp 117.000.000

K/I/2 (Kawin, Penghasilan Istri Digabung, 2 Tanggungan)

Rp 121.500.000

K/I/3 (Kawin, Penghasilan Istri Digabung, 3 Tanggungan)

Rp 126.000.000

Sumber: PMK No. 101/PMK.010/2016, UU HPP tidak mengubah besaran PTKP 6

 

Kedua tabel ini merupakan dasar penting dalam perhitungan PPh terutang bagi wajib pajak orang pribadi di semua skema, kecuali PPh Final yang tidak menggunakan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Dengan adanya tabel ini, pembaca dapat dengan mudah merujuk dan memahami contoh perhitungan, serta menghitung estimasi pajak mereka sendiri. Penempatan tabel di awal contoh perhitungan PPh tahunan memudahkan pembaca untuk menggunakannya sebagai referensi di seluruh bagian laporan.

 

b. Perhitungan PPh untuk Orang Pribadi dengan Peredaran Bruto Tertentu (Skema PPh Final PP No. 55 Tahun 2022)

 

 

i. Dasar Hukum PPh Final UMKM

 

Skema Pajak Penghasilan (PPh) Final untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, yang merupakan pembaruan dari PP Nomor 23 Tahun 2018. Aturan pelaksana lebih lanjut mengenai skema ini terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164/PMK.03/2023.10

 

ii. Siapa Saja yang Boleh Menggunakan Skema PPh Final 0,5% ini?

 

Skema PPh Final 0,5% ini dapat digunakan oleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, yaitu omzetnya tidak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam satu tahun pajak terakhir.10 Penting untuk diketahui bahwa omzet ini dihitung dari total seluruh gerai atau outlet, baik pusat maupun cabang. Selain itu, jika terdapat kewajiban perpajakan suami-istri yang memilih pisah harta (PH) atau memilih terpisah (MT) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang berbeda, omzet gabungan keduanya juga akan diperhitungkan.1

Skema ini dirancang untuk menyederhanakan kewajiban pajak bagi UMKM, mengurangi beban administrasi, dan mendorong kepatuhan. Dengan tarif yang rendah dan perhitungan yang mudah (omzet dikalikan 0,5%), diharapkan UMKM dapat lebih fokus pada pengembangan bisnis mereka. Kemudahan ini sangat membantu, terutama bagi UMKM yang mungkin kesulitan dalam menyelenggarakan pembukuan yang kompleks. Tarif yang langsung dikenakan pada omzet bruto menghilangkan kebutuhan untuk menghitung laba bersih dan berbagai biaya, yang seringkali menjadi kendala bagi pengusaha kecil. Ini merupakan bentuk dukungan konkret dari pemerintah untuk sektor UMKM.

 

iii. Apa itu Peredaran Bruto untuk Skema 0,5%?

 

Peredaran bruto dalam konteks ini didefinisikan sebagai seluruh imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis lainnya.10 Apabila omzet usaha Wajib Pajak melebihi Rp 4,8 Miliar dalam tahun berjalan, PPh Final UMKM tetap akan dikenakan hingga akhir tahun pajak tersebut. Namun, mulai tahun pajak berikutnya, Wajib Pajak wajib beralih ke skema umum (yaitu pembukuan atau perhitungan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto/NPPN).1

 

iv. Batasan Omzet Rp 500 Juta yang Tidak Dikenakan PPh Final

 

Ini merupakan fasilitas yang sangat menguntungkan, khususnya bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, bagian peredaran bruto dari usaha hingga Rp 500 Juta dalam 1 Tahun Pajak tidak dikenai PPh Final 0,5%.10

Batasan Rp 500 juta ini dihitung secara kumulatif sejak Masa Pajak pertama dalam suatu Tahun Pajak. Artinya, Wajib Pajak baru akan mulai membayar PPh Final 0,5% jika total omzet kumulatif mereka dalam setahun sudah melampaui angka Rp 500 juta.

Adanya batasan Rp 500 juta bebas pajak ini merupakan insentif yang signifikan bagi UMKM orang pribadi, terutama bagi mereka yang baru merintis usaha atau yang masih berskala mikro. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban pajak di tahap awal pertumbuhan bisnis, sehingga memungkinkan pengusaha untuk menginvestasikan kembali modalnya dan mendorong lebih banyak individu untuk berwirausaha secara formal. Hal ini memberikan "ruang bernafas" bagi UMKM untuk berkembang tanpa langsung terbebani pajak, sekaligus mendorong mereka untuk tetap melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan meskipun kewajiban pajaknya nihil. Ini adalah kebijakan yang sangat konkret dalam mendukung perkembangan UMKM.

 

v. Jangka Waktu Penggunaan Skema PPh Final

 

Skema PPh Final 0,5% ini tidak berlaku selamanya. Terdapat batasan waktu penggunaan yang berbeda, tergantung pada jenis badan usaha Wajib Pajak 10:

     Wajib Pajak Orang Pribadi: Dapat menggunakan skema ini selama 7 tahun.

     Wajib Pajak Badan (Koperasi, CV, Firma, BUMDes, BUM Desa Bersama): Dapat menggunakan skema ini selama 4 tahun.

     Wajib Pajak Badan (Perseroan Terbatas/PT): Dapat menggunakan skema ini selama 3 tahun.

