Kamis, 14 Agustus 2025

Pendahuluan: Kebutuhan akan Kepastian Hukum Perpajakan KSO


Kerja Sama Operasi (KSO), atau yang sering juga disebut Joint Operation (JO), konsorsium, dan ventura bersama (joint venture), adalah strategi bisnis yang jamak digunakan di Indonesia, khususnya untuk proyek-proyek berskala besar. Skema kerja sama ini dipilih oleh para pelaku usaha untuk mengatasi keterbatasan sumber daya, seperti pendanaan atau keahlian, serta untuk membagi risiko bisnis yang tinggi. Dalam praktiknya, KSO sering dijumpai pada sektor-sektor vital seperti konstruksi, pengembangan real estat, dan eksplorasi sumber daya alam.1 Namun, sebelum diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 79 Tahun 2024, belum ada regulasi perpajakan yang komprehensif dan spesifik untuk KSO.

Ketidakjelasan regulasi ini menciptakan ketidakseragaman dalam praktik administrasi perpajakan, yang sering kali berujung pada potensi timbulnya pajak berganda (double taxation) dan sengketa dengan otoritas pajak.1 Sebagai contoh, dalam studi kasus KSO jasa konstruksi antara PT. Bumi Karsa dan PT. Harfia Graha Perkasa, ditemukan adanya pembayaran pajak ganda untuk PPh Pasal 23 dan PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi yang dilakukan oleh anggota KSO.1 Situasi ini menggarisbawahi urgensi adanya aturan yang memberikan kepastian. Untuk merespons kebutuhan tersebut, pemerintah menerbitkan PMK 79/2024, yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, dan kesederhanaan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan KSO.1 Laporan ini akan mengupas tuntas PMK 79/2024 secara holistik, mulai dari landasan konseptual, evolusi perlakuan akuntansi, hingga implikasi praktisnya di lapangan.


Bab I: Fondasi Konseptual KSO: Segitiga Transaksi sebagai Kerangka Analisis



1.1. Konsep Perjanjian Kerja Sama (PKS) dan Landasan Hukum Perdata


Dari sudut pandang hukum perdata, KSO adalah suatu perjanjian tidak bernama (innominaat) yang memiliki karakteristik mirip dengan Persekutuan Perdata (Maatschap). Hal ini diatur dalam Pasal 1618 sampai Pasal 1665 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).1 Perjanjian ini merupakan landasan utama yang mengikat dua pihak atau lebih untuk memasukkan sesuatu (

inbreng) ke dalam persekutuan dengan tujuan mencari keuntungan bersama.1 Isi dari perjanjian kerja sama, yang secara ringkas berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak, sangatlah beragam dan tunduk pada tiga asas utama hukum perjanjian: asas konsensualisme (kesepakatan), asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), dan asas itikad baik (in good faith).1

Dalam konteks bisnis KSO, besaran imbal hasil yang disepakati oleh para investor dapat dibedakan menjadi dua pola utama:

  1. Revenue Sharing: Pembagian hasil dilakukan di tingkat pendapatan. Dalam model ini, biaya-biaya KSO, JO, atau Konsorsium merupakan tagihan dari anggota kepada KSO. Anggota KSO berfungsi sebagai pemasok utama (main vendors), sementara pemasok lainnya (sub-vendors) bertransaksi dengan anggota KSO tersebut.1

  2. Profit Sharing: Pembagian hasil dilakukan di tingkat laba bersih. Pada model ini, biaya-biaya operasional berasal dari berbagai pemasok dan dibebankan langsung pada KSO. Posisi anggota KSO hanya akan menerima bagian laba setelah seluruh penghasilan KSO dikurangi semua biaya yang dikeluarkan.1

Pilihan model bisnis ini akan memengaruhi secara fundamental struktur biaya, pencatatan akuntansi, dan kewajiban perpajakan, sehingga pemahaman yang detail atas isi kontrak menjadi krusial.

Tabel 1: Perbandingan Konsep KSO Berdasarkan Tipe Bagi Hasil


Kriteria Perbandingan

Revenue Sharing

Profit Sharing

Pola Pembagian Hasil

Dilakukan di tingkat pendapatan.

Dilakukan di tingkat laba bersih.

Pencatatan Biaya

Biaya operasional proyek dibukukan oleh masing-masing anggota. Tagihan dari anggota ke KSO diperlakukan sebagai pendapatan anggota dan biaya KSO.

