I. Pendahuluan: Mengapa Pajak
Pendidikan Penting untuk Kita Semua?
Latar Belakang: Pendidikan sebagai Pilar Bangsa
dan Peran Pajak di Dalamnya.
Pendidikan adalah fondasi utama bagi kemajuan sebuah bangsa.
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mendukung sektor
pendidikan, dan salah satu bentuk dukungan krusial ini terwujud melalui
kebijakan perpajakan. Kebijakan ini dirancang tidak hanya untuk mengatur,
tetapi juga untuk memfasilitasi pertumbuhan dan peningkatan kualitas pendidikan
di seluruh negeri. Dana yang terkumpul dari pajak, termasuk yang berasal dari
berbagai transaksi di sektor pendidikan, pada akhirnya akan kembali kepada masyarakat
dalam bentuk pembangunan infrastruktur, penyediaan layanan publik yang
esensial, dan tentu saja, peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Ini
adalah sebuah siklus penting yang memastikan roda pembangunan nasional terus
berputar dan memberikan manfaat nyata bagi setiap warga negara.
Sebagai bukti komitmen ini, Undang-Undang telah mengamanatkan
alokasi anggaran yang signifikan untuk pendidikan. Disebutkan bahwa 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dialokasikan khusus untuk
pendidikan, dan sebagian besar dana ini berasal dari pembayaran pajak
masyarakat, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa pendidikan. Alokasi anggaran
sebesar ini menunjukkan bahwa perpajakan bukan sekadar alat untuk mengumpulkan
pendapatan, melainkan juga instrumen strategis untuk memastikan keberlanjutan
finansial dari prioritas nasional yang sangat penting ini. Kebijakan pajak di
sini berfungsi sebagai sebuah mekanisme yang mengarahkan sumber daya negara
menuju tujuan pembangunan nasional, mencerminkan prioritas dan komitmen negara
terhadap masa depan bangsanya.2
Tujuan Penulisan: Membedah Aturan Pajak Pendidikan
agar Mudah Dipahami Siapa Saja.
Seringkali, istilah-istilah dalam peraturan pajak terasa rumit
dan membingungkan, bahkan bagi orang dewasa yang sudah terbiasa dengan dunia
bisnis. Tulisan ini hadir sebagai "penerjemah" yang akan menguraikan
seluk-beluk aturan pajak di bidang pendidikan, mulai dari konsep yang paling
dasar hingga implikasi yang lebih kompleks, dengan bahasa yang sangat sederhana
dan mudah dicerna. Harapannya, semua orang, dapat membaca dan mengerti dengan
baik apa saja kewajiban dan hak mereka terkait pajak pendidikan. Laporan ini
akan fokus membahas dua jenis pajak utama yang terkait erat dengan jasa
pendidikan: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Ruang Lingkup: Dari Sekolah
Formal hingga Kursus Kilat, Semua Ada Pajaknya!
Dalam laporan ini, akan dijelajahi berbagai
jenis layanan pendidikan yang ada di Indonesia. Cakupannya sangat luas, mulai
dari pendidikan formal seperti sekolah dasar, menengah, hingga perguruan
tinggi, sampai berbagai jenis pendidikan non-formal seperti kursus
keterampilan, bimbingan belajar, dan pelatihan profesional. Laporan ini juga
akan membahas bagaimana kewajiban pajak berlaku untuk berbagai pihak yang
terlibat dalam ekosistem pendidikan, mulai dari yayasan pendidikan sebagai
penyelenggara utama, para guru dan staf pengajar yang merupakan ujung tombak
pendidikan, hingga beasiswa yang diterima oleh para siswa sebagai bentuk
dukungan finansial.
II. Mengenal Lebih Dekat Jasa
Pendidikan: Apa Saja Jenisnya?
Untuk memahami perpajakannya, penting untuk
mengetahui dulu jenis-jenis jasa pendidikan yang ada di Indonesia.
Pendidikan Formal: Jalur Resmi dari TK hingga
Perguruan Tinggi.
Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas).3
Pendidikan Non-Formal: Kursus, Pelatihan, dan
Pengembangan Diri.
Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas).3
Pendidikan Informal: Belajar dari Keluarga dan
Lingkungan.
