Rabu, 23 Juli 2025

Kata Pengantar


Selamat datang dalam seminar penting ini mengenai "Pajak Warisan". Topik ini seringkali menimbulkan banyak pertanyaan dan kebingungan di masyarakat. Ada anggapan umum bahwa warisan itu "bebas pajak" sepenuhnya, namun kenyataannya tidak selalu sesederhana itu.

Tujuan utama seminar ini adalah untuk mengupas tuntas dan memberikan pemahaman yang sangat sederhana namun lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai pajak warisan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan tanah dan bangunan. Penjelasan akan disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam, agar semua dapat memahami dengan baik tanpa perlu latar belakang hukum atau akuntansi. Setiap informasi yang disampaikan akan selalu didukung oleh dasar hukum yang berlaku, sehingga kebenarannya dapat diverifikasi.

Setelah mengikuti seminar ini sampai akhir, para peserta akan memiliki pemahaman yang jelas tentang apa itu warisan dan bagaimana perpajakannya di Indonesia. Para peserta akan mengerti perbedaan krusial antara Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam konteks warisan, serta mengapa keduanya memiliki perlakuan yang berbeda. Pemahaman mengapa PPh atas warisan bisa bebas, namun BPHTB tetap harus dibayar, sebuah poin yang seringkali menjadi sumber kebingungan, juga akan diperoleh. Selain itu, seminar ini akan memberikan panduan langkah demi langkah untuk mengurus Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh warisan secara daring melalui sistem Coretax DJP yang baru, beserta daftar dokumen yang dibutuhkan. Pengetahuan penting lainnya yang sering terlewatkan juga akan dibahas, guna membantu menghindari masalah pajak di kemudian hari. Singkatnya, para peserta akan memiliki peta jalan yang jelas untuk mengelola aspek perpajakan warisan dengan tenang, benar, dan sesuai peraturan yang berlaku.


Bab 1: Pengetahuan Umum Atas Pajak Warisan



1.1. Apa Itu Warisan dan Pajak Warisan?


Warisan dapat diibaratkan sebagai "hadiah besar" yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia kepada keluarganya atau pihak-pihak yang berhak. Hadiah ini dapat berupa berbagai macam harta, mulai dari uang tunai, perhiasan, kendaraan, hingga yang paling sering dibahas dalam konteks pajak, yaitu tanah dan bangunan. Intinya, warisan adalah harta yang berpindah kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya.

Dalam konteks perpajakan di Indonesia, terdapat hal penting yang perlu dipahami terkait warisan. Pada prinsipnya, warisan itu sendiri bukan objek Pajak Penghasilan (PPh). Ini berarti, ketika seseorang menerima warisan, harta tersebut tidak langsung dikenai PPh. Prinsip ini diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 4 ayat (3) huruf b, yang telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).1

Sebagai analogi sederhana, bayangkan seseorang mendapatkan hadiah ulang tahun berupa sepeda baru. Sepeda itu sendiri, saat diterima, tidak langsung membuat penerimanya harus membayar pajak. Pajak mungkin baru muncul nanti jika sepeda tersebut dijual dan mendapatkan keuntungan. Konsep warisan dalam PPh memiliki kemiripan: warisan itu adalah "sepeda"nya.

Namun, terdapat pengecualian yang perlu diperhatikan. Meskipun warisan itu sendiri bukan objek PPh, pengalihan hak atas harta warisan berupa tanah dan/atau bangunan (misalnya saat proses balik nama sertifikat di kantor pertanahan) bisa saja terutang PPh Final jika tidak diurus dengan benar.3 Inilah yang seringkali menjadi sumber kebingungan di masyarakat.

Dasar hukum yang melandasi prinsip ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 3 angka 1 yang mengubah Pasal 4 ayat (3) huruf b UU PPh, yang secara eksplisit menyatakan bahwa warisan dikecualikan dari objek pajak.1 Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 (PP 34/2016) Pasal 6 huruf d juga menegaskan bahwa penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh.2

Pemahaman mengenai frasa "warisan bukan objek pajak" seringkali disalahartikan oleh masyarakat. Mereka cenderung menginterpretasikannya secara harfiah sebagai "tidak ada pajak sama sekali terkait warisan." Namun, meskipun warisan itu sendiri bukan objek PPh, terdapat peristiwa hukum lain yang terkait dengan warisan, seperti pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau penghasilan yang dihasilkan dari aset warisan, yang dapat menimbulkan kewajiban pajak. Frasa "dikecualikan dari objek pajak" hanya berlaku untuk PPh atas perolehan warisan itu sendiri, bukan untuk semua aspek perpajakan yang mungkin timbul dari warisan. Jika ahli waris tidak memahami nuansa ini, mereka mungkin tidak akan proaktif dalam mengurus Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh atau tidak menyadari kewajiban Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang pada akhirnya dapat berujung pada pembayaran pajak yang tidak perlu, denda, atau masalah hukum di kemudian hari. Ini merupakan kesalahpahaman umum yang perlu diklarifikasi secara mendalam.


