Bab 1: Pajak Internasional Suatu Pengantar
Bab pertama buku ini memberikan pengantar tentang pajak internasional
dengan bahasa yang mudah dipahami. Intinya, pajak adalah uang yang dipungut
negara untuk membiayai kebutuhan bersama, seperti membangun sekolah dan rumah
sakit. Nah, dalam konteks internasional, masalah muncul ketika orang atau
perusahaan berpenghasilan di lebih dari satu negara. Tiap negara merasa
berhak memungut pajak, sehingga satu penghasilan bisa kena pajak dua kali
(inilah yang disebut pajak berganda). Bagi orang biasa, ini tentu terasa tidak
adil, seperti kalau kamu dapat uang jajan yang sama tapi ditagih dua kali oleh
dua orang berbeda. Pemerintah-pemerintah di dunia sepakat bahwa situasi ini
tidak bagus karena bisa menghambat pertukaran barang, jasa, dan investasi
antarnegara.
Pada bab ini dijelaskan bahwa negara asal penghasilan dan negara
domisili si penerima penghasilan sering berebut mengenakan pajak. Misalnya,
Bayu warga negara Indonesia bekerja di Malaysia. Gajinya mungkin mau dipajaki
di Malaysia (karena dia kerja di sana) dan di Indonesia (karena dia
orang Indonesia). Tanpa aturan khusus, Bayu bisa kena pajak dua kali. Oleh
karena itu, muncul konsep perjanjian pajak internasional untuk mencegah pajak
berganda. Pemerintah harus bekerja sama agar pembagian “jatah” pajak adil.
Ibaratnya, kedua negara tersebut berunding: “Kamu pajaki bagian ini, aku pajaki
bagian itu, sisanya bebas.” Dengan begitu, Bayu tidak perlu bayar pajak dua
kali untuk gaji yang sama. Bab ini menekankan pentingnya kerjasama antarnegara
agar wajib pajak (orang yang bayar pajak) tidak dibebani ganda, sehingga
kegiatan lintas negara bisa berjalan lancar.
Bab 2: Perkembangan dan Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab kedua menceritakan bagaimana perjanjian pajak antarnegara
berkembang dari waktu ke waktu dan model-model apa yang dijadikan acuan. Dulu,
masing-masing negara membuat aturan sendiri-sendiri, sehingga ketika perusahaan
mulai berbisnis lintas negara, terjadi banyak bentrok aturan dan pajak dobel.
Agar lebih seragam, organisasi internasional membuat model perjanjian pajak.
Dua model terkenal adalah Model OECD (umumnya diikuti negara-negara
maju) dan Model PBB (UN Model) yang memperhatikan kepentingan negara
berkembang. Model-model ini seperti template atau contoh kontrak yang
bisa dipakai saat dua negara mau membuat perjanjian pajak. Dengan model, isinya
jadi lebih standar dan mudah dipahami kedua pihak.
Contoh nyata: Indonesia punya banyak perjanjian pajak dengan
negara lain, misalnya dengan Jepang atau Belanda. Saat menyusun
perjanjian-perjanjian itu, Indonesia dan negara pasangannya biasanya mengacu
pada model OECD atau PBB sebagai panduan. Model OECD cenderung memberi hak pajak
lebih besar ke negara tempat perusahaan berasal (negara domisili), sementara
Model PBB memberi hak lebih ke negara tempat penghasilan diperoleh (negara
sumber) karena ingin melindungi penerimaan pajak negara berkembang. Bayangkan
dua negara duduk bersama dengan buku panduan model di tangan, lalu
mendiskusikan pasal-pasalnya agar sesuai kebutuhan mereka. Bab ini juga
menjelaskan sejarahnya, misalnya bagaimana model perjanjian pajak pertama kali
muncul sekitar tahun 1920-an dan terus disempurnakan hingga sekarang. Jadi
secara sederhana, bab ini menjelaskan bahwa perjanjian pajak internasional
dibentuk agar semua negara “bermain” dengan aturan yang serupa, sehingga adil
dan menghindari pajak berganda.
Bab 3: Penerapan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda dan Persyaratan Administratif
Bab ketiga membahas bagaimana cara menerapkan perjanjian pajak
berganda dalam praktik, termasuk syarat-syarat administratifnya. Meskipun
negara sudah punya perjanjian, orang atau perusahaan yang mau menikmati manfaat
perjanjian itu harus mengikuti prosedur tertentu. Bahasa mudahnya, ada tata
cara birokrasi yang perlu dipenuhi agar tarif pajak lebih rendah atau
pembebasan pajak dalam perjanjian bisa berlaku. Salah satu hal utama adalah bukti
domisili pajak. Artinya, seseorang atau perusahaan harus membuktikan bahwa
ia benar penduduk (subjek pajak) di salah satu negara yang menandatangani
perjanjian. Biasanya buktinya berupa surat keterangan domisili pajak (sering
disebut "SKD" atau "Certificate of Domicile") dari kantor
pajak negaranya sendiri.
Sebagai contoh nyata: Perusahaan A dari Jepang menerima pembayaran
royalti dari Indonesia. Tanpa perjanjian, Indonesia mungkin mengenakan
pajak 20% atas pembayaran itu. Namun, menurut perjanjian pajak
Indonesia-Jepang, pajak royalti bisa lebih rendah, misalnya 10%. Untuk
menikmati tarif 10% ini, Perusahaan A harus mengajukan SKD ke kantor pajak
Indonesia, yang membuktikan perusahaan tersebut benar terdaftar sebagai wajib
pajak di Jepang. Dengan surat itu, barulah Indonesia mau memberikan tarif pajak
yang lebih rendah sesuai perjanjian. Selain SKD, bab ini menjelaskan
tahap-tahap lain seperti: memastikan jenis penghasilannya memang diatur dalam
perjanjian, mengisi formulir aplikasi jika perlu, dan mengikuti tenggat waktu
pelaporan. Intinya, meski perjanjiannya ada, wajib pajak harus aktif
mengurus administrasinya supaya keuntungan perjanjian (seperti pajak lebih
ringan) bisa dinikmati. Pemerintah kedua negara pun bekerja sama memverifikasi
informasi. Bab ini mengibaratkan penerapan perjanjian pajak seperti proses
klaim garansi: kita perlu memenuhi syarat dan prosedur tertentu agar “promo”
pajak yang sudah dijanjikan bisa digunakan.
Bab 4: Interpretasi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab keempat menjelaskan bagaimana cara membaca dan memahami isi
perjanjian pajak dengan benar. Meskipun perjanjian sudah dibuat, kadang
bahasa hukum di dalamnya bisa bikin bingung atau ada area abu-abu. Oleh karena
itu, dibutuhkan panduan interpretasi (cara menafsirkan) supaya kedua negara
punya pemahaman yang sama. Bab ini menganalogikan interpretasi perjanjian
seperti menerjemahkan pesan rahasia – kita perlu kunci dan konteks yang
tepat. Salah satu kunci penting adalah Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian
(Vienna Convention on the Law of Treaties), yang memberi aturan umum cara
menafsirkan perjanjian internasional: harus dengan itikad baik,
berdasarkan arti biasa kata-kata perjanjian, dan sesuai konteks serta tujuan
perjanjian itu.
Dengan kata lain, negara tidak boleh menafsirkan seenaknya hanya demi
untung sendiri. Bab ini juga menyebut Commentary OECD – semacam buku
penjelasan resmi atas pasal-pasal model OECD – yang sering dijadikan rujukan
untuk memahami maksud suatu pasal. Contohnya, jika dalam perjanjian tertulis
kata "penduduk" atau "resident" dan ada keraguan siapa saja
yang termasuk, petugas pajak akan melihat definisi di perjanjian (biasanya ada
pasal definisi). Kalau masih bingung, mereka bisa membaca Commentary
OECD atau melihat praktik umum internasional. Contoh nyata: pernah ada
kasus seorang warga negara asing mengklaim bebas pajak di Indonesia karena
menganggap dirinya bukan "penduduk Indonesia" menurut perjanjian,
padahal ia tinggal lebih dari 183 hari di sini. Bagaimana memutuskan? Petugas
pajak menggunakan aturan perjanjian (biasanya pasal "Resident") dan
panduan interpretasi global. Ternyata, menurut definisi perjanjian, kalau
seseorang tinggal lebih dari 183 hari di suatu negara, dia dianggap penduduk
untuk urusan pajak di negara itu, kecuali ada aturan tie-breaker lain. Dengan
pedoman ini, sengketa bisa diselesaikan: orang tersebut harus dianggap penduduk
Indonesia untuk keperluan pajak tahun itu. Jadi bab ini menegaskan pentingnya aturan
main dalam memahami teks perjanjian supaya kedua negara sejalan. Ibarat
membaca peta harta karun, ada legenda atau penjelasan simbol-simbolnya; begitu
pula perjanjian pajak ada “legenda”-nya agar tak salah mengerti.
