Rabu, 20 Agustus 2025

Bab 1: Pajak Internasional Suatu Pengantar

Bab pertama buku ini memberikan pengantar tentang pajak internasional dengan bahasa yang mudah dipahami. Intinya, pajak adalah uang yang dipungut negara untuk membiayai kebutuhan bersama, seperti membangun sekolah dan rumah sakit. Nah, dalam konteks internasional, masalah muncul ketika orang atau perusahaan berpenghasilan di lebih dari satu negara. Tiap negara merasa berhak memungut pajak, sehingga satu penghasilan bisa kena pajak dua kali (inilah yang disebut pajak berganda). Bagi orang biasa, ini tentu terasa tidak adil, seperti kalau kamu dapat uang jajan yang sama tapi ditagih dua kali oleh dua orang berbeda. Pemerintah-pemerintah di dunia sepakat bahwa situasi ini tidak bagus karena bisa menghambat pertukaran barang, jasa, dan investasi antarnegara.

Pada bab ini dijelaskan bahwa negara asal penghasilan dan negara domisili si penerima penghasilan sering berebut mengenakan pajak. Misalnya, Bayu warga negara Indonesia bekerja di Malaysia. Gajinya mungkin mau dipajaki di Malaysia (karena dia kerja di sana) dan di Indonesia (karena dia orang Indonesia). Tanpa aturan khusus, Bayu bisa kena pajak dua kali. Oleh karena itu, muncul konsep perjanjian pajak internasional untuk mencegah pajak berganda. Pemerintah harus bekerja sama agar pembagian “jatah” pajak adil. Ibaratnya, kedua negara tersebut berunding: “Kamu pajaki bagian ini, aku pajaki bagian itu, sisanya bebas.” Dengan begitu, Bayu tidak perlu bayar pajak dua kali untuk gaji yang sama. Bab ini menekankan pentingnya kerjasama antarnegara agar wajib pajak (orang yang bayar pajak) tidak dibebani ganda, sehingga kegiatan lintas negara bisa berjalan lancar.

Bab 2: Perkembangan dan Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Bab kedua menceritakan bagaimana perjanjian pajak antarnegara berkembang dari waktu ke waktu dan model-model apa yang dijadikan acuan. Dulu, masing-masing negara membuat aturan sendiri-sendiri, sehingga ketika perusahaan mulai berbisnis lintas negara, terjadi banyak bentrok aturan dan pajak dobel. Agar lebih seragam, organisasi internasional membuat model perjanjian pajak. Dua model terkenal adalah Model OECD (umumnya diikuti negara-negara maju) dan Model PBB (UN Model) yang memperhatikan kepentingan negara berkembang. Model-model ini seperti template atau contoh kontrak yang bisa dipakai saat dua negara mau membuat perjanjian pajak. Dengan model, isinya jadi lebih standar dan mudah dipahami kedua pihak.

Contoh nyata: Indonesia punya banyak perjanjian pajak dengan negara lain, misalnya dengan Jepang atau Belanda. Saat menyusun perjanjian-perjanjian itu, Indonesia dan negara pasangannya biasanya mengacu pada model OECD atau PBB sebagai panduan. Model OECD cenderung memberi hak pajak lebih besar ke negara tempat perusahaan berasal (negara domisili), sementara Model PBB memberi hak lebih ke negara tempat penghasilan diperoleh (negara sumber) karena ingin melindungi penerimaan pajak negara berkembang. Bayangkan dua negara duduk bersama dengan buku panduan model di tangan, lalu mendiskusikan pasal-pasalnya agar sesuai kebutuhan mereka. Bab ini juga menjelaskan sejarahnya, misalnya bagaimana model perjanjian pajak pertama kali muncul sekitar tahun 1920-an dan terus disempurnakan hingga sekarang. Jadi secara sederhana, bab ini menjelaskan bahwa perjanjian pajak internasional dibentuk agar semua negara “bermain” dengan aturan yang serupa, sehingga adil dan menghindari pajak berganda.

Bab 3: Penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dan Persyaratan Administratif

Bab ketiga membahas bagaimana cara menerapkan perjanjian pajak berganda dalam praktik, termasuk syarat-syarat administratifnya. Meskipun negara sudah punya perjanjian, orang atau perusahaan yang mau menikmati manfaat perjanjian itu harus mengikuti prosedur tertentu. Bahasa mudahnya, ada tata cara birokrasi yang perlu dipenuhi agar tarif pajak lebih rendah atau pembebasan pajak dalam perjanjian bisa berlaku. Salah satu hal utama adalah bukti domisili pajak. Artinya, seseorang atau perusahaan harus membuktikan bahwa ia benar penduduk (subjek pajak) di salah satu negara yang menandatangani perjanjian. Biasanya buktinya berupa surat keterangan domisili pajak (sering disebut "SKD" atau "Certificate of Domicile") dari kantor pajak negaranya sendiri.

Sebagai contoh nyata: Perusahaan A dari Jepang menerima pembayaran royalti dari Indonesia. Tanpa perjanjian, Indonesia mungkin mengenakan pajak 20% atas pembayaran itu. Namun, menurut perjanjian pajak Indonesia-Jepang, pajak royalti bisa lebih rendah, misalnya 10%. Untuk menikmati tarif 10% ini, Perusahaan A harus mengajukan SKD ke kantor pajak Indonesia, yang membuktikan perusahaan tersebut benar terdaftar sebagai wajib pajak di Jepang. Dengan surat itu, barulah Indonesia mau memberikan tarif pajak yang lebih rendah sesuai perjanjian. Selain SKD, bab ini menjelaskan tahap-tahap lain seperti: memastikan jenis penghasilannya memang diatur dalam perjanjian, mengisi formulir aplikasi jika perlu, dan mengikuti tenggat waktu pelaporan. Intinya, meski perjanjiannya ada, wajib pajak harus aktif mengurus administrasinya supaya keuntungan perjanjian (seperti pajak lebih ringan) bisa dinikmati. Pemerintah kedua negara pun bekerja sama memverifikasi informasi. Bab ini mengibaratkan penerapan perjanjian pajak seperti proses klaim garansi: kita perlu memenuhi syarat dan prosedur tertentu agar “promo” pajak yang sudah dijanjikan bisa digunakan.

Bab 4: Interpretasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Bab keempat menjelaskan bagaimana cara membaca dan memahami isi perjanjian pajak dengan benar. Meskipun perjanjian sudah dibuat, kadang bahasa hukum di dalamnya bisa bikin bingung atau ada area abu-abu. Oleh karena itu, dibutuhkan panduan interpretasi (cara menafsirkan) supaya kedua negara punya pemahaman yang sama. Bab ini menganalogikan interpretasi perjanjian seperti menerjemahkan pesan rahasia – kita perlu kunci dan konteks yang tepat. Salah satu kunci penting adalah Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian (Vienna Convention on the Law of Treaties), yang memberi aturan umum cara menafsirkan perjanjian internasional: harus dengan itikad baik, berdasarkan arti biasa kata-kata perjanjian, dan sesuai konteks serta tujuan perjanjian itu.

Dengan kata lain, negara tidak boleh menafsirkan seenaknya hanya demi untung sendiri. Bab ini juga menyebut Commentary OECD – semacam buku penjelasan resmi atas pasal-pasal model OECD – yang sering dijadikan rujukan untuk memahami maksud suatu pasal. Contohnya, jika dalam perjanjian tertulis kata "penduduk" atau "resident" dan ada keraguan siapa saja yang termasuk, petugas pajak akan melihat definisi di perjanjian (biasanya ada pasal definisi). Kalau masih bingung, mereka bisa membaca Commentary OECD atau melihat praktik umum internasional. Contoh nyata: pernah ada kasus seorang warga negara asing mengklaim bebas pajak di Indonesia karena menganggap dirinya bukan "penduduk Indonesia" menurut perjanjian, padahal ia tinggal lebih dari 183 hari di sini. Bagaimana memutuskan? Petugas pajak menggunakan aturan perjanjian (biasanya pasal "Resident") dan panduan interpretasi global. Ternyata, menurut definisi perjanjian, kalau seseorang tinggal lebih dari 183 hari di suatu negara, dia dianggap penduduk untuk urusan pajak di negara itu, kecuali ada aturan tie-breaker lain. Dengan pedoman ini, sengketa bisa diselesaikan: orang tersebut harus dianggap penduduk Indonesia untuk keperluan pajak tahun itu. Jadi bab ini menegaskan pentingnya aturan main dalam memahami teks perjanjian supaya kedua negara sejalan. Ibarat membaca peta harta karun, ada legenda atau penjelasan simbol-simbolnya; begitu pula perjanjian pajak ada “legenda”-nya agar tak salah mengerti.

Bab 5: Subjek Pajak yang Dicakup dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Bab kelima membahas siapa saja yang berhak memanfaatkan perjanjian pajak. Dalam bahasa sederhana, tidak semua orang bisa tiba-tiba datang dan minta tarif pajak rendah pakai perjanjian. Perjanjian hanya berlaku untuk "subjek pajak" dari kedua negara yang menandatangani. Subjek pajak di sini biasanya berarti penduduk (orang pribadi atau badan usaha) yang menurut undang-undang pajak setempat dianggap tinggal atau berdomisili di negara tersebut. Bab ini menjelaskan istilah "Person" dan "Resident" sesuai perjanjian. Misalnya, person bisa mencakup orang, perusahaan, trust, dan sebagainya. Lalu "resident" didefinisikan sebagai siapa yang kena pajak karena domisili, tempat tinggal, manajemen, atau kriteria sejenis di suatu negara.