1.2. Perbedaan Warisan dengan Hibah


Untuk memahami pajak warisan secara lebih komprehensif, penting untuk membedakannya dengan hibah, karena keduanya melibatkan transfer harta namun dengan karakteristik dan perlakuan pajak yang berbeda.

Warisan terjadi karena seseorang meninggal dunia. Harta berpindah kepemilikan setelah pewaris tiada. Peristiwa ini adalah sesuatu yang tidak dapat direncanakan waktunya, karena kematian merupakan takdir.

Hibah adalah pemberian harta secara sukarela dari satu pihak ke pihak lain saat pemberi hibah masih hidup. Ini adalah peristiwa yang direncanakan dan disepakati oleh kedua belah pihak.

Perbedaan perlakuan pajak antara warisan dan hibah secara umum adalah sebagai berikut:

  • Warisan: Seperti yang telah dijelaskan, warisan itu sendiri bukan objek PPh. Namun, pengalihan hak tanah dan/atau bangunan warisan dapat dibebaskan PPh dengan SKB, dan menariknya, tidak disebutkan batasan siapa penerima waris (ahli waris) yang dapat memperoleh pembebasan ini.10

  • Hibah: Hibah pada umumnya juga bukan objek PPh. Namun, terdapat syarat yang lebih ketat agar hibah tanah dan/atau bangunan dapat bebas PPh. Pembebasan PPh untuk hibah hanya diberikan jika hibah dilakukan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, yaitu ayah, ibu, dan anak kandung.10 Jika hibah diberikan kepada cucu, saudara, menantu, atau pihak lain yang tidak termasuk dalam kategori ini, maka hibah tersebut
    tidak sepenuhnya bebas PPh untuk bagian yang diberikan kepada pihak di luar garis keturunan lurus satu derajat tersebut.10

Sebagai analogi sederhana, bayangkan warisan itu seperti "hadiah terakhir" dari almarhum yang diberikan setelah beliau tiada. Sedangkan hibah itu "hadiah saat masih hidup" yang diberikan secara langsung. Aturan "bebas pajak" untuk kedua jenis "hadiah" ini berbeda, terutama tergantung pada siapa yang memberi dan siapa yang menerima, serta kapan peristiwa pemberiannya terjadi.

Dasar hukum terkait batasan hubungan keluarga dalam hibah dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 18 ayat (4) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, yang mendefinisikan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat sebagai ayah, ibu, dan anak.10

Peraturan ini menunjukkan bahwa hubungan kekerabatan memiliki implikasi pajak yang signifikan dalam konteks hibah. Untuk warisan, tidak disebutkan batasan ahli waris yang dapat memperoleh pembebasan PPh melalui SKB.10 Ini menciptakan perbedaan penting: hibah memiliki batasan hubungan yang ketat untuk pembebasan PPh, sementara warisan tidak. Ahli waris perlu memahami bahwa meskipun warisan mungkin tidak memiliki batasan hubungan untuk pembebasan PPh, hibah memilikinya. Perbedaan ini krusial untuk mencegah upaya penghindaran pajak di mana transaksi jual beli disamarkan sebagai hibah kepada pihak yang tidak memenuhi syarat, atau untuk memastikan bahwa hibah kepada pihak tertentu dikenai pajak sesuai ketentuan.


1.3. Harta Warisan Belum Terbagi: Siapa yang Bertanggung Jawab?


Seringkali terjadi situasi di mana harta warisan, seperti sebuah rumah, ditinggalkan oleh almarhum namun belum ada kesepakatan atau proses hukum yang jelas untuk membagi kepemilikannya kepada ahli waris. Dalam kondisi ini, rumah tersebut mungkin tetap berdiri dan bahkan menghasilkan pendapatan, misalnya disewakan kepada pihak lain.

Dalam kondisi demikian, harta warisan yang belum terbagi dan menghasilkan pendapatan (misalnya dari sewa rumah, bunga deposito, atau keuntungan usaha yang masih berjalan) dianggap sebagai subjek pajak pengganti pewaris.7 Artinya, meskipun almarhum sudah tidak ada, "warisan yang belum terbagi" ini seolah-olah menjadi "entitas" yang harus memenuhi kewajiban pajaknya. Kewajiban pajak atas

penghasilan yang dihasilkan oleh harta warisan yang belum terbagi ini harus dipenuhi oleh salah satu ahli waris, pelaksana wasiat, atau pengurus harta peninggalan.7 Mereka bertindak sebagai wakil dari "subjek pajak warisan belum terbagi" ini. Penting untuk diingat bahwa pemerintah tidak memungut pajak atas warisannya itu sendiri, melainkan atas

penghasilan yang dihasilkan dari warisan tersebut.7

Sebagai analogi sederhana, anggap saja rumah warisan itu punya "dompet" sendiri. Jika ada uang masuk ke dompet itu (misalnya dari sewa), maka ada kewajiban untuk melaporkan dan membayar pajaknya, dan salah satu ahli waris ditunjuk menjadi "bendahara" untuk dompet itu sampai warisannya dibagi.