Bab 5: Subjek Pajak yang Dicakup dalam Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda
Bab kelima membahas siapa saja yang berhak memanfaatkan perjanjian
pajak. Dalam bahasa sederhana, tidak semua orang bisa tiba-tiba datang dan
minta tarif pajak rendah pakai perjanjian. Perjanjian hanya berlaku untuk "subjek
pajak" dari kedua negara yang menandatangani. Subjek pajak di sini
biasanya berarti penduduk (orang pribadi atau badan usaha) yang menurut
undang-undang pajak setempat dianggap tinggal atau berdomisili di negara
tersebut. Bab ini menjelaskan istilah "Person" dan "Resident"
sesuai perjanjian. Misalnya, person bisa mencakup orang, perusahaan, trust, dan
sebagainya. Lalu "resident" didefinisikan sebagai siapa yang kena
pajak karena domisili, tempat tinggal, manajemen, atau kriteria sejenis di
suatu negara.
Hal menarik di bab ini adalah pembahasan isu khusus, seperti orang
dengan dua kewarganegaraan atau dua domisili pajak (dual resident). Jika
Budi dianggap penduduk pajak oleh Indonesia dan Malaysia (karena mungkin
tinggal di dua tempat), aturan tie-breaker di perjanjian akan menentukan dia
dianggap penduduk negara mana untuk penerapan perjanjian (misalnya dilihat dari
rumah tetap, pusat kepentingan vital, dll). Bab ini juga menyinggung penyalahgunaan
perjanjian – contohnya, perusahaan "boneka" yang didirikan hanya
untuk memanfaatkan perjanjian. Misalnya, sebuah perusahaan di negara X
mendirikan perusahaan kecil di negara Y hanya agar pembayaran dari Indonesia ke
negara Y dapat tarif pajak 0% (karena Indonesia punya perjanjian pajak dengan
Y). Padahal, pemilik sejatinya ada di X yang mungkin tarif pajaknya tinggi atau
tidak ada perjanjian. Ini namanya treaty shopping, semacam akal-akalan untuk
memanfaatkan celah perjanjian. Bab 5 menjelaskan bahwa otoritas pajak
waspada terhadap trik ini. Mereka akan memeriksa apakah subjek pajak
benar-benar “berhak” menurut perjanjian (beneficial owner dan tidak sekadar
perantara). Secara sederhana: perjanjian pajak hanya berlaku bagi pemain
asli, bukan pemain pura-pura. Contoh nyata: Seorang ekspatriat dari
negara mitra perjanjian, katakanlah Jepang, bekerja di Indonesia. Karena dia
penduduk pajak Jepang (bukan Indonesia), dia bisa minta manfaat perjanjian
Indonesia-Jepang. Tapi kalau ada orang dari negara lain yang pura-pura mengaku
Jepang padahal tidak, tentu tidak boleh. Intinya, bab ini memastikan hanya
pihak yang seharusnya yang bisa menikmati keringanan pajak dari P3B, dan
menutup celah kecurangan.
Bab 6: Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Bab keenam memperkenalkan konsep Bentuk Usaha Tetap (BUT), yang
dalam bahasa Inggris dikenal sebagai Permanent Establishment (PE).
Istilah ini penting karena sering muncul di perjanjian pajak. Gampangnya, BUT
adalah kehadiran atau tempat usaha permanen milik perusahaan asing di suatu
negara. Jika perusahaan luar negeri punya BUT di Indonesia, Indonesia boleh
memperlakukan BUT itu seperti perusahaan lokal untuk urusan pajak atas laba
yang dihasilkan di Indonesia. Sebaliknya, kalau tidak ada BUT, biasanya Indonesia
tak boleh memajaki laba usaha perusahaan asing itu (kecuali pajak tertentu
seperti pajak penghasilan final atas transaksi tertentu, tapi itu di luar
konteks perjanjian).
Bab ini menjelaskan ciri-ciri yang membuat suatu kegiatan bisnis
dianggap BUT. Contohnya ada tempat usaha tetap seperti kantor, pabrik,
toko, atau gudang. Bahkan kalau perusahaan asing punya agen di Indonesia
yang bisa bertindak mengikat kontrak atas nama dia, itu bisa dianggap BUT
(disebut dependent agent). Ada juga BUT yang sifatnya proyek, misalnya
proyek konstruksi yang berlangsung lebih dari durasi tertentu (umumnya 6 bulan
atau 12 bulan sesuai perjanjian). Kalau proyeknya pendek di bawah ambang waktu itu,
tidak dianggap BUT.
Mari ilustrasikan dengan contoh: Perusahaan ABC dari Jerman menjual
mesin ke Indonesia. Jika ABC hanya kirim mesinnya dari Jerman lalu jual
putus, di Indonesia mereka tak punya kantor atau pegawai, berarti ABC tidak
punya BUT di Indonesia. Jadi, menurut perjanjian, Indonesia tidak boleh
memajaki laba bisnis dari penjualan mesin itu (pajak penghasilan atas
labanya tidak kena, meski mungkin ada bea masuk atau PPN impor terpisah). Sebaliknya,
kalau ABC buka kantor cabang di Jakarta untuk pasarkan mesinnya dan kantor
itu aktif berbisnis, kantor tersebut adalah BUT. Akibatnya, Indonesia berhak
memajaki keuntungan yang diperoleh ABC dari penjualan mesinnya di Indonesia
melalui kantor itu. Bab ini memudahkan konsep ini dengan bahasa sederhana: BUT
itu semacam “toko atau kantor permanen” perusahaan luar negeri di sini. Selama
“toko” itu ada, pemerintah Indonesia boleh minta bagian pajaknya dari
keuntungan toko tersebut. Kalau cuma jual lewat internet tanpa ada kehadiran
fisik (atau sekarang juga diatur soal kehadiran ekonomi signifikan dalam
perkembangan baru), itu di luar definisi BUT tradisional sehingga bisa bebas
pajak penghasilan di negara kita. Singkatnya, bab ini menegaskan kapan
negara sumber (tempat usaha) boleh mengenakan pajak – yaitu kalau usaha
asing tersebut telah menjejakkan “kakinya” secara bermakna di negara sumber.
Bab 7: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Laba Usaha
Bab ketujuh membahas pasal dalam P3B yang mengatur Laba Usaha
(business profits). Ini masih lanjutan dari konsep BUT tadi. Aturannya secara
umum: laba usaha dari sebuah perusahaan hanya akan dipajaki di negara asal
perusahaan, kecuali kalau perusahaan itu menjalankan usaha di negara lain
lewat Bentuk Usaha Tetap (BUT) di sana. Jika ada BUT, negara tempat BUT
berada boleh memajaki laba yang dihasilkan BUT tersebut. Bab ini menjelaskan
struktur pasal tentang laba usaha, perbandingan sebelum dan sesudah tahun 2010
(karena pernah ada penyesuaian model OECD di 2010), dan isu-isu tentang
bagaimana mengklasifikasikan suatu penghasilan apakah masuk “laba usaha” atau
jenis lain.
Bahasa simpelnya, bab ini bilang begini: Kalau kamu perusahaan asing
tanpa markas fisik di sini, tenang, laba mu aman dari pajak negara sini.
Tapi begitu kamu buka cabang atau kantor tetap, negara sini punya hak pajak.
