Rabu, 20 Agustus 2025

Pendahuluan: Usaha pegadaian (gadai) melibatkan pemberian pinjaman dengan jaminan barang bergerak. Dari sisi perpajakan, terdapat dua aspek utama yang perlu diperhatikan, yaitu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Penjelasan berikut merinci perlakuan PPN dan PPh atas usaha gadai, baik yang dijalankan oleh orang pribadi maupun berbentuk perusahaan, serta bagaimana perlakuan terhadap barang jaminan (agunan) dari saat diserahkan nasabah hingga bila tidak ditebus (dilelang).

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Layanan Gadai dan Agunan

  • Layanan Gadai sebagai Jasa Keuangan (Bebas PPN): Pada prinsipnya, layanan pinjaman uang dengan jaminan gadai diperlakukan seperti jasa di bidang keuangan/perbankan yang tidak dikenakan PPN[1]. Artinya, pendapatan utama pegadaian dari kegiatan penyaluran pinjaman (termasuk bunga/sewa modal dan biaya administrasi terkait pemberian pinjaman gadai) tidak termasuk objek PPN[1][2]. Putusan Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa biaya administrasi yang dibebankan kepada nasabah atas proses kredit gadai (misalnya biaya penyimpanan dan asuransi barang gadai) bukan objek PPN, karena usaha gadai dipersamakan dengan jasa perbankan yang bebas PPN[1][2]. Dengan demikian, Pegadaian atau perusahaan gadai tidak memungut PPN atas bunga pinjaman maupun biaya administrasi yang merupakan bagian dari layanan pembiayaan gadai.
  • Penyerahan Barang Jaminan Bukan Objek PPN: Ketika nasabah mengajukan pinjaman gadai, ia menyerahkan barang bergerak sebagai jaminan utang. Penyerahan barang jaminan kepada pegadaian ini tidak dianggap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam konteks PPN[3]. Regulasi menegaskan bahwa penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP terutang PPN[3]. Artinya, saat barang diserahkan dan disimpan sebagai agunan, tidak timbul PPN sama sekali. Pegadaian hanya memegang barang tersebut sebagai jaminan, sementara hak milik barang masih pada nasabah sampai ada kegagalan pelunasan. Jadi, nasabah tidak dikenai PPN apapun ketika menitipkan barang jaminan ke pegadaian, dan pegadaian pun tidak menerbitkan faktur pajak pada tahap ini[4].
  • Penjualan Barang Jaminan (Agunan) Jika Nasabah Gagal Menebus: Apabila nasabah tidak melunasi pinjaman hingga jatuh tempo (gagal menebus gadai), pegadaian berhak mengeksekusi agunan tersebut. Barang jaminan akan diambil alih oleh pegadaian dan selanjutnya dijual (misalnya melalui lelang atau penjualan langsung) kepada pihak ketiga untuk menutup piutang pegadaian. Penjualan agunan inilah yang dipandang sebagai transaksi penyerahan BKP yang terutang PPN. Regulasi terbaru (PP No.44 Tahun 2022 jo. PMK No.41/2023) menetapkan bahwa penyerahan hak atas barang jaminan oleh kreditur (pegadaian) kepada pembeli termasuk penyerahan BKP karena perjanjian utang piutang dan terutang PPN[5]. Contohnya, jika pegadaian mengambil alih mobil yang dijaminkan nasabah karena pinjaman gagal dilunasi, lalu menjual mobil tersebut ke pihak lain, penjualan ini objek PPN[5].
  • Mekanisme dan Besarnya PPN atas Penjualan Agunan: PPN atas penjualan barang jaminan (agunan yang diambil alih, sering disebut AYDA/Agunan Yang Diambil Alih) dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh pegadaian (sebagai kreditur)[6]. Pemungutan PPN dilakukan pada saat pegadaian menerima pembayaran dari pembeli agunan[7]. Besarnya PPN yang terutang menggunakan skema final dengan DPP Nilai Lain, yakni sebesar 10% dari tarif PPN normal dikalikan harga jual agunan[8]. Karena tarif PPN normal saat ini 11%, maka PPN final atas penjualan agunan efektif menjadi 1.1% dari harga jual[8]. (Perlu diperhatikan bahwa jika tarif PPN berubah di masa depan – misal menjadi 12% – formula ini berarti PPN final 1.2% dari harga jual). Pegadaian wajib membuat faktur pajak atas penyerahan BKP berupa agunan ini atau dokumen lain yang dipersamakan dengan faktur pajak[9]. Tidak ada PPN yang dipungut pada saat pengambilalihan agunan dari debitur, melainkan PPN baru terutang ketika agunan dijual kepada pihak ketiga[4]. Pihak pembeli agunan yang PKP dapat mengkreditkan PPN 1.1% ini sebagaimana PPN masukan pada umumnya[5][8].