Pendidikan informal adalah proses belajar yang terjadi secara alamiah dan tidak disengaja dalam kehidupan sehari-hari. Lingkungan utama tempat pendidikan informal berlangsung adalah keluarga dan masyarakat sekitar.3 Dalam pendidikan informal, tidak ada kurikulum resmi yang baku, tidak ada batasan waktu atau tempat yang kaku, dan tidak ada ujian formal atau ijazah yang diberikan. Contoh paling sederhana dari pendidikan informal adalah belajar memasak dari orang tua di rumah, belajar nilai-nilai moral dan etika dari lingkungan sekitar, atau belajar berinteraksi dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya. Meskipun tidak secara langsung dikenakan pajak, pemahaman tentang definisi ini membantu dalam membedakan apa yang dianggap sebagai "jasa pendidikan" untuk tujuan perpajakan dan apa yang tidak.
Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas).3
Jasa Pelatihan dan Kursus: Batasan dan Klasifikasinya dalam Kacamata Pajak.
Bagian ini seringkali menjadi sumber
kebingungan dalam dunia perpajakan. Sangat penting untuk membedakan antara
"jasa pendidikan" yang bisa mendapatkan fasilitas pembebasan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dengan "jasa pelatihan" yang mungkin tetap
dikenakan PPN. Perbedaan kuncinya seringkali terletak pada dua hal: pertama,
apakah penyedia jasa tersebut memiliki izin resmi sebagai lembaga pendidikan
dari pemerintah, dan kedua, apakah sifat layanannya murni pendidikan atau lebih
ke arah komersial.
Apabila sebuah perusahaan memberikan
pelatihan, meskipun isi pelatihannya bersifat mendidik dan bermanfaat, jika
perusahaan tersebut tidak memiliki izin resmi sebagai lembaga pendidikan (baik
formal maupun non-formal), maka layanan pelatihan tersebut bisa jadi tetap
dikenakan PPN. Ini berbeda dengan lembaga pendidikan yang memang memiliki izin.
Misalnya, sebuah perusahaan konsultan keuangan yang secara rutin mengadakan
pelatihan keterampilan akuntansi pajak untuk berbagai wajib pajak akan
dikenakan PPN sebesar 11% atas jasa pelatihannya, karena perusahaan tersebut
tidak memiliki izin khusus sebagai lembaga pendidikan.7
Sebaliknya, sebuah yayasan bimbingan
belajar yang telah mengantongi izin resmi sebagai lembaga pendidikan non-formal
dari pemerintah daerah, dapat memberikan jasa bimbingan belajar tanpa memungut PPN dari siswanya.6 Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
menggunakan sistem perizinan sebagai sebuah "penjaga gerbang" untuk
pemberian fasilitas pajak. Ini tidak hanya berfungsi sebagai alat kontrol
kualitas dan formalisasi sektor pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa
fasilitas pajak diberikan kepada entitas yang memang diakui dan diatur dalam
kerangka sistem pendidikan nasional. Bagi pelaku usaha di bidang pendidikan dan
pelatihan, ini berarti legalitas dan perizinan adalah kunci utama untuk
menentukan kewajiban PPN mereka.
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) Pasal 16.
III. Mengupas Tuntas
Perpajakan atas Jasa Pendidikan: PPN dan PPh
Meskipun statusnya berubah menjadi JKP,
pemerintah tetap memberikan fasilitas khusus berupa pembebasan PPN untuk jasa
pendidikan tertentu yang dianggap strategis dalam rangka pembangunan nasional.4 Pergeseran status ini, dari "tidak
terutang PPN" menjadi "terutang PPN tetapi dibebaskan", memiliki
implikasi penting. Ketika jasa pendidikan dibebaskan PPN, lembaga pendidikan
yang menyediakannya
tidak
dapat mengkreditkan
Pajak Masukan yang mereka bayar saat membeli barang atau jasa untuk operasional
mereka (misalnya, membeli buku, peralatan, atau menyewa jasa kebersihan).8 PPN masukan ini kemudian menjadi beban
biaya bagi lembaga pendidikan. Pilihan kebijakan ini menunjukkan bahwa
pemerintah, di satu sisi, ingin menjaga agar biaya pendidikan tetap terjangkau
bagi masyarakat (dengan membebaskan PPN keluaran). Namun, di sisi lain, secara
implisit menempatkan beban pajak pada lembaga pendidikan itu sendiri melalui
PPN masukan yang tidak dapat dikreditkan. Hal ini dapat memengaruhi struktur
biaya operasional mereka dan, secara tidak langsung, berpotensi memengaruhi
penentuan biaya pendidikan. Ini adalah titik tekanan finansial yang halus namun
signifikan bagi penyedia layanan pendidikan.
