Selasa, 15 Juli 2025




I. Pendahuluan: Mengapa Pajak Pendidikan Penting untuk Kita Semua?

 

Latar Belakang: Pendidikan sebagai Pilar Bangsa dan Peran Pajak di Dalamnya.

 

Pendidikan adalah fondasi utama bagi kemajuan sebuah bangsa. Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung sektor pendidikan, dan salah satu bentuk dukungan krusial ini terwujud melalui kebijakan perpajakan. Kebijakan ini dirancang tidak hanya untuk mengatur, tetapi juga untuk memfasilitasi pertumbuhan dan peningkatan kualitas pendidikan di seluruh negeri. Dana yang terkumpul dari pajak, termasuk yang berasal dari berbagai transaksi di sektor pendidikan, pada akhirnya akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan publik yang esensial, dan tentu saja, peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Ini adalah sebuah siklus penting yang memastikan roda pembangunan nasional terus berputar dan memberikan manfaat nyata bagi setiap warga negara.

Sebagai bukti komitmen ini, Undang-Undang telah mengamanatkan alokasi anggaran yang signifikan untuk pendidikan. Disebutkan bahwa 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan khusus untuk pendidikan, dan sebagian besar dana ini berasal dari pembayaran pajak masyarakat, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa pendidikan. Alokasi anggaran sebesar ini menunjukkan bahwa perpajakan bukan sekadar alat untuk mengumpulkan pendapatan, melainkan juga instrumen strategis untuk memastikan keberlanjutan finansial dari prioritas nasional yang sangat penting ini. Kebijakan pajak di sini berfungsi sebagai sebuah mekanisme yang mengarahkan sumber daya negara menuju tujuan pembangunan nasional, mencerminkan prioritas dan komitmen negara terhadap masa depan bangsanya.2

 

Tujuan Penulisan: Membedah Aturan Pajak Pendidikan agar Mudah Dipahami Siapa Saja.

 

Seringkali, istilah-istilah dalam peraturan pajak terasa rumit dan membingungkan, bahkan bagi orang dewasa yang sudah terbiasa dengan dunia bisnis. Tulisan ini hadir sebagai "penerjemah" yang akan menguraikan seluk-beluk aturan pajak di bidang pendidikan, mulai dari konsep yang paling dasar hingga implikasi yang lebih kompleks, dengan bahasa yang sangat sederhana dan mudah dicerna. Harapannya, semua orang, dapat membaca dan mengerti dengan baik apa saja kewajiban dan hak mereka terkait pajak pendidikan. Laporan ini akan fokus membahas dua jenis pajak utama yang terkait erat dengan jasa pendidikan: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).

 

Ruang Lingkup: Dari Sekolah Formal hingga Kursus Kilat, Semua Ada Pajaknya!

 

Dalam laporan ini, akan dijelajahi berbagai jenis layanan pendidikan yang ada di Indonesia. Cakupannya sangat luas, mulai dari pendidikan formal seperti sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi, sampai berbagai jenis pendidikan non-formal seperti kursus keterampilan, bimbingan belajar, dan pelatihan profesional. Laporan ini juga akan membahas bagaimana kewajiban pajak berlaku untuk berbagai pihak yang terlibat dalam ekosistem pendidikan, mulai dari yayasan pendidikan sebagai penyelenggara utama, para guru dan staf pengajar yang merupakan ujung tombak pendidikan, hingga beasiswa yang diterima oleh para siswa sebagai bentuk dukungan finansial.

 

II. Mengenal Lebih Dekat Jasa Pendidikan: Apa Saja Jenisnya?

 

Untuk memahami perpajakannya, penting untuk mengetahui dulu jenis-jenis jasa pendidikan yang ada di Indonesia.

 

Pendidikan Formal: Jalur Resmi dari TK hingga Perguruan Tinggi.

 Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang paling umum dan dikenal luas oleh masyarakat. Pendidikan ini diselenggarakan secara terstruktur, berjenjang, dan memiliki kurikulum yang jelas. Ada syarat-syarat tertentu untuk masuk dan lulus dari setiap jenjangnya, dan prosesnya diakhiri dengan pemberian ijazah resmi sebagai tanda kelulusan. Contoh pendidikan formal meliputi Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), hingga Perguruan Tinggi (Universitas).3 Seluruh penyelenggaraan pendidikan formal ini diatur ketat oleh pemerintah dan memerlukan izin resmi dari instansi pemerintah pusat atau daerah yang berwenang.4

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).3

 

Pendidikan Non-Formal: Kursus, Pelatihan, dan Pengembangan Diri.

