Senin, 29 September 2025

 


Kata Pengantar


Implementasi Core Tax Administration System (Coretax) dan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) telah membawa perubahan monumental dalam administrasi perpajakan di Indonesia.1 Perubahan ini bertujuan mengintegrasikan data kependudukan dan data perpajakan secara holistik. Namun, bagi pasangan suami istri, khususnya yang memilih status perpajakan terpisah—baik karena Perjanjian Pemisahan Harta (PH) maupun karena Istri Memilih Terpisah (MT)—era digital ini menciptakan kompleksitas administrasi dan fiskal yang baru.

Laporan ini disajikan sebagai panduan kritis dan komprehensif, mengupas tuntas tiga pilar status perpajakan rumah tangga, menganalisis secara mendalam keunggulan perencanaan pajak (tax planning) melalui status MT/PH, sekaligus menyingkap ranjau kepatuhan tersembunyi, terutama risiko Kurang Bayar (KB) yang kerap muncul. Kami juga akan menguraikan langkah-langkah prosedural dalam sistem Coretax, khususnya terkait aktivasi NIK dan pembaruan data Unit Pajak Keluarga (Family Tax Unit / FTU), serta memberikan simulasi fiskal nyata untuk memastikan Wajib Pajak dapat menjalankan kewajiban dengan akurat dan efisien.


Bab 1: Pengetahuan Umum Atas Tema Utama: Fondasi Hukum Status Perpajakan Suami-Istri


Pemahaman mengenai status perpajakan suami-istri berakar kuat pada prinsip persatuan ekonomi dalam keluarga. Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), terdapat tiga kategori utama yang menentukan cara pengenaan pajak atas penghasilan dalam sebuah rumah tangga.


1.1. Tiga Pilar Status Perpajakan Keluarga: Gabung, PH, dan MT


  1. Status Gabung (KK): Ini adalah status standar atau normal. Secara hukum, seluruh penghasilan yang diperoleh istri dianggap sebagai penghasilan suami, dan kewajiban perpajakan keluarga disatukan. Suami bertanggung jawab penuh atas pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan.2

  2. Status Pisah Harta (PH): Status ini timbul ketika suami dan istri membuat perjanjian tertulis yang sah mengenai pemisahan harta dan penghasilan. Perjanjian ini harus disahkan oleh notaris. Dalam status PH, masing-masing pihak menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri.3

  3. Status Memilih Terpisah (MT): Ini adalah status di mana pemisahan kewajiban perpajakan merupakan kehendak murni dari istri untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, meskipun tidak ada perjanjian pemisahan harta tertulis.4


1.2. Dasar Hukum Kritis yang Mengikat (Undang-Undang PPh)


Status terpisah (PH dan MT) merupakan pengecualian dari prinsip persatuan ekonomi, dan penetapannya diatur secara ketat oleh UU PPh.

Ketentuan mengenai prinsip penggabungan dan pengecualian status PH tertuang dalam Pasal 8 ayat (2) UU PPh. Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya, penghasilan wanita kawin dianggap sebagai penghasilan suaminya, kecuali dalam dua kondisi. Kondisi pertama adalah penghasilan istri dari satu pemberi kerja yang PPh-nya sudah dipotong Pasal 21 dan tidak ada hubungan dengan usaha suami. Kondisi kedua, yang menjadi dasar status PH, adalah:

"dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan".4

Sementara itu, status yang memungkinkan istri memilih untuk berpisah tanpa harus menyertakan perjanjian harta (MT) diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UU PPh. Pasal ini mengatur situasi di mana penghasilan suami-istri dikenai pajak secara terpisah:

"Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila: a. suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim; b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan; atau c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri".4

Poin c pada ayat (3) ini adalah dasar hukum yang memberikan otonomi kepada istri untuk memilih status MT, tanpa harus memiliki perjanjian pemisahan harta.