Dasar
Hukum:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU
HPP), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN) Pasal 16B ayat (1a)
huruf j angka 6.4
Kapan Jasa Pendidikan Dibebaskan PPN? (Syarat Izin, Jenis
Pendidikan Formal/Non-Formal).
Secara lebih rinci, jasa pendidikan yang dibebaskan PPN
meliputi:
●
Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah: Ini mencakup pendidikan formal yang terstruktur dan berjenjang,
seperti pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Jenis-jenis
pendidikan ini meliputi pendidikan umum, kejuruan, luar biasa, kedinasan,
keagamaan, akademik, dan profesional. Semua harus diselenggarakan oleh satuan
pendidikan yang memiliki izin formal dari pemerintah.4
● Jasa
penyelenggaraan pendidikan luar sekolah: Ini mencakup pendidikan non-formal seperti
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini non-formal, pendidikan
kepemudaan, pemberdayaan perempuan, keaksaraan, keterampilan dan pelatihan
kerja, serta pendidikan kesetaraan. Pendidikan non-formal ini juga harus
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang memiliki izin non-formal dari
pemerintah daerah.4 Bimbingan belajar, misalnya, termasuk
dalam kategori pendidikan luar sekolah ini dan dapat dibebaskan PPN jika
memiliki izin yang sah.6
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah
Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) Pasal 10 huruf f, Pasal 16.
Jasa Pendidikan yang Tetap Kena PPN:
Hati-hati Jebakan Komersial!
●
Tidak memiliki izin yang sesuai: Jasa penyelenggaraan pendidikan (baik
formal, non-formal, maupun informal) yang diserahkan oleh satuan pendidikan
yang tidak mendapatkan izin dari
instansi pemerintah pusat atau daerah yang berwenang akan tetap dikenakan PPN.1 Contohnya, seperti yang dijelaskan
sebelumnya, jika sebuah perusahaan konsultan memberikan pelatihan tanpa
memiliki izin sebagai lembaga pendidikan, jasa tersebut akan dikenakan PPN 11%.7
●
Tidak termasuk dalam rincian jasa yang
dibebaskan:
Ada beberapa jasa penyelenggaraan pendidikan yang secara spesifik tidak masuk
dalam daftar yang dibebaskan PPN.1
● Menjadi
satu kesatuan dengan penyerahan barang/jasa lain: Jasa pendidikan yang menjadi satu kesatuan
yang tidak terpisahkan dengan
penyerahan barang dan/atau jasa lainnya juga akan tetap dikenakan PPN.1 Klausul ini dirancang untuk mencegah
praktik di mana entitas bisnis menggabungkan layanan atau barang yang
sebenarnya dikenakan PPN dengan komponen pendidikan kecil untuk menghindari PPN
atas keseluruhan paket. Misalnya, sebuah "paket studi wisata mewah"
yang mencakup akomodasi dan rekreasi mahal bersama dengan sesi belajar singkat
tidak akan sepenuhnya dibebaskan PPN. Aturan ini mendorong transparansi dan
pemisahan yang jelas antara layanan pendidikan murni dan layanan komersial
lainnya, memastikan fasilitas PPN benar-benar diterapkan pada inti layanan
pendidikan dan tidak disalahgunakan sebagai celah untuk aktivitas komersial
lainnya. Lembaga pendidikan yang menawarkan layanan "nilai tambah"
perlu berhati-hati dalam menyusun penawaran dan penetapan harga mereka agar
sesuai dengan peraturan.
Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 223/PMK.011/2014 (PMK 223/2014) Pasal 6.
Perlakuan PPN atas Jasa Pelatihan dan
Kursus: Studi Kasus dan Aturan Khusus.
Untuk membuat perlakuan PPN ini lebih mudah dipahami, mari kita lihat contoh nyata.
Studi Kasus:
Bayangkan ada sebuah perusahaan bernama PT Maju
Konsultan. Perusahaan ini adalah konsultan keuangan dan pajak yang secara rutin
mengadakan pelatihan keterampilan akuntansi pajak untuk berbagai wajib pajak,
baik individu maupun badan usaha. Meskipun konten pelatihannya sangat edukatif
dan bermanfaat, jasa pelatihan yang mereka berikan akan tetap dikenakan PPN
sebesar 11%.7 Mengapa? Karena PT Maju Konsultan tidak memiliki izin khusus
sebagai lembaga pendidikan formal atau non-formal dari pemerintah. Dalam kacamata
pajak, mereka adalah perusahaan jasa konsultan, bukan lembaga pendidikan.