Hal menarik di bab ini adalah pembahasan isu khusus, seperti orang dengan dua kewarganegaraan atau dua domisili pajak (dual resident). Jika Budi dianggap penduduk pajak oleh Indonesia dan Malaysia (karena mungkin tinggal di dua tempat), aturan tie-breaker di perjanjian akan menentukan dia dianggap penduduk negara mana untuk penerapan perjanjian (misalnya dilihat dari rumah tetap, pusat kepentingan vital, dll). Bab ini juga menyinggung penyalahgunaan perjanjian – contohnya, perusahaan "boneka" yang didirikan hanya untuk memanfaatkan perjanjian. Misalnya, sebuah perusahaan di negara X mendirikan perusahaan kecil di negara Y hanya agar pembayaran dari Indonesia ke negara Y dapat tarif pajak 0% (karena Indonesia punya perjanjian pajak dengan Y). Padahal, pemilik sejatinya ada di X yang mungkin tarif pajaknya tinggi atau tidak ada perjanjian. Ini namanya treaty shopping, semacam akal-akalan untuk memanfaatkan celah perjanjian. Bab 5 menjelaskan bahwa otoritas pajak waspada terhadap trik ini. Mereka akan memeriksa apakah subjek pajak benar-benar “berhak” menurut perjanjian (beneficial owner dan tidak sekadar perantara). Secara sederhana: perjanjian pajak hanya berlaku bagi pemain asli, bukan pemain pura-pura. Contoh nyata: Seorang ekspatriat dari negara mitra perjanjian, katakanlah Jepang, bekerja di Indonesia. Karena dia penduduk pajak Jepang (bukan Indonesia), dia bisa minta manfaat perjanjian Indonesia-Jepang. Tapi kalau ada orang dari negara lain yang pura-pura mengaku Jepang padahal tidak, tentu tidak boleh. Intinya, bab ini memastikan hanya pihak yang seharusnya yang bisa menikmati keringanan pajak dari P3B, dan menutup celah kecurangan.

Bab 6: Bentuk Usaha Tetap (BUT)

Bab keenam memperkenalkan konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Permanent Establishment (PE). Istilah ini penting karena sering muncul di perjanjian pajak. Gampangnya, BUT adalah kehadiran atau tempat usaha permanen milik perusahaan asing di suatu negara. Jika perusahaan luar negeri punya BUT di Indonesia, Indonesia boleh memperlakukan BUT itu seperti perusahaan lokal untuk urusan pajak atas laba yang dihasilkan di Indonesia. Sebaliknya, kalau tidak ada BUT, biasanya Indonesia tak boleh memajaki laba usaha perusahaan asing itu (kecuali pajak tertentu seperti pajak penghasilan final atas transaksi tertentu, tapi itu di luar konteks perjanjian).

Bab ini menjelaskan ciri-ciri yang membuat suatu kegiatan bisnis dianggap BUT. Contohnya ada tempat usaha tetap seperti kantor, pabrik, toko, atau gudang. Bahkan kalau perusahaan asing punya agen di Indonesia yang bisa bertindak mengikat kontrak atas nama dia, itu bisa dianggap BUT (disebut dependent agent). Ada juga BUT yang sifatnya proyek, misalnya proyek konstruksi yang berlangsung lebih dari durasi tertentu (umumnya 6 bulan atau 12 bulan sesuai perjanjian). Kalau proyeknya pendek di bawah ambang waktu itu, tidak dianggap BUT.

Mari ilustrasikan dengan contoh: Perusahaan ABC dari Jerman menjual mesin ke Indonesia. Jika ABC hanya kirim mesinnya dari Jerman lalu jual putus, di Indonesia mereka tak punya kantor atau pegawai, berarti ABC tidak punya BUT di Indonesia. Jadi, menurut perjanjian, Indonesia tidak boleh memajaki laba bisnis dari penjualan mesin itu (pajak penghasilan atas labanya tidak kena, meski mungkin ada bea masuk atau PPN impor terpisah). Sebaliknya, kalau ABC buka kantor cabang di Jakarta untuk pasarkan mesinnya dan kantor itu aktif berbisnis, kantor tersebut adalah BUT. Akibatnya, Indonesia berhak memajaki keuntungan yang diperoleh ABC dari penjualan mesinnya di Indonesia melalui kantor itu. Bab ini memudahkan konsep ini dengan bahasa sederhana: BUT itu semacam “toko atau kantor permanen” perusahaan luar negeri di sini. Selama “toko” itu ada, pemerintah Indonesia boleh minta bagian pajaknya dari keuntungan toko tersebut. Kalau cuma jual lewat internet tanpa ada kehadiran fisik (atau sekarang juga diatur soal kehadiran ekonomi signifikan dalam perkembangan baru), itu di luar definisi BUT tradisional sehingga bisa bebas pajak penghasilan di negara kita. Singkatnya, bab ini menegaskan kapan negara sumber (tempat usaha) boleh mengenakan pajak – yaitu kalau usaha asing tersebut telah menjejakkan “kakinya” secara bermakna di negara sumber.

Bab 7: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Laba Usaha

Bab ketujuh membahas pasal dalam P3B yang mengatur Laba Usaha (business profits). Ini masih lanjutan dari konsep BUT tadi. Aturannya secara umum: laba usaha dari sebuah perusahaan hanya akan dipajaki di negara asal perusahaan, kecuali kalau perusahaan itu menjalankan usaha di negara lain lewat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di sana. Jika ada BUT, negara tempat BUT berada boleh memajaki laba yang dihasilkan BUT tersebut. Bab ini menjelaskan struktur pasal tentang laba usaha, perbandingan sebelum dan sesudah tahun 2010 (karena pernah ada penyesuaian model OECD di 2010), dan isu-isu tentang bagaimana mengklasifikasikan suatu penghasilan apakah masuk “laba usaha” atau jenis lain.

Bahasa simpelnya, bab ini bilang begini: Kalau kamu perusahaan asing tanpa markas fisik di sini, tenang, laba mu aman dari pajak negara sini. Tapi begitu kamu buka cabang atau kantor tetap, negara sini punya hak pajak. Contoh realita: Perusahaan software dari Amerika menjual aplikasinya secara online ke pengguna di Indonesia. Apakah Indonesia dapat memajaki keuntungannya? Jika perusahaan itu tidak ada BUT di Indonesia (tidak ada kantor atau server permanen di sini misalnya), menurut perjanjian, keuntungan penjualan software tersebut hanya boleh dikenakan pajak di Amerika (negara asal perusahaan). Indonesia tidak bisa serta-merta menagih pajak penghasilan atas penjualan itu. Namun, jika perusahaan yang sama buka kantor perwakilan di Jakarta untuk pemasaran dan support pelanggan, kantor itu adalah BUT. Laba penjualan yang terkait aktivitas kantor Jakarta itu dapat dikenai pajak Indonesia sesuai porsi kontribusi kantor tersebut. Bab ini juga menyinggung soal penghitungan laba yang bisa dipajaki. Walaupun tidak dihitung detail di ringkasan ini, intinya negara sumber hanya boleh pajaki laba BUT seolah-olah BUT itu perusahaan independen tersendiri. Jadi, bab 7 menegaskan kembali prinsip adil: tanpa kehadiran usaha tetap, tidak ada pajak di negara sumber; dengan kehadiran tetap, ada pajak tapi hanya atas laba yang terhubung dengan kehadiran itu. Bagi orang awam, cukup diingat gambaran: punya toko fisik = bayar pajak di situ, jual jarak jauh tanpa toko = pajaknya di negara asal saja.

Bab 8: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari Kegiatan Pelayaran, Transportasi Perairan Darat, dan Penerbangan

Bab kedelapan mengupas aturan khusus dalam perjanjian pajak untuk penghasilan dari kegiatan transportasi internasional, seperti perusahaan kapal laut, kapal sungai, dan pesawat terbang. Bidang ini diatur tersendiri (biasanya Pasal 8 di model OECD/UN) karena sifat bisnisnya lintas negara. Aturan umumnya adalah keuntungan dari operasional kapal atau pesawat dalam jalur internasional hanya dikenai pajak di negara di mana perusahaan itu berkedudukan (domisili perusahaan). Jadi berbeda dengan bisnis biasa, di sini negara-negara tempat kapal berlabuh atau pesawat mendarat tidak memajaki keuntungannya, dengan asumsi sudah dipajaki di negara asal perusahaan transportasi itu.

Contohnya begini: Maskapai penerbangan Garuda Indonesia terbang ke berbagai negara – Singapura, Jepang, Australia. Tiket terjual di banyak negara, tapi keuntungan dari rute internasional Garuda hanya akan dikenai pajak di Indonesia (negara asal Garuda), tidak dipajaki lagi di Singapura, Jepang, atau Australia menurut perjanjian pajak yang mengikuti ketentuan umum ini. Demikian pula, maskapai Singapore Airlines terbang ke Jakarta; keuntungan dari penerbangan itu hanya pajak di Singapura, Indonesia tidak menagih pajak penghasilan dari operasional tersebut. Hal yang sama berlaku untuk perusahaan pelayaran kapal kargo misalnya. Ini masuk akal karena kalau setiap negara yang disinggahi kapal/pesawat memungut pajak, betapa rumitnya dan bisa-bisa ganda lagi. Dengan perjanjian model ini, pajak cukup dipungut sekali di negara asal perusahaan, sehingga perusahaan transportasi bisa beroperasi internasional tanpa repot urus pajak di tiap negara tujuan. Bab ini menjelaskan juga istilah "jalur internasional" (international traffic), pokoknya selama transportasinya lintas batas (bukan domestik dalam satu negara saja), aturan khusus ini berlaku. Bagi awam, cukup dibayangkan: pesawat/kapal itu seperti burung yang terbang keliling, sangkarnya (negara asal) yang bertanggung jawab pajaknya, bukan setiap pohon yang ia hinggapi.

Bab 9: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Dividen

Bab kesembilan fokus pada dividen, yaitu pembagian laba kepada pemegang saham. Dalam konteks lintas negara, misalkan perusahaan di negara A membagikan dividen kepada investor di negara B, dua negara sama-sama ingin pajak: negara A (sebagai sumber dividen) biasanya mau potong pajak (disebut pajak withholding), negara B (domisili si penerima) juga menganggap itu penghasilan kena pajak. Perjanjian pajak membuat kesepakatan agar pajak di negara sumber (A) atas dividen dibatasi tarifnya dan negara domisili (B) bisa mengatur kredit pajak atau sejenis agar tidak dobel. Bab ini menjelaskan struktur pasal dividen (biasanya Pasal 10 P3B) dan perbandingan antara model OECD, UN, dan bahkan US Model, karena masing-masing mungkin beda tarif standar atau ketentuan khusus.