Contoh realita: Perusahaan software dari Amerika menjual aplikasinya secara
online ke pengguna di Indonesia. Apakah Indonesia dapat memajaki
keuntungannya? Jika perusahaan itu tidak ada BUT di Indonesia (tidak ada
kantor atau server permanen di sini misalnya), menurut perjanjian, keuntungan
penjualan software tersebut hanya boleh dikenakan pajak di Amerika (negara asal
perusahaan). Indonesia tidak bisa serta-merta menagih pajak penghasilan
atas penjualan itu. Namun, jika perusahaan yang sama buka kantor perwakilan
di Jakarta untuk pemasaran dan support pelanggan, kantor itu adalah BUT.
Laba penjualan yang terkait aktivitas kantor Jakarta itu dapat dikenai pajak
Indonesia sesuai porsi kontribusi kantor tersebut. Bab ini juga menyinggung
soal penghitungan laba yang bisa dipajaki. Walaupun tidak dihitung
detail di ringkasan ini, intinya negara sumber hanya boleh pajaki laba BUT
seolah-olah BUT itu perusahaan independen tersendiri. Jadi, bab 7 menegaskan
kembali prinsip adil: tanpa kehadiran usaha tetap, tidak ada pajak di negara
sumber; dengan kehadiran tetap, ada pajak tapi hanya atas laba yang terhubung
dengan kehadiran itu. Bagi orang awam, cukup diingat gambaran: punya toko
fisik = bayar pajak di situ, jual jarak jauh tanpa toko = pajaknya di negara
asal saja.
Bab 8: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari
Kegiatan Pelayaran, Transportasi Perairan Darat, dan Penerbangan
Bab kedelapan mengupas aturan khusus dalam perjanjian pajak untuk penghasilan
dari kegiatan transportasi internasional, seperti perusahaan kapal laut,
kapal sungai, dan pesawat terbang. Bidang ini diatur tersendiri (biasanya Pasal
8 di model OECD/UN) karena sifat bisnisnya lintas negara. Aturan umumnya adalah
keuntungan dari operasional kapal atau pesawat dalam jalur internasional
hanya dikenai pajak di negara di mana perusahaan itu berkedudukan (domisili
perusahaan). Jadi berbeda dengan bisnis biasa, di sini negara-negara
tempat kapal berlabuh atau pesawat mendarat tidak memajaki keuntungannya,
dengan asumsi sudah dipajaki di negara asal perusahaan transportasi itu.
Contohnya begini: Maskapai penerbangan Garuda Indonesia terbang ke
berbagai negara – Singapura, Jepang, Australia. Tiket terjual di banyak
negara, tapi keuntungan dari rute internasional Garuda hanya akan dikenai
pajak di Indonesia (negara asal Garuda), tidak dipajaki lagi di Singapura,
Jepang, atau Australia menurut perjanjian pajak yang mengikuti ketentuan umum
ini. Demikian pula, maskapai Singapore Airlines terbang ke Jakarta;
keuntungan dari penerbangan itu hanya pajak di Singapura, Indonesia tidak menagih
pajak penghasilan dari operasional tersebut. Hal yang sama berlaku untuk
perusahaan pelayaran kapal kargo misalnya. Ini masuk akal karena kalau setiap
negara yang disinggahi kapal/pesawat memungut pajak, betapa rumitnya dan
bisa-bisa ganda lagi. Dengan perjanjian model ini, pajak cukup dipungut
sekali di negara asal perusahaan, sehingga perusahaan transportasi bisa
beroperasi internasional tanpa repot urus pajak di tiap negara tujuan. Bab ini
menjelaskan juga istilah "jalur internasional" (international
traffic), pokoknya selama transportasinya lintas batas (bukan domestik dalam
satu negara saja), aturan khusus ini berlaku. Bagi awam, cukup dibayangkan: pesawat/kapal
itu seperti burung yang terbang keliling, sangkarnya (negara asal) yang
bertanggung jawab pajaknya, bukan setiap pohon yang ia hinggapi.
Bab 9: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Dividen
Bab kesembilan fokus pada dividen, yaitu pembagian laba kepada
pemegang saham. Dalam konteks lintas negara, misalkan perusahaan di negara A
membagikan dividen kepada investor di negara B, dua negara sama-sama ingin
pajak: negara A (sebagai sumber dividen) biasanya mau potong pajak (disebut pajak
withholding), negara B (domisili si penerima) juga menganggap itu
penghasilan kena pajak. Perjanjian pajak membuat kesepakatan agar pajak di
negara sumber (A) atas dividen dibatasi tarifnya dan negara domisili (B)
bisa mengatur kredit pajak atau sejenis agar tidak dobel. Bab ini menjelaskan
struktur pasal dividen (biasanya Pasal 10 P3B) dan perbandingan antara model
OECD, UN, dan bahkan US Model, karena masing-masing mungkin beda tarif standar
atau ketentuan khusus.
Secara sederhana: perjanjian pajak menurunkan tarif pajak potong
atas dividen. Tanpa perjanjian, Indonesia misalnya memotong pajak 20% dari
dividen yang dibayar ke luar negeri. Dengan perjanjian, tarifnya bisa turun
jadi 10% atau 15% tergantung negosiasi. Contoh nyata: Perusahaan di
Indonesia kirim dividen Rp100 juta ke pemegang sahamnya di Jepang. Tanpa
perjanjian, Indonesia potong Rp20 juta (20%). Dengan perjanjian
Indonesia-Jepang, tarif maksimal mungkin 10%. Jadi Indonesia cukup potong Rp10
juta. Investor di Jepang lalu lapor pajaknya di Jepang, dan bisa minta kredit
atas Rp10 juta yang sudah dipotong di Indonesia, sehingga tidak bayar pajak dua
kali. Bab ini juga membahas situasi khusus, misalnya dividen ke pemerintah
asing atau badan tertentu bisa dibebaskan (beberapa perjanjian memberi 0%
untuk pemegang saham berupa pemerintah atau bank sentral). Ibaratnya, bab ini
seperti aturan main bagi dua anak yang berbagi permen: kalau perusahaan kasih
“permen manis” (dividen uang) ke investor asing, negara asal boleh ambil
gigitan kecil saja (pajak rendah), sisanya biar investor bawa pulang dan
mungkin diurus di negaranya. Hal ini membuat investasi antarnegara lebih
menarik karena investor tahu tidak akan digigit pajak terlalu besar di
negara sumber.
Bab 10: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Bunga
Bab kesepuluh membahas bunga (interest) dalam konteks perjanjian
pajak. Bunga di sini maksudnya penghasilan dari pinjaman uang, obligasi, atau
instrumen utang lainnya. Mirip dengan dividen, pembayaran bunga dari satu
negara ke pihak di negara lain biasanya dikenai pajak potong di negara sumber
(negara si pembayar bunga). Perjanjian pajak mengatur agar tarif pajak potong
atas bunga ini dibatasi, tidak terlalu tinggi, supaya pihak pemberi pinjaman di
luar negeri tidak terbebani dobel.
Misalnya, perusahaan di Indonesia meminjam uang dari bank di
Singapura. Atas bunga yang dibayar Indonesia ke Singapura, Indonesia
biasanya memotong pajak. Tanpa perjanjian mungkin 20%. Tetapi karena ada P3B
Indonesia-Singapura, tarif pajak bunga bisa dibatasi misalnya maksimal 10%.
Artinya saat perusahaan Indonesia bayar bunga, hanya 10% dari jumlah bunga yang
dipotong sebagai pajak untuk Indonesia, bukan 20% penuh. Bank di Singapura
nantinya lapor penghasilan bunga ini ke otoritas pajak Singapura dan jika sesuai
perjanjian, Singapura mungkin kasih kredit atau pengecualian agar bunga itu
tidak kena pajak lagi di sana (atau kalau kena, yang sudah dipotong
diperhitungkan). Bab ini juga menyebut definisi bunga, jenis-jenis bunga (dari
obligasi, simpanan bank, dll.), dan pengecualian jika penerima bunganya
punya BUT di negara sumber (kalau bunganya terkait kegiatan BUT, maka
perlakuannya beda, masuk pasal laba usaha). Intinya, P3B membuat pemberi
pinjaman merasa aman karena tahu tarif pajak di negara peminjam terbatas.