 Pendidikan non-formal adalah jalur pendidikan yang berada di luar pendidikan formal. Tujuannya seringkali lebih spesifik, yaitu untuk mengembangkan keterampilan, keahlian, atau kemampuan tertentu bagi pesertanya. Contoh pendidikan non-formal termasuk kursus bahasa asing, bimbingan belajar untuk persiapan ujian, kursus komputer, pelatihan keterampilan kerja, atau seminar pengembangan diri.3 Kurikulumnya cenderung lebih fleksibel dibandingkan pendidikan formal, dan hasil akhirnya bisa berupa sertifikat atau pengakuan kompetensi, tidak selalu ijazah resmi. Sama seperti pendidikan formal, penyelenggaraan pendidikan non-formal juga memerlukan izin dari pemerintah daerah yang berwenang.4

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).3

 

Pendidikan Informal: Belajar dari Keluarga dan Lingkungan.

Pendidikan informal adalah proses belajar yang terjadi secara alamiah dan tidak disengaja dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan utama tempat pendidikan informal berlangsung adalah keluarga dan masyarakat sekitar.3 Dalam pendidikan informal, tidak ada kurikulum resmi yang baku, tidak ada batasan waktu atau tempat yang kaku, dan tidak ada ujian formal atau ijazah yang diberikan. Contoh paling sederhana dari pendidikan informal adalah belajar memasak dari orang tua di rumah, belajar nilai-nilai moral dan etika dari lingkungan sekitar, atau belajar berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Meskipun tidak secara langsung dikenakan pajak, pemahaman tentang definisi ini membantu dalam membedakan apa yang dianggap sebagai "jasa pendidikan" untuk tujuan perpajakan dan apa yang tidak.

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).3

 

Jasa Pelatihan dan Kursus: Batasan dan Klasifikasinya dalam Kacamata Pajak.

Bagian ini seringkali menjadi sumber kebingungan dalam dunia perpajakan. Sangat penting untuk membedakan antara "jasa pendidikan" yang bisa mendapatkan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan "jasa pelatihan" yang mungkin tetap dikenakan PPN. Perbedaan kuncinya seringkali terletak pada dua hal: pertama, apakah penyedia jasa tersebut memiliki izin resmi sebagai lembaga pendidikan dari pemerintah, dan kedua, apakah sifat layanannya murni pendidikan atau lebih ke arah komersial.

Apabila sebuah perusahaan memberikan pelatihan, meskipun isi pelatihannya bersifat mendidik dan bermanfaat, jika perusahaan tersebut tidak memiliki izin resmi sebagai lembaga pendidikan (baik formal maupun non-formal), maka layanan pelatihan tersebut bisa jadi tetap dikenakan PPN. Ini berbeda dengan lembaga pendidikan yang memang memiliki izin. Misalnya, sebuah perusahaan konsultan keuangan yang secara rutin mengadakan pelatihan keterampilan akuntansi pajak untuk berbagai wajib pajak akan dikenakan PPN sebesar 11% atas jasa pelatihannya, karena perusahaan tersebut tidak memiliki izin khusus sebagai lembaga pendidikan.7

Sebaliknya, sebuah yayasan bimbingan belajar yang telah mengantongi izin resmi sebagai lembaga pendidikan non-formal dari pemerintah daerah, dapat memberikan jasa bimbingan belajar tanpa memungut PPN dari siswanya.6 Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan sistem perizinan sebagai sebuah "penjaga gerbang" untuk pemberian fasilitas pajak. Ini tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol kualitas dan formalisasi sektor pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa fasilitas pajak diberikan kepada entitas yang memang diakui dan diatur dalam kerangka sistem pendidikan nasional. Bagi pelaku usaha di bidang pendidikan dan pelatihan, ini berarti legalitas dan perizinan adalah kunci utama untuk menentukan kewajiban PPN mereka.

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) Pasal 16.

 

III. Mengupas Tuntas Perpajakan atas Jasa Pendidikan: PPN dan PPh

 A. Pajak Pertambahan Nilai (PPN): Antara Kena, Bebas, dan Tidak Dipungut

 Jasa Pendidikan: Dulu Bebas, Kini Jasa Kena Pajak Strategis.

 Pada masa lalu, sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), jasa pendidikan termasuk dalam daftar "negative list" PPN. Artinya, jasa ini tidak dikenakan PPN sama sekali, seolah-olah "tidak terlihat" oleh PPN. Namun, dengan berlakunya UU HPP, jasa pendidikan dikeluarkan dari daftar tersebut.1 Ini berarti, secara prinsip, jasa pendidikan sekarang dianggap sebagai Jasa Kena Pajak (JKP).