(Catatan: Jika usaha gadai berskala kecil dan belum dikukuhkan sebagai PKP karena omzet di bawah Rp4.8 miliar, maka penjualan agunan oleh pengusaha tersebut praktis tidak dipungut PPN mengingat kewajiban PPN hanya bagi PKP. Namun, begitu omzet melebihi batas, usaha gadai harus PKP dan mengikuti ketentuan PPN di atas.)*

Pajak Penghasilan (PPh) atas Usaha Gadai (Pribadi vs. Badan)

Dari sudut pandang pajak penghasilan, perlakuan berbeda tergantung bentuk usaha gadai dijalankan sebagai perorangan atau badan usaha (perusahaan):

  • Orang Pribadi sebagai Pengusaha Gadai: Jika usaha pegadaian dimiliki oleh orang pribadi (misalnya pedagang gadai perorangan yang berizin OJK), maka laba atau penghasilan neto dari usaha tersebut dikenai PPh Orang Pribadi dengan tarif progresif sesuai Pasal 17 UU PPh. Bracket tarif PPh OP Indonesia saat ini adalah 5%, 15%, 25%, 30% hingga 35% (tertinggi untuk penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun)[10]. Wajib Pajak orang pribadi harus menghitung penghasilan neto dari usaha gadai (pendapatan bunga, biaya administrasi, dll dikurangi biaya-biaya operasional) lalu menerapkan tarif progresif tersebut. Alternatif bagi WP kecil: Apabila omzet usaha gadai masih di bawah Rp4.8 miliar setahun, pengusaha pribadi tersebut dapat memanfaatkan PPh Final UMKM (Peraturan Pemerintah 23/2018) dengan tarif 0.5% dari omzet bruto per bulan sebagai pelunasan PPh final. Skema PPh final UMKM ini membebaskan pengusaha kecil dari perhitungan pajak berdasarkan laba, namun jika memilih ini maka ia tidak diperkenankan mengkreditkan pajak dan tidak dapat mengklaim rugi fiskal. Pilihan ini umum digunakan usaha mikro/kecil agar administrasi pajak lebih sederhana.
  • Badan Usaha/Perusahaan Pegadaian: Bila usaha gadai berbentuk badan (PT, CV, Koperasi, termasuk BUMN seperti PT Pegadaian (Persero)), maka dikenai PPh Badan atas laba kena pajak perusahaan tersebut. Tarif PPh Badan saat ini adalah flat 22% dari Penghasilan Kena Pajak[11]. Perusahaan dengan peredaran bruto sampai Rp50 miliar mendapat fasilitas pengurangan tarif 50% untuk bagian penghasilan kena pajak sampai dengan Rp4.8 miliar (efektif tarif 11% untuk lapisan laba tersebut)[11]. Perusahaan pegadaian harus menyusun laporan laba-rugi fiskal; pendapatan berupa bunga gadai dan jasa terkait menjadi objek PPh Badan (dikategorikan penghasilan operasional perusahaan), dikurangi biaya-biaya (seperti bunga dana, gaji pegawai, penyusutan, dll) untuk menghitung laba kena pajak. Contoh: PT Pegadaian sebagai BUMN tentunya dikenai PPh Badan 22% atas keuntungannya setiap tahun.