Biaya operasional proyek dibebankan dan dibukukan langsung oleh KSO.

Peran Anggota

Anggota bertindak sebagai pemasok utama (main vendors) bagi KSO.

Anggota berpartisipasi dalam pembagian laba/rugi setelah semua biaya dihitung.

Implikasi Pajak

Perlakuan PPh dan PPN atas tagihan dari anggota ke KSO berlaku normal, mengacu pada ketentuan umum yang ada di UU PPh dan UU PPN.1

Pembagian laba bersih dari KSO ke anggota merupakan penghasilan yang tidak dikenai PPh dan bukan objek pemotongan PPh, sesuai PMK 79/2024.3


1.2. Model "Segitiga Transaksi" dan Keterkaitan Antar Bidang Ilmu


Untuk memahami secara menyeluruh perlakuan KSO, diperlukan kerangka analisis yang komprehensif. Model "Segitiga Transaksi" adalah kerangka yang tepat untuk menggambarkan keterkaitan antara aspek hukum, akuntansi, dan pajak dalam suatu transaksi bisnis.1 Model ini menjelaskan hubungan kausalitas yang tidak terpisahkan: perjanjian bisnis yang dibuat berdasarkan hukum perdata akan memicu transaksi; transaksi tersebut harus dicatat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK); dan hasil pencatatan akuntansi tersebut pada akhirnya akan menjadi dasar perhitungan dan pelaporan kewajiban pajak sesuai dengan undang-undang perpajakan.

Perubahan pada salah satu sisi segitiga, seperti penerbitan PMK 79/2024 yang mengubah perlakuan di sisi Hukum Pajak, akan secara langsung memengaruhi dan menuntut penyesuaian di sisi lainnya (praktik kontrak dan pembukuan). Oleh karena itu, pemahaman yang terintegrasi dan holistik terhadap ketiga aspek ini sangatlah penting untuk menghindari potensi sengketa dan memastikan kepatuhan.


Bab II: Evolusi dan Perlakuan Akuntansi untuk KSO



2.1. Tinjauan Historis Standar Akuntansi KSO (PSAK 39 -> PSAK 66/111)


Perlakuan akuntansi untuk KSO di Indonesia telah mengalami evolusi yang signifikan. Pada mulanya, standar yang mengatur adalah PSAK 39 tentang Akuntansi Kerjasama Operasi, yang diterbitkan pada tahun 1997.1 PSAK 39 ini memperkenalkan dua pola pengoperasian aset KSO yang populer, yaitu skema Bangun, Kelola, Serah (BKS) atau Build, Operate, Transfer (BOT) dan Bangun, Serah, Kelola (BSK) atau Build, Transfer, Operate (BTO).1 Namun, standar ini telah dicabut dan digantikan oleh PSAK 12 dan kemudian PSAK 66.

Perkembangan akuntansi internasional, khususnya IFRS 11, diadopsi ke dalam PSAK 66 yang kemudian berubah nomenklaturnya menjadi PSAK 111 mulai tahun 2024.1 PSAK 66/111 ini menggantikan PSAK 12 (mengenai Pengendalian Bersama dan PSAK 39) dan bersifat berbasis prinsip ( principles-based).1 Perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan karakteristik penyajian yang jujur (faithful representation) dalam laporan keuangan dengan mengikuti perkembangan praktik bisnis global.1


2.2. Definisi KSO dari Perspektif Akuntansi (PSAK 66/111)


PSAK 66/111 mengklasifikasikan pengaturan bersama menjadi dua jenis utama, yang berbeda secara konseptual dan perlakuan akuntansinya 1:

  1. Operasi Bersama (Joint Operation): Merupakan pengaturan bersama di mana para pihak yang memiliki pengendalian bersama atas pengaturan memiliki hak atas aset dan kewajiban terhadap liabilitas yang terkait dengan pengaturan tersebut. Setiap pihak mencatat bagian aset, liabilitas, pendapatan, dan bebannya secara langsung di pembukuan masing-masing.6