Meskipun statusnya berubah menjadi JKP, pemerintah tetap memberikan fasilitas khusus berupa pembebasan PPN untuk jasa pendidikan tertentu yang dianggap strategis dalam rangka pembangunan nasional.4 Pergeseran status ini, dari "tidak terutang PPN" menjadi "terutang PPN tetapi dibebaskan", memiliki implikasi penting. Ketika jasa pendidikan dibebaskan PPN, lembaga pendidikan yang menyediakannya

tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang mereka bayar saat membeli barang atau jasa untuk operasional mereka (misalnya, membeli buku, peralatan, atau menyewa jasa kebersihan).8 PPN masukan ini kemudian menjadi beban biaya bagi lembaga pendidikan. Pilihan kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah, di satu sisi, ingin menjaga agar biaya pendidikan tetap terjangkau bagi masyarakat (dengan membebaskan PPN keluaran). Namun, di sisi lain, secara implisit menempatkan beban pajak pada lembaga pendidikan itu sendiri melalui PPN masukan yang tidak dapat dikreditkan. Hal ini dapat memengaruhi struktur biaya operasional mereka dan, secara tidak langsung, berpotensi memengaruhi penentuan biaya pendidikan. Ini adalah titik tekanan finansial yang halus namun signifikan bagi penyedia layanan pendidikan.

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) Pasal 16B ayat (1a) huruf j angka 6.4

 

Kapan Jasa Pendidikan Dibebaskan PPN? (Syarat Izin, Jenis Pendidikan Formal/Non-Formal).

 Jasa pendidikan dapat dibebaskan dari PPN jika memenuhi syarat-syarat tertentu yang diatur dalam peraturan. Syarat utamanya adalah lembaga pendidikan tersebut harus memiliki izin resmi sebagai penyelenggara pendidikan formal (seperti sekolah) atau non-formal (seperti kursus) dari instansi pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang berwenang.4

Secara lebih rinci, jasa pendidikan yang dibebaskan PPN meliputi:

     Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah: Ini mencakup pendidikan formal yang terstruktur dan berjenjang, seperti pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Jenis-jenis pendidikan ini meliputi pendidikan umum, kejuruan, luar biasa, kedinasan, keagamaan, akademik, dan profesional. Semua harus diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang memiliki izin formal dari pemerintah.4

     Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah: Ini mencakup pendidikan non-formal seperti pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini non-formal, pendidikan kepemudaan, pemberdayaan perempuan, keaksaraan, keterampilan dan pelatihan kerja, serta pendidikan kesetaraan. Pendidikan non-formal ini juga harus diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang memiliki izin non-formal dari pemerintah daerah.4 Bimbingan belajar, misalnya, termasuk dalam kategori pendidikan luar sekolah ini dan dapat dibebaskan PPN jika memiliki izin yang sah.6

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) Pasal 10 huruf f, Pasal 16.

 

Jasa Pendidikan yang Tetap Kena PPN: Hati-hati Jebakan Komersial!

 Meskipun banyak jasa pendidikan yang dibebaskan PPN, ada beberapa kondisi di mana PPN tetap dikenakan. Ini adalah hal yang perlu diwaspadai agar tidak salah dalam menghitung kewajiban pajak:

     Tidak memiliki izin yang sesuai: Jasa penyelenggaraan pendidikan (baik formal, non-formal, maupun informal) yang diserahkan oleh satuan pendidikan yang tidak mendapatkan izin dari instansi pemerintah pusat atau daerah yang berwenang akan tetap dikenakan PPN.1 Contohnya, seperti yang dijelaskan sebelumnya, jika sebuah perusahaan konsultan memberikan pelatihan tanpa memiliki izin sebagai lembaga pendidikan, jasa tersebut akan dikenakan PPN 11%.7

     Tidak termasuk dalam rincian jasa yang dibebaskan: Ada beberapa jasa penyelenggaraan pendidikan yang secara spesifik tidak masuk dalam daftar yang dibebaskan PPN.1

     Menjadi satu kesatuan dengan penyerahan barang/jasa lain: Jasa pendidikan yang menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan penyerahan barang dan/atau jasa lainnya juga akan tetap dikenakan PPN.1 Klausul ini dirancang untuk mencegah praktik di mana entitas bisnis menggabungkan layanan atau barang yang sebenarnya dikenakan PPN dengan komponen pendidikan kecil untuk menghindari PPN atas keseluruhan paket. Misalnya, sebuah "paket studi wisata mewah" yang mencakup akomodasi dan rekreasi mahal bersama dengan sesi belajar singkat tidak akan sepenuhnya dibebaskan PPN. Aturan ini mendorong transparansi dan pemisahan yang jelas antara layanan pendidikan murni dan layanan komersial lainnya, memastikan fasilitas PPN benar-benar diterapkan pada inti layanan pendidikan dan tidak disalahgunakan sebagai celah untuk aktivitas komersial lainnya. Lembaga pendidikan yang menawarkan layanan "nilai tambah" perlu berhati-hati dalam menyusun penawaran dan penetapan harga mereka agar sesuai dengan peraturan.

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2014 (PMK 223/2014) Pasal 6.

 

Perlakuan PPN atas Jasa Pelatihan dan Kursus: Studi Kasus dan Aturan Khusus.

Untuk membuat perlakuan PPN ini lebih mudah dipahami, mari kita lihat contoh nyata.