1.3. NIK, Akuntabilitas Legal, dan Prinsip Penggabungan Perhitungan


Dalam konteks era Coretax, status MT/PH menuntut kejelasan identitas Wajib Pajak. Status ini mewajibkan istri memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang aktif dan independen, yang saat ini diintegrasikan melalui NIK.3 Hal ini berbeda substansial dengan status Gabung, di mana NPWP istri harus dinonaktifkan dan kewajiban pajak ditanggung suami.2

Meskipun status MT/PH memberikan pemisahan kewajiban pelaporan SPT Tahunan 3, perlu ditekankan bahwa dasar hukum tetap mewajibkan

penggabungan penghasilan neto suami dan istri di awal perhitungan untuk menentukan total PPh Terutang. Setelah total PPh terutang ditemukan, besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami istri dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.7

Prinsip ini sangat penting dan sering disalahpahami. MT/PH bukanlah perhitungan yang terpisah sejak awal (seperti dua orang lajang), melainkan pelaporan yang terpisah setelah perhitungan gabungan. Undang-Undang PPh menetapkan bahwa perhitungan progresif didasarkan pada unit ekonomi keluarga, meski kewajiban pelaporan akhirnya dipecah.


Bab 2: Kelebihan dan Kekurangan: Analisis Kritis Perencanaan Pajak Status Istri Terpisah (MT/PH)


Keputusan untuk memilih status perpajakan terpisah (PH atau MT) harus didasarkan pada analisis fiskal yang cermat. Keputusan ini memiliki keuntungan signifikan dalam perencanaan pajak, namun juga mengandung risiko kepatuhan yang tinggi.


2.1. Kelebihan Strategis (The Benefit of Separation: Tax Planning)


Keuntungan utama memilih status MT atau PH terletak pada optimalisasi penggunaan tarif pajak progresif.


Optimalisasi Lapisan Tarif Rendah


Sistem Pajak Penghasilan di Indonesia menerapkan tarif progresif, di mana persentase pajak meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP). Jika suami dan istri memiliki penghasilan yang sama-sama besar, penggabungan penghasilan (Status Gabung/KK) akan membuat total PKP keluarga dengan cepat melompat ke lapisan tarif yang lebih tinggi, seperti 25% atau 30%.8

Status MT/PH memungkinkan agregasi penghasilan hanya untuk menentukan basis tarif tertinggi, namun besaran PPh Terutang tersebut kemudian dibagi secara proporsional sesuai perbandingan penghasilan neto masing-masing.7 Secara kumulatif, alokasi proporsional ini sering kali menghasilkan beban pajak total yang lebih hemat, karena memaksimalkan penggunaan lapisan tarif PPh Pasal 17 yang lebih rendah (5% dan 15%) pada perhitungan proporsional tersebut.8


Otonomi Kepatuhan dan Kejelasan Kredit Pajak


Istri yang memilih status MT/PH menjalankan kewajiban perpajakannya sendiri dan menyampaikan SPT Tahunan sendiri.3 PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja istri tidak lagi bersifat final (seperti pada status Gabung untuk istri karyawan satu pemberi kerja), melainkan menjadi

Kredit Pajak bagi istri.7 Hal ini memberikan akuntabilitas yang terpisah dan kontrol penuh atas kepatuhan perpajakan pribadi.


Penentuan PTKP yang Komprehensif


Dalam status MT/PH, penentuan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) keluarga menggunakan formula (KI/tanggungan). Formula ini mencakup PTKP Wajib Pajak sendiri (Rp54 Juta), tambahan WP kawin (Rp4,5 Juta), tambahan untuk seorang istri (Rp54 Juta), dan tanggungan yang dihitung secara total.7


2.2. Kekurangan dan Risiko Kepatuhan (The Hidden Cost: Proportional Aggregation)


Risiko terbesar dari pemisahan status pajak adalah potensi Kurang Bayar (KB) yang tinggi dan tak terduga, khususnya bagi istri yang berstatus karyawan.