Bandingkan dengan Yayasan
Cerdas Bersama. Yayasan ini memiliki izin resmi sebagai lembaga pendidikan
non-formal dari pemerintah daerah. Yayasan
Cerdas Bersama juga mengadakan pelatihan akuntansi pajak yang serupa. Karena
statusnya sebagai lembaga pendidikan yang berizin, Yayasan Cerdas Bersama dapat
memberikan jasa pelatihan tersebut tanpa
memungut PPN dari pesertanya.7 Hal yang sama berlaku untuk usaha
bimbingan belajar yang telah memiliki izin pendidikan non-formal; mereka
memenuhi syarat untuk mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan.6
Contoh ini dengan jelas menunjukkan bahwa
kunci utama dalam penentuan PPN atas jasa pendidikan dan pelatihan adalah status legalitas dan perizinan dari
penyedia jasa.
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) Pasal 16.
Kewajiban
Faktur Pajak: Meski Bebas, Tetap Wajib Buat!
Ini adalah salah satu poin yang seringkali menjadi sumber kebingungan bagi banyak pihak. Meskipun penyerahan jasa pendidikan mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan (artinya, tidak ada PPN yang dipungut dari konsumen), Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menyediakan jasa tersebut tetap memiliki kewajiban untuk menerbitkan faktur pajak.6 Faktur pajak ini sangat penting sebagai bukti transaksi yang sah dan untuk keperluan pelaporan pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Kode faktur pajak yang digunakan untuk penyerahan Jasa Kena
Pajak yang dibebaskan adalah 08.6 Kewajiban ini bukan
tentang mengumpulkan pajak dari transaksi tersebut, tetapi tentang
melacak dan memantau transaksi. Ini memungkinkan DJP untuk memverifikasi kepatuhan
terhadap kriteria pembebasan (misalnya, persyaratan izin lembaga pendidikan)
dan memastikan pelaporan yang akurat dari volume transaksi yang dibebaskan.
Artinya, persyaratan administratif ini berfungsi sebagai mekanisme kontrol. Ini
memastikan bahwa bahkan aktivitas yang "bebas pajak" tetap berada di
bawah pengawasan administrasi pajak, mencegah penyalahgunaan fasilitas, dan
memungkinkan penyesuaian kebijakan berbasis data di masa mendatang. Jadi,
"dibebaskan" tidak berarti "tidak tercatat."
Apabila penyerahan jasa pendidikan dilakukan kepada konsumen
akhir (misalnya, siswa atau orang tua yang membayar langsung biaya pendidikan
atau kursus), PKP dapat menerbitkan faktur pajak "digunggung". Faktur
pajak digunggung ini adalah faktur pajak yang tidak mencantumkan identitas
pembeli secara rinci, cukup mencantumkan total transaksi.6
Dasar Hukum: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan
Perpajakan (UU HPP) Pasal 13, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak (PER-03/2022) Lampiran, Pasal 28 ayat (2).
Tabel:
Perbedaan PPN Dibebaskan vs. PPN Tidak Dipungut (Kode Faktur, Pengkreditan
Pajak Masukan).
Dalam dunia PPN, ada dua istilah yang seringkali disalahpahami oleh masyarakat umum, yaitu "PPN Dibebaskan" dan "PPN Tidak Dipungut". Meskipun keduanya sama-sama membuat Anda tidak perlu membayar PPN saat transaksi, perlakuan pajaknya memiliki perbedaan mendasar, terutama dalam hal Pajak Masukan. Memahami perbedaan ini sangat penting, terutama bagi lembaga pendidikan yang seringkali berinteraksi dengan kedua jenis fasilitas ini.
Berikut adalah tabel yang merangkum perbedaan utama antara PPN
Dibebaskan dan PPN Tidak Dipungut:
Jenis Fasilitas PPN |
Definisi Singkat |
Pengkreditan Pajak
Masukan |
Kode Faktur Pajak |
PPN Dibebaskan |
Transaksi memenuhi
syarat terutang PPN tetapi oleh Undang-Undang dibebaskan dari pengenaan PPN. |
Tidak dapat
dikreditkan (menjadi biaya bagi PKP). |
080 |
PPN Tidak Dipungut |
Transaksi memenuhi
syarat terutang PPN, namun pemerintah memilih untuk tidak memungutnya. |
Dapat dikreditkan. |
070 |
Tabel ini membantu
memecah informasi kompleks menjadi bagian-bagian yang mudah dicerna, sehingga
pembaca awam dapat dengan cepat memahami perbedaan inti tanpa harus membaca
paragraf panjang yang berpotensi membingungkan. Perbedaan dalam pengkreditan
Pajak Masukan ini memiliki implikasi finansial yang signifikan bagi PKP. Jika
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan (seperti pada PPN Dibebaskan), maka pajak
tersebut akan menjadi beban biaya bagi pengusaha, yang pada akhirnya dapat
memengaruhi harga jual produk atau jasa mereka.8
Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN), Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 (PER-03/2022).8
B. Pajak Penghasilan (PPh): Kewajiban Lembaga dan
Individu
Apa Saja yang Jadi Objek dan Bukan Objek PPh?