Studi Kasus:

Bayangkan ada sebuah perusahaan bernama PT Maju Konsultan. Perusahaan ini adalah konsultan keuangan dan pajak yang secara rutin mengadakan pelatihan keterampilan akuntansi pajak untuk berbagai wajib pajak, baik individu maupun badan usaha. Meskipun konten pelatihannya sangat edukatif dan bermanfaat, jasa pelatihan yang mereka berikan akan tetap dikenakan PPN sebesar 11%.7 Mengapa? Karena PT Maju Konsultan tidak memiliki izin khusus sebagai lembaga pendidikan formal atau non-formal dari pemerintah. Dalam kacamata pajak, mereka adalah perusahaan jasa konsultan, bukan lembaga pendidikan.

Bandingkan dengan Yayasan Cerdas Bersama. Yayasan ini memiliki izin resmi sebagai lembaga pendidikan non-formal dari pemerintah daerah. Yayasan Cerdas Bersama juga mengadakan pelatihan akuntansi pajak yang serupa. Karena statusnya sebagai lembaga pendidikan yang berizin, Yayasan Cerdas Bersama dapat memberikan jasa pelatihan tersebut tanpa memungut PPN dari pesertanya.7 Hal yang sama berlaku untuk usaha bimbingan belajar yang telah memiliki izin pendidikan non-formal; mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan.6

Contoh ini dengan jelas menunjukkan bahwa kunci utama dalam penentuan PPN atas jasa pendidikan dan pelatihan adalah status legalitas dan perizinan dari penyedia jasa.

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) Pasal 16.

 

Kewajiban Faktur Pajak: Meski Bebas, Tetap Wajib Buat!

Ini adalah salah satu poin yang seringkali menjadi sumber kebingungan bagi banyak pihak. Meskipun penyerahan jasa pendidikan mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan (artinya, tidak ada PPN yang dipungut dari konsumen), Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyediakan jasa tersebut tetap memiliki kewajiban untuk menerbitkan faktur pajak.6 Faktur pajak ini sangat penting sebagai bukti transaksi yang sah dan untuk keperluan pelaporan pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Kode faktur pajak yang digunakan untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibebaskan adalah 08.6 Kewajiban ini bukan tentang mengumpulkan pajak dari transaksi tersebut, tetapi tentang

melacak dan memantau transaksi. Ini memungkinkan DJP untuk memverifikasi kepatuhan terhadap kriteria pembebasan (misalnya, persyaratan izin lembaga pendidikan) dan memastikan pelaporan yang akurat dari volume transaksi yang dibebaskan. Artinya, persyaratan administratif ini berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Ini memastikan bahwa bahkan aktivitas yang "bebas pajak" tetap berada di bawah pengawasan administrasi pajak, mencegah penyalahgunaan fasilitas, dan memungkinkan penyesuaian kebijakan berbasis data di masa mendatang. Jadi, "dibebaskan" tidak berarti "tidak tercatat."

Apabila penyerahan jasa pendidikan dilakukan kepada konsumen akhir (misalnya, siswa atau orang tua yang membayar langsung biaya pendidikan atau kursus), PKP dapat menerbitkan faktur pajak "digunggung". Faktur pajak digunggung ini adalah faktur pajak yang tidak mencantumkan identitas pembeli secara rinci, cukup mencantumkan total transaksi.6

Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 13, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak (PER-03/2022) Lampiran, Pasal 28 ayat (2).

 

Tabel: Perbedaan PPN Dibebaskan vs. PPN Tidak Dipungut (Kode Faktur, Pengkreditan Pajak Masukan).

Dalam dunia PPN, ada dua istilah yang seringkali disalahpahami oleh masyarakat umum, yaitu "PPN Dibebaskan" dan "PPN Tidak Dipungut". Meskipun keduanya sama-sama membuat Anda tidak perlu membayar PPN saat transaksi, perlakuan pajaknya memiliki perbedaan mendasar, terutama dalam hal Pajak Masukan. Memahami perbedaan ini sangat penting, terutama bagi lembaga pendidikan yang seringkali berinteraksi dengan kedua jenis fasilitas ini.

Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan utama antara PPN Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut:

Jenis Fasilitas PPN

Definisi Singkat

Pengkreditan Pajak Masukan

Kode Faktur Pajak

PPN Dibebaskan

Transaksi memenuhi syarat terutang PPN tetapi oleh Undang-Undang dibebaskan dari pengenaan PPN.

Tidak dapat dikreditkan (menjadi biaya bagi PKP).

080

PPN Tidak Dipungut

Transaksi memenuhi syarat terutang PPN, namun pemerintah memilih untuk tidak memungutnya.

Dapat dikreditkan.

070

Tabel ini membantu memecah informasi kompleks menjadi bagian-bagian yang mudah dicerna, sehingga pembaca awam dapat dengan cepat memahami perbedaan inti tanpa harus membaca paragraf panjang yang berpotensi membingungkan. Perbedaan dalam pengkreditan Pajak Masukan ini memiliki implikasi finansial yang signifikan bagi PKP. Jika Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan (seperti pada PPN Dibebaskan), maka pajak tersebut akan menjadi beban biaya bagi pengusaha, yang pada akhirnya dapat memengaruhi harga jual produk atau jasa mereka.8

Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 (PER-03/2022).8

 

B. Pajak Penghasilan (PPh): Kewajiban Lembaga dan Individu

 1. PPh Badan bagi Lembaga Pendidikan (Yayasan/Badan Nirlaba):

 Wajib Punya NPWP dan Lapor SPT Tahunan!