Secara sederhana: perjanjian pajak menurunkan tarif pajak potong atas dividen. Tanpa perjanjian, Indonesia misalnya memotong pajak 20% dari dividen yang dibayar ke luar negeri. Dengan perjanjian, tarifnya bisa turun jadi 10% atau 15% tergantung negosiasi. Contoh nyata: Perusahaan di Indonesia kirim dividen Rp100 juta ke pemegang sahamnya di Jepang. Tanpa perjanjian, Indonesia potong Rp20 juta (20%). Dengan perjanjian Indonesia-Jepang, tarif maksimal mungkin 10%. Jadi Indonesia cukup potong Rp10 juta. Investor di Jepang lalu lapor pajaknya di Jepang, dan bisa minta kredit atas Rp10 juta yang sudah dipotong di Indonesia, sehingga tidak bayar pajak dua kali. Bab ini juga membahas situasi khusus, misalnya dividen ke pemerintah asing atau badan tertentu bisa dibebaskan (beberapa perjanjian memberi 0% untuk pemegang saham berupa pemerintah atau bank sentral). Ibaratnya, bab ini seperti aturan main bagi dua anak yang berbagi permen: kalau perusahaan kasih “permen manis” (dividen uang) ke investor asing, negara asal boleh ambil gigitan kecil saja (pajak rendah), sisanya biar investor bawa pulang dan mungkin diurus di negaranya. Hal ini membuat investasi antarnegara lebih menarik karena investor tahu tidak akan digigit pajak terlalu besar di negara sumber.

Bab 10: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Bunga

Bab kesepuluh membahas bunga (interest) dalam konteks perjanjian pajak. Bunga di sini maksudnya penghasilan dari pinjaman uang, obligasi, atau instrumen utang lainnya. Mirip dengan dividen, pembayaran bunga dari satu negara ke pihak di negara lain biasanya dikenai pajak potong di negara sumber (negara si pembayar bunga). Perjanjian pajak mengatur agar tarif pajak potong atas bunga ini dibatasi, tidak terlalu tinggi, supaya pihak pemberi pinjaman di luar negeri tidak terbebani dobel.

Misalnya, perusahaan di Indonesia meminjam uang dari bank di Singapura. Atas bunga yang dibayar Indonesia ke Singapura, Indonesia biasanya memotong pajak. Tanpa perjanjian mungkin 20%. Tetapi karena ada P3B Indonesia-Singapura, tarif pajak bunga bisa dibatasi misalnya maksimal 10%. Artinya saat perusahaan Indonesia bayar bunga, hanya 10% dari jumlah bunga yang dipotong sebagai pajak untuk Indonesia, bukan 20% penuh. Bank di Singapura nantinya lapor penghasilan bunga ini ke otoritas pajak Singapura dan jika sesuai perjanjian, Singapura mungkin kasih kredit atau pengecualian agar bunga itu tidak kena pajak lagi di sana (atau kalau kena, yang sudah dipotong diperhitungkan). Bab ini juga menyebut definisi bunga, jenis-jenis bunga (dari obligasi, simpanan bank, dll.), dan pengecualian jika penerima bunganya punya BUT di negara sumber (kalau bunganya terkait kegiatan BUT, maka perlakuannya beda, masuk pasal laba usaha). Intinya, P3B membuat pemberi pinjaman merasa aman karena tahu tarif pajak di negara peminjam terbatas. Contoh lain: Si A di Kanada punya obligasi perusahaan Indonesia dan menerima bunga. Karena ada perjanjian, perusahaan Indonesia potong pajak, misal hanya 10%. A senang karena dapat 90% bersih. Pemerintah Kanada pun tidak keberatan karena bisa memberi kredit pajak 10% itu ke A, sehingga A tidak bayar lagi di Kanada (kalau sistemnya kredit). Bagi pembaca awam: bab ini seperti mengatur agar “ongkos” meminjam uang antarnegara tidak mahal gara-gara pajak dobel. Yang meminjam tetap bayar pajak secukupnya ke negara peminjam, tapi pemberi pinjaman tidak dibuat rugi dua kali.

Bab 11: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Royalti

Bab kesebelas membahas royalti, yaitu bayaran atas penggunaan aset tidak berwujud atau hak, seperti hak cipta, merek dagang, paten, atau bahkan sewa alat industri. Dalam hubungan internasional, misalnya perusahaan di negara X bayar royalti ke pemilik hak di negara Y, negara X biasanya memotong pajak atas pembayaran itu. Perjanjian pajak mengatur pembatasan tarif pajak tersebut mirip seperti dividen dan bunga. Bab ini menjelaskan definisi royalti menurut perjanjian (apa saja yang termasuk royalti), perbedaan definisi antarnegara (misal beberapa hal dianggap royalti di satu negara tapi tidak di negara lain), juga perlakuan jika penerima royalti punya BUT di negara sumber.

Secara ringkas: perjanjian pajak menurunkan tarif pajak potong atas royalti yang dibayar ke luar negeri, supaya orang mau transfer teknologi atau hak cipta antarnegara tanpa takut pajak ketinggian. Contoh: Sebuah stasiun TV di Indonesia membayar royalti kepada perusahaan film di Amerika untuk lisensi menayangkan film. Tanpa perjanjian, Indonesia potong 20%. Dengan P3B Indonesia-AS, tarif potong mungkin diturunkan jadi 10%. Artinya stasiun TV potong 10% saja, sisanya dikirim ke Amerika. Perusahaan film di Amerika nanti melaporkan pendapatan itu ke otoritas pajak AS, dan pajak 10% yang sudah dipotong di Indonesia bisa jadi kredit di AS. Bagi anak-anak, bayangkan royalti itu seperti uang sewa karya: Indonesia “nyewa” filmnya Amerika, Indonesia kasih uang sewa dipotong sedikit untuk kas Indonesia (itu pajaknya), sisanya ke pemilik film. Karena sudah potong sedikit di awal (tarif sesuai perjanjian), pemilik film tak perlu bayar banyak lagi di negaranya. Bab ini juga mencontohkan situasi unik, misal pembayaran royalti antar perusahaan grup di negara berbeda yang harus sesuai harga wajar (transfer pricing) agar tidak disalahgunakan memindah laba. Namun, untuk kesederhanaan: bab 11 menggarisbawahi bahwa aset intelektual yang melintasi negara dikenai pajak yang wajar dan diatur agar adil bagi negara sumber maupun penerima.

Bab 12: Beneficial Owner dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Bab kedua belas membahas konsep "Beneficial Owner" atau pemilik manfaat sebenarnya dalam konteks perjanjian pajak. Ini mungkin terdengar rumit, tapi intinya begini: perjanjian pajak biasanya memberikan keringanan (tarif pajak rendah) untuk dividen, bunga, royalti hanya jika penerima pembayaran tersebut adalah beneficial owner-nya. Artinya, dia benar-benar pihak yang berhak atas uang itu, bukan cuma perantara yang meneruskan uangnya ke orang lain. Konsep ini dimunculkan untuk mencegah praktik penyalahgunaan perjanjian, seperti "treaty shopping" yang sudah disinggung di Bab 5.

Contoh kasus sederhana: Perusahaan P di Negara A berhak terima bunga dari Indonesia, tapi Negara A tidak punya perjanjian pajak dengan Indonesia, jadi kena potong pajak 20%. Lalu Perusahaan P membuat rencana: dia menyalurkan pinjamannya lewat Perusahaan Q di Negara B yang punya perjanjian dengan Indonesia (tarif bunga 10%). Jadi Indonesia bayar bunga ke Q di B (kena 10%), terus Q hampir langsung meneruskan uangnya ke P di A. Di atas kertas, penerima bunga adalah Q di Negara B sehingga dapat tarif rendah. Tapi sebenarnya Q hanya penyalur, pemilik manfaat (beneficial owner) dari bunga itu tetap P. Nah, bab ini menjelaskan bahwa aturan beneficial owner melarang trik seperti itu. Indonesia bisa menolak beri tarif 10% kalau melihat Q hanyalah perantara dan bukan pemilik manfaat sebenarnya. Mereka akan menagih tarif normal karena menganggap beneficial owner-nya P (yang tidak berhak perjanjian).

Dalam bahasa anak-anak: bayangkan kamu punya dua teman, si Anna dan si Budi. Kamu janji ke Anna kalau pinjam uang cukup kembalikan dengan sedikit tambahan (bunga) 10%. Tapi ke orang lain yang bukan teman, bunganya 20%. Nah, ada orang asing (Charlie) mau pinjam uangmu dan coba akali: dia suruh temannya Anna yang kamu kenal baik untuk pinjam atas nama dia. Jika ketahuan bahwa yang sebenarnya nikmati uang itu Charlie, kamu akan tetap minta bunga 20% karena janji diskon 10% cuma buat Anna sebagai temanmu asli. Begitu juga perjanjian pajak: diskon pajak cuma buat pemilik sebenarnya yang memang penduduk negara itu, bukan yang pura-pura numpang nama. Bab ini memaparkan konsep tersebut dengan berbagai contoh kasus nyata di dunia dan perkembangan definisi dari waktu ke waktu. Intinya, "beneficial owner" = siapa yang benar-benar menguasai dan menikmati penghasilan. Hanya mereka yang boleh pakai tarif istimewa P3B, supaya gak ada yang “bertopeng” demi potongan pajak.