Risiko Kurang Bayar (KB) yang Tak Terduga


Kurang Bayar sering terjadi karena adanya perbedaan antara cara PPh 21 bulanan dihitung dan cara PPh Tahunan MT/PH dihitung. Ketika istri berstatus MT/PH, PPh 21 yang dipotong oleh pemberi kerjanya (kredit pajak) dihitung berdasarkan penghasilan istri secara mandiri (misalnya menggunakan PTKP TK/0 atau K/0).

Namun, PPh Terutang tahunan istri harus dihitung berdasarkan rasio proporsional dari PPh Terutang gabungan keluarga, yang mungkin sudah dikenai lapisan tarif yang sangat tinggi (misalnya 25% atau 30%) karena total penghasilan suami dan istri besar. Ketika PPh Terutang yang tinggi ini dialokasikan ke istri, jumlahnya seringkali jauh lebih besar daripada Kredit Pajak (PPh 21) yang sudah dipotong. Defisit inilah yang menciptakan Kurang Bayar yang signifikan saat pelaporan SPT.7

Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun MT/PH menguntungkan karena membagi tarif progresif tertinggi, basis tarif yang digunakan untuk pembagian tersebut tetaplah tinggi. Jika penghasilan gabungan sangat besar, PPh terutang yang dialokasikan proporsional ke istri tetap bisa memicu KB.


Kompleksitas Administrasi dan Kewajiban Ganda


Status MT/PH meningkatkan beban administrasi karena mewajibkan suami dan istri sama-sama menyusun dan menyampaikan SPT Tahunan.3 Proses penghitungan proporsional juga memerlukan koordinasi data Penghasilan Neto yang detail dan akurat antara kedua belah pihak. Selain itu, istri wajib menunjukkan NPWP-nya sendiri kepada pemotong PPh agar PPh 21 tersebut diakui sebagai kredit pajak.7

Tabel 2.1 di bawah ini meringkas perbedaan strategis antara kedua status tersebut:

Perbandingan Status Perpajakan Suami-Istri


Indikator

Status NPWP Gabung (KK)

Status NPWP Terpisah (MT/PH)

Dasar Perhitungan PPh

Total penghasilan neto digabung (WP Tunggal)

Total penghasilan neto digabung, PPh Terutang dibagi proporsional

Risiko Loncat Lapisan

Sangat Tinggi (satu kali maksimalisasi tarif rendah)

Rendah (dua kali maksimalisasi tarif rendah, dihitung proporsional) 8

Kewajiban SPT Tahunan

Hanya Suami

Suami dan Istri (masing-masing) 3

Status PPh 21 Istri

Final (jika dari satu pemberi kerja dan memenuhi syarat)

Kredit Pajak (Wajib dihitung ulang dalam SPT Tahunan istri) 7


Bab 3: Prosedur Coretax dan Simulasi Fiskal: Mengupas Tuntas Aktivasi NIK dan Perhitungan PPh Terpisah


Implementasi Coretax menempatkan perhatian besar pada validasi data kependudukan melalui NIK. Bagi pasangan MT/PH, prosedur administrasi ini krusial dan berbeda total dengan pasangan Gabung.


3.1. Aktivasi NIK/NPWP Istri Status Terpisah (MT/PH)


Untuk istri dengan status MT atau PH, NIK/NPWP harus tetap aktif dan terpisah, karena istri memiliki kewajiban pelaporan mandiri. Proses aktivasi NIK menjadi NPWP di Coretax memerlukan pemadanan data. Jika terdapat kendala, Wajib Pajak dianjurkan melakukan perubahan data NPWP menjadi NIK ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat menggunakan Aplikasi CTAS.10

Penting untuk dipahami bahwa, dalam status MT/PH, istri harus memastikan NIK/NPWP-nya digunakan dalam setiap transaksi dan administrasi perpajakan. Misalnya, saat dibuat Bukti Potong PPh 21/26, identitas yang digunakan adalah NIK istri sendiri.2