Jangka waktu ini dihitung sejak Tahun Pajak 2018 (bagi Wajib Pajak yang terdaftar sebelum 2018) atau Tahun Terdaftar (bagi Wajib Pajak yang terdaftar setelah 2018).10 Setelah jangka waktu tersebut berakhir, Wajib Pajak wajib beralih ke ketentuan umum (yaitu pembukuan atau perhitungan menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto/NPPN), meskipun peredaran bruto dalam setahun masih di bawah Rp 4,8 Miliar.10

Wajib Pajak juga memiliki opsi untuk memilih beralih ke skema PPh umum (berdasarkan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh) lebih awal, yaitu mulai tahun pajak berikutnya, dengan menyampaikan Pemberitahuan kepada DJP paling lambat akhir tahun pajak melalui DJP Online.10

Batasan waktu ini menunjukkan bahwa PPh Final 0,5% adalah fasilitas sementara yang dirancang untuk membantu UMKM beradaptasi dan tumbuh. Setelah periode tertentu, diasumsikan UMKM sudah lebih mapan dan siap untuk beralih ke sistem perpajakan umum yang lebih komprehensif, yang mencerminkan laba riil usaha. Ini adalah mekanisme transisi yang mendorong UMKM untuk meningkatkan kapasitas administrasi dan pelaporan keuangannya seiring dengan pertumbuhan usaha.

 

vi. Siapa Saja yang TIDAK Boleh Menggunakan Skema PP No. 55 Tahun 2022?

 

Meskipun omzetnya di bawah Rp 4,8 Miliar, terdapat beberapa jenis penghasilan atau Wajib Pajak yang tidak diperbolehkan menggunakan skema PPh Final 0,5% ini 1:

     Penghasilan dari Jasa Sehubungan dengan Pekerjaan Bebas: Ini adalah poin penting. Contoh profesi yang termasuk dalam kategori ini adalah dokter, notaris, arsitek, akuntan, pengacara, konsultan, seniman, olahragawan, penasihat, pengajar, peneliti, dan agen asuransi. Jika seseorang berprofesi sebagai arsitek yang bekerja secara mandiri, penghasilannya tidak dapat dikenai PPh Final 0,5%.1

     Wajib Pajak yang Memilih Dikenai PPh Berdasarkan Tarif Umum (Pasal 17 UU PPh): Jika Wajib Pajak secara sadar telah memilih untuk tidak menggunakan skema PPh Final.

     Wajib Pajak Badan Berbentuk Persekutuan Komanditer (CV) atau Firma yang Dibentuk oleh Beberapa Orang Pribadi dengan Keahlian Khusus: Terutama jika mereka menyerahkan jasa yang sejenis dengan jasa pekerjaan bebas. Contohnya adalah Firma Konsultan Pajak yang didirikan oleh akuntan.1

     Penghasilan dari Luar Negeri: Pajak atas penghasilan ini sudah terutang atau telah dibayar di luar negeri.1

     Penghasilan yang Sudah Dikenai PPh Final dengan Ketentuan Tersendiri: Contohnya adalah penghasilan dari sewa tanah atau bangunan yang sudah memiliki rezim PPh Finalnya sendiri.1

     Penghasilan yang Dikecualikan sebagai Objek Pajak (Non-Objek Pajak): Contohnya adalah bantuan atau sumbangan tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan.1

     Penghasilan dari Modal: Seperti bunga, dividen, royalti, sewa (jika bukan usaha pokok), serta keuntungan dari penjualan harta atau hak yang tidak digunakan untuk usaha.10

     Penghasilan Lain-lain: Seperti pembebasan utang dan hadiah.10

Pengecualian ini dibuat untuk memastikan bahwa skema PPh Final 0,5% tepat sasaran, yaitu untuk UMKM di sektor perdagangan dan jasa umum, bukan untuk profesi yang secara tradisional memiliki struktur biaya dan penghasilan yang berbeda. Selain itu, pengecualian ini juga berlaku untuk jenis penghasilan yang sudah memiliki rezim pajak final tersendiri. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan fasilitas dan menjaga keadilan dalam sistem perpajakan. Pekerjaan bebas, misalnya, seringkali memiliki biaya-biaya spesifik yang dapat dikurangkan, sehingga pengenaan PPh Final mungkin tidak mencerminkan kondisi sebenarnya. Demikian pula, penghasilan dari modal atau sewa sudah dikenai PPh Finalnya sendiri, sehingga tidak perlu dikenai PPh Final UMKM lagi.

 

vii. Laporan Rincian Peredaran Bruto: Apa dan Bagaimana Bentuknya? (Contoh Tabel)

 

Meskipun Wajib Pajak menggunakan skema PPh Final 0,5%, mereka tetap memiliki kewajiban untuk membuat Laporan Rincian Peredaran Bruto dan melampirkannya dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Laporan ini sangat penting bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memantau omzet Wajib Pajak, terutama untuk menentukan kapan batasan Rp 500 juta terlampaui dan kapan batas waktu penggunaan skema 0,5% berakhir.10

Format laporan ini diatur dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 164/PMK.03/2023. Laporan tersebut terbagi menjadi dua bagian utama 15:

1.    Rincian Tempat Usaha: Bagian ini mencakup informasi mengenai seluruh cabang atau tempat kegiatan usaha lainnya. Wajib Pajak perlu merinci informasi seperti Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/Nomor Induk Kependudukan (NIK)/ID TKU (Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha), nama tempat usaha, dan alamat.15

2.    Rincian Peredaran Bruto dan PPh Final: Bagian ini merupakan rekapitulasi omzet bulanan Wajib Pajak dan jumlah PPh Final yang telah dibayarkan.