Bab 13: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari Harta Tak Bergerak

Bab ketiga belas menguraikan ketentuan perjanjian pajak terkait penghasilan dari harta tak bergerak (immovable property) seperti tanah dan bangunan. Prinsipnya relatif sederhana dan konsisten: penghasilan dari properti biasanya dikenakan pajak di negara tempat properti itu berada. Ini termasuk pendapatan sewa, keuntungan penjualan tanah/bangunan, atau hasil pertanian/peternakan di tanah itu. Perjanjian pajak hampir selalu memberi hak utama ke negara di mana properti tersebut terletak (negara sumber) untuk memajaki penghasilan tersebut.

Contoh mudah: Pak Budi orang Indonesia punya rumah kontrakan di Australia. Uang sewa yang Pak Budi terima dari rumah di Australia, berdasarkan perjanjian pajak Indonesia-Australia, Australia berhak mengenakan pajak atas uang sewa itu karena rumahnya ada di sana. Indonesia sebagai negara domisili Pak Budi mungkin juga mengenakan pajak global atas penghasilan Budi, tapi Indonesia harus memberi kredit atas pajak yang sudah dipungut Australia, sehingga Budi tidak bayar dua kali. Contoh lain: Perusahaan Singapura punya tanah di Indonesia lalu menjualnya untung besar. Sesuai P3B Indonesia-Singapura, Indonesia boleh mengenakan pajak capital gain penjualan tanah itu karena tanahnya di Indonesia (harta tak bergerak di wilayah Indonesia). Bab ini juga menjelaskan bagaimana pasal harta tak bergerak berinteraksi dengan pasal lain. Misalnya, ada pasal "Other Income" (Penghasilan Lain) di P3B, tapi jika suatu penghasilan sudah dikategorikan sebagai penghasilan dari harta tak bergerak, maka yang dipakai ya ketentuan pasal harta tak bergerak tadi. Buat anak-anak, bab ini gampang dipahami: yang nempel di tanah suatu negara, pajaknya hak negara itu. Jadi kalau kamu petik buah mangga di kebunmu di negara tetangga dan jual, negara tetangga itulah yang punya hak pungut pajaknya, karena mangganya tumbuh di tanah mereka.

Bab 14: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Capital Gains (Keuntungan Modal)

Bab keempat belas membahas capital gains, yaitu keuntungan dari penjualan aset modal, seperti saham, obligasi, atau properti. Ini lanjutan dari bab sebelumnya, tetapi mencakup aset bergerak (tidak fisik di satu tempat) juga. Aturan perjanjian pajak soal capital gains agak bervariasi tergantung jenis asetnya. Secara umum, keuntungan dari jual aset biasanya dipajak di negara tempat si penjual tinggal (domisili penjual), kecuali ada ketentuan khusus. Ketentuan khusus itu misalnya:
- Jika asetnya berupa harta tak bergerak (tanah/bangunan), sudah jelas: pajak di negara lokasi tanah tadi (seperti bab 13).
- Jika asetnya saham sebuah perusahaan, beberapa perjanjian mengatur: bila >50% nilai perusahaan berasal dari properti tak bergerak di satu negara, maka keuntungan jual saham itu boleh dipajak di negara tersebut juga. Ini untuk mencegah orang mengemas jual beli tanah lewat jual beli saham supaya luput pajak.
- Untuk jenis aset lain, umumnya keuntungan hanya dikenakan pajak di negara si penjual berdomisili.

Contoh konkret: Ibu Sari (domisili Indonesia) punya saham perusahaan tambang di Kanada. Mayoritas nilai perusahaan tambang itu adalah hak atas tambang (harta tak bergerak di Kanada). Saat Ibu Sari jual sahamnya dengan untung, perjanjian Indonesia-Kanada memungkinkan Kanada memajaki keuntungan penjualan saham itu, karena meski yang dijual saham, isi perusahaannya tambang di Kanada. Nanti Indonesia sebagai negara Ibu Sari bisa beri kredit pajak Kanada. Contoh lain, kalau Ibu Sari jual saham perusahaan teknologi di Kanada (yang asetnya bukan tanah, melainkan pabrik atau intangible assets), mungkin hanya Indonesia yang pajaki keuntungan itu (Kanada tidak, karena tak diatur khusus). Bab ini juga membahas konsep “alienation” (pengalihan) yang mencakup penjualan, penukaran, hibah, dll. Buat pemahaman awam: pasal capital gains menentukan siapa pungut pajak kalau terjadi “cuan” dari jual aset. Kebanyakan, yang punya hak pajak adalah negara asal si penjual, kecuali untuk aset yang terkait erat dengan negara lain seperti properti di situ atau mungkin saham perusahaan properti di situ. Sehingga, bab ini mengajarkan bahwa kalau untung jual-jual aset lintas negara, lihat dulu asetnya apa dan di mana. Negara pun sudah atur lewat perjanjian agar tidak berebut atau double-tax. Ibaratnya kalau kamu jual rumahmu di negeri orang, ya negeri itu wajar minta bagian. Kalau jual barang kecil yang kamu bawa pulang, cukup negaramu yang atur.

Bab 15: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari Pekerjaan Bebas

Bab kelima belas menguraikan aturan P3B tentang penghasilan dari pekerjaan bebas (Independent Personal Services). Pekerjaan bebas berarti profesi yang dijalankan sendiri, tidak terikat sebagai pegawai, misalnya konsultan, dokter praktek pribadi, pengacara independen, seniman lepas, dan sebagainya. Dalam model OECD terkini, pasal terpisah tentang ini sudah dihapus dan digabung ke pasal laba usaha atau ke pasal pekerjaan (karena dianggap mirip prinsipnya). Namun, banyak perjanjian (terutama model PBB atau yang lebih lama) masih memuat pasal khusus. Prinsipnya: penghasilan dari pekerjaan bebas hanya kena pajak di negara domisili orang tersebut, kecuali dia menjalankan profesinya di negara lain dengan kehadiran yang cukup signifikan seperti punya tempat tetap untuk kerja di negara tersebut atau tinggal di negara tersebut melampaui jangka waktu tertentu (misal lebih dari 183 hari dalam setahun). Kalau sudah melebihi itu, negara tempat dia bekerja bebas boleh memajaki.

Contoh: Dr. Andi, dokter gigi dari Indonesia, membuka praktik 1 tahun di Malaysia. Karena ia punya klinik (tempat tetap) dan lebih dari 183 hari di Malaysia, maka penghasilan dari pasiennya di Malaysia boleh dipajaki Malaysia. Indonesia sebagai negara asal Andi mungkin tak memajaki atau kalau pun memajaki, akan mengakui pajak yang dibayar di Malaysia. Sebaliknya, kalau Dr. Andi cuma terbang ke Malaysia sebulan sekali untuk seminar atau konsultasi tanpa punya kantor tetap, dan total kehadirannya kurang dari 183 hari setahun, penghasilannya di Malaysia tidak akan dipajaki Malaysia menurut perjanjian, melainkan hanya Indonesia yang memajaki (karena Indonesia domisili dia). Bagi anak-anak, gampangnya: ini mirip aturan karyawan di bab 16 (tentang 183 hari juga) tapi buat orang yang kerja sendiri. Kalau cuma numpang lewat sebentar untuk kerja lepas, pajaknya tetap di negara asal saja; kalau sudah lumayan lama mangkal atau buka kantor, negara tempat dia mangkal boleh minta pajak. Bab ini menghindari kerancuan, misal seniman atau ahli asing yang datang singkat tidak tiba-tiba ditagih pajak lokal kalau memang kunjungannya di bawah ambang batas. Intinya, memberikan kejelasan kapan suatu jasa profesional bebas yang diberikan lintas negara mulai boleh dikenai pajak oleh negara tempat jasa itu dilakukan. Hal ini mencegah orang kena pajak di dua negara untuk jasa yang sama, dan mencegah juga celah orang kerja lama di negara lain tapi ngaku bebas pajak di sana.

Bab 16: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari Hubungan Pekerjaan

Bab keenam belas membahas penghasilan dari hubungan pekerjaan atau gaji/upah karyawan (disebut juga dependent personal services dalam Model OECD Pasal 15). Ini mengatur situasi di mana seseorang bekerja sebagai pegawai di negara lain. Prinsip umumnya: gaji seseorang biasanya dikenai pajak di negara tempat ia bekerja (karena di situlah ia melakukan pekerjaannya), tetapi jika dia hanya bekerja sementara waktu (tidak lebih dari 183 hari dalam setahun) dan gajinya dibayar oleh perusahaan/asosiasi dari luar negara tersebut, serta biayanya tidak dibebankan ke kantor/permanent establishment di negara tempat ia bekerja, maka negara tempat ia bekerja tidak akan mengenakan pajak – pajak cukup di negara asal/perusahaan asalnya saja.

Kedengarannya rumit, tapi contoh akan mempermudah: Tono, pegawai perusahaan Indonesia, dikirim untuk proyek di Filipina selama 4 bulan (misal April hingga Juli). Gajinya tetap dibayar kantor Indonesia, dan perusahaan Tono tidak punya kantor cabang di Filipina (Tono cuma kerja di lokasi klien misalnya). Karena Tono di Filipina kurang dari 183 hari, gajinya tidak dipajaki oleh Filipina sama sekali. Yang memajak tetap Indonesia saja sebagai negara tempat Tono biasa tinggal dan negara bosnya. Tapi, kalau Tono diperpanjang jadi 8 bulan di Filipina, atau gajinya dibayar oleh anak perusahaan lokal Filipina, maka kondisi pengecualian gugur. Filipina berhak memajaki gaji Tono sejak syarat tak terpenuhi (misal lewat dari 183 hari). Indonesia pun mungkin masih memajak (karena Tono WNI, tinggal Indonesia), tapi Indonesia akan memberikan kredit pajak atas pajak Filipina agar Tono tidak dobel bayar.

