Area
Abu-Abu: Ketika Batasan Revenue Sharing dan Profit Sharing
Menjadi Kabur
Dalam
praktik, pembagian hasil (baik revenue sharing maupun profit sharing)
sering kali tidak didefinisikan secara tegas dalam perjanjian, sehingga
menimbulkan multitafsir. Inilah inti dari "area abu-abu" yang sering
berujung pada perselisihan dengan otoritas pajak.
- Pencatatan Biaya yang Tidak
Konsisten: Dalam
skema revenue sharing, anggota KSO idealnya bertindak sebagai
pemasok utama yang menagih KSO untuk biaya operasional mereka. Sebaliknya,
dalam
profit
sharing, semua biaya
seharusnya dibebankan langsung pada KSO. Area abu-abu muncul ketika pencatatan
di lapangan tidak konsisten dengan perjanjian. Misalnya, dalam satu proyek yang
diklaim sebagai
revenue
sharing, KSO ternyata
membukukan sebagian biaya operasional secara langsung, padahal seharusnya biaya
tersebut menjadi beban masing-masing anggota.
- Identitas KSO yang Ambigu: Sebelum adanya PMK 79/2024,
banyak KSO tidak memiliki NPWP sendiri untuk PPh Badan, sehingga PPh Final
dipotong atas nama KSO, tetapi anggota harus memecah bukti potongnya (pemecahan
bukti potong) untuk dikreditkan ke masing-masing perusahaan. Praktik
ini sering menimbulkan masalah, seperti yang terjadi pada studi kasus PT.
Bumi Karsa-PT. Harfia Graha Perkasa, di mana KSO administratif tidak
membuat bukti potong yang dipecah, sehingga terjadi pembayaran pajak
ganda. PMK 79/2024 hadir untuk mengatasi masalah ini dengan menegaskan
bahwa KSO yang memenuhi kriteria substantif (melakukan
penyerahan/memperoleh penghasilan atas nama KSO) wajib memiliki NPWP
sebagai Wajib Pajak Badan. Dengan demikian, bukti potong akan diterima
oleh KSO, dan laba yang dibagi ke anggota tidak lagi menjadi objek pajak.
- Klausul
Perjanjian yang Tidak Jelas: Penamaan perjanjian
seringkali menggunakan istilah seperti "konsorsium,"
"KSO," atau "bagi hasil" tanpa adanya definisi yang
baku. Asas kebebasan berkontrak memang memungkinkan keragaman ini, tetapi
seringkali detail hak dan kewajiban para pihak tidak dijabarkan dengan
rinci. Hal ini membuka celah penafsiran yang berbeda antara wajib pajak
dan petugas pajak, terutama dalam menentukan apakah suatu kerja sama
adalah
revenue
sharing atau profit
sharing.
Mengatasi
Area Abu-Abu: Mengadopsi Regulasi dan Menyusun Kontrak yang Jelas
Cara paling
efektif untuk mengatasi area abu-abu ini adalah dengan mengacu pada regulasi
yang paling baru dan membuat perjanjian yang sangat eksplisit.
- Ikuti PMK 79/2024 sebagai Pedoman
Utama: Peraturan
ini adalah "obat" bagi ketidakpastian yang lalu. Ia secara jelas
membedakan KSO yang wajib memiliki NPWP (sebagai Wajib Pajak Badan) dan
yang tidak wajib, berdasarkan kriteria substantif, bukan hanya judul
kontrak.
- Manfaatkan Coretax DJP: Dengan implementasi Coretax,
masalah pemecahan bukti potong akan teratasi secara otomatis bagi KSO yang
wajib memiliki NPWP. Bukti potong PPh akan langsung terkirim ke akun NPWP
KSO, bukan ke akun masing-masing anggota.
- Perjelas Substansi Perjanjian: Poin terpenting adalah
memastikan bahwa isi kontrak tidak menimbulkan keraguan mengenai jenis KSO
dan pola bagi hasilnya. Seperti yang ditekankan dalam diskusi webinar,
kasus sengketa pajak seringkali bermuara pada penafsiran hukum perdata
dalam perjanjian itu sendiri. Oleh karena itu, libatkan ahli
pajak sejak awal penyusunan kontrak.
Saran untuk Menyusun Perjanjian KSO yang Ideal
Untuk mencegah area abu-abu, perjanjian KSO harus menjadi
dokumen yang tidak hanya mengikat secara hukum perdata, tetapi juga secara
tegas mendefinisikan perlakuan akuntansi dan pajak.
1. Untuk
Skema Revenue Sharing:
- Definisi Peran Anggota: Tentukan dengan jelas bahwa
setiap anggota KSO bertindak sebagai pemasok utama (main vendor)
yang menyediakan barang/jasa kepada KSO.
- Mekanisme Pendapatan dan Biaya: Kontrak harus menyebutkan bahwa
pendapatan utama diterima oleh KSO, tetapi biaya operasional dan pendukung
proyek sepenuhnya ditanggung dan dibukukan oleh masing-masing anggota.
- Proses Penagihan: Perjanjian harus merinci bahwa
setiap anggota akan menagihkan biaya dan imbalan mereka kepada KSO melalui
faktur komersial. Pendapatan KSO dari klien kemudian akan dialokasikan
untuk membayar tagihan-tagihan ini.
- Perlakuan
Pajak: Jelasnya, perlakuan PPh dan PPN atas tagihan dari
anggota ke KSO harus mengacu pada ketentuan normal UU PPh dan UU PPN,
karena ini dianggap sebagai transaksi antar entitas yang berbeda.
2. Untuk
Skema Profit Sharing:
- KSO sebagai Entitas Mandiri: Perjanjian harus mempertegas
bahwa KSO adalah entitas yang berdiri sendiri, terpisah dari anggotanya.
KSO memiliki hak dan kewajiban untuk bertransaksi dengan pihak ketiga,
baik pelanggan maupun pemasok.
- Mekanisme Pendapatan dan Biaya: Sebutkan bahwa KSO menerima
semua pendapatan dari pelanggan dan menanggung semua biaya operasional
proyek. Anggota tidak menagihkan biaya kepada KSO, melainkan menyetor
modal atau kontribusi yang disepakati.
- Pembagian Laba: Kontrak harus secara eksplisit
menyatakan bahwa pembagian kepada anggota hanya dilakukan di tingkat laba
bersih setelah semua biaya dan kewajiban pajak KSO terpenuhi. Sesuai PMK
79/2024, pembagian laba ini tidak lagi menjadi objek PPh bagi anggota.
- Perlakuan Pajak: Perjanjian harus konsisten
dengan PMK 79/2024, di mana KSO wajib memiliki NPWP sebagai Wajib Pajak
Badan, menghitung, membayar, dan melaporkan PPh Badan, serta memungut PPN
atas nama KSO.
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.