Kewajiban pelaporan rincian peredaran bruto ini menunjukkan bahwa, meskipun perhitungan PPh Final disederhanakan, DJP tetap membutuhkan data yang akurat untuk tujuan pengawasan dan analisis kebijakan. Laporan ini juga berfungsi sebagai jembatan bagi UMKM untuk membiasakan diri dengan pencatatan keuangan dasar, yang akan sangat membantu ketika mereka harus beralih ke metode pembukuan atau Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) di masa depan. Hal ini memastikan bahwa pemerintah memiliki data yang memadai untuk statistik, pemantauan batas omzet Rp 500 juta, dan batas waktu 7 tahun.

Tabel 3: Contoh Format Laporan Rincian Peredaran Bruto (Adaptasi dari PMK-164/PMK.03/2023)

 

No.

NPWP/NIK/ID TKU

Nama Tempat Usaha

Alamat Tempat Usaha

Jan

Feb

Mar

...

Des

Total Peredaran Bruto (Setahun)

PPh Final Terutang (Setahun)

Keterangan

1

12.345.678.9-XXX.001

Toko Maju Jaya

Jl. Raya No. 1, Jakarta

XXX

XXX

XXX

...

XXX

XXX

XXX

 

2

12.345.678.9-XXX.002

Toko Maju Sejahtera

Jl. Damai No. 2, Bandung

XXX

XXX

XXX

...

XXX

XXX

XXX

 

Total

 

 

 

XXX

XXX

XXX

...

XXX

XXX

XXX

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PMK 164 TAHUN 2023




viii. Contoh Perhitungan PPh Tahunan Skema PP No. 55 Tahun 2022 (dengan PTKP)

 

Ilustrasi Kasus: Ibu Ani adalah seorang pengusaha katering di Surabaya. Statusnya Kawin dengan 2 anak (K/2). Ibu Ani memilih menggunakan PPh Final PP 55 Tahun 2022.

Data Omzet Bulanan Tahun 2024:

     Januari: Rp 40.000.000

     Februari: Rp 45.000.000

     Maret: Rp 50.000.000

     April: Rp 60.000.000

     Mei: Rp 70.000.000

     Juni: Rp 80.000.000

     Juli: Rp 75.000.000

     Agustus: Rp 65.000.000

     September: Rp 55.000.000

     Oktober: Rp 60.000.000

     November: Rp 70.000.000

     Desember: Rp 80.000.000

Perhitungan PPh Final 0,5% dengan Batasan Rp 500 Juta:

     Total Omzet Kumulatif hingga Desember = Rp 40.000.000 + 45.000.000 + 50.000.000 + 60.000.000 + 70.000.000 + 80.000.000 + 75.000.000 + 65.000.000 + 55.000.000 + 60.000.000 + 70.000.000 + 80.000.000 = Rp 750.000.000

     Bagian Omzet yang Tidak Dikenakan PPh = Rp 500.000.000

     Bagian Omzet yang Dikenakan PPh = Total Omzet Kumulatif - Batasan Rp 500 Juta

     = Rp 750.000.000 - Rp 500.000.000 = Rp 250.000.000

     PPh Final Terutang Setahun = 0,5% x Rp 250.000.000 = Rp 1.250.000 14

Pelunasan: Ibu Ani wajib menyetor PPh Final sebesar Rp 1.250.000 ini ke kas negara. Pembayaran dilakukan setiap bulan jika omzet kumulatif sudah melewati Rp 500 juta. Misalnya, jika omzet kumulatif mencapai Rp 500 juta di bulan Juli, maka PPh Final mulai dihitung dari omzet bulan Juli dan seterusnya.

Kaitannya dengan PTKP: Dalam skema PPh Final 0,5%, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak digunakan dalam perhitungan PPh terutang karena PPh ini dihitung langsung dari omzet bruto dan bersifat final. Namun, PTKP tetap relevan untuk menentukan status dan tanggungan dalam pelaporan SPT Tahunan.11

Pelaporan SPT Tahunan: Ibu Ani tetap wajib melaporkan SPT Tahunan PPh Orang Pribadi (menggunakan Formulir 1770) dan melampirkan Laporan Rincian Peredaran Bruto. Dalam formulir 1770-III, bagian A angka 16, Wajib Pajak perlu memilih "PP23/PP55" dan mengisi penghasilan bruto per bulan serta PPh Final yang telah dibayar.11

 

c. Perhitungan PPh untuk Orang Pribadi yang Melakukan PENCATATAN (Menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto/NPPN)

 

 

i. Dasar Hukum Penggunaan NPPN

 

Penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Aturan pelaksana lebih lanjut mengenai NPPN dapat ditemukan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 54/PMK.03/2021.5

 

ii. Apa itu Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN)?