Intinya bab ini mencegah pegawai jangka pendek “dikejar-kejar” dua negara. Buat gambaran sehari-hari: kalau kamu hanya magang liburan musim panas 3 bulan di luar negeri, kamu mungkin tak perlu bayar pajak di sana, cukup di negaramu sendiri. Tapi kalau kamu kerja hampir setahun penuh di negeri orang, ya wajar kalau negeri itu ingin pajak penghasilanmu juga. Bab ini penting untuk perusahaan yang sering kirim staf ke luar negeri sementara. Mereka atur agar periode kerjanya tidak melebihi 183 hari supaya pajaknya tetap sederhana (cukup di satu negara). Bagi pembaca awam, yang perlu diingat: "183 hari" adalah angka keramat – lebih dari itu, kamu dianggap cukup lama di negara sana sehingga negara itu boleh pajaki gajimu; kurang dari itu, kemungkinan bebas pajak di sana selama gaji dari luar.

Bab 17: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Direktur

Bab ketujuh belas mengupas pasal perjanjian pajak tentang penghasilan para direktur (director’s fees). Ini biasanya Pasal 16 OECD Model. Isinya mengatur bahwa imbalan yang diterima seseorang dalam kapasitasnya sebagai direktur atau pengurus suatu perusahaan bisa dipajaki di negara tempat perusahaan tersebut berada. Dengan kata lain, kalau Anda duduk di dewan direksi perusahaan luar negeri, negara di mana perusahaan itu berdomisili berhak memajaki penghasilan yang Anda dapat sebagai direktur.

Contohnya: Ibu Anita tinggal di Indonesia tapi menjadi komisaris/direktur di perusahaan Singapura. Setiap tahun Ibu Anita mendapat honorarium direktur dari perusahaan Singapura itu. Menurut perjanjian pajak Indonesia-Singapura, Singapura boleh memungut pajak atas honor direktur yang dibayar perusahaan Singapura kepada Ibu Anita, meskipun Ibu Anita tinggal di Indonesia. Kenapa? Karena logikanya, penghasilan itu terkait erat dengan perusahaan di Singapura, dan biasanya negara perusahaan ingin memastikan para pengurus asingnya setidaknya bayar pajak atas uang yang didapat dari perusahaan lokal. Indonesia sebagai negara domisili Ibu Anita mungkin juga mengenakan pajak global, tapi tentu akan memperhitungkan kredit pajak yang sudah dipotong Singapura agar tidak double.

Bagi anak-anak: bayangkan sebuah klub di negara A membayar uang kepengurusan kepada ketuanya yang tinggal di negara B. Nah, negara A (tempat klub) akan kenakan pajak penghasilan itu dulu, baru sisanya dibawa pulang. Bab ini relatif pendek dan spesifik dibanding bab lain, intinya supaya pengurus perusahaan tidak lepas dari pajak hanya karena tinggal di luar negeri. Negara tempat perusahaan berdiri punya hak pertama. Ini mencegah situasi di mana misal semua dewan direksi WNA sebuah perusahaan lokal tidak bayar pajak di sini karena mereka pulang ke negara masing-masing – perjanjian justru kasih wewenang ke kita (negara perusahaan) untuk potong pajak mereka.

Bab 18: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Entertainer dan Olahragawan

Bab kedelapan belas membahas penghasilan para entertainer (artis, musisi, aktor) dan olahragawan sesuai Pasal 17 OECD Model. Aturannya agak berbeda dari pekerjaan biasa: selebriti atau atlet yang tampil di negara lain biasanya boleh langsung dikenai pajak di negara tempat mereka tampil, tanpa peduli mereka tinggal berapa hari. Ini karena seringkali mereka menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat dari penampilan atau pertunjukan di negara tersebut. Kalau pakai aturan 183 hari seperti pegawai biasa, bisa saja artis hanya manggung 1 hari tapi dapat bayaran besar dan lolos pajak di negara tempat show. Jadi ada pasal khusus untuk mereka.

Contoh: Grup band rock dari Amerika mengadakan konser semalam di Jakarta dan mendapat bayaran besar. Walaupun mereka cuma sehari di Indonesia, perjanjian pajak Indonesia-AS mengizinkan Indonesia memungut pajak atas penghasilan konser tersebut. Band tersebut dapat uang di Indonesia, jadi Indonesia ingin bagian pajaknya meski sebentar. Nanti otoritas Amerika tidak akan ganda memajaki bagian itu tanpa kredit. Demikian pula, jika Cristiano Ronaldo (penduduk Portugal) main pertandingan eksibisi di Indonesia dengan bayaran, Indonesia boleh potong pajak dari bayaran itu, meski Ronaldo cuma 2 hari di sini. Bab ini juga menyebut bahwa terkadang ada pengecualian jika penghasilan artis/atlet itu berasal dari dana publik suatu kegiatan pertukaran budaya atau olahraga (untuk hal-hal amal atau mewakili negara, beberapa perjanjian tidak memajaki). Tapi umumnya, penghasilan artis dan atlet ditarik pajak di tempat mereka perform. Buat ilustrasi anak-anak: bayangkan artis favoritmu tur dunia. Setiap negara yang ia datangi untuk konser pasti ingin sedikit dari tiket yang terjual, itulah pajaknya. Ini dianggap wajar karena artis itu dapat uang dari penonton di negara tersebut. Tanpa aturan ini, artis bisa memanfaatkan celah tinggal sebentar terus tak kena pajak padahal dapat banyak, jadi pasal ini tutup celah itu. Intinya bab 18: “Main di lapangan kami, dapat uang kami, pajak juga kami tagih, walau kamu pulang cepat” – begitulah kira-kira prinsip yang berlaku untuk entertainer dan olahragawan asing.

Bab 19: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pensiun

Bab kesembilan belas fokus pada pensiun – penghasilan yang diterima saat seseorang sudah tidak bekerja lagi (uang pensiun atau tunjangan hari tua). Pasal pensiun (biasanya Pasal 18) mengatur apakah pensiun dipajaki di negara asal yang membayar atau di negara tempat si pensiunan tinggal, atau mungkin keduanya. Banyak perjanjian menetapkan pensiun dari sektor swasta (misalnya pensiun dari perusahaan) hanya dikenakan pajak di negara tempat penerima pensiun tinggal. Namun ada variasi: beberapa perjanjian (terutama model PBB atau US) memperbolehkan juga negara sumber (tempat dibayarnya pensiun) memajaki, tapi banyak yang tidak.

Sebaliknya, untuk pensiun pegawai negeri (pensiun yang dibayar pemerintah), biasanya diatur terpisah di Pasal Pegawai Pemerintah (Bab 20) – cenderung dipajak hanya di negara pembayar. Jadi Bab 19 ini utamanya bicara pensiun swasta dan sejenisnya. Secara sederhana: perjanjian berusaha melindungi para pensiunan agar tidak dikenai pajak berganda. Pensiunan sering punya penghasilan terbatas dan sudah tua, maka biasanya satu negara saja yang memajaki. Misal, Pak Joko kerja 30 tahun di perusahaan Inggris lalu pensiun dan balik tinggal di Indonesia. Dia terima uang pensiun bulanan dari dana pensiun di Inggris. Sesuai P3B Indonesia-Inggris, kalau disepakati pensiun hanya pajak di negara domisili penerima, berarti hanya Indonesia yang memajaki uang pensiun Pak Joko, Inggris tidak potong pajak lagi. Tapi ada perjanjian di mana sebaliknya, hanya negara sumber yang pajaki, jadi tergantung isi P3B-nya. Bab ini juga membahas jenis-jenis skema dana pensiun dan bagaimana treaty memperlakukan mereka, juga sejarah aturan pensiun dalam perjanjian.

Untuk mudahnya bagi anak-anak: pensiun itu seperti uang jajan di hari tua. Perjanjian pajak memastikan kakek-nenek tidak dipalak dua kali. Biasanya yang tagih pajak adalah negara tempat kakek tinggal menikmati pensiunnya, karena di situlah dia menghabiskan uangnya untuk hidup. Negara yang mengirim uang pensiun mungkin sudah tidak ikut memajaki agar si kakek dapat lebih. Namun, kalo pensiunnya dibiayai negara (misal veteran tentara), biasanya negara asal tetap pajaki sebagai bentuk tanggung jawab. Jadi bab ini menekankan pentingnya kesepakatan tentang pajak pensiun supaya masa tua para pensiunan lintas negara tenang, tidak bingung bayar pajak dobel di dua tempat.

Bab 20: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pegawai Pemerintah

Bab kedua puluh membahas penghasilan pegawai pemerintah yang bekerja di luar negerinya, seperti diplomat, konsulat, atau staf pemerintah yang ditugaskan ke negara lain. Pasal ini (biasanya Pasal 19 P3B) menyatakan bahwa gaji, upah, atau pensiun yang dibayar pemerintah suatu negara kepada pegawai pemerintahnya hanya dikenakan pajak oleh negara tersebut saja, dan tidak oleh negara tempat ia bertugas, dengan syarat pegawai tersebut bukan warga negara tempat ia bertugas. Jadi prinsipnya: kalau kamu bekerja untuk negaramu sendiri walau ditempatkan di luar negeri, penghasilanmu tetap wilayah pajak negaramu, tidak diganggu negara setempat.

Contoh: Linda, warga negara Indonesia, bekerja sebagai staf di KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Korea Selatan. Gajinya dibayar pemerintah Indonesia. Menurut perjanjian pajak Indonesia-Korsel, gaji Linda hanya dipajaki oleh Indonesia, Korea tidak memajaki gaji tersebut. Hal ini sesuai praktik umum bahwa diplomat dan petugas pemerintah punya kekhususan. Contoh lain: John, warga negara Amerika, bekerja di USAID di Indonesia; gajinya dari pemerintah AS. Indonesia tidak akan memajaki gaji John (karena John bukan WNI dan gajinya dari pemerintah asing), pajaknya cukup diurus oleh AS. Pengecualian: kalau pegawai pemerintah itu ternyata warga negara setempat atau punya status penduduk tetap di negara tempat bertugas, bisa beda cerita – perjanjian sering menyebut kalau dia warga negara B tempat bertugas, maka gajinya dipajak seperti orang biasa (negara B boleh pajak). Ini untuk menghindari situasi “double privilege”. Bab ini juga menyebut perbedaan pasal 19(1), 19(2) untuk gaji dan pensiun pegawai pemerintah. Intinya, P3B menghormati aturan bahwa pemerintah memajaki sendiri gaji pegawainya di luar negeri, kecuali situasi tertentu.