(Uang SPP, Sumbangan, Hibah).
Objek Pajak Penghasilan (PPh) bagi yayasan pendidikan itu beragam, mencakup segala tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh dari usaha, pekerjaan, kegiatan, atau jasa yayasan.9 Contoh penghasilan yang menjadi objek PPh antara lain:
●
Uang biaya pendaftaran
dan uang pangkal.
●
Uang
seleksi penerimaan peserta pendidikan.
●
Uang pembangunan gedung
atau pengadaan prasarana.
●
Uang Sumbangan Pembinaan
Pendidikan (SPP), uang SKS, uang ujian, uang kursus, atau uang
seminar/lokakarya.
●
Penghasilan dari kontrak
kerja dalam bidang penelitian.
●
Penghasilan
lainnya yang berkaitan dengan jasa penyelenggaraan pengajaran, pendidikan, atau
pelatihan.
●
Sewa
dan imbalan lain yang berkaitan dengan penggunaan harta.
● Keuntungan dari pengalihan harta, termasuk
harta yang awalnya berasal dari bantuan, sumbangan, maupun hibah.9
Namun,
ada juga penghasilan yang bukan
merupakan objek PPh bagi yayasan pendidikan. Ini
termasuk:
●
Bantuan atau sumbangan,
termasuk yang berasal dari pemerintah.9
●
Harta hibahan yang
diterima oleh yayasan atau organisasi sejenis sebagai badan keagamaan,
pendidikan, atau sosial, selama tidak ada hubungan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pemberi dan penerima.9 Ketentuan ini diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 604/KMK.04/1994.
●
Dividen atau bagian laba
yang diterima oleh yayasan dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan berkedudukan di Indonesia.9
Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak
Penghasilan (UU PPh) Pasal 4 ayat (1), Keputusan Menteri Keuangan Nomor
604/KMK.04/1994 (KMK 604/KMK.04/1994).
Sisa Lebih (Surplus) Lembaga Pendidikan: Bebas
Pajak Asal... (Reinvestasi 4 Tahun, Fasilitas/Prasarana).
Salah satu fasilitas pajak yang sangat menarik bagi lembaga pendidikan adalah perlakuan terhadap "sisa lebih" atau surplus. Sisa lebih ini adalah kelebihan pendapatan setelah dikurangi semua biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut.12 Jika yayasan pendidikan memiliki sisa lebih, sisa lebih ini bisa
tidak dikenakan Pajak
Penghasilan!
Namun, ada syarat pentingnya: sisa lebih tersebut harus
digunakan untuk membangun atau membeli fasilitas dan sarana prasarana kegiatan
pendidikan atau penelitian dan pengembangan dalam waktu paling lama 4 tahun sejak sisa lebih itu diperoleh.2 Contoh fasilitas dan
sarana prasarana yang dimaksud meliputi gedung baru, laboratorium,
perpustakaan, ruang kelas, asrama siswa, atau kendaraan yang digunakan untuk
transportasi siswa.12
Ketentuan jangka waktu 4 tahun ini menciptakan insentif yang
kuat bagi lembaga pendidikan untuk secara aktif merencanakan dan melaksanakan
proyek pembangunan atau pengadaan fasilitas. Ini mencegah penumpukan dana yang
tidak produktif atau pengalihan dana ke tujuan non-pendidikan. Pemerintah tidak
hanya memberikan fasilitas pajak, tetapi juga mengarahkan penggunaan dana tersebut menuju perbaikan nyata dalam
kualitas dan kapasitas pendidikan. Kebijakan ini mendukung agenda pembangunan
nasional dengan memastikan bahwa manfaat finansial diterjemahkan menjadi
infrastruktur pendidikan yang lebih baik. Ini juga menuntut perencanaan
keuangan dan manajemen proyek yang cermat dari yayasan pendidikan untuk
menghindari kewajiban pajak yang tidak terduga.