  2. Ventura Bersama (Joint Venture): Merupakan pengaturan bersama di mana para pihak yang memiliki pengendalian bersama memiliki hak atas aset neto dari pengaturan tersebut. Berbeda dengan operasi bersama, ventura bersama sering kali melibatkan pembentukan entitas hukum terpisah yang memiliki aset dan liabilitasnya sendiri. Ventura bersama melaporkan keuangannya sendiri, dan laba didistribusikan kepada para pihak.6

Definisi KSO dalam PMK 79/2024, yang menyebutkan "pengendalian bersama atau memiliki hak atas aset, dan kewajiban terhadap liabilitas," sangat sejalan dengan konsep Operasi Bersama dalam PSAK 66/111 dan Per-04/PJ/2020.1 Keselarasan ini menegaskan bahwa pemerintah berupaya membangun fondasi hukum pajak yang harmonis dengan standar akuntansi yang berlaku, mendorong pentingnya menafsirkan substansi perjanjian kerja sama, bukan hanya judulnya.


2.3. Pengakuan Pendapatan KSO (PSAK 72)


Pengakuan pendapatan dalam KSO juga diatur oleh standar yang lebih baru, yaitu PSAK 72 tentang Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan.1 PSAK 72 berfungsi sebagai standar tunggal untuk semua jenis pendapatan, menggantikan standar lama seperti PSAK 34 (Akuntansi Kontrak Konstruksi).1 Pendekatan yang digunakan adalah

asset-liability approach, yang mengakui dan mengukur pendapatan berdasarkan perubahan aset dan liabilitas.

Proses pengakuan pendapatan dalam PSAK 72 mengikuti lima tahapan yang relevan untuk KSO, yaitu:

  1. Mengidentifikasi kontrak dengan pelanggan.1

  2. Mengidentifikasi kewajiban pelaksanaan (performance obligation) dalam kontrak.1

  3. Menentukan harga transaksi.1

  4. Mengalokasikan harga transaksi pada kewajiban pelaksanaan.1

  5. Mengakui pendapatan ketika (atau selama) entitas telah menyelesaikan kewajiban pelaksanaan, yaitu ketika penguasaan aset beralih kepada pelanggan (transfer of control).1

Pengakuan pendapatan dapat dilakukan seiring berjalannya waktu (over time) atau pada waktu tertentu (at a point in time), tergantung pada kapan penguasaan aset beralih.1

Tabel 2: Perbandingan Pengaturan KSO dalam PSAK 39, PSAK 12, dan PSAK 66/111

Perihal

PSAK 39 (1997)

PSAK 12 (2009) & SAK ETAP

PSAK 66 (2014) / PSAK 111 (2024)

Jenis KSO

KSO tanpa entitas hukum (BKS dan BSK) di mana hanya satu pihak yang memiliki kendali signifikan.

Pengendalian Bersama Aset (PBA), Pengendalian Bersama Operasi (PBO), dan Pengendalian Bersama Entitas (PBE).

Operasi Bersama (Joint Operation) atau Ventura Bersama (Joint Venture).

Karakteristik Umum

Perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk usaha bersama dengan aset/hak usaha, dan menanggung risiko bersama.

Dua pihak atau lebih terikat kontrak yang menciptakan pengendalian bersama (joint control).

Para pihak terikat pengaturan kontraktual, yang memberikan pengendalian bersama kepada dua atau lebih pihak.

Perlakuan Akuntansi

Tergantung pola BKS atau BSK. Misalnya, BKS: investor catat aset dan menyusutkan selama masa konsesi; pemilik aset akui aset di akhir masa konsesi dan kreditkan penghasilan tangguhan.

Menggunakan metode akuntansi terpisah untuk setiap jenis KSO (PBA/PBO/PBE).

Operasi Bersama: Setiap operator mencatat bagian aset, liabilitas, pendapatan, dan beban mereka sendiri. Ventura Bersama: Menggunakan metode ekuitas untuk mencatat hak atas aset neto.

Hubungan dengan Standar Lain

Terpisah dari standar ventura bersama.

Mengacu pada PSAK 12 dan ISAK 12.

Menggantikan PSAK 12 dan mengacu pada IFRS 11.