Untuk bahasa sederhana: Kalau kamu bekerja sebagai utusan negeri asalmu, maka gajimu aman dari pajak negeri orang. Ibaratnya tamu membawa bekal sendiri, tuan rumah tidak minta bagian dari bekal itu. Bab 20 memastikan tidak ada bentrokan pajak untuk para petugas pemerintah yang sedang mengabdi di negara lain, karena penghasilannya cukup dipajaki oleh negara yang mengirimnya. Hal ini membuat pertukaran diplomat dan kerja sama antar pemerintah berlangsung mulus tanpa ribut pajak.

Bab 21: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pelajar dan Peserta Magang

Bab kedua puluh satu mengulas ketentuan khusus bagi pelajar, mahasiswa, atau peserta magang yang berada di luar negeri. Pasal ini biasanya memberikan keringanan atau pembebasan pajak bagi mereka. Tujuannya agar orang yang menuntut ilmu atau latihan di negeri orang tidak dibebani pajak atas uang kiriman atau beasiswa yang mereka terima untuk biaya hidup atau studi. Biasanya aturannya: uang saku, beasiswa, atau penghasilan kecil dari pekerjaan paruh waktu yang diterima pelajar/mahasiswa asing tidak akan dikenai pajak oleh negara tempat ia belajar, selama uang itu berasal dari luar negara tersebut (misal kiriman orang tua dari negara asal atau beasiswa asing).

Contoh: Siti dari Indonesia kuliah di Prancis. Orang tua Siti rutin mengirimi uang untuk biaya hidup di Prancis. Berdasarkan P3B Indonesia-Prancis, uang kiriman ini bebas pajak di Prancis. Begitu pula beasiswa Siti dari Indonesia, Prancis tidak memajakinya. Atau Siti dapat beasiswa pemerintah Prancis? Tergantung perjanjiannya, tapi umumnya beasiswa juga bebas pajak. Contoh lain: John dari Amerika magang kerja 3 bulan (tidak dibayar, atau dibayar sedikit) di perusahaan Jepang sambil belajar. Uang saku atau imbalan kecil yang John terima mungkin dibebaskan dari pajak Jepang karena John statusnya peserta magang, bukan pekerja tetap. Namun, jika pelajar mulai bekerja tetap dan berpenghasilan besar di negara studi, tentu ia tak lagi dianggap "hanya pelajar", penghasilan kerjanya bisa kena pajak seperti orang lokal.

Bab ini intinya melindungi pelajar asing dari pungutan pajak yang tak perlu, supaya biaya studi tidak melangit. Bagi anak-anak mudahnya: kalau kamu pergi belajar ke luar negeri, uang yang papa-mama kirim atau beasiswa yang kamu dapat tidak akan dipajaki dua kali. Negara tempat kamu belajar membebaskan atau minimal tak memajaki kiriman tersebut, karena itu memang untuk biaya belajarmu. Ini mendorong pertukaran pendidikan internasional – mahasiswa asing datang belajar tanpa waswas uang bekal habis oleh pajak. Bab ini juga menyebut kadang ada jangka waktu (misal pembebasan berlaku selama normal masa studi, bukan selamanya). Jadi simpulannya: untuk pelajar dan trainee, perjanjian pajak memberi perlakuan istimewa agar mereka fokus belajar, bukan pusing pajak.

Bab 22: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Akademisi: Profesor, Dosen Tamu, dan Peneliti

Bab kedua puluh dua membahas ketentuan khusus yang sering ada di perjanjian pajak (terutama beberapa perjanjian bilateral) yang memberikan fasilitas pajak bagi akademisi tamu – seperti profesor, guru, atau peneliti – yang diundang ke negara lain untuk mengajar atau meneliti dalam jangka waktu tertentu. Aturan ini tidak selalu ada di semua perjanjian, tapi banyak yang menambahkannya terutama untuk mendorong pertukaran ilmu. Biasanya bunyinya: seorang profesor atau guru dari negara A yang datang ke negara B untuk mengajar/meneliti dalam periode tertentu (misal maks 2 tahun) akan dibebaskan dari pajak di negara B atas penghasilan yang didapat dari mengajar/meneliti itu. Artinya, selama masa undangan itu, gajinya atau honorariumnya tidak dipajaki oleh negara B, mungkin tetap hanya pajak di negara asal A saja.

Contoh nyata: Dr. Surya, dosen di Indonesia, diundang mengajar sebagai profesor tamu di universitas di Korea selama 1 tahun. Universitas Korea memberikan honorarium kepada Dr. Surya. Jika P3B Indonesia-Korea punya klausul akademisi seperti ini, honor yang Dr. Surya terima di Korea dibebaskan dari pajak Korea, selama masa kerjanya tidak melebihi durasi yang disepakati (misal 2 tahun). Dr. Surya hanya akan melaporkan penghasilan itu ke pajak Indonesia (negara asalnya) sesuai aturan Indonesia, tapi Korea sebagai negara tempat dia mengajar tidak memungut pajak. Contoh lain: Profesor Jane dari Inggris melakukan riset di Indonesia selama 6 bulan dengan grant dari universitas Inggris. Uang yang dia bawa/terima untuk riset itu tidak dipajaki Indonesia jika ada klausul ini, karena diasumsikan itu demi ilmu pengetahuan, dan sementara sifatnya.

Tujuan bab ini adalah mendorong pertukaran akademik. Kalau profesor tahu gajinya gak kena pajak dua kali, dia lebih semangat mau mengajar di luar negeri sementara waktu. Bagi awam, bisa diibaratkan program "tukar guru": negara tuan rumah kasih keringanan, “Kami tidak akan potong pajak dari gajimu di sini, selamat datang berbagi ilmu.” Biasanya ada syarat seperti orang itu benar-benar diundang institusi pendidikan atau riset, bukan datang sendiri lalu mengajar komersial. Juga jangka waktunya terbatas; lewat itu dia jadi subjek pajak biasa. Intinya, bab 22 menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan mendapat perlakuan khusus dalam perjanjian pajak berupa pembebasan pajak sementara, agar pengetahuan bisa mengalir lintas negara dengan lebih bebas.

Bab 23: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Lain

Bab kedua puluh tiga membahas pasal "Penghasilan Lain" (Other Income) dalam perjanjian pajak. Ini semacam pasal sapu-jagat untuk jenis penghasilan yang tidak diatur khusus di pasal-pasal sebelumnya. Misalnya, hadiah, lotere, penghasilan tidak biasa, dan lain-lain. Ketentuannya umumnya: penghasilan jenis apapun yang tidak disebut di pasal lain, akan dikenai pajak hanya di negara domisili penerima penghasilan. Namun ada pengecualian umum juga: kalau penghasilan lain itu berhubungan dengan BUT (Bentuk Usaha Tetap) di negara lain, maka beda cerita – bisa kena di negara di mana BUT-nya berada.

Secara sederhana, perjanjian pajak menghindari celah "Wah ini penghasilan gak diatur, siapa pajak ya?" dengan memberikan aturan default di pasal Penghasilan Lain. Contoh: Tuan A (domisili Indonesia) menang lotere di negara X. Uang hadiah lotere itu menurut P3B Indonesia-X, karena itu penghasilan yang tidak diatur di pasal lain, maka hanya dipajaki di Indonesia (negara tempat Tuan A tinggal), negara X tidak pungut pajak atas hadiah lotere yang dibayarnya ke orang asing. Contoh lain: Nona B (domisili Malaysia) memiliki penghasilan aneh, misal dapat hadiah kuis dari Indonesia. Jika hadiah kuis gak tercakup di pasal lain, Indonesia tidak akan pajaki (sesuai pasal Other Income, pajak hak Malaysia saja). Tapi, kalau Nona B dapat penghasilan lain melalui suatu usaha tetap di Indonesia (misal dia punya BUT di sini yang terima penghasilan tak teratur), maka Indonesia bisa pajaki lewat pasal BUT.

Bab ini juga menjelaskan potensi konflik kualifikasi – kadang satu negara anggap suatu penghasilan masuk "Other Income", negara lain anggap itu "Dividen" misalnya, sehingga ada ketidaksepahaman. P3B biasanya punya mekanisme mengatasi hal itu lewat konsultasi. Buat orang awam: anggaplah pasal Penghasilan Lain sebagai jaring pengaman. Apapun penghasilan aneh-aneh yang tak disebut sebelumnya, default-nya pajak di negara si penerima saja, supaya tidak double. Ibaratnya, kalau ada rejeki nomplok yang tak terduga lintas negara, yang menikmatilah yang urus pajaknya di rumah sendiri. Dengan begitu, hal-hal kecil atau jarang terjadi tidak bikin repot dua negara ribut pajak. Bab ini melengkapinya dengan contoh ilustrasi di buku (seperti penjualan murah apartemen dianggap penghasilan lain dsb.), tapi intinya kita sudah cover: tidak ada penghasilan yang luput atau dobel dikenai karena sudah ada pasal “lain-lain” ini.

Bab 24: Metode Eliminasi Pajak Berganda secara Yuridis

Bab kedua puluh empat sangat penting karena menjelaskan bagaimana cara menghilangkan pajak berganda itu sendiri dari sisi hukum (yuridis). Setelah bab-bab sebelumnya mengatur pembagian hak pemajakan, bab ini membahas metode teknis yang digunakan negara domisili untuk mencegah pajak ganda jika kedua negara sama-sama memajaki suatu penghasilan. Dua metode utama yang dibahas: Metode Pembebasan (Exemption) dan Metode Kredit Pajak (Credit).