Jika sisa lebih tersebut tidak digunakan untuk tujuan ini dalam
jangka waktu 4 tahun, barulah sisa lebih itu akan diakui sebagai objek PPh pada
akhir tahun pajak setelah jangka waktu 4 tahun tersebut berakhir, dan akan
dikenakan pajak.11
Dasar Hukum: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 (PMK
68/PMK.03/2020), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 6.
Dana Abadi Pendidikan: Kunci
Keberlanjutan Tanpa Pajak.
Selain reinvestasi langsung untuk pembangunan fasilitas, sisa lebih yang dialokasikan sebagai "dana abadi" juga dapat dibebaskan dari PPh.12 Dana abadi adalah dana permanen yang tujuannya sangat spesifik: untuk menjamin kelangsungan program pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan di masa depan, dan dana ini tidak boleh digunakan untuk kegiatan operasional sehari-hari.
Agar sisa lebih yang ditempatkan di dana
abadi ini bisa bebas PPh, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
1.
Lembaga
pendidikan harus memiliki akreditasi tertinggi dari badan akreditasi yang
berwenang.12
2.
Penempatan
dana tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pimpinan perguruan
tinggi/lembaga (misalnya rektor atau ketua yayasan) dan pejabat pemerintah
terkait.12
3.
Harus ada peraturan
internal mengenai dana abadi dalam bentuk Peraturan Presiden atau Peraturan
Menteri di bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan.12
Jika syarat-syarat ini
terpenuhi, dana abadi dapat dikembangkan berdasarkan praktik bisnis yang sehat
dan risiko yang terkelola, sambil tetap mematuhi prinsip tata kelola yang baik
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Ketentuan ini mendorong
stabilitas keuangan jangka panjang bagi lembaga pendidikan, memungkinkan mereka
merencanakan program dan pengembangan di masa depan tanpa terbebani pajak atas
dana yang memang ditujukan untuk keberlanjutan pendidikan.
Dasar Hukum: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 (PMK
68/PMK.03/2020).
Tabel: Contoh Penghitungan Sisa Lebih yang
Kena/Bebas PPh (Ilustrasi Skenario 4 Tahun).
Agar lebih mudah dibayangkan bagaimana aturan sisa lebih ini bekerja dalam praktik, mari kita lihat contoh sederhana bagaimana sisa lebih yayasan bisa dikenakan atau dibebaskan PPh tergantung pada bagaimana dan kapan dana tersebut digunakan.
Skenario Yayasan
Budi Pekerti:
Yayasan Budi
Pekerti memperoleh sisa lebih sebesar Rp500.000.000 pada Tahun Pajak 2019.
Tahun Pajak |
Sisa Lebih Tahun 2019
(Rp) |
Penggunaan
Sisa Lebih untuk Fasilitas Pendidikan (Kumulatif) (Rp) |
Status
Sisa Lebih (Bebas PPh / Kena PPh) |
Keterangan |
2019 |
500.000.000 |
0 |
Bebas PPh |
Sisa
lebih diperoleh. Belum digunakan. |
2020 |
|
150.000.000 |
Bebas PPh |
Sebagian sisa lebih
digunakan untuk pembangunan laboratorium. |
2021 |
|
300.000.000 (total) |
Bebas PPh |
Sebagian
lagi digunakan untuk pembelian buku perpustakaan. |
2022 |
|
500.000.000 (total) |
Bebas PPh |
Seluruh
sisa lebih digunakan untuk pembangunan asrama siswa. Batas waktu 4 tahun (akhir 2023) belum terlampaui. |
2023 |
|
500.000.000 (total) |
Bebas PPh |
Batas waktu 4 tahun
berakhir di akhir tahun ini. Seluruh
sisa lebih telah digunakan sesuai ketentuan. |
Skenario Alternatif: |
|
|
|
|
2024 |
|
500.000.000 (total) |
Kena
PPh (jika ada sisa) |
Jika di akhir 2023 masih ada sisa yang
belum digunakan,
misalnya Rp100.000.000, maka sisa Rp100.000.000 tersebut akan menjadi objek
PPh di Tahun Pajak 2024 (tahun setelah batas 4 tahun berakhir).11 |
Tabel ini menunjukkan bahwa yayasan harus
merencanakan penggunaan sisa lebihnya dengan cermat dalam jangka waktu 4 tahun
agar tidak terbebani Pajak Penghasilan. Jika ada bagian dari sisa lebih yang
tidak digunakan untuk pembangunan atau pengadaan fasilitas pendidikan hingga
batas waktu 4 tahun berakhir, maka bagian yang tidak digunakan tersebut akan
dikenakan pajak di tahun berikutnya.11
Dasar Hukum: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 (PMK
68/PMK.03/2020), Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 6.