 Meskipun banyak yayasan atau lembaga pendidikan yang berlabel "nirlaba" (artinya, mereka tidak mencari keuntungan untuk dibagikan kepada pemilik atau pemegang saham), mereka tetap dianggap sebagai subjek Pajak Penghasilan (PPh).9 Ini berarti, dari kacamata perpajakan, mereka memiliki kewajiban yang sama dengan perusahaan biasa yang berorientasi laba. Mereka wajib mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan harus melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan setiap tahun kepada Direktorat Jenderal Pajak.9 Kewajiban ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memastikan bahwa semua transaksi keuangan tercatat dan transparan, sehingga tidak ada dana yang "hilang" dari sistem perpajakan. Kedudukan yayasan sebagai subjek pajak ini dipertegas dalam Penjelasan Pasal 2 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang menyatakan bahwa "badan" sebagai subjek pajak termasuk yayasan, baik yang melakukan usaha maupun tidak.9

 

Apa Saja yang Jadi Objek dan Bukan Objek PPh? (Uang SPP, Sumbangan, Hibah).

Objek Pajak Penghasilan (PPh) bagi yayasan pendidikan itu beragam, mencakup segala tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan, atau jasa yayasan.9 Contoh penghasilan yang menjadi objek PPh antara lain:

     Uang biaya pendaftaran dan uang pangkal.

     Uang seleksi penerimaan peserta pendidikan.

     Uang pembangunan gedung atau pengadaan prasarana.

     Uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), uang SKS, uang ujian, uang kursus, atau uang seminar/lokakarya.

     Penghasilan dari kontrak kerja dalam bidang penelitian.

     Penghasilan lainnya yang berkaitan dengan jasa penyelenggaraan pengajaran, pendidikan, atau pelatihan.

     Sewa dan imbalan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta.

     Keuntungan dari pengalihan harta, termasuk harta yang awalnya berasal dari bantuan, sumbangan, maupun hibah.9

Namun, ada juga penghasilan yang bukan merupakan objek PPh bagi yayasan pendidikan. Ini termasuk:

     Bantuan atau sumbangan, termasuk yang berasal dari pemerintah.9

     Harta hibahan yang diterima oleh yayasan atau organisasi sejenis sebagai badan keagamaan, pendidikan, atau sosial, selama tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pemberi dan penerima.9 Ketentuan ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 604/KMK.04/1994.

     Dividen atau bagian laba yang diterima oleh yayasan dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia.9

Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 4 ayat (1), Keputusan Menteri Keuangan Nomor 604/KMK.04/1994 (KMK 604/KMK.04/1994).

 

Sisa Lebih (Surplus) Lembaga Pendidikan: Bebas Pajak Asal... (Reinvestasi 4 Tahun, Fasilitas/Prasarana).

Salah satu fasilitas pajak yang sangat menarik bagi lembaga pendidikan adalah perlakuan terhadap "sisa lebih" atau surplus. Sisa lebih ini adalah kelebihan pendapatan setelah dikurangi semua biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut.12 Jika yayasan pendidikan memiliki sisa lebih, sisa lebih ini bisa

tidak dikenakan Pajak Penghasilan!

Namun, ada syarat pentingnya: sisa lebih tersebut harus digunakan untuk membangun atau membeli fasilitas dan sarana prasarana kegiatan pendidikan atau penelitian dan pengembangan dalam waktu paling lama 4 tahun sejak sisa lebih itu diperoleh.2 Contoh fasilitas dan sarana prasarana yang dimaksud meliputi gedung baru, laboratorium, perpustakaan, ruang kelas, asrama siswa, atau kendaraan yang digunakan untuk transportasi siswa.12

Ketentuan jangka waktu 4 tahun ini menciptakan insentif yang kuat bagi lembaga pendidikan untuk secara aktif merencanakan dan melaksanakan proyek pembangunan atau pengadaan fasilitas. Ini mencegah penumpukan dana yang tidak produktif atau pengalihan dana ke tujuan non-pendidikan. Pemerintah tidak hanya memberikan fasilitas pajak, tetapi juga mengarahkan penggunaan dana tersebut menuju perbaikan nyata dalam kualitas dan kapasitas pendidikan. Kebijakan ini mendukung agenda pembangunan nasional dengan memastikan bahwa manfaat finansial diterjemahkan menjadi infrastruktur pendidikan yang lebih baik. Ini juga menuntut perencanaan keuangan dan manajemen proyek yang cermat dari yayasan pendidikan untuk menghindari kewajiban pajak yang tidak terduga.