  • Metode Pembebasan: Negara domisili mengenyampingkan pajak atas penghasilan yang sudah dipajaki di negara sumber. Jadi penghasilan luar negeri itu dikecualikan dari lapangan pajak di negara domisili. Contoh: Jika Indonesia menerapkan metode pembebasan untuk jenis penghasilan tertentu, artinya kalau WNI dapat penghasilan yang sudah dipajaki di negara mitra, Indonesia tidak mengenakan pajak lagi atas penghasilan tersebut. Misal Pak C dari Indonesia punya laba BUT di negara D, dan negara D sudah pajaki laba itu, Indonesia bisa bebaskan laba itu dari pajak Indonesia (tidak dihitung kena pajak Indonesia sama sekali). Ini cara memastikan hanya satu pajak yang dikenakan (di negara sumber saja).
  • Metode Kredit: Negara domisili tetap mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajaknya (termasuk yang diperoleh di luar negeri), tetapi mengurangkan (memberikan kredit sebesar) pajak yang sudah dibayar di negara sumber. Jadi total yang dibayar si wajib pajak di dua negara tidak melebihi tarif tertinggi di negara domisili. Contoh: Bu D warga negara X punya penghasilan di negara Y, dipotong pajak Y sebesar Rp100. Di negara X, seharusnya penghasilan itu kena pajak Rp150. Dengan metode kredit, Bu D bayar sisanya Rp50 ke negara X (Rp150 - kredit Rp100 dari Y). Jadi total Rp150, yang mana setara dengan tarif X saja. Kalau pajak Y lebih tinggi dari pajak X, biasanya kredit cuma sampai maksimum pajak X (excess tak terpakai).

Bab ini membahas kedua metode ini secara rinci, termasuk variasinya (misal full exemption vs progression exemption, full credit vs ordinary credit). Juga ada konsep tax sparing di mana negara domisili memberi kredit seolah-olah pajak telah dibayar di negara sumber padahal negara sumber beri insentif pembebasan (ini untuk mendorong investasi, misal negara sumber bebaskan pajak, tapi negara domisili pura-pura menganggap pajak seharusnya bayar dan tetap beri kredit agar investor benar-benar nikmati bebas pajak). Bab ini bagi awam: bayangkan kamu punya tugas yang sama dinilai oleh dua guru. Agar nilaimu gak dobel dikurang, guru wali kelas (domisili) punya dua pilihan: mengabaikan nilai potongan dari guru tamu (exemption, jadi cuma nilai satu guru yang dihitung) atau menjumlah nilai keduanya tapi menghapus potongan duplikat (credit, mengakui potongan guru tamu).

Contoh nyata sederhana: Andi, orang Indonesia, dapat dividen dari perusahaan di negara Z. Negara Z potong pajak 10 juta. Indonesia juga seharusnya kenakan pajak dividen misal 15 juta. Kalau Indonesia pakai metode kredit biasa, Andi bayar ke Indonesia 5 juta saja (15 – kredit 10 yang sudah dipotong Z). Kalau metode pembebasan, Andi sama sekali tidak dikenai pajak di Indonesia untuk dividen itu; 10 juta ke Z sudah final. Tiap perjanjian menyebut negara pakai metode mana. Indonesia umumnya pakai kredit. Bab ini intinya menunjukkan mekanisme konkrit agar double taxation itu dihilangkan. Tanpa metode ini, walaupun hak pajak sudah dibagi di bab-bab sebelumnya, tetap ada kasus satu penghasilan dikenai dua negara. Metode inilah solusi akhirnya agar tidak merugikan wajib pajak.

Bab 25: Prinsip Nondiskriminasi dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Bab kedua puluh lima menjelaskan prinsip nondiskriminasi dalam pajak internasional. Prinsip nondiskriminasi berarti negara tidak boleh memperlakukan wajib pajak dari negara mitra secara lebih buruk daripada warga atau perusahaan lokal dalam situasi yang sebanding, hanya karena status kebangsaannya atau karena uangnya lari ke luar. Perjanjian pajak biasanya memuat pasal nondiskriminasi (Pasal 24 di model OECD) yang mencakup beberapa hal, misalnya:
- Tidak diskriminasi terhadap warga negara: WN negara mitra di negara kita tidak boleh dipajaki lebih tinggi hanya karena ia WN asing, dibanding WN kita dalam kondisi sama.
- Tidak diskriminasi terhadap BUT vs perusahaan lokal: Pajak atas permanent establishment (BUT) milik perusahaan asing tidak boleh lebih tinggi atau diperlakukan lebih buruk dari pajak atas perusahaan lokal yang menjalankan aktivitas serupa.
- Deduksi/deductibility: pembayaran ke penduduk negara mitra (misal bunga, royalti ke luar negeri) harus boleh dikurangkan sebagai biaya seperti kalau bayar ke penduduk lokal. Jangan dilarang potong biaya hanya karena penerimanya di luar negeri.
- Perlakuan pemotongan pajak dividen: misal, perusahaan lokal milik asing jangan kena pajak yang beda dengan perusahaan lokal milik domestik dalam hal pembagian laba, dsb. Juga perusahaan yang dimiliki asing tak boleh dipajaki diskriminatif dibanding yang dimiliki warga lokal.

Contoh situasi: Sebuah PT di Indonesia dimiliki oleh investor Jepang melalui BUT atau cabang. Prinsip nondiskriminasi menghendaki PT milik Jepang ini dikenai pajak sama tarifnya dengan PT milik orang Indonesia. Tidak boleh karena itu milik asing lalu tarif PPh Badannya dinaikkan. Atau misal Indonesia memberi insentif pengurangan pajak untuk perusahaan yang terdaftar di bursa lokal, itu harusnya juga terbuka ke perusahaan BUT asing kalau kondisinya sama. Contoh lain: Warga Perancis bekerja di Indonesia harus dipajaki dengan cara sama seperti warga Indonesia yang penghasilannya sama. Jangan ada pajak khusus WNA lebih tinggi misalnya (kecuali di konteks tertentu di luar perjanjian, tetapi jika itu langsung diskriminasi, bisa langgar perjanjian).

Bab ini memberikan contoh pelanggaran nondiskriminasi, misalnya dulu ada negara yang tidak mengizinkan perusahaan cabang asing mengurangi biaya head-office, padahal perusahaan lokal boleh kurangi biaya manajemen. Nah, perjanjian akan bilang itu tak boleh. Untuk anak 12 tahun: analogi sederhananya, "jangan membeda-bedakan". Kalau ada dua pedagang di pasar, satu pendatang satu lokal, aturan pajak diperlakukan sama selagi kondisinya setara. Perjanjian pajak mengunci janji itu antara dua negara supaya investor asing merasa diperlakukan adil. Bab ini penting agar perjanjian pajak bukan cuma soal tarif, tapi juga soal fairness perlakuan. Negara diingatkan untuk tidak membuat aturan pajak yang mendiskriminasi mitra perjanjiannya, dan kalau melanggar, wajib pajak bisa protes sesuai mekanisme (misal lewat MAP, meski bab MAP tidak khusus dibahas di sini, nondiskriminasi biasanya tidak bisa dibawa ke pengadilan lokal juga, tapi di perjanjian hal ini disepakati sebagai prinsip). Intinya, bab 25 menggarisbawahi semangat kesetaraan: asing atau lokal, kalau situasinya sama, pajaknya harus sama.

Bab 26: Pertukaran Informasi untuk Tujuan Pajak

Bab kedua puluh enam membahas pertukaran informasi antar negara untuk keperluan pajak, sesuai Pasal 26 OECD Model. Ini topik yang sangat aktual karena terkait upaya global memberantas penghindaran pajak dengan cara transparansi. Inti pasal ini: otoritas pajak kedua negara akan saling membantu dengan menukar informasi yang relevan untuk memastikan penegakan hukum pajak yang benar. Artinya, jika Indonesia butuh data rekening atau penghasilan warga Indonesia di negara mitra P3B, negara mitra harus membantu memberikan (tentu lewat prosedur resmi). Demikian pula sebaliknya. Informasi yang ditukar bisa berbagai macam: data keuangan, kepemilikan aset, transaksi, dsb, asalkan berguna untuk penagihan atau penegakan pajak.

Bab ini menjelaskan beberapa bentuk pertukaran info: pertukaran berdasarkan permintaan (kalau satu negara minta data spesifik, negara lain berikan), pertukaran spontan (kalau ada temuan yang mungkin berguna untuk negara partner, dikasih tahu meski tidak diminta), dan pertukaran otomatis (secara rutin, misal setiap tahun tukar data rekening bank warga masing-masing – ini hal yang belakangan diatur melalui kesepakatan global CRS). Ada cerita juga soal Global Forum on Transparency and Exchange of Information, Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dan standar-standar seperti FATCA (dari AS) atau CRS (Common Reporting Standard) yang melibatkan banyak negara. Meskipun detailnya teknis, intinya perjanjian pajak menghilangkan kerahasiaan berlebihan: rahasia bank misalnya tak boleh dipakai alasan menolak beri data kalau diminta sesuai pasal ini.

Contoh supaya jelas: Bapak E di Indonesia diduga sembunyikan uang di Bank negara F. Otoritas pajak Indonesia curiga dan lewat mekanisme perjanjian, Indonesia kirim permintaan resmi ke negara F: “tolong berikan data rekening Bapak E di bank sana.” Negara F tidak boleh menolak dengan alasan misal "di negara kami data bank rahasia", karena pasal P3B mewajibkan kerjasama. Mereka harus kumpulkan info itu (tentu mengikuti prosedur hukum) dan mengirim ke Indonesia. Contoh lain: Nyonya G warga negara mitra punya usaha di Indonesia, mungkin Indonesia lapor spontan ke negara asal G bahwa G ada penghasilan sekian di Indonesia (kalau diperlukan). Sekarang lebih maju lagi, banyak negara (termasuk Indonesia) sudah ikut pertukaran otomatis data rekening keuangan setiap tahun, jadi petugas pajak bisa melihat warga negaranya punya simpanan berapa di luar negeri, sehingga tak bisa sembunyi penghasilan. Ini semua sejalan dengan pasal pertukaran informasi dalam P3B.