2. PPh atas
Penghasilan Individu di Sektor Pendidikan:
Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 21.
PPh Pasal 23: Jasa Lain yang
Dipotong Pajak. (Sewa, Katering, Jasa Teknis/Manajemen, Pelatihan).
Yang menarik adalah perlakuan PPh Pasal 23
terhadap jasa pelatihan dan kursus. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
141/PMK.03/2015 (PMK 141/2015), "jasa pelatihan dan/atau kursus"
termasuk dalam daftar jenis "jasa lain" yang dikenakan PPh Pasal 23.15 Namun, ada nuansa penting yang perlu
dipahami:
●
Seminar atau Pelatihan Umum: Jika seminar atau pelatihan
diselenggarakan secara terbuka untuk umum, di tempat yang disediakan oleh
penyelenggara, dan dengan materi/kurikulum yang ditentukan oleh penyelenggara,
maka penghasilan dari kegiatan tersebut tidak
dikenakan PPh Pasal 23.17 Penghasilan ini akan dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh Badan atau Orang Pribadi penyelenggara dan dikenakan pajak sesuai
tarif umum.
●
Pelatihan yang Disesuaikan (Tailored
Training):
Sebaliknya, jika seminar atau pelatihan diselenggarakan atas permintaan pihak
tertentu, untuk peserta tertentu (tidak terbuka untuk umum), dan dengan
materi/kurikulum yang disesuaikan dengan permintaan pengguna jasa, maka ini
dikategorikan sebagai "jasa teknis".17 Penghasilan dari jasa semacam ini akan
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto.19
● Jasa
Penyelenggaraan Seminar oleh Universitas dengan Dana APBN/APBD: Jika sebuah universitas ditunjuk oleh
instansi pemerintah untuk menyelenggarakan seminar sosialisasi kebijakan yang
dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), maka pembayaran dari instansi pemerintah
kepada universitas untuk jasa penyelenggaraan seminar ini akan dipotong PPh
Pasal 23 sebesar 1.5% dari jumlah bruto.17 Ini dikategorikan sebagai "jasa
lain" yang pembayarannya dibebankan pada APBN/APBD.
Perlakuan
yang nuansanya halus ini mencerminkan upaya otoritas pajak untuk membedakan
antara kegiatan edukasi yang bersifat umum (dengan beban administratif yang
lebih rendah) dan penyediaan layanan komersial yang disesuaikan dengan klien
(yang dikenakan pemotongan pajak). Ini menuntut evaluasi yang cermat oleh
penyedia layanan dan penerima layanan untuk memastikan pemotongan dan pelaporan
pajak yang benar.
Dasar
Hukum:
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 (PMK 141/2015), Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 (SE-35/2010), Surat Direktur
Jenderal Pajak Nomor S-359/PJ.313/1999, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor
S-640/PJ.322/2003, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-978/PJ.313/2004.
Beasiswa: Dikecualikan dari
Objek PPh, Tapi Ada Syaratnya!
Namun, ada syarat penting yang harus dipenuhi agar beasiswa ini
benar-benar bebas PPh:
●
Beasiswa harus diterima
dari pihak yang tidak memiliki hubungan
khusus dengan penerima beasiswa.2 Hubungan khusus ini bisa berupa hubungan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau hubungan keluarga (darah atau semenda, dalam garis lurus
dan/atau satu derajat ke samping) antara pemberi beasiswa dan penerima
beasiswa. Misalnya, jika sebuah perusahaan memberikan "beasiswa"
kepada anak dari direktur utamanya, beasiswa tersebut mungkin tidak dianggap
bebas PPh karena adanya hubungan keluarga. Ketentuan ini sangat penting untuk
mencegah penghindaran pajak melalui kompensasi yang disamarkan sebagai
beasiswa. Ini memastikan bahwa fasilitas pajak digunakan untuk tujuan yang
sebenarnya, yaitu memajukan pendidikan, bukan sebagai skema untuk mengurangi
penghasilan kena pajak.
Bagi pihak yang
memberikan beasiswa, ada juga keuntungan pajak. Biaya beasiswa yang mereka
keluarkan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto mereka, sehingga mengurangi
jumlah pajak yang harus mereka bayar.2 Ini merupakan insentif bagi perusahaan atau individu untuk
berinvestasi dalam pendidikan.