Jika sisa lebih tersebut tidak digunakan untuk tujuan ini dalam jangka waktu 4 tahun, barulah sisa lebih itu akan diakui sebagai objek PPh pada akhir tahun pajak setelah jangka waktu 4 tahun tersebut berakhir, dan akan dikenakan pajak.11

Dasar Hukum: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 (PMK 68/PMK.03/2020), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 6.

 

Dana Abadi Pendidikan: Kunci Keberlanjutan Tanpa Pajak.

Selain reinvestasi langsung untuk pembangunan fasilitas, sisa lebih yang dialokasikan sebagai "dana abadi" juga dapat dibebaskan dari PPh.12 Dana abadi adalah dana permanen yang tujuannya sangat spesifik: untuk menjamin kelangsungan program pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan di masa depan, dan dana ini tidak boleh digunakan untuk kegiatan operasional sehari-hari.

Agar sisa lebih yang ditempatkan di dana abadi ini bisa bebas PPh, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:

1.    Lembaga pendidikan harus memiliki akreditasi tertinggi dari badan akreditasi yang berwenang.12

2.    Penempatan dana tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan perguruan tinggi/lembaga (misalnya rektor atau ketua yayasan) dan pejabat pemerintah terkait.12

3.    Harus ada peraturan internal mengenai dana abadi dalam bentuk Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri di bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan.12

Jika syarat-syarat ini terpenuhi, dana abadi dapat dikembangkan berdasarkan praktik bisnis yang sehat dan risiko yang terkelola, sambil tetap mematuhi prinsip tata kelola yang baik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Ketentuan ini mendorong stabilitas keuangan jangka panjang bagi lembaga pendidikan, memungkinkan mereka merencanakan program dan pengembangan di masa depan tanpa terbebani pajak atas dana yang memang ditujukan untuk keberlanjutan pendidikan.

Dasar Hukum: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 (PMK 68/PMK.03/2020).

 

Tabel: Contoh Penghitungan Sisa Lebih yang Kena/Bebas PPh (Ilustrasi Skenario 4 Tahun).

Agar lebih mudah dibayangkan bagaimana aturan sisa lebih ini bekerja dalam praktik, mari kita lihat contoh sederhana bagaimana sisa lebih yayasan bisa dikenakan atau dibebaskan PPh tergantung pada bagaimana dan kapan dana tersebut digunakan.

Skenario Yayasan Budi Pekerti:

Yayasan Budi Pekerti memperoleh sisa lebih sebesar Rp500.000.000 pada Tahun Pajak 2019.

 

Tahun Pajak

Sisa Lebih Tahun 2019 (Rp)

Penggunaan Sisa Lebih untuk Fasilitas Pendidikan (Kumulatif) (Rp)

Status Sisa Lebih (Bebas PPh / Kena PPh)

Keterangan

2019

500.000.000

0

Bebas PPh

Sisa lebih diperoleh. Belum digunakan.

2020

 

150.000.000

Bebas PPh

Sebagian sisa lebih digunakan untuk pembangunan laboratorium.

2021

 

300.000.000 (total)

Bebas PPh

Sebagian lagi digunakan untuk pembelian buku perpustakaan.

2022

 

500.000.000 (total)

Bebas PPh

Seluruh sisa lebih digunakan untuk pembangunan asrama siswa. Batas waktu 4 tahun (akhir 2023) belum terlampaui.

2023

 

500.000.000 (total)

Bebas PPh

Batas waktu 4 tahun berakhir di akhir tahun ini. Seluruh sisa lebih telah digunakan sesuai ketentuan.

Skenario Alternatif:

 

 

 

 

2024

 

500.000.000 (total)

Kena PPh (jika ada sisa)

Jika di akhir 2023 masih ada sisa yang belum digunakan, misalnya Rp100.000.000, maka sisa Rp100.000.000 tersebut akan menjadi objek PPh di Tahun Pajak 2024 (tahun setelah batas 4 tahun berakhir).11

Tabel ini menunjukkan bahwa yayasan harus merencanakan penggunaan sisa lebihnya dengan cermat dalam jangka waktu 4 tahun agar tidak terbebani Pajak Penghasilan. Jika ada bagian dari sisa lebih yang tidak digunakan untuk pembangunan atau pengadaan fasilitas pendidikan hingga batas waktu 4 tahun berakhir, maka bagian yang tidak digunakan tersebut akan dikenakan pajak di tahun berikutnya.11

Dasar Hukum: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 (PMK 68/PMK.03/2020), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 6.

 

2. PPh atas Penghasilan Individu di Sektor Pendidikan:

 PPh Pasal 21: Gaji Guru, Karyawan, dan Honor Lainnya.