3.2. Family Tax Unit (FTU) / Unit Pajak Keluarga di Coretax


Sistem Coretax mewajibkan pembaruan data Unit Pajak Keluarga (FTU) melalui menu Profil Saya → Informasi Umum. Proses ini digunakan DJP untuk memvalidasi status perkawinan dan identitas anggota keluarga. Perbedaan prosedur FTU untuk status Gabung dan Terpisah adalah perbedaan mendasar dalam administrasi Coretax.


3.2.1. Prosedur FTU Status Gabung (KK)


  1. Nonaktifkan NPWP Istri: Jika istri sebelumnya memiliki NPWP, ia wajib mengajukan penonaktifan melalui Coretax (Portal Saya → Perubahan Status → Penetapan Wajib Pajak Nonaktif). Alasan yang dipilih harus menyatakan bahwa istri memilih menggabungkan penghitungan pajak dengan suami.2

  2. Update FTU Suami: Suami harus masuk ke akun Coretax-nya dan memperbarui FTU. Istri ditambahkan menggunakan NIK, dan status istri harus ditetapkan sebagai Tanggungan.2

  3. Implikasi: Status "Tanggungan" ini mengonfirmasi kepada DJP bahwa istri tidak lagi berstatus WP aktif mandiri dan kewajiban perpajakannya dikonsolidasikan pada SPT suami.2


3.2.2. Prosedur FTU Status Terpisah (MT/PH)


Untuk status MT/PH, perlakuan FTU berbeda secara fundamental. Karena istri akan mengklaim PTKP (KI/tanggungan) secara mandiri 7, suami

tidak perlu mendaftarkan istri sebagai Tanggungan untuk tujuan PTKP di akun Coretax-nya.

Namun, baik suami maupun istri tetap wajib memperbarui data FTU di Coretax (Profil Saya → Informasi Umum). Tujuannya bukan untuk klaim tanggungan, melainkan untuk validasi NIK dan status perkawinan yang terintegrasi dengan Dukcapil. Meskipun istri berstatus MT/PH, ia tetap merupakan unit keluarga yang terikat secara perkawinan. Keharusan ini memastikan bahwa status perkawinan yang tercatat di DJP konsisten, sehingga mekanisme penggabungan penghasilan neto dan pembagian PPh terutang proporsional dapat dihitung dengan benar oleh sistem Coretax.


3.3. Mengatasi Kendala Administrasi: Kartu Keluarga Belum Diperbaharui


Salah satu tantangan terbesar di era integrasi data NIK/Coretax adalah ketidaksesuaian data kependudukan. Seringkali, pasangan yang baru menikah atau yang statusnya berubah mendapati Kartu Keluarga (KK) mereka belum diperbaharui di Dukcapil. Hal ini dapat menghambat pendaftaran atau pembaruan FTU Coretax.11

Jika data KK belum terbarui dan Wajib Pajak mengalami kendala validasi NIK/NPWP atau pembaruan FTU, sistem digital mungkin mengalami hambatan. Solusi kritis dalam situasi ini adalah mengajukan permohonan secara manual. Petugas kantor pajak biasanya memiliki opsi untuk mendaftarkan data FTU secara manual jika Wajib Pajak dapat membawa dokumen pendukung yang sah seperti KTP, Kartu Keluarga lama, dan Surat Nikah.11 DJP sendiri telah memitigasi kendala dalam perubahan/pembaruan data agar dapat dilakukan oleh Wajib Pajak melalui Coretax.12


Bab 4: Simulasi Perhitungan PPh Tahunan Status Terpisah (MT/PH): Mekanisme KB dan LB


Mekanisme perhitungan PPh Tahunan bagi suami istri dengan status terpisah (MT/PH) adalah titik krusial yang menentukan apakah Wajib Pajak mengalami Kurang Bayar (KB) atau Lebih Bayar (LB).7