Bab III: Analisis Mendalam PMK 79/2024 dan Implikasinya



3.1. Jejak Regulasi Perpajakan KSO Sebelum PMK 79/2024


Sebelum PMK 79/2024, perlakuan perpajakan KSO seringkali tidak konsisten dan mengacu pada berbagai peraturan dan surat penegasan yang tersebar. Salah satu sumber utama adalah Peraturan Dirjen Pajak No. Per-04/PJ/2020 yang mendefinisikan badan sebagai "sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan... termasuk... kerja sama operasi (joint operation)".1 Namun, praktik di lapangan juga masih dipengaruhi oleh surat-surat Dirjen Pajak lama seperti SE-44/PJ./1994, S-251/PJ.313/1999, dan S-830/PJ.312/2005. Surat-surat ini secara umum memberikan penegasan bahwa KSO bukan merupakan subjek PPh Badan dan oleh karenanya bukti potong PPh Final harus dipecah ke masing-masing anggota KSO sesuai porsi penghasilan yang diterima.1

Paradigma lama ini seringkali memicu "pertentangan diametral" antara Wajib Pajak (yang ingin mengkreditkan pajak ke masing-masing anggota) dan fiskus (yang berupaya mengamankan penerimaan pajak secara maksimal).1 Ketidakjelasan inilah yang menjadi alasan mendasar bagi pemerintah untuk menerbitkan PMK 79/2024, yang mengkonsolidasikan semua aturan terkait KSO ke dalam satu ketentuan yang komprehensif.1


3.2. Pilar Utama dan Logika Dasar PMK 79/2024


PMK 79/2024 disusun dengan dasar pemikiran hukum yang kuat. Asas titulus est lex (judul menentukan) menunjukkan bahwa PMK ini secara eksplisit mengatur "perlakuan perpajakan dalam Kerja Sama Operasi," memberikan gambaran yang jelas tentang ruang lingkupnya.1 Sementara itu, asas ratio legis (akal sehat hukum) menjelaskan tujuan di balik peraturan ini, yaitu untuk memberikan kepastian hukum, kemudahan administrasi, dan kesederhanaan.1

Struktur PMK 79/2024, jika dianalisis dengan asas rubrica est lex (bab menentukan), menunjukkan bahwa peraturan ini secara sistematis mencakup tiga area utama perpajakan, yaitu Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).1 Pembagian bab ini mempermudah pemahaman bahwa KSO tidak lagi diperlakukan secara parsial, melainkan sebagai entitas yang memiliki hak dan kewajiban perpajakan yang terintegrasi.


3.3. Perlakuan Perpajakan KSO yang Wajib Ber-NPWP


PMK 79/2024 secara tegas membedakan perlakuan perpajakan berdasarkan kriteria substantif. Berdasarkan Pasal 3, KSO wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai Wajib Pajak Badan jika perjanjian atau pelaksanaannya memenuhi kriteria bahwa KSO 3:

  • Melakukan penyerahan barang dan/atau jasa atas nama KSO.

  • Menerima atau memperoleh penghasilan atas nama KSO.

  • Mengeluarkan biaya atau membayarkan penghasilan kepada pihak lain atas nama KSO.

Kriteria ini menekankan pada realitas transaksi, bukan sekadar judul dokumen. KSO yang memenuhi kriteria tersebut juga wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) jika melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) dan telah melebihi batasan pengusaha kecil, atau jika salah satu anggotanya telah dikukuhkan sebagai PKP.3

Dengan demikian, KSO yang wajib memiliki NPWP dan PKP akan melaksanakan kewajiban perpajakannya secara mandiri sebagai entitas Wajib Pajak Badan, termasuk:

  • Membayar dan melaporkan PPh Badan.3

  • Menerbitkan Faktur Pajak atas nama KSO.3

  • Melakukan pemotongan dan/atau pemungutan PPh (seperti PPh Pasal 21, 23, 4(2)) atas transaksi dengan pihak lain.3

  • Menerima bukti potong PPh dari pelanggan atas nama KSO.3


3.4. Perlakuan Perpajakan KSO yang Tidak Wajib Ber-NPWP


Sebaliknya, Pasal 18 PMK 79/2024 mengatur bahwa KSO tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP jika tidak memenuhi kriteria di atas.3 Dalam kasus ini, hak dan kewajiban perpajakan tidak melekat pada KSO sebagai entitas terpisah, melainkan pada masing-masing anggota KSO.3 Konsekuensinya, kewajiban pemotongan/pemungutan PPh akan dilaksanakan oleh setiap anggota sesuai bagiannya masing-masing.3

Tabel 3: Perbandingan Kewajiban Perpajakan KSO Berdasarkan PMK 79/2024


Kriteria

KSO Wajib NPWP

KSO Tidak Wajib NPWP

Dasar Hukum

Pasal 3 PMK 79/2024.3

Pasal 18 PMK 79/2024.3

Kewajiban NPWP

Wajib mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak Badan.