  • Pendapatan Bunga Gadai sebagai Objek PPh: Pendapatan yang diperoleh pegadaian dari jasa gadai – terutama bunga atau imbalan atas pinjaman (sering disebut sewa modal di Pegadaian) – merupakan penghasilan biasa yang tidak termasuk kategori PPh final. Artinya, bunga tersebut digabung dalam penghitungan laba usaha dan dikenai PPh umum (progresif bagi OP, atau tarif badan bagi PT). Berbeda dengan bunga deposito atau obligasi yang dikenai PPh Final, bunga pinjaman gadai bukan objek PPh final. Apabila peminjam (nasabah) adalah perorangan, ia tidak melakukan pemotongan apa pun atas bunga yang dibayarnya. Namun, jika nasabah yang berutang adalah entitas/badan usaha, perlu diperhatikan ketentuan PPh Pasal 23: pembayaran bunga pinjaman kepada lembaga selain bank umumnya dikenai pemotongan PPh 23 sebesar 15% dari jumlah bruto bunga[12]. Dengan kata lain, bunga pinjaman yang dibayarkan ke perusahaan gadai dapat dipotong PPh 23 15% oleh pembayar (debitor) jika ia merupakan pemotong pajak. Pengecualian: Apabila kreditur gadai dikategorikan sebagai lembaga keuangan yang menyalurkan pinjaman (semacam perusahaan pembiayaan yang berizin), maka bunga tersebut dikecualikan dari pemotongan PPh 23, mirip perlakuan bunga pinjaman bank[13]. Dalam praktiknya, PT Pegadaian Persero sebagai lembaga keuangan negara tidak dipotong PPh 23 oleh nasabah perorangan (karena perorangan bukan pemotong) maupun oleh nasabah badan tertentu karena dianggap institusi keuangan khusus. Tetapi untuk pegadaian swasta kecil yang memberi pinjaman ke perusahaan lain, aturan pemotongan PPh 23 atas bunga bisa berlaku[12]. Bagi penerima penghasilan (usaha pegadaian), PPh 23 yang dipotong tersebut dapat dikreditkan terhadap PPh terutang tahunannya.
  • Kewajiban PPh Lain (Withholding Tax): Selain membayar pajak atas usahanya sendiri, penyelenggara usaha gadai juga memiliki kewajiban sebagai pemotong/pemungut PPh terhadap transaksi tertentu. Misalnya, PPh Pasal 21 atas gaji karyawan pegadaian, PPh Pasal 23 atas pembayaran jasa kepada vendor (contoh: jasa keamanan atau sewa gudang dikenai PPh 23), dan PPh Pasal 4 ayat (2) final jika membayar sewa ruko/cabang (10% final atas sewa tanah/bangunan). Kewajiban withholding tax ini berlaku umum layaknya perusahaan pada umumnya, tidak ada perlakuan khusus hanya karena bergerak di bidang gadai.

Perlakuan terhadap Nasabah dan Barang Jaminannya

Dari sisi nasabah (peminjam), penting memahami apa yang terjadi terhadap barang jaminan yang diserahkan dan implikasinya:

  • Proses Gadai dan Kepemilikan Barang: Saat nasabah menyerahkan barangnya sebagai jaminan gadai, status barang tersebut hanya dititipkan pada pegadaian sebagai agunan. Nasabah tetap pemilik barang secara hukum, namun pegadaian memegang hak gadai atas barang itu. Tidak ada perpindahan hak milik permanen saat barang digadaikan, sehingga tidak ada konsekuensi pajak (baik PPN maupun PPh) bagi nasabah pada tahap ini. Nasabah hanya menerima uang pinjaman, dan akan membayar kembali pinjaman ditambah bunga/sewa modal sesuai perjanjian.
  • Jika Pinjaman Dilunasi (Barang Ditebus): Apabila nasabah melunasi pinjaman beserta bunga dan biaya administrasinya sebelum atau pada jatuh tempo, ia berhak menebus kembali barang jaminan. Pegadaian akan mengembalikan barang tersebut kepada nasabah. Dalam skenario ini, bagi nasabah pribadi tidak ada implikasi pajak apapun – ia hanya mengembalikan utang dengan bunganya. Bunga yang dibayar bukan objek pajak bagi nasabah (justru merupakan penghasilan bagi pegadaian seperti dijelaskan di atas). Bagi nasabah yang merupakan pelaku usaha, bunga yang dibayar atas pinjaman gadai dapat dibukukan sebagai beban (biaya finansial) yang mengurangi laba kena pajak usahanya, sehingga bersifat deductible seperti halnya bunga pinjaman usaha pada umumnya.
  • Jika Pinjaman Gagal Dilunasi (Barang Tidak Ditebus): Inilah kondisi di mana barang jaminan dieksekusi oleh pegadaian. Begitu lewat tenggat penebusan dan nasabah wanprestasi, pegadaian akan mengambil alih hak atas barang (menjadi Agunan yang Diambil Alih/AYDA). Selanjutnya barang tersebut dijual oleh pegadaian, biasanya melalui lelang atau penjualan langsung, guna melunasi sisa utang nasabah[14]. Hasil penjualan akan digunakan oleh pegadaian untuk menutup piutang nasabah: pertama-tama untuk membayar sisa pokok pinjaman, bunga yang terakumulasi, dan biaya administrasi atau lelang (jika ada). Perlakuan kelebihan atau kekurangan hasil penjualan:
  • Jika hasil penjualan lebih besar daripada total utang plus biaya, kelebihan tersebut harus dikembalikan kepada nasabah. Ini diatur dalam ketentuan fidusia/gadai bahwa hak pemilik asal dilindungi atas sisa hasil lelang. Uang kelebihan ini bukan merupakan penghasilan yang dikenai pajak bagi nasabah, karena hakikatnya adalah pengembalian sisa nilai barang miliknya sendiri. Contoh: Nasabah A berutang Rp5 juta, dengan jaminan emas. Jika emas dilelang pegadaian laku Rp6 juta, setelah utang + bunga + biaya (misal total Rp5,5 juta) dilunasi, sisa Rp500 ribu diberikan ke A. Nasabah A tidak dipajak atas penerimaan Rp500 ribu tersebut (bukan objek PPh), karena itu bukan keuntungan usaha melainkan pengembalian hak atas barangnya.
  • Jika hasil penjualan tidak mencukupi menutup utang (misal barang laku di bawah nilai pinjaman tertunggak), biasanya pegadaian akan menanggung kekurangannya atau menagih sisa kepada nasabah tergantung perjanjian. Dalam praktik Pegadaian Persero, umumnya sistem gadai tanpa recourse ke nasabah: artinya jika harga lelang kurang, pegadaian menerima kerugian tersebut (oleh karena itu mereka menetapkan taksiran awal lebih rendah dari nilai pasar barang sebagai mitigasi). Bagi nasabah, kekurangan ini mungkin dianggap hangus dan ia tidak lagi berutang (sesuai perjanjian gadai yang lazim, hutang dianggap lunas dengan eksekusi barang). Tidak ada implikasi pajak bagi nasabah dalam hal ini, selain kehilangan barang miliknya. Bagi pegadaian, kekurangan tersebut pada dasarnya menjadi kerugian piutang (bad debt) yang dapat dibebankan sebagai biaya pada laporan keuangan fiskal mereka.
  • Singkatnya tentang Pajak Nasabah: Nasabah tidak dikenai pajak apapun secara langsung dalam transaksi gadai. Uang pinjaman yang diterima bukan objek pajak (karena utang, bukan penghasilan). Menyerahkan barang jaminan bukan penyerahan kena pajak. Membayar bunga pinjaman bukan objek pajak (justru beban baginya). Dan apabila barang dilelang, nasabah hanya menerima sisa hasil penjualan (jika ada) yang merupakan pelunasan hak miliknya sendiri. Satu-satunya pajak yang muncul terkait transaksi gadai ditanggung oleh pegadaian (PPN 1.1% atas penjualan barang gadai ke pihak ketiga[8] dan PPh atas pendapatan bunga/keuntungan usahanya). Nasabah hanya menanggung beban bunga dan biaya administrasi yang memang bagian dari perjanjian pinjaman, bukan dalam bentuk pajak.