Dasar hukum yang mengatur hal ini adalah Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 (sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 36 Tahun 2008), yang menyatakan bahwa subjek pajak salah satunya adalah "warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak".2

Penjelasan ini memperkuat pemahaman bahwa meskipun warisan itu sendiri bukan objek PPh, pendapatan yang dihasilkan dari aset warisan adalah objek pajak. Konsep "warisan belum terbagi sebagai subjek pajak" merupakan mekanisme untuk memastikan bahwa pendapatan ini tetap dikenai pajak meskipun pewaris telah meninggal dan warisan belum dibagi kepada ahli waris individu. Oleh karena itu, ahli waris tidak boleh mengabaikan potensi pajak atas pendapatan yang dihasilkan dari aset warisan yang belum dibagi. Hal ini memerlukan sikap proaktif dalam mengidentifikasi pendapatan tersebut dan menunjuk wakil untuk memenuhi kewajiban pajak, bahkan sebelum pembagian warisan selesai. Kegagalan dalam hal ini dapat menimbulkan utang pajak dan sanksi.


1.4. Pentingnya Pelaporan Harta Warisan dalam SPT Tahunan


Meskipun warisan itu sendiri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan (PPh), terdapat satu poin yang sering terlewatkan namun sangat penting: harta warisan yang diterima tetap harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh pribadi penerima..3

Pelaporan ini dilakukan di bagian "Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak" dan juga dalam "Daftar Harta pada Akhir Tahun" di SPT Tahunan.4

Pelaporan ini sangat penting karena beberapa alasan:

  • Transparansi dan Kepatuhan: Pelaporan ini merupakan bagian fundamental dari kepatuhan wajib pajak kepada negara. Ini adalah bagian dari sistem perpajakan di mana semua harta kekayaan yang dimiliki, terlepas dari bagaimana diperolehnya, harus tercatat.

  • Pencegahan Masalah di Masa Depan: Jika suatu saat harta warisan tersebut dijual, riwayat pelaporan yang benar dan lengkap akan sangat membantu dan mencegah pertanyaan atau pemeriksaan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pelaporan ini juga penting untuk tujuan pertukaran informasi keuangan antar negara (Automatic Exchange of Information/AEOI), yang merupakan standar global untuk transparansi keuangan.4

Sebagai analogi sederhana, bayangkan seseorang memiliki daftar semua barang berharga di rumahnya. Meskipun tidak membayar pajak atas barang-barang itu sekarang, pencatatan di daftar tersebut tetap diperlukan agar nanti jika ada pertanyaan atau keinginan untuk menjualnya, terdapat bukti yang jelas dan rapi.

Dasar hukum yang mendukung kewajiban pelaporan ini adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, yang mengatur tentang pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEOI/CRS). Peraturan ini mengharuskan institusi keuangan melaporkan data, termasuk warisan yang belum terbagi milik subjek pajak asing, kepada DJP.7

Kewajiban pelaporan warisan dalam SPT Tahunan, meskipun warisan itu sendiri bukan objek pajak, terhubung dengan konsep transparansi keuangan yang lebih luas dan standar global seperti AEOI/CRS. Hal ini menunjukkan bahwa tujuan pelaporan bukan hanya untuk pemungutan pajak langsung, tetapi juga untuk membangun basis data harta kekayaan wajib pajak yang akurat. Ini merupakan langkah proaktif dari DJP untuk memastikan integritas data dan memfasilitasi pertukaran informasi dengan negara lain, yang pada akhirnya membantu dalam upaya pencegahan penghindaran pajak. Oleh karena itu, ahli waris tidak dapat hanya menerima warisan dan mengabaikannya. Terdapat kewajiban pelaporan yang berkelanjutan yang berfungsi sebagai jejak audit dan bagian dari upaya anti-penghindaran pajak yang lebih besar. Kegagalan melaporkan dapat menimbulkan pertanyaan dari DJP di kemudian hari, terutama jika aset tersebut kemudian dijual atau menghasilkan pendapatan.