Tidak wajib memiliki NPWP.

Kewajiban PKP

Wajib dikukuhkan sebagai PKP jika memenuhi batasan omzet atau salah satu anggota sudah PKP.3

Tidak wajib dikukuhkan sebagai PKP.

Perlakuan PPh Badan

KSO merupakan Wajib Pajak Badan yang menghitung, membayar, dan melaporkan PPh Badan atas penghasilan yang diterima/diperolehnya.3

Hak dan kewajiban PPh Badan melekat pada masing-masing anggota KSO.

Perlakuan PPN

KSO wajib memungut PPN, menerbitkan Faktur Pajak atas nama KSO.3

Pemungutan PPN dan penerbitan Faktur Pajak dilakukan oleh masing-masing anggota KSO.3

Kewajiban Potput PPh

KSO wajib memotong/memungut PPh.3

Kewajiban memotong/memungut PPh dilaksanakan oleh masing-masing anggota KSO.3


3.5. Ketentuan Peralihan dan Isu Pemecahan Bukti Potong


PMK 79/2024 juga menyertakan ketentuan peralihan (Pasal 23) untuk KSO yang sudah ada sebelum peraturan ini berlaku.11 KSO yang telah memiliki NPWP dan memenuhi kriteria wajib mendaftarkan diri ulang atau melakukan penyesuaian administrasi, dan mulai melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai PMK ini sejak tahun pajak 2025.11

Dengan diberlakukannya PMK 79/2024, isu lama mengenai "pemecahan bukti potong" PPh Final menjadi tidak relevan untuk KSO yang wajib memiliki NPWP. Logika yang mendasari aturan baru ini adalah bahwa KSO, sebagai entitas Wajib Pajak Badan, akan menerima bukti potong PPh dari pelanggan atas namanya sendiri. Kemudian, laba yang didistribusikan kepada anggota tidak lagi menjadi objek PPh.3 Sistem perpajakan yang akan datang, seperti Coretax DJP, akan semakin memperkuat paradigma ini karena bukti potong akan secara otomatis masuk ke akun KSO, bukan ke akun anggota.14 Dengan demikian, tantangan kini beralih dari isu "pemecahan bukti potong" menjadi "bagaimana KSO mendistribusikan kredit pajak yang telah diperolehnya kepada anggota".1


Bab IV: Studi Kasus dan Implikasi Praktis di Lapangan



4.1. Studi Kasus: PT. Bumi Karsa-PT. Harfia Graha Perkasa KSO


Sebuah penelitian kualitatif deskriptif terhadap KSO jasa konstruksi antara PT. Bumi Karsa dan PT. Harfia Graha Perkasa di Makassar menemukan beberapa masalah perpajakan sebelum berlakunya PMK 79/2024.1 KSO ini, yang merupakan KSO administratif, tidak melaporkan PPh Badan karena dianggap bukan subjek pajak. Namun, KSO tersebut tetap melakukan pemotongan PPh Pasal 21 dan 23 atas gaji karyawan dan sewa alat berat. Sementara itu, PPh Final Pasal 4(2) atas penghasilan konstruksi dipotong oleh bendaharawan pemilik proyek.

Permasalahan utama yang ditemukan adalah adanya potensi pajak ganda dan ketiadaan bukti potong (withholding tax) yang dipecah kepada masing-masing anggota.1 Praktik yang seharusnya dilakukan sesuai penegasan lama adalah memecah bukti potong PPh Final ke masing-masing anggota KSO. Studi kasus ini secara konkret menunjukkan bagaimana ketidakpastian regulasi dapat menciptakan inefisiensi dan risiko pajak. PMK 79/2024 hadir untuk mengatasi masalah ini dengan mempertegas bahwa KSO yang memenuhi kriteria adalah subjek pajak badan yang memiliki NPWP dan menerima bukti potong atas nama sendiri, sehingga isu pemecahan bukti potong tidak lagi menjadi masalah bagi KSO.1

Tabel 4: Analisis Masalah Pajak KSO dari Studi Kasus PT. Bumi Karsa-PT. Harfia Graha Perkasa


Jenis Pajak

Kondisi di Studi Kasus

Masalah yang Ditemukan

Dampak Negatif

PPh Badan

KSO tidak membuat SPT Tahunan karena dianggap bukan subjek PPh Badan.1

Adanya perdebatan dan ketidakpastian hukum.