 

Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) dapat diibaratkan sebagai "rumus cepat" yang disediakan oleh pemerintah untuk menghitung penghasilan bersih atau penghasilan neto Wajib Pajak. Dengan menggunakan NPPN, Wajib Pajak tidak perlu repot mencatat dan menghitung setiap biaya satu per satu. Penghasilan neto yang dihasilkan dari perhitungan ini kemudian akan menjadi dasar untuk menghitung Pajak Penghasilan (PPh) terutang.5

Tujuan utama dari NPPN adalah untuk menyederhanakan proses perhitungan PPh, khususnya bagi Wajib Pajak yang tidak diwajibkan atau mungkin tidak memiliki kapasitas untuk menyelenggarakan pembukuan secara lengkap.5

 

iii. Siapa yang Dapat Menggunakan Norma Ini?

 

Norma ini dapat digunakan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, seperti dokter, pengacara, konsultan, atau pedagang, dengan syarat peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun kurang dari Rp 4,8 Miliar.1

Apabila peredaran bruto Wajib Pajak sudah mencapai atau melebihi Rp 4,8 Miliar, maka Wajib Pajak tersebut wajib menyelenggarakan pembukuan, dan tidak lagi diperbolehkan menggunakan metode pencatatan dengan NPPN.5

Beberapa contoh jenis pekerjaan bebas atau kegiatan usaha yang dapat menggunakan NPPN antara lain tenaga ahli (seperti dokter, notaris, arsitek, akuntan, pengacara), olahragawan, pekerja di bidang seni (seperti pemusik, penyanyi, pelawak, aktor, penari, bintang iklan, kru film), peneliti, pengarang, penerjemah, agen, perantara, pedagang, pengawas proyek, serta agen asuransi.5

NPPN memberikan fleksibilitas bagi pengusaha dan pekerja bebas dengan omzet menengah untuk tidak terbebani oleh pembukuan penuh, namun tetap membayar pajak berdasarkan perkiraan laba yang wajar. Ini berfungsi sebagai jembatan antara skema PPh Final yang sangat sederhana dan pembukuan yang lebih kompleks. Bagi mereka yang omzetnya di bawah Rp 4,8 Miliar tetapi tidak memenuhi syarat untuk PPh Final (misalnya pekerjaan bebas), atau bagi UMKM yang telah melewati batas waktu penggunaan PPh Final, NPPN menjadi pilihan yang logis. Metode ini mengurangi beban administrasi dibandingkan pembukuan, namun tetap menghitung pajak berdasarkan perkiraan laba, bukan hanya omzet.

 

iv. Kewajiban Pengguna NPPN

 

Terdapat beberapa kewajiban penting bagi Wajib Pajak yang memilih menggunakan NPPN:

     Pemberitahuan Penggunaan NPPN: Ini adalah kewajiban paling krusial. Wajib Pajak orang pribadi yang ingin menggunakan NPPN harus memberitahukan niatnya kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).1

     Pencatatan Peredaran Bruto: Meskipun tidak wajib menyelenggarakan pembukuan lengkap, Wajib Pajak tetap wajib menyelenggarakan pencatatan atas peredaran bruto (omzet) mereka secara teratur.18

     Penyimpanan Dokumen: Wajib Pajak harus menyimpan semua catatan dan bukti pendukung yang relevan selama 10 tahun di Indonesia.18

 

v. Kapan NPPN Harus Diberitahukan ke DJP?

 

Pemberitahuan penggunaan NPPN harus disampaikan dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan. Ini berarti batas waktu penyampaian adalah paling lambat tanggal 31 Maret setiap tahunnya.1

Apabila Wajib Pajak baru terdaftar, pemberitahuan penggunaan NPPN disampaikan paling lambat 3 bulan sejak tanggal terdaftar atau pada akhir tahun pajak, tergantung peristiwa mana yang terjadi lebih dahulu.20

 

vi. Bagaimana Cara Melakukan Pemberitahuan Penggunaan NPPN di Coretax?

 

Saat ini, Wajib Pajak dapat memberitahukan penggunaan NPPN secara daring melalui sistem Coretax DJP, yang sangat memudahkan prosesnya.21 Berikut adalah langkah-langkah detailnya, sesuai panduan dari DJP 21:

1.    Akses Coretax DJP: Buka peramban web Anda dan masuk ke akun Coretax DJP melalui alamat https://coretaxdjp.pajak.go.id/.

2.    Pilih Modul "Layanan Wajib Pajak": Di halaman utama, temukan dan klik modul "Layanan Wajib Pajak".

3.    Pilih Menu "Layanan Administrasi": Selanjutnya, pilih menu "Layanan Administrasi", lalu submenu "Buat Permohonan Layanan Administrasi".

4.    Cari Layanan "NPPN": Pada kolom pencarian "Jenis Pelayanan Wajib Pajak", ketik "NPPN" atau gulir ke bawah untuk menemukan dan memilih kode "AS.04 Pemberitahuan Penggunaan NPPN dan Pembukuan Stelsel Kas".

5.    Pilih Kategori Sub-Layanan: Pilih "AS.04-01 Pemberitahuan Penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN)".

6.    Konfirmasi Pemberitahuan: Sistem akan menampilkan notifikasi "AS.04-01 Pemberitahuan Penggunaan NPPN". Klik "Simpan".

7.    Halaman Informasi Umum: Anda akan diarahkan ke halaman informasi umum permohonan Wajib Pajak. Pada halaman ini, klik "Alur Kasus".