Kesimpulan

Usaha pegadaian memiliki karakteristik perpajakan khusus: PPN tidak dikenakan atas jasa pemberian pinjamannya (disejajarkan dengan jasa keuangan/perbankan), namun PPN dikenakan secara final (saat ini 1.1%) atas penjualan barang jaminan yang diambil alih karena kredit macet[8]. Sementara itu, dari sisi PPh, pendapatan pegadaian (bunga dan lain-lain) diperlakukan sebagai penghasilan biasa yang dikenai PPh umum (tarif progresif OP atau tarif badan 22%[11]), kecuali pengusaha kecil yang boleh memilih skema PPh final UMKM. Tidak ada PPh final khusus yang dikenakan atas pendapatan bunga gadai, sehingga laba usaha gadai dihitung dan dilaporkan layaknya usaha biasa. Nasabah gadai tidak menanggung pajak langsung apapun dalam proses gadai; implikasi pajak lebih banyak pada pihak penyelenggara gadai. Dengan pemahaman ini, baik pegadaian perorangan maupun berbentuk perusahaan dapat memenuhi kewajiban pajaknya dengan benar, dan nasabah pun memahami bahwa pajak tidak dibebankan saat menggadaikan barang mereka kecuali secara tidak langsung melalui mekanisme di atas.

Sumber:

·         Peraturan Pemerintah No.44 Tahun 2022 & PMK No.41/PMK.03/2023 (PPN atas penyerahan agunan gadai)[5][8][3]

·         Putusan Pengadilan Pajak/Mahkamah Agung (layanan gadai bebas PPN sebagai jasa keuangan)[1][2]

·         Ortax & literatur pajak (ketentuan PPh Pasal 23 atas bunga pinjaman)[12][13]

·         Artikel edukasi Pegadaian (tarif pajak penghasilan orang pribadi dan badan)[10][11]

·         Konsultasi DDTCNews (contoh kasus penjualan agunan mobil oleh perusahaan gadai)[14][6]


[1] [2] Sengketa Penentuan Pendapatan Administrasi Usaha Gadai Jadi Objek PPN

https://news.ddtc.co.id/literasi/resume-putusan/25834/sengketa-penentuan-pendapatan-administrasi-usaha-gadai-jadi-objek-ppn

[3] MUC | Peraturan Pemerintah Nomor 44 TAHUN 2022

https://muc.co.id/id/regulation/3995/peraturan-pemerintah-nomor-44-tahun-2022

[4] [5] [6] [7] [8] [9] [14] Perusahaan Jual Jaminan Gadai, Bagaimana Ketentuan PPN-nya?

https://news.ddtc.co.id/review/konsultasi/1807552/perusahaan-jual-jaminan-gadai-bagaimana-ketentuan-ppn-nya

[10] [11] Pajak Penghasilan: Jenis, Tarif, dan Batas Pembayarannya

https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/keuangan/pajak-penghasilan

[12] [13] Wajib Tahu! Aturan PPh 23 atas Bunga Pinjaman - Ortax

https://ortax.org/pph-23-atas-bunga-pinjaman

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.