Sabtu, 16 Agustus 2025

Area Abu-Abu: Ketika Batasan Revenue Sharing dan Profit Sharing Menjadi Kabur

Dalam praktik, pembagian hasil (baik revenue sharing maupun profit sharing) sering kali tidak didefinisikan secara tegas dalam perjanjian, sehingga menimbulkan multitafsir. Inilah inti dari "area abu-abu" yang sering berujung pada perselisihan dengan otoritas pajak.

  1. Pencatatan Biaya yang Tidak Konsisten: Dalam skema revenue sharing, anggota KSO idealnya bertindak sebagai pemasok utama yang menagih KSO untuk biaya operasional mereka. Sebaliknya, dalam  

profit sharing, semua biaya seharusnya dibebankan langsung pada KSO. Area abu-abu muncul ketika pencatatan di lapangan tidak konsisten dengan perjanjian. Misalnya, dalam satu proyek yang diklaim sebagai  

revenue sharing, KSO ternyata membukukan sebagian biaya operasional secara langsung, padahal seharusnya biaya tersebut menjadi beban masing-masing anggota.

  1. Identitas KSO yang Ambigu: Sebelum adanya PMK 79/2024, banyak KSO tidak memiliki NPWP sendiri untuk PPh Badan, sehingga PPh Final dipotong atas nama KSO, tetapi anggota harus memecah bukti potongnya (pemecahan bukti potong) untuk dikreditkan ke masing-masing perusahaan. Praktik ini sering menimbulkan masalah, seperti yang terjadi pada studi kasus PT. Bumi Karsa-PT. Harfia Graha Perkasa, di mana KSO administratif tidak membuat bukti potong yang dipecah, sehingga terjadi pembayaran pajak ganda. PMK 79/2024 hadir untuk mengatasi masalah ini dengan menegaskan bahwa KSO yang memenuhi kriteria substantif (melakukan penyerahan/memperoleh penghasilan atas nama KSO) wajib memiliki NPWP sebagai Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, bukti potong akan diterima oleh KSO, dan laba yang dibagi ke anggota tidak lagi menjadi objek pajak.  
  2. Klausul Perjanjian yang Tidak Jelas: Penamaan perjanjian seringkali menggunakan istilah seperti "konsorsium," "KSO," atau "bagi hasil" tanpa adanya definisi yang baku. Asas kebebasan berkontrak memang memungkinkan keragaman ini, tetapi seringkali detail hak dan kewajiban para pihak tidak dijabarkan dengan rinci. Hal ini membuka celah penafsiran yang berbeda antara wajib pajak dan petugas pajak, terutama dalam menentukan apakah suatu kerja sama adalah  

revenue sharing atau profit sharing.

Mengatasi Area Abu-Abu: Mengadopsi Regulasi dan Menyusun Kontrak yang Jelas

Cara paling efektif untuk mengatasi area abu-abu ini adalah dengan mengacu pada regulasi yang paling baru dan membuat perjanjian yang sangat eksplisit.

  1. Ikuti PMK 79/2024 sebagai Pedoman Utama: Peraturan ini adalah "obat" bagi ketidakpastian yang lalu. Ia secara jelas membedakan KSO yang wajib memiliki NPWP (sebagai Wajib Pajak Badan) dan yang tidak wajib, berdasarkan kriteria substantif, bukan hanya judul kontrak.  
  2. Manfaatkan Coretax DJP: Dengan implementasi Coretax, masalah pemecahan bukti potong akan teratasi secara otomatis bagi KSO yang wajib memiliki NPWP. Bukti potong PPh akan langsung terkirim ke akun NPWP KSO, bukan ke akun masing-masing anggota.  
  3. Perjelas Substansi Perjanjian: Poin terpenting adalah memastikan bahwa isi kontrak tidak menimbulkan keraguan mengenai jenis KSO dan pola bagi hasilnya. Seperti yang ditekankan dalam diskusi webinar, kasus sengketa pajak seringkali bermuara pada penafsiran hukum perdata dalam perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu, libatkan ahli pajak sejak awal penyusunan kontrak.  

Saran untuk Menyusun Perjanjian KSO yang Ideal

Untuk mencegah area abu-abu, perjanjian KSO harus menjadi dokumen yang tidak hanya mengikat secara hukum perdata, tetapi juga secara tegas mendefinisikan perlakuan akuntansi dan pajak.

1. Untuk Skema Revenue Sharing:

  • Definisi Peran Anggota: Tentukan dengan jelas bahwa setiap anggota KSO bertindak sebagai pemasok utama (main vendor) yang menyediakan barang/jasa kepada KSO.
  • Mekanisme Pendapatan dan Biaya: Kontrak harus menyebutkan bahwa pendapatan utama diterima oleh KSO, tetapi biaya operasional dan pendukung proyek sepenuhnya ditanggung dan dibukukan oleh masing-masing anggota.
  • Proses Penagihan: Perjanjian harus merinci bahwa setiap anggota akan menagihkan biaya dan imbalan mereka kepada KSO melalui faktur komersial. Pendapatan KSO dari klien kemudian akan dialokasikan untuk membayar tagihan-tagihan ini.
  • Perlakuan Pajak: Jelasnya, perlakuan PPh dan PPN atas tagihan dari anggota ke KSO harus mengacu pada ketentuan normal UU PPh dan UU PPN, karena ini dianggap sebagai transaksi antar entitas yang berbeda.

2. Untuk Skema Profit Sharing:

  • KSO sebagai Entitas Mandiri: Perjanjian harus mempertegas bahwa KSO adalah entitas yang berdiri sendiri, terpisah dari anggotanya. KSO memiliki hak dan kewajiban untuk bertransaksi dengan pihak ketiga, baik pelanggan maupun pemasok.
  • Mekanisme Pendapatan dan Biaya: Sebutkan bahwa KSO menerima semua pendapatan dari pelanggan dan menanggung semua biaya operasional proyek. Anggota tidak menagihkan biaya kepada KSO, melainkan menyetor modal atau kontribusi yang disepakati.
  • Pembagian Laba: Kontrak harus secara eksplisit menyatakan bahwa pembagian kepada anggota hanya dilakukan di tingkat laba bersih setelah semua biaya dan kewajiban pajak KSO terpenuhi. Sesuai PMK 79/2024, pembagian laba ini tidak lagi menjadi objek PPh bagi anggota.  
  • Perlakuan Pajak: Perjanjian harus konsisten dengan PMK 79/2024, di mana KSO wajib memiliki NPWP sebagai Wajib Pajak Badan, menghitung, membayar, dan melaporkan PPh Badan, serta memungut PPN atas nama KSO.


0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.