8.    Lengkapi Kolom Informasi: Isi informasi yang diminta, termasuk "Tahun Pajak" (misalnya 2025), "Jumlah Peredaran Bruto" (berdasarkan omzet tahun sebelumnya), dan "Kota/Kabupaten Anda".

9.    Simpan Informasi: Setelah semua kolom terisi, centang kotak pernyataan ("check box") dan klik "Simpan". Pastikan muncul notifikasi "Success. Save was Successful".

10.  Buat Formulir PDF: Gulir ke bawah dan klik "Create PDF" untuk menghasilkan formulir permohonan penggunaan NPPN.

11.  Lengkapi Kolom Formulir PDF: Isi kolom yang muncul, seperti "Keaslian dokumen" (pilih "original/copy"), "Klasifikasi dokumen" (dari "biasa" hingga "sangat segera dan rahasia"), "Deskripsi dokumen" (opsional), "Catatan dan komentar" (opsional), "Tag dokumen" (opsional), "Jenis pajak", "Tahun pajak", dan "Bulan pajak" (bulan saat Anda menyampaikan pemberitahuan).

12.  Simpan Formulir PDF: Setelah semua kolom wajib terisi, klik "Simpan". Dokumen PDF "Pemberitahuan Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto" akan dibuat. Anda juga dapat mengunduh atau melihat dokumen ini.

13.  Tanda Tangan Digital: Bubuhkan tanda tangan digital pada formulir pemberitahuan NPPN.

14.  Ajukan Permohonan: Setelah ditandatangani, klik "Simpan", dan jika berhasil, klik "Submit".

15.  Cek Status Permohonan: Anda dapat memverifikasi status permohonan Anda di submenu informasi umum. Pemberitahuan dianggap selesai ketika statusnya berubah menjadi "Selesai" dan kolom "Hasil Kasus Ditutup" tercentang. Submenu "alur kasus" akan menunjukkan "Kasus Ditutup".

16.  Lihat Bukti: Anda dapat melihat Bukti Penerimaan Elektronik dan Surat Pemberitahuan Penggunaan NPPN di submenu "Dokumen Kasus".

 

vii. Dampak Jika Orang Pribadi Tidak Melaporkan Penggunaan NPPN

 

Ini adalah aspek yang sangat penting untuk diperhatikan dengan serius. Apabila seorang Wajib Pajak memenuhi syarat untuk menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) tetapi tidak menyampaikan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu yang telah ditentukan (paling lambat 31 Maret), maka Wajib Pajak tersebut secara otomatis akan dianggap memilih untuk menyelenggarakan pembukuan.1

Konsekuensi dari kelalaian ini dapat cukup signifikan:

     Kewajiban Pembukuan: Wajib Pajak akan diwajibkan untuk membuat pembukuan lengkap, yang jauh lebih rumit dan membutuhkan lebih banyak sumber daya (waktu, tenaga, biaya) dibandingkan dengan pencatatan sederhana yang diizinkan dengan NPPN.19

     Penghitungan Pajak Berdasarkan Laba Riil: DJP dapat mengenakan pajak berdasarkan laba usaha riil Wajib Pajak (yang dihitung dari pembukuan), yang berpotensi menghasilkan jumlah pajak terutang yang lebih besar dibandingkan perhitungan menggunakan NPPN.19

     Risiko Pemeriksaan Pajak yang Meningkat: Terdapat peningkatan risiko pemeriksaan pajak jika DJP menemukan ketidaksesuaian dalam laporan keuangan atau jika Wajib Pajak tidak dapat menunjukkan pembukuan yang memadai.22

     Potensi Denda dan Sanksi: Wajib Pajak juga berpotensi dikenakan denda dan sanksi akibat perbedaan perhitungan atau ketidakpatuhan dalam penyelenggaraan pembukuan.22

Kegagalan untuk memberitahukan penggunaan NPPN secara otomatis mengalihkan kewajiban ke pembukuan, yang merupakan beban administratif dan finansial yang jauh lebih besar bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Hal ini menunjukkan bahwa kelalaian administratif sekecil apa pun dapat berakibat fatal pada kewajiban perpajakan yang lebih berat dan peningkatan risiko sanksi. Pemerintah memberikan fasilitas NPPN untuk kemudahan, namun ada syarat yang harus dipenuhi, yaitu pemberitahuan. Jika syarat ini tidak dipenuhi, DJP akan berasumsi bahwa Wajib Pajak mampu dan memilih untuk menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan memerlukan sistem akuntansi yang lebih canggih, kemungkinan membutuhkan bantuan tenaga ahli, dan memakan waktu yang lebih banyak. Ini dapat menjadi beban yang berat bagi UMKM yang belum siap. Oleh karena itu, batas waktu pemberitahuan NPPN adalah "jendela kesempatan" yang sangat penting dan tidak boleh terlewatkan.

 

viii. Contoh Perhitungan PPh Tahunan dengan NPPN (dengan PTKP)

 

Ilustrasi Kasus: Bapak Chandra adalah seorang konsultan IT di Jakarta. Statusnya Kawin dengan 3 tanggungan (K/3). Omzet bruto dari jasa konsultasi IT Bapak Chandra pada tahun 2024 adalah Rp 1.200.000.000. Bapak Chandra telah memberitahukan penggunaan NPPN kepada DJP.