Bab 2: Pembahasan Inti atas Pajak Warisan



2.1. Pajak Penghasilan (PPh) atas Pengalihan Hak Tanah dan/atau Bangunan Warisan


Pajak Penghasilan (PPh) dalam konteks warisan tidak timbul karena seseorang menerima warisan itu sendiri, melainkan karena adanya peristiwa pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diwariskan. Peristiwa pengalihan hak ini terjadi, misalnya, saat proses balik nama sertifikat dari nama pewaris ke nama ahli waris di Kantor Pertanahan.3

Secara filosofi perpajakan, PPh atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan ini seharusnya dibayar oleh pihak yang mengalihkan atau menjual harta tersebut. Dalam kasus warisan, pihak yang mengalihkan adalah pewaris (almarhum). Karena pewaris sudah meninggal dunia, kewajiban subjektifnya sebagai wajib pajak berakhir. Oleh karena itu, pengalihan hak karena warisan ini dikecualikan dari PPh, asalkan ahli waris mengurus Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh.2

Sebagai analogi sederhana, bayangkan seseorang membeli mobil bekas. Pajak penjualan mobil itu dibayar oleh si penjual. Dalam warisan tanah dan/atau bangunan, "penjualnya" adalah almarhum. Karena almarhum sudah tiada, pajak penjualan tersebut "dihapuskan" asalkan ahli waris bisa menunjukkan surat bukti penghapusan itu, yaitu SKB PPh.

Jika SKB PPh tidak diurus atau tidak memenuhi syarat, maka pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan warisan akan terutang PPh Final. Tarif PPh Final ini adalah 2,5% dari nilai bruto pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan secara umum. Namun, untuk pengalihan hak atas rumah sederhana atau rumah susun sederhana yang dilakukan oleh wajib pajak yang usaha pokoknya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, tarifnya adalah 1% dari nilai bruto pengalihan.3 Dasar hukum tarif ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 (PP 34/2016) Pasal 1 ayat (1) huruf a dan ayat (2).3

Pentingnya SKB PPh tidak dapat diremehkan. Dokumen ini merupakan kunci agar pengalihan hak tanah dan/atau bangunan warisan dapat dibebaskan dari PPh Final.1 SKB ini harus diserahkan kepada notaris sebelum ahli waris melanjutkan prosedur balik nama sertifikat.3 Apabila aplikasi SKB tidak memenuhi persyaratan, warisan yang semula dianggap bukan objek pajak akan menjadi objek pajak, dan ahli waris akan diwajibkan untuk membayar PPh atas warisan tersebut.3

Penerbitan SKB PPh Final memerlukan kehati-hatian yang tinggi dari petugas pajak. PPh atas pengalihan aset seharusnya dibebankan kepada pihak yang mengalihkan aset, yaitu pewaris. Namun, dalam praktiknya, seringkali SKB diterbitkan atas nama ahli waris sebagai pemohon. Situasi ini dapat membuka celah penyalahgunaan yang berpotensi merugikan negara. Sebagai contoh, jika SKB diterbitkan atas nama ahli waris, ahli waris tersebut dapat menggunakan SKB untuk membalik nama sertifikat warisan ke namanya. Kemudian, ia bisa saja menggunakan SKB yang sama lagi ketika menjual aset warisan tersebut kepada pihak ketiga, padahal penjualan kepada pihak ketiga merupakan peristiwa hukum yang berbeda dan seharusnya terutang PPh Final sebesar 2,5% dari nilai penjualan.

Terdapat dua peristiwa hukum yang berbeda dalam skenario ini: pertama, perolehan warisan dari pewaris kepada ahli waris (yang bukan objek PPh dan dapat dibebaskan dengan SKB atas nama pewaris); kedua, penjualan aset warisan oleh ahli waris kepada pihak ketiga (yang merupakan objek PPh Final). Oleh karena itu, SKB seharusnya diterbitkan atas nama pewaris (almarhum) untuk mencegah penyalahgunaan dalam transaksi pengalihan hak tanah dan/atau bangunan. Prinsip yang harus selalu dipegang adalah PPh terutang oleh pihak yang mengalihkan aset.6


2.2. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Warisan


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.11 Perolehan ini dapat terjadi melalui berbagai peristiwa hukum, termasuk warisan.11

Berbeda dengan PPh yang dikenakan pada pihak yang mengalihkan, BPHTB dikenakan pada pihak yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan, yaitu ahli waris dalam kasus warisan.11 BPHTB ini terutang pada saat ahli waris mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.1

Tarif BPHTB secara umum adalah 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).11 Untuk perolehan karena warisan, terdapat NPOPTKP yang lebih tinggi. Di DKI Jakarta, misalnya, NPOPTKP untuk perolehan karena warisan yang diterima oleh individu dalam hubungan keluarga sedarah garis lurus satu derajat (satu derajat ke atas atau ke bawah) dengan pemberi warisan, termasuk pasangan, adalah sebesar Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).11 Sebagai perbandingan, NPOPTKP umum untuk perolehan hak lainnya di DKI Jakarta adalah Rp250.000.000.11

Dasar hukum BPHTB mencakup Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat (PP 111/2000) Pasal 2, 3, dan 4 ayat (1).1 Selain itu, untuk daerah yang telah mengatur sendiri BPHTB, seperti DKI Jakarta, dasar hukumnya adalah Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 12 serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.11