Contoh lain: Si A di Kanada punya obligasi perusahaan Indonesia dan menerima
bunga. Karena ada perjanjian, perusahaan Indonesia potong pajak, misal hanya
10%. A senang karena dapat 90% bersih. Pemerintah Kanada pun tidak keberatan
karena bisa memberi kredit pajak 10% itu ke A, sehingga A tidak bayar lagi di
Kanada (kalau sistemnya kredit). Bagi pembaca awam: bab ini seperti mengatur
agar “ongkos” meminjam uang antarnegara tidak mahal gara-gara pajak dobel. Yang
meminjam tetap bayar pajak secukupnya ke negara peminjam, tapi pemberi pinjaman
tidak dibuat rugi dua kali.
Bab 11: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Royalti
Bab kesebelas membahas royalti, yaitu bayaran atas penggunaan
aset tidak berwujud atau hak, seperti hak cipta, merek dagang, paten, atau
bahkan sewa alat industri. Dalam hubungan internasional, misalnya perusahaan di
negara X bayar royalti ke pemilik hak di negara Y, negara X biasanya memotong
pajak atas pembayaran itu. Perjanjian pajak mengatur pembatasan tarif pajak
tersebut mirip seperti dividen dan bunga. Bab ini menjelaskan definisi royalti
menurut perjanjian (apa saja yang termasuk royalti), perbedaan definisi
antarnegara (misal beberapa hal dianggap royalti di satu negara tapi tidak di
negara lain), juga perlakuan jika penerima royalti punya BUT di negara sumber.
Secara ringkas: perjanjian pajak menurunkan tarif pajak potong atas
royalti yang dibayar ke luar negeri, supaya orang mau transfer teknologi
atau hak cipta antarnegara tanpa takut pajak ketinggian. Contoh: Sebuah
stasiun TV di Indonesia membayar royalti kepada perusahaan film di Amerika
untuk lisensi menayangkan film. Tanpa perjanjian, Indonesia potong 20%.
Dengan P3B Indonesia-AS, tarif potong mungkin diturunkan jadi 10%. Artinya
stasiun TV potong 10% saja, sisanya dikirim ke Amerika. Perusahaan film di Amerika
nanti melaporkan pendapatan itu ke otoritas pajak AS, dan pajak 10% yang sudah
dipotong di Indonesia bisa jadi kredit di AS. Bagi anak-anak, bayangkan royalti
itu seperti uang sewa karya: Indonesia “nyewa” filmnya Amerika,
Indonesia kasih uang sewa dipotong sedikit untuk kas Indonesia (itu pajaknya),
sisanya ke pemilik film. Karena sudah potong sedikit di awal (tarif sesuai
perjanjian), pemilik film tak perlu bayar banyak lagi di negaranya. Bab ini
juga mencontohkan situasi unik, misal pembayaran royalti antar perusahaan
grup di negara berbeda yang harus sesuai harga wajar (transfer pricing)
agar tidak disalahgunakan memindah laba. Namun, untuk kesederhanaan: bab 11
menggarisbawahi bahwa aset intelektual yang melintasi negara dikenai pajak
yang wajar dan diatur agar adil bagi negara sumber maupun penerima.
Bab 12: Beneficial Owner dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Bab kedua belas membahas konsep "Beneficial Owner"
atau pemilik manfaat sebenarnya dalam konteks perjanjian pajak. Ini mungkin
terdengar rumit, tapi intinya begini: perjanjian pajak biasanya memberikan
keringanan (tarif pajak rendah) untuk dividen, bunga, royalti hanya jika
penerima pembayaran tersebut adalah beneficial owner-nya. Artinya, dia benar-benar
pihak yang berhak atas uang itu, bukan cuma perantara yang meneruskan
uangnya ke orang lain. Konsep ini dimunculkan untuk mencegah praktik
penyalahgunaan perjanjian, seperti "treaty shopping" yang sudah
disinggung di Bab 5.
Contoh kasus sederhana: Perusahaan P di Negara A berhak terima bunga
dari Indonesia, tapi Negara A tidak punya perjanjian pajak dengan Indonesia,
jadi kena potong pajak 20%. Lalu Perusahaan P membuat rencana: dia menyalurkan
pinjamannya lewat Perusahaan Q di Negara B yang punya perjanjian dengan
Indonesia (tarif bunga 10%). Jadi Indonesia bayar bunga ke Q di B (kena 10%),
terus Q hampir langsung meneruskan uangnya ke P di A. Di atas kertas, penerima
bunga adalah Q di Negara B sehingga dapat tarif rendah. Tapi sebenarnya Q hanya
penyalur, pemilik manfaat (beneficial owner) dari bunga itu tetap P.
Nah, bab ini menjelaskan bahwa aturan beneficial owner melarang trik seperti
itu. Indonesia bisa menolak beri tarif 10% kalau melihat Q hanyalah
perantara dan bukan pemilik manfaat sebenarnya. Mereka akan menagih tarif
normal karena menganggap beneficial owner-nya P (yang tidak berhak perjanjian).
Dalam bahasa anak-anak: bayangkan kamu punya dua teman, si Anna dan si
Budi. Kamu janji ke Anna kalau pinjam uang cukup kembalikan dengan sedikit
tambahan (bunga) 10%. Tapi ke orang lain yang bukan teman, bunganya 20%. Nah,
ada orang asing (Charlie) mau pinjam uangmu dan coba akali: dia suruh temannya
Anna yang kamu kenal baik untuk pinjam atas nama dia. Jika ketahuan bahwa yang
sebenarnya nikmati uang itu Charlie, kamu akan tetap minta bunga 20% karena
janji diskon 10% cuma buat Anna sebagai temanmu asli. Begitu juga perjanjian
pajak: diskon pajak cuma buat pemilik sebenarnya yang memang penduduk negara
itu, bukan yang pura-pura numpang nama. Bab ini memaparkan konsep tersebut
dengan berbagai contoh kasus nyata di dunia dan perkembangan definisi dari waktu
ke waktu. Intinya, "beneficial owner" = siapa yang benar-benar
menguasai dan menikmati penghasilan. Hanya mereka yang boleh pakai tarif
istimewa P3B, supaya gak ada yang “bertopeng” demi potongan pajak.
Bab 13: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari
Harta Tak Bergerak
Bab ketiga belas menguraikan ketentuan perjanjian pajak terkait penghasilan
dari harta tak bergerak (immovable property) seperti tanah dan bangunan.
Prinsipnya relatif sederhana dan konsisten: penghasilan dari properti
biasanya dikenakan pajak di negara tempat properti itu berada. Ini termasuk
pendapatan sewa, keuntungan penjualan tanah/bangunan, atau hasil
pertanian/peternakan di tanah itu. Perjanjian pajak hampir selalu memberi hak
utama ke negara di mana properti tersebut terletak (negara sumber) untuk
memajaki penghasilan tersebut.
Contoh mudah: Pak Budi orang Indonesia punya rumah kontrakan di
Australia. Uang sewa yang Pak Budi terima dari rumah di Australia,
berdasarkan perjanjian pajak Indonesia-Australia, Australia berhak
mengenakan pajak atas uang sewa itu karena rumahnya ada di sana. Indonesia
sebagai negara domisili Pak Budi mungkin juga mengenakan pajak global atas
penghasilan Budi, tapi Indonesia harus memberi kredit atas pajak yang sudah
dipungut Australia, sehingga Budi tidak bayar dua kali. Contoh lain: Perusahaan
Singapura punya tanah di Indonesia lalu menjualnya untung besar. Sesuai P3B
Indonesia-Singapura, Indonesia boleh mengenakan pajak capital gain penjualan
tanah itu karena tanahnya di Indonesia (harta tak bergerak di wilayah
Indonesia). Bab ini juga menjelaskan bagaimana pasal harta tak bergerak
berinteraksi dengan pasal lain. Misalnya, ada pasal "Other Income"
(Penghasilan Lain) di P3B, tapi jika suatu penghasilan sudah dikategorikan
sebagai penghasilan dari harta tak bergerak, maka yang dipakai ya ketentuan
pasal harta tak bergerak tadi. Buat anak-anak, bab ini gampang dipahami: yang
nempel di tanah suatu negara, pajaknya hak negara itu. Jadi kalau kamu
petik buah mangga di kebunmu di negara tetangga dan jual, negara tetangga
itulah yang punya hak pungut pajaknya, karena mangganya tumbuh di tanah mereka.