Dasar Hukum: Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 (PMK 66/2023),
Nota Dinas Direktur Jenderal Pajak Nomor 14 Tahun 2024 (Nota Dinas 14/2024),
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2020 (PMK 68/PMK.03/2020).
IV. Studi Kasus: Belajar dari Contoh Nyata
Studi Kasus 1: Pelatihan oleh
Perusahaan vs. Lembaga Berizin.
PT Maju Konsultan adalah sebuah perusahaan yang bergerak
di bidang konsultan keuangan. Selain memberikan konsultasi, mereka juga rutin
mengadakan pelatihan akuntansi pajak untuk umum, dengan biaya pendaftaran yang
dikenakan kepada setiap peserta. Karena PT Maju Konsultan tidak memiliki izin
khusus sebagai lembaga pendidikan formal atau non-formal dari pemerintah, maka
setiap biaya pelatihan yang mereka pungut akan dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai (PPN) sebesar 11%. Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa jasa pelatihan
yang diberikan oleh entitas non-pendidikan berizin tetap merupakan Jasa Kena
Pajak.7
Skenario B (Yayasan
Pendidikan Berizin):
Di sisi lain, ada
Yayasan Cerdas Bersama yang memiliki izin resmi sebagai lembaga pendidikan
non-formal dari pemerintah daerah. Yayasan ini juga mengadakan pelatihan
akuntansi pajak yang serupa dengan PT Maju Konsultan. Namun, karena statusnya
sebagai lembaga pendidikan yang berizin, Yayasan Cerdas Bersama dapat
memberikan jasa pelatihan tersebut tanpa memungut PPN dari pesertanya.7
Contoh ini menunjukkan dengan jelas bahwa
izin resmi dari pemerintah sebagai lembaga pendidikan adalah penentu utama
apakah jasa pelatihan atau kursus akan dibebaskan dari PPN atau tidak.
Dasar Hukum: Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 (PP 49/2022) Pasal 16.
Studi Kasus 2: Pajak atas
Penyelenggaraan Seminar/Pelatihan.
Skenario A (Seminar
Umum):
Sebuah universitas
mengadakan seminar tentang "Pajak untuk UMKM" yang terbuka untuk umum.
Materi seminar dan pembicara sepenuhnya ditentukan oleh universitas. Peserta
membayar biaya pendaftaran untuk mengikuti seminar ini. Dalam kasus seperti
ini, penghasilan yang diterima universitas dari seminar tersebut tidak
dikenakan pemotongan PPh Pasal 23. Universitas akan melaporkan penghasilan ini
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan dan dikenakan pajak sesuai
tarif umum PPh Badan.
Skenario B (Pelatihan Khusus Perusahaan):
PT Jaya Raya, sebuah perusahaan, meminta sebuah lembaga
pelatihan untuk mengadakan pelatihan manajemen risiko khusus untuk karyawannya.
Dalam perjanjian ini, materi pelatihan dan daftar peserta sepenuhnya ditentukan
oleh PT Jaya Raya. Dalam kasus ini, pembayaran yang dilakukan oleh PT Jaya Raya
kepada lembaga pelatihan tersebut akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari
jumlah bruto. Mengapa? Karena layanan ini dianggap sebagai "jasa
teknis" yang disesuaikan dengan permintaan spesifik dari pengguna jasa, bukan
seminar umum.
Skenario C
(Penyelenggaraan Seminar oleh Universitas dengan Dana APBN/APBD):
Sebuah kementerian menunjuk universitas untuk
menyelenggarakan seminar sosialisasi kebijakan baru pemerintah. Seminar ini
terbuka untuk umum dan gratis bagi peserta, namun seluruh biaya
penyelenggaraannya dibiayai oleh kementerian (yang dananya berasal dari APBN).
Dalam kasus ini, pembayaran dari kementerian kepada universitas untuk jasa
penyelenggaraan seminar ini akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 1.5% dari jumlah
bruto.17 Ini dikategorikan sebagai "jasa lain" yang pembayarannya
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Studi kasus ini menunjukkan betapa kompleks
dan nuansanya penerapan PPh Pasal 23, yang sangat bergantung pada sifat
layanan, siapa yang menentukan konten dan peserta, serta sumber pendanaan.
Dasar
Hukum:
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2,
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 (SE-35/2010), Surat
Direktur Jenderal Pajak Nomor S-359/PJ.313/1999, Surat Direktur Jenderal Pajak
Nomor S-640/PJ.322/2003, Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-978/PJ.313/2004.
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.