4.1. Mekanisme Kunci Penghitungan PPh Status Terpisah


Perhitungan PPh Terutang bagi pasangan MT/PH mengikuti langkah-langkah yang diatur dalam Pasal 8 UU PPh dan perubahannya:

  1. Penggabungan Penghasilan Neto: Seluruh Penghasilan Neto Suami dan Istri digabungkan.

  2. Penghitungan PPh Terutang Gabungan: PPh terutang dihitung atas total Penghasilan Kena Pajak gabungan menggunakan tarif progresif.

  3. Pembagian Proporsional: PPh Terutang Gabungan tersebut dialokasikan kepada suami dan istri sesuai perbandingan Penghasilan Neto masing-masing.7


4.2. Contoh Detail: Menghitung Kurang Bayar (KB) Istri MT/PH


Ambil contoh pasangan yang memilih status MT/PH.

Asumsi Data:

  • Status Perkawinan: Kawin dengan 3 tanggungan.

  • Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP KI/3): Rp126.000.000.7

  • Penghasilan Neto Suami: Rp300.000.000

  • Penghasilan Neto Istri (Karyawan): Rp150.000.000

  • PPh Pasal 21 yang telah dipotong (Kredit Pajak) oleh Pemberi Kerja Istri: Rp10.000.000


Langkah A: Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) Gabungan


Penghitungan ini dilakukan untuk menentukan dasar pengenaan tarif progresif PPh.

Penghitungan PKP Gabungan

Uraian

Jumlah (Rp)

Penghasilan Neto Gabungan (300 juta + 150 juta)

450.000.000

PTKP (KI/3)

126.000.000

Penghasilan Kena Pajak (PKP) Gabungan

324.000.000


Langkah B: Hitung PPh Terutang Gabungan


PKP sebesar Rp324.000.000 dikenai tarif progresif (sesuai UU PPh yang berlaku):

Perhitungan PPh Terutang Gabungan

Lapisan Tarif

Perhitungan

PPh Terutang (Rp)

5%

5% x 60.000.000

3.000.000

15%

15% x 200.000.000

30.000.000

25%

25% x (324.000.000 - 260.000.000)

16.000.000

Total PPh Terutang Gabungan


49.000.000


Langkah C: Alokasi PPh Terutang (Proporsional)


Total PPh Terutang Rp49.000.000 kemudian dibagi berdasarkan perbandingan Penghasilan Neto Suami dan Istri (450.000.000 : 300.000.000 : 150.000.000).

Pihak

Perhitungan Proporsional

PPh Terutang Masing-Masing (Rp)

Suami

(300.000.000/450.000.000)×49.000.000

32.666.667

Istri

(150.000.000/450.000.000)×49.000.000

16.333.333


Langkah D: Penentuan Kurang Bayar (KB) atau Lebih Bayar (LB) Istri


Ini adalah langkah terakhir yang harus dilakukan istri saat mengisi SPT Tahunan.

Penentuan KB/LB Istri


Uraian

Jumlah (Rp)

Keterangan

PPh Terutang Istri (Langkah C)

16.333.333


Kredit Pajak Istri (PPh 21 Dipotong)

10.000.000

PPh 21 menjadi kredit pajak 7

PPh Kurang/(Lebih) Bayar Istri

6.333.333

Kurang Bayar (KB)

Analisis Hasil Simulasi:

Istri mengalami Kurang Bayar (KB) sebesar Rp6.333.333. Ini membuktikan bahwa meskipun istri berstatus MT/PH, potensi Kurang Bayar tetap tinggi. Hal ini terjadi karena penghitungan PPh Terutang menggunakan basis tarif progresif yang tinggi dari total pendapatan keluarga. PPh 21 yang dipotong bulanan (berbasis perhitungan gaji mandiri istri) tidak mampu menutupi alokasi PPh Terutang proporsional tersebut.9

Untuk mengendalikan Kurang Bayar ini, pasangan MT/PH perlu melakukan perencanaan. Wajib Pajak dapat mempertimbangkan untuk melakukan pembayaran angsuran PPh Pasal 25 atau meminta kepada pemberi kerja istri untuk meningkatkan jumlah pemotongan PPh 21 bulanan. Strategi ini memastikan bahwa kredit pajak yang terkumpul selama setahun mendekati PPh terutang proporsional, sehingga menghindari beban pembayaran yang besar di akhir tahun.