Bab 14: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Capital Gains
(Keuntungan Modal)
Bab keempat belas membahas capital gains, yaitu keuntungan dari
penjualan aset modal, seperti saham, obligasi, atau properti. Ini lanjutan dari
bab sebelumnya, tetapi mencakup aset bergerak (tidak fisik di satu tempat)
juga. Aturan perjanjian pajak soal capital gains agak bervariasi tergantung
jenis asetnya. Secara umum, keuntungan dari jual aset biasanya dipajak
di negara tempat si penjual tinggal (domisili penjual), kecuali ada
ketentuan khusus. Ketentuan khusus itu misalnya:
- Jika asetnya berupa harta tak bergerak (tanah/bangunan), sudah jelas:
pajak di negara lokasi tanah tadi (seperti bab 13).
- Jika asetnya saham sebuah perusahaan, beberapa perjanjian mengatur:
bila >50% nilai perusahaan berasal dari properti tak bergerak di satu
negara, maka keuntungan jual saham itu boleh dipajak di negara tersebut juga.
Ini untuk mencegah orang mengemas jual beli tanah lewat jual beli saham supaya
luput pajak.
- Untuk jenis aset lain, umumnya keuntungan hanya dikenakan pajak di negara si
penjual berdomisili.
Contoh konkret: Ibu Sari (domisili Indonesia) punya saham perusahaan
tambang di Kanada. Mayoritas nilai perusahaan tambang itu adalah hak atas
tambang (harta tak bergerak di Kanada). Saat Ibu Sari jual sahamnya dengan
untung, perjanjian Indonesia-Kanada memungkinkan Kanada memajaki keuntungan
penjualan saham itu, karena meski yang dijual saham, isi perusahaannya
tambang di Kanada. Nanti Indonesia sebagai negara Ibu Sari bisa beri kredit
pajak Kanada. Contoh lain, kalau Ibu Sari jual saham perusahaan teknologi di
Kanada (yang asetnya bukan tanah, melainkan pabrik atau intangible assets),
mungkin hanya Indonesia yang pajaki keuntungan itu (Kanada tidak, karena tak
diatur khusus). Bab ini juga membahas konsep “alienation” (pengalihan)
yang mencakup penjualan, penukaran, hibah, dll. Buat pemahaman awam: pasal
capital gains menentukan siapa pungut pajak kalau terjadi “cuan” dari jual aset.
Kebanyakan, yang punya hak pajak adalah negara asal si penjual, kecuali untuk
aset yang terkait erat dengan negara lain seperti properti di situ atau mungkin
saham perusahaan properti di situ. Sehingga, bab ini mengajarkan bahwa kalau
untung jual-jual aset lintas negara, lihat dulu asetnya apa dan di mana.
Negara pun sudah atur lewat perjanjian agar tidak berebut atau double-tax.
Ibaratnya kalau kamu jual rumahmu di negeri orang, ya negeri itu wajar minta
bagian. Kalau jual barang kecil yang kamu bawa pulang, cukup negaramu yang
atur.
Bab 15: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari
Pekerjaan Bebas
Bab kelima belas menguraikan aturan P3B tentang penghasilan dari
pekerjaan bebas (Independent Personal Services). Pekerjaan bebas
berarti profesi yang dijalankan sendiri, tidak terikat sebagai pegawai,
misalnya konsultan, dokter praktek pribadi, pengacara independen, seniman
lepas, dan sebagainya. Dalam model OECD terkini, pasal terpisah tentang ini
sudah dihapus dan digabung ke pasal laba usaha atau ke pasal pekerjaan (karena
dianggap mirip prinsipnya). Namun, banyak perjanjian (terutama model PBB atau
yang lebih lama) masih memuat pasal khusus. Prinsipnya: penghasilan dari
pekerjaan bebas hanya kena pajak di negara domisili orang tersebut, kecuali
dia menjalankan profesinya di negara lain dengan kehadiran yang cukup
signifikan seperti punya tempat tetap untuk kerja di negara tersebut
atau tinggal di negara tersebut melampaui jangka waktu tertentu (misal lebih
dari 183 hari dalam setahun). Kalau sudah melebihi itu, negara tempat dia
bekerja bebas boleh memajaki.
Contoh: Dr. Andi, dokter gigi dari Indonesia, membuka praktik 1
tahun di Malaysia. Karena ia punya klinik (tempat tetap) dan lebih dari 183
hari di Malaysia, maka penghasilan dari pasiennya di Malaysia boleh dipajaki
Malaysia. Indonesia sebagai negara asal Andi mungkin tak memajaki atau
kalau pun memajaki, akan mengakui pajak yang dibayar di Malaysia. Sebaliknya, kalau
Dr. Andi cuma terbang ke Malaysia sebulan sekali untuk seminar atau konsultasi
tanpa punya kantor tetap, dan total kehadirannya kurang dari 183 hari
setahun, penghasilannya di Malaysia tidak akan dipajaki Malaysia menurut
perjanjian, melainkan hanya Indonesia yang memajaki (karena Indonesia
domisili dia). Bagi anak-anak, gampangnya: ini mirip aturan karyawan di bab 16
(tentang 183 hari juga) tapi buat orang yang kerja sendiri. Kalau cuma
numpang lewat sebentar untuk kerja lepas, pajaknya tetap di negara asal saja;
kalau sudah lumayan lama mangkal atau buka kantor, negara tempat dia mangkal
boleh minta pajak. Bab ini menghindari kerancuan, misal seniman atau ahli
asing yang datang singkat tidak tiba-tiba ditagih pajak lokal kalau memang
kunjungannya di bawah ambang batas. Intinya, memberikan kejelasan kapan
suatu jasa profesional bebas yang diberikan lintas negara mulai boleh dikenai
pajak oleh negara tempat jasa itu dilakukan. Hal ini mencegah orang kena
pajak di dua negara untuk jasa yang sama, dan mencegah juga celah orang kerja
lama di negara lain tapi ngaku bebas pajak di sana.
Bab 16: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan dari
Hubungan Pekerjaan
Bab keenam belas membahas penghasilan dari hubungan pekerjaan
atau gaji/upah karyawan (disebut juga dependent personal services dalam
Model OECD Pasal 15). Ini mengatur situasi di mana seseorang bekerja sebagai
pegawai di negara lain. Prinsip umumnya: gaji seseorang biasanya dikenai
pajak di negara tempat ia bekerja (karena di situlah ia melakukan
pekerjaannya), tetapi jika dia hanya bekerja sementara waktu (tidak lebih
dari 183 hari dalam setahun) dan gajinya dibayar oleh
perusahaan/asosiasi dari luar negara tersebut, serta biayanya tidak dibebankan
ke kantor/permanent establishment di negara tempat ia bekerja, maka negara
tempat ia bekerja tidak akan mengenakan pajak – pajak cukup di negara
asal/perusahaan asalnya saja.
Kedengarannya rumit, tapi contoh akan mempermudah: Tono, pegawai
perusahaan Indonesia, dikirim untuk proyek di Filipina selama 4 bulan (misal
April hingga Juli). Gajinya tetap dibayar kantor Indonesia, dan perusahaan
Tono tidak punya kantor cabang di Filipina (Tono cuma kerja di lokasi klien
misalnya). Karena Tono di Filipina kurang dari 183 hari, gajinya tidak
dipajaki oleh Filipina sama sekali. Yang memajak tetap Indonesia saja
sebagai negara tempat Tono biasa tinggal dan negara bosnya. Tapi, kalau Tono
diperpanjang jadi 8 bulan di Filipina, atau gajinya dibayar oleh anak
perusahaan lokal Filipina, maka kondisi pengecualian gugur. Filipina berhak
memajaki gaji Tono sejak syarat tak terpenuhi (misal lewat dari 183 hari).