Perbedaan filosofi antara PPh dan BPHTB adalah inti dari mengapa BPHTB tetap terutang meskipun PPh dibebaskan. PPh dikenakan pada penghasilan dari pengalihan (beban penjual atau pihak yang memberi), sementara BPHTB dikenakan pada perolehan hak (beban pembeli atau pihak yang menerima/memperoleh hak).4 Dalam kasus warisan, meskipun PPh dapat dibebaskan karena pewaris (pihak yang mengalihkan) telah meninggal, ahli waris (pihak yang memperoleh hak) masih hidup dan secara nyata

memperoleh hak atas properti tersebut. Peristiwa perolehan hak ini, meskipun berasal dari warisan, tetap menimbulkan kewajiban BPHTB karena adanya penambahan nilai kekayaan bagi ahli waris. BPHTB merupakan pajak daerah, dengan dasar hukum dan tujuan yang berbeda dari PPh yang merupakan pajak pusat.


2.3. Perbedaan PPh dan BPHTB: Mengapa PPh Bebas tapi BPHTB Tetap Terutang?


Ini adalah salah satu pertanyaan paling sering muncul dan paling membingungkan bagi masyarakat. Untuk memahaminya, perlu dipahami perbedaan fundamental antara Pajak Penghasilan (PPh) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Pajak Penghasilan (PPh):

  • Objek Pajak: PPh dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh. Dalam konteks pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, objeknya adalah penghasilan yang diperoleh dari pengalihan hak tersebut. Ini berarti PPh dikenakan pada "keuntungan" atau nilai yang diperoleh oleh pihak yang mengalihkan (menjual atau memberi).

  • Subjek Pajak: Pihak yang menjadi subjek PPh adalah pihak yang mengalihkan hak, yaitu penjual atau dalam kasus warisan, pewaris (almarhum).

  • Filosofi Warisan: Warisan itu sendiri bukan objek PPh. PPh atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan warisan dapat dibebaskan karena pewaris (subjek PPh) sudah meninggal dunia, dan kewajiban subjektifnya sebagai wajib pajak berakhir pada saat kematian. Pembebasan ini diatur melalui penerbitan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh.2

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB):

  • Objek Pajak: BPHTB dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Ini adalah pajak yang timbul karena adanya penambahan kekayaan berupa hak atas properti bagi pihak yang memperolehnya.

  • Subjek Pajak: Pihak yang menjadi subjek BPHTB adalah pihak yang memperoleh hak, yaitu pembeli atau dalam kasus warisan, ahli waris.11

  • Filosofi Warisan: Ahli waris secara nyata memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan dari pewaris. Peristiwa perolehan hak ini, meskipun berasal dari warisan, tetap menimbulkan kewajiban BPHTB karena ada penambahan nilai kekayaan bagi ahli waris. BPHTB adalah pajak daerah, bukan pajak pusat seperti PPh, dengan dasar hukum dan tujuan yang berbeda.

Inti Perbedaan dan Alasan Mengapa BPHTB Tetap Terutang:

Perbedaan paling mendasar terletak pada siapa yang dikenai pajak dan peristiwa apa yang dikenai pajak. PPh dikenakan pada penghasilan dari pengalihan (pihak yang memberi/menjual), sedangkan BPHTB dikenakan pada perolehan hak (pihak yang menerima/membeli).4

Dalam kasus warisan:

  1. PPh: Pewaris (pihak yang "memberi" atau "mengalihkan" hak karena kematiannya) telah meninggal dunia. Karena kewajiban pajaknya berakhir, PPh atas pengalihan hak tanah dan/atau bangunan ini dapat dibebaskan dengan SKB.

  2. BPHTB: Ahli waris (pihak yang "menerima" atau "memperoleh" hak) masih hidup dan mendapatkan penambahan kekayaan berupa hak atas properti. Oleh karena itu, perolehan hak ini tetap terutang BPHTB.

Sebagai analogi yang lebih mudah, PPh dapat diibaratkan seperti "pajak atas gaji" si penjual. Sementara itu, BPHTB seperti "biaya pendaftaran" yang harus dibayar oleh si pembeli yang mendapatkan hak kepemilikan. Meskipun "gaji" si penjual (pewaris) tidak dikenai pajak karena ia sudah tiada, "biaya pendaftaran" untuk si pembeli (ahli waris) yang mendapatkan hak tetap harus dibayar. Inilah alasan mengapa SKB PPh dapat membebaskan PPh, namun BPHTB tetap harus dilunasi saat proses balik nama sertifikat warisan.


2.4. Tata Cara Pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Warisan Melalui Coretax DJP


Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh merupakan dokumen krusial agar pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan warisan tidak terutang PPh Final.1 Tanpa SKB ini, ahli waris dapat dikenai PPh Final atas pengalihan hak tersebut.