 Setiap individu yang bekerja di lembaga pendidikan, seperti guru, dosen, atau karyawan administrasi, yang menerima gaji, upah, tunjangan, atau honor lainnya, penghasilan mereka akan dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.9 PPh Pasal 21 ini adalah jenis pajak yang dipotong langsung oleh lembaga pendidikan sebagai pemberi kerja, kemudian disetorkan ke kas negara. Contohnya, gaji bulanan seorang guru, tunjangan hari raya, atau honorarium yang diterima pembicara dalam sebuah seminar atau lokakarya. Lembaga pendidikan memiliki kewajiban untuk menghitung, memotong, menyetor, dan melaporkan PPh Pasal 21 ini.

Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 21.

 

PPh Pasal 23: Jasa Lain yang Dipotong Pajak. (Sewa, Katering, Jasa Teknis/Manajemen, Pelatihan).

 Selain PPh Pasal 21, ada juga PPh Pasal 23 yang perlu diperhatikan. Jika lembaga pendidikan membayar pihak lain untuk berbagai jenis jasa, penghasilan penyedia jasa tersebut bisa dipotong PPh Pasal 23. Lembaga pendidikan yang melakukan pembayaran jasa tersebut memiliki kewajiban untuk memotong pajak ini, menyetorkannya ke kas negara, dan melaporkannya. Contoh jasa yang seringkali dikenakan PPh Pasal 23 antara lain sewa kendaraan, jasa katering untuk acara sekolah, jasa kebersihan, atau jasa perbaikan peralatan.9

Yang menarik adalah perlakuan PPh Pasal 23 terhadap jasa pelatihan dan kursus. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 (PMK 141/2015), "jasa pelatihan dan/atau kursus" termasuk dalam daftar jenis "jasa lain" yang dikenakan PPh Pasal 23.15 Namun, ada nuansa penting yang perlu dipahami:

     Seminar atau Pelatihan Umum: Jika seminar atau pelatihan diselenggarakan secara terbuka untuk umum, di tempat yang disediakan oleh penyelenggara, dan dengan materi/kurikulum yang ditentukan oleh penyelenggara, maka penghasilan dari kegiatan tersebut tidak dikenakan PPh Pasal 23.17 Penghasilan ini akan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan atau Orang Pribadi penyelenggara dan dikenakan pajak sesuai tarif umum.

     Pelatihan yang Disesuaikan (Tailored Training): Sebaliknya, jika seminar atau pelatihan diselenggarakan atas permintaan pihak tertentu, untuk peserta tertentu (tidak terbuka untuk umum), dan dengan materi/kurikulum yang disesuaikan dengan permintaan pengguna jasa, maka ini dikategorikan sebagai "jasa teknis".17 Penghasilan dari jasa semacam ini akan dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto.19

     Jasa Penyelenggaraan Seminar oleh Universitas dengan Dana APBN/APBD: Jika sebuah universitas ditunjuk oleh instansi pemerintah untuk menyelenggarakan seminar sosialisasi kebijakan yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka pembayaran dari instansi pemerintah kepada universitas untuk jasa penyelenggaraan seminar ini akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 1.5% dari jumlah bruto.17 Ini dikategorikan sebagai "jasa lain" yang pembayarannya dibebankan pada APBN/APBD.

Perlakuan yang nuansanya halus ini mencerminkan upaya otoritas pajak untuk membedakan antara kegiatan edukasi yang bersifat umum (dengan beban administratif yang lebih rendah) dan penyediaan layanan komersial yang disesuaikan dengan klien (yang dikenakan pemotongan pajak). Ini menuntut evaluasi yang cermat oleh penyedia layanan dan penerima layanan untuk memastikan pemotongan dan pelaporan pajak yang benar.

Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 (PMK 141/2015), Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 (SE-35/2010), Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-359/PJ.313/1999, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-640/PJ.322/2003, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-978/PJ.313/2004.

 

Beasiswa: Dikecualikan dari Objek PPh, Tapi Ada Syaratnya!

 Ada kabar gembira bagi para pelajar dan mahasiswa! Beasiswa yang diterima umumnya tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh).2 Ini adalah fasilitas pajak yang diberikan pemerintah untuk mendorong pendidikan. Ketentuan ini berlaku untuk beasiswa yang diterima oleh Warga Negara Indonesia (WNI) untuk mengikuti pendidikan formal maupun non-formal, baik yang diselenggarakan di dalam negeri maupun di luar negeri.20

Namun, ada syarat penting yang harus dipenuhi agar beasiswa ini benar-benar bebas PPh:

     Beasiswa harus diterima dari pihak yang tidak memiliki hubungan khusus dengan penerima beasiswa.2 Hubungan khusus ini bisa berupa hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau hubungan keluarga (darah atau semenda, dalam garis lurus dan/atau satu derajat ke samping) antara pemberi beasiswa dan penerima beasiswa. Misalnya, jika sebuah perusahaan memberikan "beasiswa" kepada anak dari direktur utamanya, beasiswa tersebut mungkin tidak dianggap bebas PPh karena adanya hubungan keluarga. Ketentuan ini sangat penting untuk mencegah penghindaran pajak melalui kompensasi yang disamarkan sebagai beasiswa. Ini memastikan bahwa fasilitas pajak digunakan untuk tujuan yang sebenarnya, yaitu memajukan pendidikan, bukan sebagai skema untuk mengurangi penghasilan kena pajak.