Data Tambahan:

     Persentase NPPN untuk jasa konsultan IT di Jakarta (sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan wilayah) adalah 50%.1

Perhitungan Penghasilan Neto:

     Penghasilan Neto = Peredaran Bruto x Persentase NPPN

     Penghasilan Neto = Rp 1.200.000.000 x 50% = Rp 600.000.000

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):

     PTKP untuk status K/3 (Kawin dengan 3 tanggungan) = Rp 72.000.000.6

Penghasilan Kena Pajak (PKP):

     PKP = Penghasilan Neto - PTKP

     PKP = Rp 600.000.000 - Rp 72.000.000 = Rp 528.000.000

PPh Terutang (Menggunakan Tarif Progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh): 6

     Lapisan 1: 5% x Rp 60.000.000 = Rp 3.000.000

     Lapisan 2: 15% x (Rp 250.000.000 - Rp 60.000.000) = 15% x Rp 190.000.000 = Rp 28.500.000

     Lapisan 3: 25% x (Rp 500.000.000 - Rp 250.000.000) = 25% x Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000

     Lapisan 4: 30% x (Rp 528.000.000 - Rp 500.000.000) = 30% x Rp 28.000.000 = Rp 8.400.000

     Total PPh Terutang Setahun = Rp 3.000.000 + Rp 28.500.000 + Rp 62.500.000 + Rp 8.400.000 = Rp 102.400.000

Kredit Pajak (Angsuran PPh Pasal 25): Bapak Chandra wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan berdasarkan perhitungan ini (PPh Terutang Setahun dibagi 12 bulan). Angsuran ini akan menjadi kredit pajak di akhir tahun.

     Angsuran PPh Pasal 25 per bulan = Rp 102.400.000 / 12 = Rp 8.533.333

 

d. Perhitungan PPh untuk Orang Pribadi yang Melakukan PEMBUKUAN

 

 

i. Dasar Hukum Kewajiban Pembukuan

 

Kewajiban penyelenggaraan pembukuan diatur secara tegas dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang telah mengalami perubahan terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).18

 

ii. Kapan Seseorang Wajib Melakukan Pembukuan?

 

Wajib Pajak orang pribadi diwajibkan menyelenggarakan pembukuan dalam dua kondisi utama:

     Apabila Wajib Pajak menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun sudah mencapai atau melebihi Rp 4,8 Miliar.5 Batasan omzet Rp 4,8 miliar ini menandakan bahwa skala bisnis sudah cukup besar dan kompleks, sehingga memerlukan pencatatan keuangan yang lebih detail dan akuntabel. Ini juga menjadi indikator kematangan bisnis di mata pemerintah.

     Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang sebenarnya memenuhi syarat untuk menggunakan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) (karena omzetnya kurang dari Rp 4,8 Miliar) tetapi tidak memberitahukan penggunaan NPPN kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam jangka waktu yang ditentukan, maka secara otomatis Wajib Pajak tersebut akan dianggap memilih dan wajib menyelenggarakan pembukuan.1

Ketika omzet usaha sudah besar, jumlah transaksi menjadi lebih banyak dan kompleks. Pembukuan yang teratur memungkinkan perhitungan laba rugi yang akurat, yang pada gilirannya menjadi dasar perhitungan Pajak Penghasilan (PPh) yang lebih adil. Bagi DJP, pembukuan yang rapi juga mempermudah proses audit dan verifikasi. Oleh karena itu, pembukuan adalah standar yang diharapkan dari bisnis yang telah mencapai skala tertentu.

 

iii. Apa Saja Kewajiban bagi Wajib Pajak yang Melakukan Pembukuan?

 

Bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan, terdapat beberapa kewajiban yang harus dipenuhi:

     Pencatatan Teratur: Pembukuan adalah proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan. Ini meliputi pencatatan harta, kewajiban, modal, penghasilan, biaya, serta harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa.1

     Produk Akhir Laporan Keuangan: Hasil akhir dari proses pembukuan adalah laporan keuangan yang lengkap. Laporan ini setidaknya harus terdiri dari Neraca (yang menunjukkan posisi keuangan pada suatu waktu), Laporan Laba Rugi (yang menggambarkan kinerja keuangan selama periode tertentu), dan Laporan Arus Kas (yang menunjukkan aliran kas masuk dan keluar).18

     Penyimpanan Dokumen: Wajib Pajak wajib menyimpan semua buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan mereka selama 10 tahun di Indonesia.18

     Pelaporan SPT Tahunan dengan Laporan Keuangan: Saat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Wajib Pajak wajib melampirkan laporan keuangan yang telah disusun berdasarkan pembukuan tersebut.1

 

iv. Informasi Penting Lainnya Terkait Pembukuan

 

Selain sebagai kewajiban hukum, pembukuan juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi pengusaha. Dengan pembukuan yang baik, pengusaha dapat memperoleh gambaran utuh mengenai kesehatan keuangan usahanya, membuat keputusan bisnis yang lebih terinformasi, mempermudah proses pengajuan pinjaman ke bank, dan lebih siap saat menghadapi audit.