Indonesia pun mungkin masih memajak (karena Tono WNI, tinggal Indonesia), tapi
Indonesia akan memberikan kredit pajak atas pajak Filipina agar Tono tidak
dobel bayar.
Intinya bab ini mencegah pegawai jangka pendek “dikejar-kejar” dua
negara. Buat gambaran sehari-hari: kalau kamu hanya magang liburan musim
panas 3 bulan di luar negeri, kamu mungkin tak perlu bayar pajak di sana, cukup
di negaramu sendiri. Tapi kalau kamu kerja hampir setahun penuh di
negeri orang, ya wajar kalau negeri itu ingin pajak penghasilanmu juga. Bab
ini penting untuk perusahaan yang sering kirim staf ke luar negeri sementara.
Mereka atur agar periode kerjanya tidak melebihi 183 hari supaya pajaknya tetap
sederhana (cukup di satu negara). Bagi pembaca awam, yang perlu diingat: "183
hari" adalah angka keramat – lebih dari itu, kamu dianggap cukup lama
di negara sana sehingga negara itu boleh pajaki gajimu; kurang dari itu,
kemungkinan bebas pajak di sana selama gaji dari luar.
Bab 17: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan
Direktur
Bab ketujuh belas mengupas pasal perjanjian pajak tentang penghasilan
para direktur (director’s fees). Ini biasanya Pasal 16 OECD Model.
Isinya mengatur bahwa imbalan yang diterima seseorang dalam kapasitasnya
sebagai direktur atau pengurus suatu perusahaan bisa dipajaki di negara tempat
perusahaan tersebut berada. Dengan kata lain, kalau Anda duduk di dewan
direksi perusahaan luar negeri, negara di mana perusahaan itu berdomisili
berhak memajaki penghasilan yang Anda dapat sebagai direktur.
Contohnya: Ibu Anita tinggal di Indonesia tapi menjadi
komisaris/direktur di perusahaan Singapura. Setiap tahun Ibu Anita mendapat
honorarium direktur dari perusahaan Singapura itu. Menurut perjanjian pajak
Indonesia-Singapura, Singapura boleh memungut pajak atas honor direktur yang
dibayar perusahaan Singapura kepada Ibu Anita, meskipun Ibu Anita tinggal
di Indonesia. Kenapa? Karena logikanya, penghasilan itu terkait erat dengan
perusahaan di Singapura, dan biasanya negara perusahaan ingin memastikan para
pengurus asingnya setidaknya bayar pajak atas uang yang didapat dari perusahaan
lokal. Indonesia sebagai negara domisili Ibu Anita mungkin juga mengenakan
pajak global, tapi tentu akan memperhitungkan kredit pajak yang sudah dipotong
Singapura agar tidak double.
Bagi anak-anak: bayangkan sebuah klub di negara A membayar uang
kepengurusan kepada ketuanya yang tinggal di negara B. Nah, negara A (tempat
klub) akan kenakan pajak penghasilan itu dulu, baru sisanya dibawa pulang. Bab
ini relatif pendek dan spesifik dibanding bab lain, intinya supaya pengurus
perusahaan tidak lepas dari pajak hanya karena tinggal di luar negeri.
Negara tempat perusahaan berdiri punya hak pertama. Ini mencegah situasi di
mana misal semua dewan direksi WNA sebuah perusahaan lokal tidak bayar pajak di
sini karena mereka pulang ke negara masing-masing – perjanjian justru kasih
wewenang ke kita (negara perusahaan) untuk potong pajak mereka.
Bab 18: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan
Entertainer dan Olahragawan
Bab kedelapan belas membahas penghasilan para entertainer (artis,
musisi, aktor) dan olahragawan sesuai Pasal 17 OECD Model. Aturannya agak
berbeda dari pekerjaan biasa: selebriti atau atlet yang tampil di negara
lain biasanya boleh langsung dikenai pajak di negara tempat mereka tampil,
tanpa peduli mereka tinggal berapa hari. Ini karena seringkali mereka
menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat dari penampilan atau pertunjukan
di negara tersebut. Kalau pakai aturan 183 hari seperti pegawai biasa, bisa
saja artis hanya manggung 1 hari tapi dapat bayaran besar dan lolos pajak di
negara tempat show. Jadi ada pasal khusus untuk mereka.
Contoh: Grup band rock dari Amerika mengadakan konser semalam di
Jakarta dan mendapat bayaran besar. Walaupun mereka cuma sehari di
Indonesia, perjanjian pajak Indonesia-AS mengizinkan Indonesia memungut
pajak atas penghasilan konser tersebut. Band tersebut dapat uang di
Indonesia, jadi Indonesia ingin bagian pajaknya meski sebentar. Nanti otoritas
Amerika tidak akan ganda memajaki bagian itu tanpa kredit. Demikian pula, jika
Cristiano Ronaldo (penduduk Portugal) main pertandingan eksibisi di Indonesia
dengan bayaran, Indonesia boleh potong pajak dari bayaran itu, meski
Ronaldo cuma 2 hari di sini. Bab ini juga menyebut bahwa terkadang ada pengecualian
jika penghasilan artis/atlet itu berasal dari dana publik suatu kegiatan
pertukaran budaya atau olahraga (untuk hal-hal amal atau mewakili negara,
beberapa perjanjian tidak memajaki). Tapi umumnya, penghasilan artis dan
atlet ditarik pajak di tempat mereka perform. Buat ilustrasi anak-anak:
bayangkan artis favoritmu tur dunia. Setiap negara yang ia datangi untuk konser
pasti ingin sedikit dari tiket yang terjual, itulah pajaknya. Ini dianggap
wajar karena artis itu dapat uang dari penonton di negara tersebut. Tanpa
aturan ini, artis bisa memanfaatkan celah tinggal sebentar terus tak kena pajak
padahal dapat banyak, jadi pasal ini tutup celah itu. Intinya bab 18: “Main
di lapangan kami, dapat uang kami, pajak juga kami tagih, walau kamu pulang
cepat” – begitulah kira-kira prinsip yang berlaku untuk entertainer dan
olahragawan asing.
Bab 19: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pensiun
Bab kesembilan belas fokus pada pensiun – penghasilan yang
diterima saat seseorang sudah tidak bekerja lagi (uang pensiun atau tunjangan
hari tua). Pasal pensiun (biasanya Pasal 18) mengatur apakah pensiun dipajaki
di negara asal yang membayar atau di negara tempat si pensiunan tinggal, atau mungkin
keduanya. Banyak perjanjian menetapkan pensiun dari sektor swasta
(misalnya pensiun dari perusahaan) hanya dikenakan pajak di negara tempat
penerima pensiun tinggal. Namun ada variasi: beberapa perjanjian (terutama
model PBB atau US) memperbolehkan juga negara sumber (tempat dibayarnya
pensiun) memajaki, tapi banyak yang tidak.
Sebaliknya, untuk pensiun pegawai negeri (pensiun yang dibayar
pemerintah), biasanya diatur terpisah di Pasal Pegawai Pemerintah (Bab 20) –
cenderung dipajak hanya di negara pembayar. Jadi Bab 19 ini utamanya bicara
pensiun swasta dan sejenisnya. Secara sederhana: perjanjian berusaha melindungi
para pensiunan agar tidak dikenai pajak berganda. Pensiunan sering punya
penghasilan terbatas dan sudah tua, maka biasanya satu negara saja yang
memajaki. Misal, Pak Joko kerja 30 tahun di perusahaan Inggris lalu pensiun
dan balik tinggal di Indonesia. Dia terima uang pensiun bulanan dari dana
pensiun di Inggris. Sesuai P3B Indonesia-Inggris, kalau disepakati pensiun
hanya pajak di negara domisili penerima, berarti hanya Indonesia yang
memajaki uang pensiun Pak Joko, Inggris tidak potong pajak lagi. Tapi ada
perjanjian di mana sebaliknya, hanya negara sumber yang pajaki, jadi tergantung
isi P3B-nya. Bab ini juga membahas jenis-jenis skema dana pensiun dan bagaimana
treaty memperlakukan mereka, juga sejarah aturan pensiun dalam perjanjian.