Bab 5: Kesimpulan dan Saran Strategis



5.1. Kesimpulan Kritis: MT/PH di Persimpangan Administrasi Coretax


Status perpajakan terpisah, baik melalui Perjanjian Pemisahan Harta (PH) atau Istri Memilih Terpisah (MT), merupakan pilihan strategis yang diakui secara hukum (Pasal 8 UU PPh) untuk mencapai efisiensi pajak melalui optimalisasi lapisan tarif progresif bagi pasangan berpenghasilan ganda.

Namun, di era Coretax, pilihan ini menuntut akuntabilitas administrasi yang jauh lebih tinggi. Sistem Coretax menuntut validasi NIK/NPWP yang aktif dan pembaruan data Unit Pajak Keluarga (FTU) yang harus merefleksikan status WP yang independen. Ancaman utama bagi Wajib Pajak MT/PH adalah potensi Kurang Bayar (KB) yang mengejutkan, yang dipicu oleh mekanisme perhitungan proporsional: PPh Terutang yang dihitung berdasarkan basis penghasilan gabungan yang tinggi seringkali melampaui PPh 21 (kredit pajak) yang telah dipotong bulanan oleh pemberi kerja istri.7


5.2. Saran Strategis (Checklist Konsultan Pajak)


Bagi Wajib Pajak yang memilih atau berencana memilih status MT/PH, beberapa langkah strategis harus dilakukan untuk memastikan kepatuhan dan optimalisasi fiskal:

  1. Evaluasi Titik Impas (Break-Even Point) Pajak: Status MT/PH memberikan manfaat fiskal terbesar jika total Penghasilan Kena Pajak gabungan berada di ambang batas lapisan tarif yang lebih tinggi, misalnya melewati batas PKP Rp250 Juta (tarif 25%) atau Rp500 Juta (tarif 30%). Jika total PKP masih rendah, kompleksitas administrasi MT/PH mungkin tidak sebanding dengan penghematan pajak yang diperoleh.

  2. Validasi NIK/NPWP dan FTU Coretax: Segera lakukan pemadanan NIK/NPWP di sistem Coretax. Pastikan NIK istri terdaftar sebagai Wajib Pajak aktif dan bukan sebagai "Tanggungan" di akun Coretax suami. Validasi FTU ini krusial untuk memastikan status MT/PH diakui secara digital. Jika data Kartu Keluarga belum diperbaharui, Wajib Pajak harus segera mengajukan permohonan pembaruan data secara manual ke KPP dengan melampirkan dokumen pendukung.11

  3. Persiapan Kredit Pajak untuk Menghindari KB: Lakukan simulasi perhitungan proporsional MT/PH sejak awal tahun buku. Jika hasil simulasi menunjukkan indikasi Kurang Bayar yang besar bagi istri, ambil langkah proaktif, yaitu dengan mengangsur PPh Pasal 25 atau meminta kepada pemberi kerja istri untuk meningkatkan persentase pemotongan PPh Pasal 21 bulanan. Langkah ini diperlukan untuk meningkatkan Kredit Pajak dan menghindari denda keterlambatan serta beban pembayaran besar di akhir tahun.

  4. Kepatuhan Ganda: Wajib Pajak harus menyadari bahwa status MT/PH mewajibkan penyampaian dua SPT Tahunan (suami dan istri) secara independen. Konsistensi dan akurasi data penghasilan neto dalam perhitungan proporsional adalah kunci untuk menghindari sanksi perpajakan.