Bagi pihak yang memberikan beasiswa, ada juga keuntungan pajak. Biaya beasiswa yang mereka keluarkan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto mereka, sehingga mengurangi jumlah pajak yang harus mereka bayar.2 Ini merupakan insentif bagi perusahaan atau individu untuk berinvestasi dalam pendidikan.

Dasar Hukum: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (PMK 66/2023), Nota Dinas Direktur Jenderal Pajak Nomor 14 Tahun 2024 (Nota Dinas 14/2024), Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 (PMK 68/PMK.03/2020).

 

IV. Studi Kasus: Belajar dari Contoh Nyata

 Untuk lebih memperjelas bagaimana aturan pajak ini diterapkan dalam kehidupan nyata, mari kita lihat beberapa studi kasus.

 

Studi Kasus 1: Pelatihan oleh Perusahaan vs. Lembaga Berizin.

 Skenario A (Perusahaan Konsultan):

PT Maju Konsultan adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang konsultan keuangan. Selain memberikan konsultasi, mereka juga rutin mengadakan pelatihan akuntansi pajak untuk umum, dengan biaya pendaftaran yang dikenakan kepada setiap peserta. Karena PT Maju Konsultan tidak memiliki izin khusus sebagai lembaga pendidikan formal atau non-formal dari pemerintah, maka setiap biaya pelatihan yang mereka pungut akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11%. Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa jasa pelatihan yang diberikan oleh entitas non-pendidikan berizin tetap merupakan Jasa Kena Pajak.7

Skenario B (Yayasan Pendidikan Berizin):

Di sisi lain, ada Yayasan Cerdas Bersama yang memiliki izin resmi sebagai lembaga pendidikan non-formal dari pemerintah daerah. Yayasan ini juga mengadakan pelatihan akuntansi pajak yang serupa dengan PT Maju Konsultan. Namun, karena statusnya sebagai lembaga pendidikan yang berizin, Yayasan Cerdas Bersama dapat memberikan jasa pelatihan tersebut tanpa memungut PPN dari pesertanya.7

Contoh ini menunjukkan dengan jelas bahwa izin resmi dari pemerintah sebagai lembaga pendidikan adalah penentu utama apakah jasa pelatihan atau kursus akan dibebaskan dari PPN atau tidak.

Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) Pasal 16.

 

Studi Kasus 2: Pajak atas Penyelenggaraan Seminar/Pelatihan.

 Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 atas seminar atau pelatihan bisa berbeda-beda, tergantung pada beberapa faktor.

Skenario A (Seminar Umum):

Sebuah universitas mengadakan seminar tentang "Pajak untuk UMKM" yang terbuka untuk umum. Materi seminar dan pembicara sepenuhnya ditentukan oleh universitas. Peserta membayar biaya pendaftaran untuk mengikuti seminar ini. Dalam kasus seperti ini, penghasilan yang diterima universitas dari seminar tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Universitas akan melaporkan penghasilan ini dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan dan dikenakan pajak sesuai tarif umum PPh Badan.

 

Skenario B (Pelatihan Khusus Perusahaan):

PT Jaya Raya, sebuah perusahaan, meminta sebuah lembaga pelatihan untuk mengadakan pelatihan manajemen risiko khusus untuk karyawannya. Dalam perjanjian ini, materi pelatihan dan daftar peserta sepenuhnya ditentukan oleh PT Jaya Raya. Dalam kasus ini, pembayaran yang dilakukan oleh PT Jaya Raya kepada lembaga pelatihan tersebut akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto. Mengapa? Karena layanan ini dianggap sebagai "jasa teknis" yang disesuaikan dengan permintaan spesifik dari pengguna jasa, bukan seminar umum.

 

Skenario C (Penyelenggaraan Seminar oleh Universitas dengan Dana APBN/APBD):

Sebuah kementerian menunjuk universitas untuk menyelenggarakan seminar sosialisasi kebijakan baru pemerintah. Seminar ini terbuka untuk umum dan gratis bagi peserta, namun seluruh biaya penyelenggaraannya dibiayai oleh kementerian (yang dananya berasal dari APBN). Dalam kasus ini, pembayaran dari kementerian kepada universitas untuk jasa penyelenggaraan seminar ini akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 1.5% dari jumlah bruto.17 Ini dikategorikan sebagai "jasa lain" yang pembayarannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Studi kasus ini menunjukkan betapa kompleks dan nuansanya penerapan PPh Pasal 23, yang sangat bergantung pada sifat layanan, siapa yang menentukan konten dan peserta, serta sumber pendanaan.

Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 (SE-35/2010), Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-359/PJ.313/1999, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-640/PJ.322/2003, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-978/PJ.313/2004.





0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.