Risiko sengketa dengan fiskus yang dapat memicu koreksi dan denda.

PPh Final 4(2)

Dipotong oleh bendaharawan pemilik proyek atas nama KSO.1

Terjadi pajak ganda karena KSO tidak membuat bukti potong yang dipecah untuk anggota.1

Anggota KSO tidak dapat mengkreditkan pajak yang sudah dipotong, sehingga terjadi pajak berganda.

PPh Pasal 23

KSO memotong PPh 23 atas sewa alat dari anggotanya.1

Ketiadaan bukti potong yang dipecah.

Anggota KSO yang menyewakan tidak dapat mengkreditkan PPh yang telah dipotong.


4.2. Tanya Jawab dari Webinar: Menjawab Tantangan Praktis


Diskusi dalam webinar mengenai PMK 79/2024 memperlihatkan kekhawatiran praktis yang dihadapi oleh Wajib Pajak. Beberapa pertanyaan kunci mencakup:

  • Kekuatan Hukum Surat DJP Lama: Pertanyaan muncul mengenai legalitas surat-surat DJP lama setelah terbitnya PMK 79/2024. Jawabannya mengacu pada asas hukum preferensi, khususnya lex posterior derogat legi priori (aturan yang terbit kemudian mengesampingkan aturan sebelumnya). Dengan demikian, PMK 79/2024, sebagai aturan yang lebih baru, akan mengesampingkan surat-surat penegasan yang terbit sebelumnya.1

  • Pemotongan PPh atas Tagihan Anggota ke KSO: Pertanyaan diajukan apakah tagihan dari anggota KSO ke KSO dikenakan pemotongan PPh Final. Jawabannya adalah, perlakuan PPh dan PPN atas tagihan tersebut mengacu pada ketentuan umum yang ada di UU PPh dan UU PPN. Pemotongan PPh dan pemungutan PPN juga merujuk pada ketentuan umum di kedua undang-undang tersebut, dan PMK 79/2024 tidak mengatur secara berbeda.1

  • Status Hukum KSO dalam Kepemilikan Aset: Pertanyaan lain menanyakan apakah KSO dapat mengalihkan hak tanah dari anggota sehingga menjadi kepemilikan bersama. Jawaban yang diberikan adalah bahwa ketentuan pajak, termasuk PMK 79/2024, tidak mengatur kepemilikan aset, melainkan hal tersebut diatur oleh undang-undang sektoral seperti Undang-Undang Pokok Agraria.1


Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis


PMK 79/2024 merupakan regulasi yang penting dan transformatif dalam lanskap perpajakan KSO di Indonesia. Peraturan ini menyatukan berbagai ketentuan yang sebelumnya tersebar dan sering kali multitafsir, sehingga menciptakan kerangka hukum yang lebih jelas dan komprehensif. Peraturan ini menggeser paradigma dari perlakuan KSO sebagai entitas "tanpa badan hukum" yang kewajiban pajaknya dipecah ke anggota, menjadi entitas Wajib Pajak Badan yang memiliki hak dan kewajiban perpajakan sendiri, selama memenuhi kriteria substantif tertentu.

Dengan adanya PMK ini, para pelaku bisnis yang terlibat dalam KSO perlu melakukan langkah-langkah strategis untuk memastikan kepatuhan dan mengelola risiko pajak secara efektif. Berikut adalah rekomendasi praktis yang dapat diterapkan:

  • Reviu Kontrak dan Administrasi: Perusahaan yang terlibat dalam KSO yang sudah berjalan harus meninjau ulang perjanjian kerja sama mereka untuk memastikan keselarasan dengan kriteria dalam Pasal 3 PMK 79/2024. KSO yang memenuhi kriteria tersebut harus segera mengurus NPWP dan PKP atas nama KSO.