Siapa yang Mengajukan: Permohonan SKB PPh warisan diajukan oleh ahli waris.5 Jika terdapat lebih dari satu ahli waris, permohonan dapat diajukan oleh salah satu ahli waris dengan sepengetahuan ahli waris lainnya, sebagaimana tercantum dalam format surat keterangan pembagian warisan.13

Tempat Pengajuan: Permohonan SKB dapat diajukan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar ahli waris, atau secara daring (online) melalui sistem Coretax DJP.5

Berikut adalah langkah-langkah pengajuan SKB PPh warisan secara daring melalui Coretax DJP:

  1. Masuk ke Portal Wajib Pajak Coretax DJP: Akses situs resmi coretaxdjp.pajak.go.id. Masukkan NPWP/NIK, kata sandi, dan captcha yang tersedia, lalu klik "Login".15

  2. Akses Menu Layanan Administrasi: Setelah berhasil masuk, pilih menu "Layanan Wajib Pajak" > "Layanan Administrasi" > "Buat Permohonan Layanan Administrasi".15

  3. Pilih Jenis Layanan: Pada kolom "Jenis Pelayanan Wajib Pajak", pilih "AS.19 SKB PPh". Kemudian, pada sub-kategori layanan, pilih "AS.19-05 SKB PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan".13

  4. Isi Detail Permohonan: Klik "Alur Kasus" dan lengkapi semua kolom pada halaman "Perutean Kasus", termasuk jenis pemotongan atau pemungutan PPh yang dimohonkan SKB-nya, alasan permohonan SKB, dan tahun pajak untuk pembebasan PPh.15

  5. Unggah Dokumen yang Disyaratkan: Lampirkan semua dokumen yang diperlukan untuk permohonan SKB. Pastikan nama dokumen sesuai dengan jenis dokumen yang diminta. Setelah itu, klik "Unggah Dokumen" dan "Simpan" hingga muncul notifikasi "Success".15

  6. Lengkapi Pernyataan Wajib Pajak: Centang kotak pernyataan di bagian "Pernyataan Wajib Pajak", pilih Kota/Kabupaten, lalu klik "Simpan" hingga muncul notifikasi "Success".15

  7. Verifikasi Kepatuhan Pajak: Sistem akan secara otomatis memvalidasi status kepatuhan pajak melalui fitur "Taxpayer Tax Clearance". Jika diperlukan, dapat juga mengklik tombol "Refresh Pemenuhan Kewajiban Perpajakan".15

  8. Buat dan Tanda Tangani Dokumen Permohonan: Klik "Create PDF" untuk membuat dokumen permohonan. Pilih klasifikasi permohonan, lalu klik "Simpan". Jika dokumen sudah benar, klik tombol "Sign" dan masukkan Passphrase untuk menandatangani dokumen secara digital.15

  9. Kirim Permohonan: Klik tombol "Submit" untuk secara resmi mengirimkan permohonan. Halaman akan menampilkan status "Kasus sedang dalam proses", dan akan diterima Bukti Penerimaan Elektronik (BPE).15

  10. Pantau Status Permohonan: Permohonan yang telah diajukan dapat dipantau melalui notifikasi (ikon lonceng), menu "Layanan Wajib Pajak" → "Layanan Administrasi" → "Permohonan Telah Selesai", atau "Daftar Fasilitas Saya". Dokumen SKB yang telah disetujui dapat diunduh melalui menu "Portal Saya" → "Dokumen Saya".15

Syarat Dokumen yang Diperlukan:

Permohonan SKB harus disertai dengan dokumen-dokumen berikut:

  • Surat permohonan SKB.13

  • Surat keterangan pembagian warisan.5

  • Bukti kepemilikan tanah dan/atau bangunan (sertifikat).3

  • Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tahun berjalan.3

  • Akta kematian pewaris.3

  • Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ahli waris dan pewaris.5

  • Surat pernyataan dari ahli waris lain yang menyatakan tidak keberatan.5

  • Dokumen yang membuktikan hubungan keluarga sedarah garis lurus satu derajat antara pewaris dan ahli waris (meskipun untuk warisan tidak ada batasan ahli waris yang dapat memperoleh pembebasan, dokumen ini tetap relevan untuk verifikasi).3

  • Salinan SPT Tahunan PPh pewaris tahun terakhir atau surat keterangan yang menyatakan bahwa pewaris memiliki penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).1

Syarat Material untuk Penerbitan SKB:

Selain kelengkapan dokumen formal, terdapat syarat material yang harus dipenuhi agar KPP dapat menyetujui dan menerbitkan SKB:

  • Akurasi dan Konsistensi Data: Termasuk keakuratan identitas ahli waris dan pewaris, serta detail objek pajak.13