Sanksi Tidak Menyelenggarakan Pembukuan: Penting untuk diketahui bahwa jika Wajib Pajak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak melakukannya, atau bahkan sengaja memperlihatkan pembukuan palsu, mereka dapat dikenakan sanksi yang sangat berat. Pajak terutang dapat ditetapkan secara jabatan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dengan tambahan kenaikan pajak sebesar 100% (khusus untuk PPh Pasal 29 ditambah 50%). Selain itu, Wajib Pajak juga dapat dikenakan pidana penjara hingga 6 tahun dan denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah pajak yang tidak dibayar.24

Pembukuan yang baik bukan hanya sekadar kewajiban hukum, melainkan juga merupakan praktik bisnis terbaik. Sanksi yang berat menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menegakkan kepatuhan perpajakan, sekaligus mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam dunia usaha. Bagi pengusaha, ini berarti bahwa begitu bisnis mencapai skala tertentu, investasi dalam sistem akuntansi yang memadai dan mungkin juga penggunaan jasa tenaga ahli pajak menjadi suatu keharusan, bukan lagi pilihan. Hal ini mencerminkan bahwa pemerintah mengharapkan tingkat profesionalisme yang lebih tinggi dari bisnis yang sudah mapan.

 

v. Contoh Perhitungan PPh Tahunan dengan Pembukuan (dengan PTKP)

 

Ilustrasi Kasus: Bapak Dani adalah seorang pengusaha garmen di Bandung. Statusnya Kawin dengan 2 tanggungan (K/2). Omzet bruto usaha garmen Bapak Dani pada tahun 2024 adalah Rp 6.000.000.000. Bapak Dani menyelenggarakan pembukuan.

Data Keuangan dari Pembukuan:

     Peredaran Bruto (Omzet) = Rp 6.000.000.000

     Biaya-biaya Usaha (Gaji karyawan, sewa, listrik, bahan baku, dll.) = Rp 3.500.000.000

     Penghasilan Neto dari Usaha = Peredaran Bruto - Biaya-biaya Usaha

     = Rp 6.000.000.000 - Rp 3.500.000.000 = Rp 2.500.000.000

     Asumsi tidak ada penghasilan atau biaya lain di luar usaha.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP):

     PTKP untuk status K/2 (Kawin dengan 2 tanggungan) = Rp 67.500.000.6

Penghasilan Kena Pajak (PKP):

     PKP = Penghasilan Neto dari Usaha - PTKP

     PKP = Rp 2.500.000.000 - Rp 67.500.000 = Rp 2.432.500.000

PPh Terutang (Menggunakan Tarif Progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh): 6

     Lapisan 1: 5% x Rp 60.000.000 = Rp 3.000.000

     Lapisan 2: 15% x (Rp 250.000.000 - Rp 60.000.000) = 15% x Rp 190.000.000 = Rp 28.500.000

     Lapisan 3: 25% x (Rp 500.000.000 - Rp 250.000.000) = 25% x Rp 250.000.000 = Rp 62.500.000

     Lapisan 4: 30% x (Rp 2.432.500.000 - Rp 500.000.000) = 30% x Rp 1.932.500.000 = Rp 579.750.000

     Total PPh Terutang Setahun = Rp 3.000.000 + Rp 28.500.000 + Rp 62.500.000 + Rp 579.750.000 = Rp 673.750.000

Kredit Pajak (Angsuran PPh Pasal 25): Bapak Dani wajib membayar angsuran PPh Pasal 25 setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan dihitung berdasarkan PPh terutang tahun sebelumnya, dikurangi kredit pajak (PPh yang dipotong/dipungut pihak lain), lalu dibagi 12. Angsuran ini akan menjadi kredit pajak di akhir tahun.

     Misalnya, jika angsuran PPh Pasal 25 yang sudah dibayar Bapak Dani sepanjang tahun 2024 adalah Rp 600.000.000.

     PPh Kurang Bayar (PPh Pasal 29) = Rp 673.750.000 - Rp 600.000.000 = Rp 73.750.000 (Jumlah ini harus dilunasi saat pelaporan SPT Tahunan)

 

Bab 3 Kesimpulan dan Saran

 

 

a. Kesimpulan: Memilih Skema Pajak yang Tepat untuk Usaha Anda

 

Dari pembahasan yang telah disajikan, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satu pendekatan tunggal yang cocok untuk semua dalam hal perpajakan bagi pengusaha orang pribadi. Pemilihan skema Pajak Penghasilan (PPh)—apakah itu PPh Final PP 55/2022, Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN), atau Pembukuan—sangat bergantung pada peredaran bruto (omzet) usaha dan jenis kegiatan usaha (apakah pekerjaan bebas atau bukan).

     PPh Final PP 55/2022 (0,5%): Skema ini merupakan yang paling sederhana dari segi perhitungan dan administrasi. Sangat cocok untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dengan omzet di bawah Rp 4,8 Miliar. Terdapat fasilitas bebas pajak hingga Rp 500 Juta khusus bagi Wajib Pajak orang pribadi. Namun, penting untuk diingat bahwa skema ini memiliki batas waktu penggunaan (7 tahun untuk orang pribadi) dan tidak berlaku untuk penghasilan dari pekerjaan bebas.

     Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN): Pilihan ini merupakan alternatif yang baik bagi pengusaha atau pekerja bebas dengan omzet di bawah Rp 4,8 Miliar yang tidak ingin direpotkan dengan pembukuan lengkap. Namun, penggunaan NPPN memerlukan pemberitahuan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) setiap tahunnya.