Untuk mudahnya bagi anak-anak: pensiun itu seperti uang jajan di
hari tua. Perjanjian pajak memastikan kakek-nenek tidak dipalak dua kali.
Biasanya yang tagih pajak adalah negara tempat kakek tinggal menikmati
pensiunnya, karena di situlah dia menghabiskan uangnya untuk hidup. Negara yang
mengirim uang pensiun mungkin sudah tidak ikut memajaki agar si kakek dapat
lebih. Namun, kalo pensiunnya dibiayai negara (misal veteran tentara), biasanya
negara asal tetap pajaki sebagai bentuk tanggung jawab. Jadi bab ini menekankan
pentingnya kesepakatan tentang pajak pensiun supaya masa tua para pensiunan
lintas negara tenang, tidak bingung bayar pajak dobel di dua tempat.
Bab 20: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pegawai
Pemerintah
Bab kedua puluh membahas penghasilan pegawai pemerintah yang bekerja di
luar negerinya, seperti diplomat, konsulat, atau staf pemerintah yang
ditugaskan ke negara lain. Pasal ini (biasanya Pasal 19 P3B) menyatakan bahwa gaji,
upah, atau pensiun yang dibayar pemerintah suatu negara kepada pegawai
pemerintahnya hanya dikenakan pajak oleh negara tersebut saja, dan tidak
oleh negara tempat ia bertugas, dengan syarat pegawai tersebut bukan warga
negara tempat ia bertugas. Jadi prinsipnya: kalau kamu bekerja untuk negaramu
sendiri walau ditempatkan di luar negeri, penghasilanmu tetap wilayah pajak
negaramu, tidak diganggu negara setempat.
Contoh: Linda, warga negara Indonesia, bekerja sebagai staf di KBRI
(Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Korea Selatan. Gajinya dibayar
pemerintah Indonesia. Menurut perjanjian pajak Indonesia-Korsel, gaji Linda
hanya dipajaki oleh Indonesia, Korea tidak memajaki gaji tersebut. Hal ini
sesuai praktik umum bahwa diplomat dan petugas pemerintah punya kekhususan.
Contoh lain: John, warga negara Amerika, bekerja di USAID di Indonesia;
gajinya dari pemerintah AS. Indonesia tidak akan memajaki gaji John (karena
John bukan WNI dan gajinya dari pemerintah asing), pajaknya cukup diurus oleh
AS. Pengecualian: kalau pegawai pemerintah itu ternyata warga negara
setempat atau punya status penduduk tetap di negara tempat bertugas, bisa beda
cerita – perjanjian sering menyebut kalau dia warga negara B tempat bertugas,
maka gajinya dipajak seperti orang biasa (negara B boleh pajak). Ini untuk
menghindari situasi “double privilege”. Bab ini juga menyebut perbedaan pasal
19(1), 19(2) untuk gaji dan pensiun pegawai pemerintah. Intinya, P3B
menghormati aturan bahwa pemerintah memajaki sendiri gaji pegawainya di luar
negeri, kecuali situasi tertentu.
Untuk bahasa sederhana: Kalau kamu bekerja sebagai utusan negeri
asalmu, maka gajimu aman dari pajak negeri orang. Ibaratnya tamu membawa
bekal sendiri, tuan rumah tidak minta bagian dari bekal itu. Bab 20 memastikan
tidak ada bentrokan pajak untuk para petugas pemerintah yang sedang mengabdi di
negara lain, karena penghasilannya cukup dipajaki oleh negara yang mengirimnya.
Hal ini membuat pertukaran diplomat dan kerja sama antar pemerintah berlangsung
mulus tanpa ribut pajak.
Bab 21: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pelajar
dan Peserta Magang
Bab kedua puluh satu mengulas ketentuan khusus bagi pelajar,
mahasiswa, atau peserta magang yang berada di luar negeri. Pasal ini
biasanya memberikan keringanan atau pembebasan pajak bagi mereka. Tujuannya
agar orang yang menuntut ilmu atau latihan di negeri orang tidak dibebani pajak
atas uang kiriman atau beasiswa yang mereka terima untuk biaya hidup atau
studi. Biasanya aturannya: uang saku, beasiswa, atau penghasilan kecil dari
pekerjaan paruh waktu yang diterima pelajar/mahasiswa asing tidak akan
dikenai pajak oleh negara tempat ia belajar, selama uang itu berasal dari
luar negara tersebut (misal kiriman orang tua dari negara asal atau beasiswa
asing).
Contoh: Siti dari Indonesia kuliah di Prancis. Orang tua Siti
rutin mengirimi uang untuk biaya hidup di Prancis. Berdasarkan P3B
Indonesia-Prancis, uang kiriman ini bebas pajak di Prancis. Begitu pula
beasiswa Siti dari Indonesia, Prancis tidak memajakinya. Atau Siti dapat
beasiswa pemerintah Prancis? Tergantung perjanjiannya, tapi umumnya beasiswa
juga bebas pajak. Contoh lain: John dari Amerika magang kerja 3 bulan (tidak
dibayar, atau dibayar sedikit) di perusahaan Jepang sambil belajar. Uang
saku atau imbalan kecil yang John terima mungkin dibebaskan dari pajak Jepang
karena John statusnya peserta magang, bukan pekerja tetap. Namun, jika pelajar
mulai bekerja tetap dan berpenghasilan besar di negara studi, tentu ia tak lagi
dianggap "hanya pelajar", penghasilan kerjanya bisa kena pajak
seperti orang lokal.
Bab ini intinya melindungi pelajar asing dari pungutan pajak yang
tak perlu, supaya biaya studi tidak melangit. Bagi anak-anak mudahnya: kalau
kamu pergi belajar ke luar negeri, uang yang papa-mama kirim atau beasiswa yang
kamu dapat tidak akan dipajaki dua kali. Negara tempat kamu belajar
membebaskan atau minimal tak memajaki kiriman tersebut, karena itu memang untuk
biaya belajarmu. Ini mendorong pertukaran pendidikan internasional – mahasiswa
asing datang belajar tanpa waswas uang bekal habis oleh pajak. Bab ini juga
menyebut kadang ada jangka waktu (misal pembebasan berlaku selama normal masa
studi, bukan selamanya). Jadi simpulannya: untuk pelajar dan trainee,
perjanjian pajak memberi perlakuan istimewa agar mereka fokus belajar, bukan
pusing pajak.
Bab 22: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan
Akademisi: Profesor, Dosen Tamu, dan Peneliti
Bab kedua puluh dua membahas ketentuan khusus yang sering ada di
perjanjian pajak (terutama beberapa perjanjian bilateral) yang memberikan
fasilitas pajak bagi akademisi tamu – seperti profesor, guru, atau
peneliti – yang diundang ke negara lain untuk mengajar atau meneliti dalam
jangka waktu tertentu. Aturan ini tidak selalu ada di semua perjanjian, tapi
banyak yang menambahkannya terutama untuk mendorong pertukaran ilmu. Biasanya
bunyinya: seorang profesor atau guru dari negara A yang datang ke negara B untuk
mengajar/meneliti dalam periode tertentu (misal maks 2 tahun) akan dibebaskan
dari pajak di negara B atas penghasilan yang didapat dari mengajar/meneliti itu.
Artinya, selama masa undangan itu, gajinya atau honorariumnya tidak dipajaki
oleh negara B, mungkin tetap hanya pajak di negara asal A saja.
Contoh nyata: Dr. Surya, dosen di Indonesia, diundang mengajar
sebagai profesor tamu di universitas di Korea selama 1 tahun. Universitas
Korea memberikan honorarium kepada Dr. Surya. Jika P3B Indonesia-Korea punya
klausul akademisi seperti ini, honor yang Dr. Surya terima di Korea
dibebaskan dari pajak Korea, selama masa kerjanya tidak melebihi durasi
yang disepakati (misal 2 tahun). Dr. Surya hanya akan melaporkan penghasilan
itu ke pajak Indonesia (negara asalnya) sesuai aturan Indonesia, tapi Korea
sebagai negara tempat dia mengajar tidak memungut pajak. Contoh lain: Profesor
Jane dari Inggris melakukan riset di Indonesia selama 6 bulan dengan grant dari
universitas Inggris. Uang yang dia bawa/terima untuk riset itu tidak
dipajaki Indonesia jika ada klausul ini, karena diasumsikan itu demi ilmu
pengetahuan, dan sementara sifatnya.