  • Kelengkapan Dokumen: Memastikan semua dokumen yang disyaratkan, seperti surat keterangan pembagian warisan dan dokumen identitas/detail objek lainnya, telah lengkap.13

  • Pelaporan Harta oleh Pewaris: Tanah dan/atau bangunan tersebut harus telah dilaporkan secara lengkap dan benar dalam SPT Tahunan pewaris.1

  • Pelunasan Pajak Terutang: Semua pajak terutang atas harta warisan tersebut harus telah dilunasi oleh pewaris.1

  • Pemenuhan Syarat Sertifikat Fiskal (SKF) oleh Ahli Waris: Ahli waris yang mengajukan permohonan harus memenuhi persyaratan SKF, yang meliputi:

  1. Telah menyampaikan SPT Tahunan untuk 2 tahun terakhir.

  2. Jika ahli waris adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), harus telah menyampaikan SPT Masa PPN untuk 3 masa pajak terakhir.

  3. Tidak memiliki utang pajak, atau telah memperoleh izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang KUP.

  4. Tidak sedang dalam proses penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.13

    Penting dicatat, jika ahli waris adalah istri atau anggota keluarga yang terdaftar sebagai tanggungan dalam Data Unit Keluarga (DUK) kepala keluarga di sistem Coretax, pemenuhan syarat SKF secara sistemik akan merujuk pada pemenuhan kewajiban kepala keluarga.13

Waktu Proses dan Biaya:

Proses penerbitan SKB PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan memiliki batas waktu maksimal 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan wajib pajak diterima secara lengkap.6 Layanan ini

tidak dipungut biaya alias gratis.5


2.5. Hal-hal Lain yang Wajib Diketahui


Selain poin-poin inti mengenai PPh dan BPHTB warisan, terdapat beberapa aspek penting lain yang sering terlewatkan namun krusial untuk dipahami oleh ahli waris:

  • Warisan yang Belum Terbagi Menghasilkan Pendapatan:
    Seperti yang telah dibahas sebelumnya, jika harta warisan (misalnya sebuah rumah atau aset lain) belum dibagi kepada ahli waris namun sudah menghasilkan pendapatan (contoh: disewakan), maka penghasilan dari warisan tersebut tetap terutang Pajak Penghasilan.7 Subjek pajaknya adalah "warisan yang belum terbagi" itu sendiri, yang diwakili oleh salah satu ahli waris, pelaksana wasiat, atau pengurus harta peninggalan.7 Hal ini menekankan bahwa pemerintah tidak mengenakan pajak atas warisan itu sendiri, melainkan atas
    penghasilan yang diperoleh dari aset warisan tersebut.7 Ahli waris perlu proaktif dalam mengidentifikasi pendapatan semacam ini dan menunjuk wakil untuk memenuhi kewajiban pajaknya, bahkan sebelum proses pembagian warisan selesai.

  • Pentingnya Pelaporan Harta Warisan dalam SPT Tahunan Ahli Waris:
    Setelah proses balik nama sertifikat warisan selesai, harta warisan tersebut (tanah dan/atau bangunan) harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh ahli waris.3 Meskipun warisan bukan objek PPh saat diterima, pelaporan ini penting untuk tujuan transparansi dan kepatuhan. Harta tersebut harus dicantumkan di bagian "Daftar Harta pada Akhir Tahun" dan juga di bagian "Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak".4 Pelaporan yang akurat dan lengkap akan membantu menghindari pertanyaan atau pemeriksaan dari Direktorat Jenderal Pajak di kemudian hari, terutama jika aset tersebut suatu saat dijual atau jika terdapat pertukaran informasi keuangan antar negara (AEOI/CRS).4

  • Peran Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT):
    Dalam setiap transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, termasuk warisan, Notaris atau PPAT memiliki peran sentral. Mereka tidak akan dapat melanjutkan proses balik nama sertifikat di Kantor Pertanahan sebelum semua kewajiban perpajakan yang terkait dengan pengalihan hak tersebut dipenuhi. Ini termasuk bukti pelunasan PPh (atau SKB PPh) dan BPHTB. Notaris/PPAT bertindak sebagai pihak yang memastikan bahwa aspek perpajakan telah diselesaikan sebelum perubahan kepemilikan dapat dicatatkan secara resmi. Oleh karena itu, komunikasi yang baik dengan Notaris/PPAT sejak awal proses pengurusan warisan sangat dianjurkan.

Memahami poin-poin tambahan ini akan memberikan gambaran yang lebih utuh mengenai kewajiban perpajakan terkait warisan dan membantu ahli waris dalam mengelola harta warisan dengan benar dan sesuai ketentuan yang berlaku.