  • Perencanaan Kontrak yang Matang: Sejak tahap pra-kontrak, para pihak harus menyusun perjanjian KSO dengan klausul yang eksplisit dan detail, terutama mengenai pembagian hak, kewajiban, dan pola bagi hasil. Hal ini sangat penting untuk meminimalkan risiko multitafsir dan sengketa di kemudian hari.1 Keterlibatan ahli pajak sejak awal adalah langkah preventif yang sangat dianjurkan.

  • Adaptasi dengan Sistem Coretax: KSO perlu bersiap menghadapi implementasi sistem Coretax DJP yang akan mengubah mekanisme pemotongan dan pengkreditan PPh. Bukti potong akan langsung masuk ke akun KSO, sehingga alur administrasi internal harus disesuaikan.

  • Harmonisasi Akuntansi dan Pajak: Perusahaan harus memastikan bahwa pencatatan akuntansi KSO, baik yang menggunakan skema revenue sharing maupun profit sharing, telah sejalan dengan ketentuan PSAK 66/111 dan PSAK 72, serta konsisten dengan perlakuan pajak yang diatur dalam PMK 79/2024.

Karya yang dikutip

  1. Membeda PMK 79-2024 KSO Jilid 2 241204p.pdf

  2. Joint Operation, Pahami Konsep dan Ketentuan Perpajakannya di ..., diakses Agustus 14, 2025, https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/joint-operation

  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 79 Tahun 2024 - Ortax, diakses Agustus 14, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25986

  4. ED PSAK - Blog Staff, diakses Agustus 14, 2025, https://staff.blog.ui.ac.id/martani/files/2011/04/ED_PSAK_66-2013-JULI-23.pdf

  5. PSAK 111 PENGATURAN BERSAMA – Accounting & Finance Corner, diakses Agustus 14, 2025, https://dwimartani.com/psak-111-pengaturan-bersama/

  6. Joint Venture vs Joint Operation: Key Differences Explained | Sprintlaw, diakses Agustus 14, 2025, https://sprintlaw.com.au/articles/joint-venture-vs-joint-operation-key-differences-explained/

  7. AKUNTANSI KERJA SAMA, diakses Agustus 14, 2025, https://www.ksap.org/sap/wp-content/uploads/2018/07/Naskah-Akademis-Akuntansi-Kerja-Sama.pdf

  8. Serba- Serbi Joint Operation dan Aspek Perpajakannya, diakses Agustus 14, 2025, https://artikel.pajakku.com/serba-serbi-joint-operation-dan-aspek-perpajakannya

  9. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 44/PJ./1994 - Ortax, diakses Agustus 14, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/2436

  10. Membedah PMK 79 2024 Pajak untuk Kerja Sama Operasi » - Pratama Indomitra Konsultan, diakses Agustus 14, 2025, https://pratamaindomitra.co.id/webinar/webinar-membedah-pmk-79-2024

  11. Ketentuan Peralihan tentang NPWP bagi Kerja Sama Operasi - Enforce A, diakses Agustus 14, 2025, https://enforcea.com/Blog/ketentuan-peralihan-tentang-npwp-bagi-kerja-sama-operasi

  12. Pemerintah Terbitkan Aturan Perlakuan Perpajakan dalam Kerja Sama Operasi, diakses Agustus 14, 2025, https://www.pajak.go.id/id/siaran-pers/pemerintah-terbitkan-aturan-perlakuan-perpajakan-dalam-kerja-sama-operasi

  13. ---. 2l1JEtt~~ - JDIH Kemenkeu - Kementerian Keuangan, diakses Agustus 14, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/d5956cff-7aed-4d91-9e1c-1e6e9abc4b9c/2024pmkeuangan079.pdf

  14. Bukti Potong PPh - 30 Jan 2025 - Direktorat Jenderal Pajak, diakses Agustus 14, 2025, https://pajak.go.id/sites/default/files/2025-02/Buku%20Manual%20Coretax%202024%20-%20Seri%20Bukti%20Potong%20PPh.pdf

  15. Coretax DJP Mungkinkan Cabang untuk Bikin Bukti Potong PPh - DDTC News, diakses Agustus 14, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1806387/coretax-djp-mungkinkan-cabang-untuk-bikin-bukti-potong-pph

  16. KSO Punya Penghasilan dari Jasa Konstruksi, Begini Aturan PPh Finalnya - DDTC News, diakses Agustus 14, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1806720/kso-punya-penghasilan-dari-jasa-konstruksi-begini-aturan-pph-finalnya

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.