Kata Penutup


Pajak Penghasilan bagi wanita kawin dengan status terpisah (MT/PH) adalah area yang kompleks. Dalam lanskap Coretax yang mengedepankan integrasi data, setiap pilihan status perpajakan menuntut sinkronisasi yang sempurna antara dokumen legal (perjanjian harta, surat nikah) dan data kependudukan (NIK, Kartu Keluarga). Memilih status terpisah adalah hak yang memberikan efisiensi fiskal, tetapi ia membawa serta tanggung jawab kepatuhan yang lebih tinggi. Wajib Pajak diimbau untuk selalu berkonsultasi dengan profesional pajak terpercaya guna memastikan bahwa langkah tax planning yang diambil tidak berujung pada kerumitan administratif atau Kurang Bayar yang tak terduga. Kepatuhan yang proaktif adalah kunci keberhasilan di era perpajakan digital ini.

Karya yang dikutip

  1. Cara Aktivasi Coretax Jika NPWP Gabung Tapi Pemasukan Hanya dari Istri - DDTC News, diakses September 29, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1812235/cara-aktivasi-coretax-jika-npwp-gabung-tapi-pemasukan-hanya-dari-istri

  2. Cara Gabung NPWP Suami-Istri di Coretax - Ortax, diakses September 29, 2025, https://ortax.org/cara-gabung-npwp-suami-istri-di-coretax

  3. Pisah Harta atau NPWP Gabungan? Panduan Lengkap Pajak Suami-Istri - FlazzTax, diakses September 29, 2025, https://flazztax.com/2025/03/15/pisah-harta-atau-npwp-gabungan-panduan-lengkap-pajak-suami-istri/

  4. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 29/PJ/2010 - Data Center - Ortax, diakses September 29, 2025, https://1.ortax.org/ortax/aturan/show/14126

  5. Memilih Terpisah, Istri Ingin Laksanakan Kewajiban Pajak Sendiri, diakses September 29, 2025, https://www.pajak.go.id/id/berita/memilih-terpisah-istri-ingin-laksanakan-kewajiban-pajak-sendiri

  6. UU Perpajakan Konsolidasi - Perpajakan DDTC, diakses September 29, 2025, https://perpajakan.ddtc.co.id/sumber-hukum/peraturan-pusat/konsolidasi

  7. Perhitungan Pajak Wanita Kawin | Direktorat Jenderal Pajak, diakses September 29, 2025, https://www.pajak.go.id/id/perhitungan-pajak-wanita-kawin

  8. Suami Istri Pisah NPWP, Biar Nggak Rugi di Coretax! - D'Consulting, diakses September 29, 2025, https://www.dconsulting.id/suami-istri-pisah-npwp-biar-nggak-rugi-di-coretax/

  9. Waspada, NPWP Suami-Istri Beda Bisa Picu Kurang Bayar Pajak di Era Coretax, diakses September 29, 2025, https://tulungagung.jatimtimes.com/baca/342175/20250723/084200/waspada-npwp-suami-istri-beda-bisa-picu-kurang-bayar-pajak-di-era-coretax

  10. TOP ISSUES, diakses September 29, 2025, https://www.hananta.com/downloads/20250120/Isu_Utama_Implementasi_Coretax_DJP_1736407557.pdf

  11. Nomor Kartu Keluarga tidak Valid Daftar NPWP secara online lewat Coretax - YouTube, diakses September 29, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=4sCz0tkrVjA

  12. PENYELESAIAN ISU PASCAIMPLEMENTASI CORETAX DJP PER 10 JANUARI 2025, diakses September 29, 2025, https://pajak.go.id/sites/default/files/2025-01/PENYELESAIAN%20ISU%20PASCAIMPLEMENTASI%20CORETAX%20DJP.pdf

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.