     Pembukuan: Metode ini wajib bagi pengusaha dengan omzet di atas Rp 4,8 Miliar. Selain itu, jika Wajib Pajak yang seharusnya dapat menggunakan NPPN tidak memberitahukan penggunaannya, mereka secara otomatis akan dianggap memilih dan wajib menyelenggarakan pembukuan. Meskipun pembukuan lebih kompleks, metode ini memberikan gambaran keuangan yang paling akurat dan merupakan praktik bisnis yang profesional.

Setiap skema perpajakan memiliki "masa berlaku" dan "target audiens" yang spesifik. Memahami batasan omzet (Rp 500 juta dan Rp 4,8 miliar) serta jenis pekerjaan yang dijalankan adalah kunci untuk memilih skema yang paling menguntungkan dan sesuai dengan kondisi bisnis. Pengetahuan ini juga memungkinkan pengusaha untuk merencanakan transisi perpajakan di masa depan. Pajak bukan hanya tentang kewajiban membayar, tetapi juga tentang perencanaan strategis. Pengusaha perlu memprediksi pertumbuhan omzet mereka agar dapat mengantisipasi kapan harus beralih skema. Misalnya, UMKM yang omzetnya mendekati Rp 500 juta atau Rp 4,8 Miliar harus mulai mempersiapkan diri untuk perubahan metode perhitungan atau bahkan beralih ke pembukuan. Ini adalah bagian integral dari manajemen risiko dan perencanaan keuangan jangka panjang yang efektif.

 

b. Saran untuk Pengusaha Orang Pribadi di Indonesia

 

Untuk memastikan kepatuhan pajak yang optimal dan mendukung pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan, berikut adalah beberapa saran penting bagi pengusaha orang pribadi di Indonesia:

     1. Pahami Peredaran Bruto Anda dengan Baik: Selalu catat peredaran bruto (omzet) usaha Anda dengan rapi dan akurat setiap bulan. Data ini adalah kunci utama untuk menentukan skema pajak mana yang berlaku bagi Anda dan kapan Anda mungkin perlu beralih ke skema lain. Pencatatan yang baik juga membantu dalam memantau kinerja bisnis secara keseluruhan.

     2. Jangan Ragu untuk Bertanya: Sistem perpajakan dapat terasa rumit. Jika ada hal-hal yang tidak Anda mengerti atau ragu, jangan pernah ragu untuk mencari klarifikasi. Anda dapat bertanya langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat, menghubungi kring pajak (1500200), atau berkonsultasi dengan konsultan pajak profesional. Lebih baik bertanya dan memastikan kebenaran daripada melakukan kesalahan yang dapat berujung pada sanksi.

     3. Manfaatkan Teknologi: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus berinovasi dengan mengembangkan berbagai layanan digital, seperti sistem Coretax. Manfaatkan fitur-fitur ini untuk memudahkan Anda dalam memenuhi kewajiban perpajakan, seperti menyampaikan pemberitahuan penggunaan Norma Perhitungan Penghasilan Neto (NPPN) atau melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan secara daring. Teknologi dapat sangat mengurangi beban administratif.

     4. Rencanakan Transisi Pajak: Apabila Anda saat ini menggunakan skema PPh Final 0,5%, ingatlah bahwa ada batasan waktu penggunaannya. Mulailah mempersiapkan diri untuk beralih ke NPPN atau pembukuan jauh-jauh hari sebelum batas waktu tersebut berakhir. Persiapan ini dapat meliputi belajar tentang pencatatan yang lebih detail, menginvestasikan pada perangkat lunak akuntansi, atau menyiapkan anggaran untuk menyewa tenaga ahli pajak atau akuntan. Perencanaan proaktif akan mencegah kejutan dan tekanan di kemudian hari.

     5. Patuh dan Tepat Waktu: Selalu bayar dan lapor pajak Anda tepat waktu sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kepatuhan pajak tidak hanya mencerminkan integritas bisnis Anda, tetapi juga akan menghindarkan Anda dari denda atau sanksi yang tidak perlu. Pajak yang Anda bayarkan merupakan investasi penting untuk kemajuan bangsa, dan dengan memenuhinya secara konsisten, Anda turut membangun fondasi bisnis yang kuat dan berkelanjutan.

Saran-saran ini menekankan pentingnya proaktivitas, perencanaan, dan pembelajaran berkelanjutan dalam mengelola aspek perpajakan. Pajak seharusnya tidak dipandang sebagai beban pasif, melainkan sebagai area yang memerlukan manajemen aktif untuk memastikan kelangsungan dan pertumbuhan bisnis yang sehat. Pengusaha yang adaptif dan proaktif dalam memahami serta memenuhi kewajiban perpajakannya dapat mengubahnya menjadi keunggulan kompetitif, karena mereka mampu mengalokasikan sumber daya dengan lebih efisien dan menghindari masalah yang tidak diinginkan.

 

Kata Penutup

 

Semoga pembahasan ini dapat memberikan pencerahan dan panduan yang jelas bagi seluruh pengusaha orang pribadi di Indonesia. Pajak, pada dasarnya, akan menjadi mudah jika kita memahami cara kerjanya. Dengan pemahaman yang baik dan kepatuhan yang konsisten, setiap pengusaha tidak hanya berkontribusi pada pembangunan negara, tetapi juga membangun fondasi bisnis yang kokoh dan berkelanjutan.

Terima kasih atas perhatian Teman Teman.