Bab 3: Kesimpulan dan Saran



Kesimpulan


Berdasarkan pembahasan komprehensif mengenai pajak warisan di Indonesia, dapat disimpulkan beberapa poin kunci:

  1. Warisan Bukan Objek PPh, Namun Ada Nuansa Penting: Pada prinsipnya, warisan itu sendiri dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan (PPh). Namun, pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diwariskan dapat terutang PPh Final jika ahli waris tidak memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh. Pengecualian PPh ini diberikan karena pihak yang seharusnya membayar PPh (pewaris) telah meninggal dunia, sehingga kewajiban subjektifnya berakhir.

  2. BPHTB Tetap Terutang: Berbeda dengan PPh, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tetap terutang atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan. BPHTB dikenakan pada ahli waris sebagai pihak yang memperoleh hak dan mendapatkan penambahan kekayaan berupa properti. Ini adalah pajak daerah dengan filosofi yang berbeda dari PPh.

  3. Perbedaan Filosofi PPh dan BPHTB: PPh fokus pada penghasilan dari pengalihan (beban pemberi/penjual), sedangkan BPHTB fokus pada perolehan hak (beban penerima/pembeli). Inilah alasan utama mengapa PPh dapat dibebaskan melalui SKB, sementara BPHTB tetap harus dibayar.

  4. Harta Warisan Belum Terbagi: Jika harta warisan belum dibagi dan menghasilkan pendapatan, maka "warisan yang belum terbagi" tersebut menjadi subjek pajak pengganti pewaris, dan kewajiban PPh atas penghasilan tersebut harus dipenuhi oleh wakil ahli waris.

  5. Pentingnya Pelaporan SPT Tahunan: Meskipun warisan bukan objek PPh, harta warisan yang diterima wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan ahli waris di bagian "Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak" dan "Daftar Harta pada Akhir Tahun". Pelaporan ini esensial untuk transparansi, kepatuhan, dan menghindari masalah di masa depan.

  6. Prosedur SKB PPh yang Lebih Mudah: Pengajuan SKB PPh warisan kini dapat dilakukan secara daring melalui sistem Coretax DJP, dengan persyaratan dokumen dan syarat material yang harus dipenuhi oleh ahli waris.


Saran


Untuk memastikan kelancaran dan kepatuhan dalam mengurus aspek perpajakan warisan, berikut adalah beberapa saran praktis:

  1. Segera Urus SKB PPh: Setelah pewaris meninggal dunia dan sebelum melakukan proses balik nama sertifikat tanah dan/atau bangunan, ahli waris disarankan untuk segera mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar melalui Coretax DJP. Pastikan semua dokumen yang disyaratkan lengkap dan syarat material terpenuhi.

  2. Pahami Perbedaan PPh dan BPHTB: Ahli waris perlu memahami secara jelas bahwa pembebasan PPh tidak secara otomatis membebaskan dari kewajiban BPHTB. BPHTB adalah pajak yang terpisah dan tetap harus dibayar saat proses perolehan hak.

  3. Laporkan Harta Warisan dalam SPT Tahunan: Setelah menerima warisan dan proses balik nama selesai, pastikan harta warisan tersebut dilaporkan secara lengkap dan benar dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh pribadi ahli waris. Ini adalah langkah penting untuk kepatuhan pajak jangka panjang.

  4. Kelola Harta Warisan Belum Terbagi dengan Cermat: Jika terdapat harta warisan yang belum dibagi namun menghasilkan pendapatan, pastikan kewajiban pajaknya dipenuhi oleh wakil yang ditunjuk. Jangan biarkan pendapatan dari warisan yang belum terbagi menjadi sumber masalah pajak di kemudian hari.

  5. Konsultasi dengan Profesional: Jika terdapat keraguan atau kompleksitas dalam mengurus pajak warisan, sangat disarankan untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak atau notaris/PPAT yang berpengalaman. Mereka dapat memberikan panduan yang tepat sesuai dengan kondisi spesifik warisan yang diterima.

Dengan memahami ketentuan pajak warisan dan bertindak proaktif, ahli waris dapat mengelola harta peninggalan dengan tenang, benar, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.


Kata Penutup


Demikianlah seminar komprehensif mengenai Pajak Warisan di Indonesia. Diharapkan, penjelasan yang telah disampaikan dengan bahasa yang sederhana ini dapat memberikan pemahaman yang jelas dan praktis bagi para peserta. Ingatlah bahwa meskipun warisan adalah anugerah, ada tanggung jawab perpajakan yang menyertainya, terutama terkait pengalihan hak atas tanah dan bangunan.

Pemahaman yang tepat mengenai PPh dan BPHTB, serta langkah-langkah pengurusan SKB PPh, adalah kunci untuk menghindari potensi masalah di kemudian hari. Proaktif dalam memenuhi kewajiban perpajakan adalah bentuk kepatuhan yang akan memberikan ketenangan dalam mengelola harta warisan.

Terima kasih atas perhatian dan partisipasi para peserta seminar. Semoga informasi ini bermanfaat dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.