Untuk anak-anak: mudahnya begini, negara-negara sekarang saling bantu seperti teman sekelas yang jujur – kalau ada teman nyontek sembunyiin sesuatu, mereka akan saling kasih tahu guru supaya semuanya tertib. Jadi orang kaya tak bisa sembunyi uang di negeri lain untuk menghindari pajak, karena negeri lain akan laporan. Bab 26 menekankan bahwa kerjasama ini sudah menjadi standar global. Data yang ditukar pun dijaga kerahasiaannya oleh penerima (hanya boleh dipakai untuk penegakan pajak). Hal ini bikin wajib pajak lebih patuh, karena mereka tahu “zaman sudah terbuka, tak bisa main petak umpet uang lagi” antar yurisdiksi.

Bab 27: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pejabat Diplomatik dan Konsulat

Bab kedua puluh tujuh menjelaskan aturan terkait pejabat diplomatik dan konsulat dalam P3B. Sebenarnya, pajak penghasilan diplomat diatur juga di perjanjian internasional lain (Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik), yang intinya para diplomat dan konsuler punya kekebalan pajak tertentu di negara tempat mereka bertugas. Pasal dalam P3B (Pasal 28 OECD Model) biasanya menyatakan bahwa perjanjian pajak tidak memengaruhi keistimewaan pajak para diplomat dan konsul yang sudah diatur di perjanjian internasional atau aturan khusus. Juga kadang ditegaskan bahwa jika diplomat dari negara A bertugas di negara B, maka untuk tujuan P3B, dianggap seolah diplomat itu tetap resident di negara A (negara asalnya) jika ia dibebaskan pajak di B.

Bahasa mudahnya, bab ini bilang: “Ingat, aturan pajak biasa di P3B tak berlaku buat diplomat sesuai ketentuan mereka.” Misalnya, perjanjian pajak ada pasal gaji pegawai (Bab 16 dan Bab 20) yang normalnya memajaki di negara tempat bekerja. Tapi untuk Duta Besar, staf kedutaan, konsul, gaji mereka tidak dipajaki tuan rumah, hanya negara mereka yang pajaki (atau malah dibebaskan juga tergantung kebijakan domestik).

Contoh: Seorang diplomat India bertugas di Kedubes India di Jakarta. Dia digaji pemerintah India dan sesuai aturan diplomatik, Indonesia tidak memajaki gaji itu. Perjanjian pajak Indonesia-India tidak akan mengubah itu, malah mengakui bahwa "ya, kita hormati aturan diplomatik". Juga, kalau diplomat itu kebetulan bukan WNI, maka di mata Indonesia dia dianggap bukan penduduk lokal untuk pajak. Sebaliknya diplomat Indonesia di luar negeri ya begitu juga. Bab ini juga mencakup keluarga diplomat atau staf konsulat (mereka juga biasanya dapat pembebasan pajak tertentu asalkan bukan warga lokal).

Untuk mempermudah: diplomat itu ibarat tamu resmi negara, jadi mereka punya perlakuan khusus. P3B bab ini hanya menegaskan, “perlakuan khusus sesuai Konvensi Wina tetap berjalan, perjanjian pajak tidak meniadakannya.” Misal, kalau ada kebijakan diplomat bebas pajak impor mobil pribadinya, itu di luar P3B tapi P3B mengakui hak-hak seperti itu. Bab 27 mengingatkan kita bahwa aturan main pajak internasional ada pengecualian orang-orang spesial (diplomat) yang diatur terpisah, dan P3B menghormatinya.

Bab 28: Penghindaran Pajak, Proyek Anti-BEPS, dan Upaya Merestorasi Sistem Pajak Internasional

Bab terakhir, bab kedua puluh delapan, bergeser dari pasal-pasal P3B ke pembahasan yang lebih luas tentang penghindaran pajak global dan proyek anti-BEPS. BEPS adalah singkatan dari Base Erosion and Profit Shifting, sebuah inisiatif global yang diprakarsai OECD dan G20 untuk mengatasi strategi-strategi perusahaan multinasional yang menggerus basis pajak negara (menghindari pajak dengan memindah laba ke tempat ber-pajak rendah). Bab ini menjelaskan kenapa BEPS muncul, apa saja yang dilakukan, dan bagaimana hasilnya mengubah lanskap pajak internasional termasuk perjanjian pajak.

Dalam bahasa sederhana, bab ini mengajak kita melihat masalah besar: banyak perusahaan besar dunia (misal perusahaan teknologi, perusahan farmasi, dll) yang karena lihai, mampu bayar pajak sangat kecil meski untung besar. Caranya dengan memanfaatkan celah peraturan antarnegara, misal: membuat struktur perusahaan di mana laba dialihkan ke negara suaka pajak (tax haven) yang tarifnya hampir nol. Ini legal (beda dengan penggelapan, ini penghindaran yang memanfaatkan aturan). Akibatnya, negara-negara tempat mereka benar-benar jualan barang/jasa merasa dirugikan karena basis pajaknya terkikis (erosion). Publik pun marah melihat perusahaan raksasa hampir tak bayar pajak.

BEPS Project (sekitar 2013-2015) melahirkan 15 Rencana Aksi (Actions) untuk menutup celah-celah itu. Contohnya: Aksi 1 bahas ekonomi digital, Aksi 2 atasi pemborosan pajak akibat aturan ganda (hybrid mismatch), Aksi 3 perkuat aturan CFC (kendalikan perusahaan asing yang dimiliki domestik supaya labanya tak parkir di tax haven), Aksi 4 batasi bunga pinjaman antargrup agar tak gede-gedein biaya, Aksi 6 langsung mengenai treaty: mencegah penyalahgunaan perjanjian pajak (anti treaty shopping), dsb. Salah satu hasil besar BEPS adalah MLI (Multilateral Instrument), perjanjian multilateral yang bisa mengubah banyak P3B sekaligus menambah klausul anti-misuse. Juga muncul standar pertukaran informasi otomatis (CRS) yang di bab 26 sudah disinggung, dan kesepakatan negara untuk country-by-country reporting (transparansi laporan per negara untuk perusahaan besar).

Bab ini juga menyoroti upaya merestorasi sistem pajak: misal negara-negara mulai adopsi aturan anti penghindaran di undang-undang domestik (seperti aturan anti-penyalahgunaan umum atau GAAR), kerjasama makin ditekankan, dan wacana mereformasi fundamental seperti digital tax untuk raksasa digital, atau bahkan sistem alokasi laba global (unitary taxation) mulai dibahas. Bagi orang awam, bisa diceritakan seperti ini: negara-negara di dunia bergotong royong bak menambal jaring yang bocor. Bocornya di mana? Di situ: perusahaan multi-nasional yang licin lolos pajak, orang-orang kaya sembunyi uang di surga pajak. Jadi melalui BEPS, lubang-lubang ditutup. Hasilnya, sekarang P3B-P3B baru dilengkapi pasal anti-abuse, definisi Beneficial Owner dipertegas (kembali ke Bab 12), pertukaran informasi (Bab 26) dijalankan agresif, dan negara bisa berbagi pajak lebih adil. Contohnya, setelah BEPS, Indonesia menegosiasi ulang banyak treaty agar memasukkan pasal Anti-Penyalahgunaan dan ikut MLI yang langsung memperbarui belasan perjanjian sekaligus dengan satu dokumen.

Sebuah ilustrasi praktis: dulu, perusahaan X bisa mengalihkan profit dari negara A ke anak usaha di negara B yang pajaknya 0% lewat transaksi harga transfer manipulatif atau menumpuk utang. Setelah BEPS, negara A dan B kompak bikin aturan: misal bunga utang di atas rasio tertentu tak boleh dikurangkan (Aksi 4), harga transfer diawasi ketat, perjanjian pajak A-B diubah supaya kalau perusahaan X cuma bikin perusahaan cangkang di B (tanpa aktivitas nyata) sekadar terima laba lalu teruskan, maka manfaat treaty ditolak (Aksi 6, tentang beneficial owner dan PPT clause). Dengan langkah-langkah ini, celah-celah mulai tertutup.

Bab 28 ini menutup buku dengan refleksi bahwa sistem pajak internasional sedang dibenahi besar-besaran. Walau BEPS sudah dilakukan, tantangan masih ada (contohnya ekonomi digital masih menimbulkan debat global: hak pajak atas Google, Facebook, dll). Namun spirit-nya: seluruh dunia ingin pajak lebih adil dan menghindari praktik licik yang membuat beberapa pihak tak bayar bagian yang semestinya. Untuk adik-adik, bisa dibilang begini: kalau main petak umpet, sekarang "area persembunyian" perusahaan nakal makin sedikit. Negara-negara bekerjasama seperti satpam gabungan menjaga agar tak ada yang sembunyiin laba di tempat gelap. Mereka berbagi info, ubah aturan main, biar semua bayar pajak sesuai porsi seharusnya. Inilah upaya merestorasi (memulihkan) kepercayaan publik bahwa sistem pajak internasional bisa berjalan adil untuk semua pihak.


Demikianlah ringkasan 28 bab buku ini dalam bahasa sehari-hari. Dengan membaca ini, diharapkan bahkan anak 12 tahun atau orang yang awam pajak sekalipun bisa menangkap gambaran umum apa itu perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B), mengapa diperlukan, bagaimana strukturnya per bab/pasal, serta perkembangan terbaru dalam praktik pajak internasional. Semua bab saling terkait membentuk pemahaman utuh: mulai dari konsep dasar pajak internasional, pasal-pasal spesifik dalam perjanjian, hingga tantangan modern seperti BEPS. Intinya, perjanjian pajak antarnegara dibuat supaya orang dan perusahaan tidak dipajaki dua kali untuk penghasilan yang sama, sekaligus memastikan setiap negara mendapat hak pajaknya secara adil dan mencegah kecurangan. Semoga penjelasan sederhana ini bermanfaat!


0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.