Tujuan bab ini adalah mendorong pertukaran akademik. Kalau
profesor tahu gajinya gak kena pajak dua kali, dia lebih semangat mau mengajar
di luar negeri sementara waktu. Bagi awam, bisa diibaratkan program "tukar
guru": negara tuan rumah kasih keringanan, “Kami tidak akan potong pajak
dari gajimu di sini, selamat datang berbagi ilmu.” Biasanya ada syarat seperti
orang itu benar-benar diundang institusi pendidikan atau riset, bukan datang
sendiri lalu mengajar komersial. Juga jangka waktunya terbatas; lewat itu dia
jadi subjek pajak biasa. Intinya, bab 22 menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan
dan pendidikan mendapat perlakuan khusus dalam perjanjian pajak berupa
pembebasan pajak sementara, agar pengetahuan bisa mengalir lintas negara dengan
lebih bebas.
Bab 23: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Lain
Bab kedua puluh tiga membahas pasal "Penghasilan Lain" (Other
Income) dalam perjanjian pajak. Ini semacam pasal sapu-jagat untuk jenis
penghasilan yang tidak diatur khusus di pasal-pasal sebelumnya.
Misalnya, hadiah, lotere, penghasilan tidak biasa, dan lain-lain. Ketentuannya
umumnya: penghasilan jenis apapun yang tidak disebut di pasal lain, akan
dikenai pajak hanya di negara domisili penerima penghasilan. Namun ada
pengecualian umum juga: kalau penghasilan lain itu berhubungan dengan BUT
(Bentuk Usaha Tetap) di negara lain, maka beda cerita – bisa kena di negara
di mana BUT-nya berada.
Secara sederhana, perjanjian pajak menghindari celah "Wah ini
penghasilan gak diatur, siapa pajak ya?" dengan memberikan aturan default
di pasal Penghasilan Lain. Contoh: Tuan A (domisili Indonesia) menang lotere
di negara X. Uang hadiah lotere itu menurut P3B Indonesia-X, karena itu
penghasilan yang tidak diatur di pasal lain, maka hanya dipajaki di
Indonesia (negara tempat Tuan A tinggal), negara X tidak pungut pajak atas
hadiah lotere yang dibayarnya ke orang asing. Contoh lain: Nona B (domisili
Malaysia) memiliki penghasilan aneh, misal dapat hadiah kuis dari Indonesia.
Jika hadiah kuis gak tercakup di pasal lain, Indonesia tidak akan pajaki
(sesuai pasal Other Income, pajak hak Malaysia saja). Tapi, kalau Nona B
dapat penghasilan lain melalui suatu usaha tetap di Indonesia (misal dia
punya BUT di sini yang terima penghasilan tak teratur), maka Indonesia bisa
pajaki lewat pasal BUT.
Bab ini juga menjelaskan potensi konflik kualifikasi – kadang satu
negara anggap suatu penghasilan masuk "Other Income", negara lain
anggap itu "Dividen" misalnya, sehingga ada ketidaksepahaman. P3B
biasanya punya mekanisme mengatasi hal itu lewat konsultasi. Buat orang awam:
anggaplah pasal Penghasilan Lain sebagai jaring pengaman. Apapun
penghasilan aneh-aneh yang tak disebut sebelumnya, default-nya pajak di
negara si penerima saja, supaya tidak double. Ibaratnya, kalau ada rejeki
nomplok yang tak terduga lintas negara, yang menikmatilah yang urus pajaknya di
rumah sendiri. Dengan begitu, hal-hal kecil atau jarang terjadi tidak bikin
repot dua negara ribut pajak. Bab ini melengkapinya dengan contoh ilustrasi di
buku (seperti penjualan murah apartemen dianggap penghasilan lain dsb.), tapi
intinya kita sudah cover: tidak ada penghasilan yang luput atau dobel
dikenai karena sudah ada pasal “lain-lain” ini.
Bab 24: Metode Eliminasi Pajak Berganda secara Yuridis
Bab kedua puluh empat sangat penting karena menjelaskan bagaimana
cara menghilangkan pajak berganda itu sendiri dari sisi hukum (yuridis).
Setelah bab-bab sebelumnya mengatur pembagian hak pemajakan, bab ini membahas metode
teknis yang digunakan negara domisili untuk mencegah pajak ganda jika kedua
negara sama-sama memajaki suatu penghasilan. Dua metode utama yang dibahas: Metode
Pembebasan (Exemption) dan Metode Kredit Pajak (Credit).
- Metode Pembebasan: Negara domisili mengenyampingkan
pajak atas penghasilan yang sudah dipajaki di negara sumber. Jadi
penghasilan luar negeri itu dikecualikan dari lapangan pajak di negara
domisili. Contoh: Jika Indonesia menerapkan metode pembebasan untuk jenis
penghasilan tertentu, artinya kalau WNI dapat penghasilan yang sudah
dipajaki di negara mitra, Indonesia tidak mengenakan pajak lagi atas
penghasilan tersebut. Misal Pak C dari Indonesia punya laba BUT di negara
D, dan negara D sudah pajaki laba itu, Indonesia bisa bebaskan laba itu
dari pajak Indonesia (tidak dihitung kena pajak Indonesia sama sekali).
Ini cara memastikan hanya satu pajak yang dikenakan (di negara sumber
saja).
- Metode Kredit: Negara domisili tetap
mengenakan pajak atas seluruh penghasilan wajib pajaknya (termasuk yang
diperoleh di luar negeri), tetapi mengurangkan (memberikan kredit sebesar)
pajak yang sudah dibayar di negara sumber. Jadi total yang dibayar si
wajib pajak di dua negara tidak melebihi tarif tertinggi di negara
domisili. Contoh: Bu D warga negara X punya penghasilan di negara Y,
dipotong pajak Y sebesar Rp100. Di negara X, seharusnya penghasilan itu
kena pajak Rp150. Dengan metode kredit, Bu D bayar sisanya Rp50 ke negara
X (Rp150 - kredit Rp100 dari Y). Jadi total Rp150, yang mana setara dengan
tarif X saja. Kalau pajak Y lebih tinggi dari pajak X, biasanya kredit
cuma sampai maksimum pajak X (excess tak terpakai).
Bab ini membahas kedua metode ini secara rinci, termasuk variasinya
(misal full exemption vs progression exemption, full credit vs
ordinary credit). Juga ada konsep tax sparing di mana negara
domisili memberi kredit seolah-olah pajak telah dibayar di negara sumber
padahal negara sumber beri insentif pembebasan (ini untuk mendorong investasi,
misal negara sumber bebaskan pajak, tapi negara domisili pura-pura menganggap
pajak seharusnya bayar dan tetap beri kredit agar investor benar-benar nikmati
bebas pajak). Bab ini bagi awam: bayangkan kamu punya tugas yang sama dinilai
oleh dua guru. Agar nilaimu gak dobel dikurang, guru wali kelas (domisili)
punya dua pilihan: mengabaikan nilai potongan dari guru tamu (exemption, jadi
cuma nilai satu guru yang dihitung) atau menjumlah nilai keduanya tapi
menghapus potongan duplikat (credit, mengakui potongan guru tamu).
Contoh nyata sederhana: Andi, orang Indonesia, dapat dividen dari
perusahaan di negara Z. Negara Z potong pajak 10 juta. Indonesia juga
seharusnya kenakan pajak dividen misal 15 juta. Kalau Indonesia pakai metode
kredit biasa, Andi bayar ke Indonesia 5 juta saja (15 – kredit 10 yang sudah
dipotong Z). Kalau metode pembebasan, Andi sama sekali tidak dikenai pajak di
Indonesia untuk dividen itu; 10 juta ke Z sudah final. Tiap perjanjian menyebut
negara pakai metode mana. Indonesia umumnya pakai kredit. Bab ini intinya
menunjukkan mekanisme konkrit agar double taxation itu dihilangkan.
Tanpa metode ini, walaupun hak pajak sudah dibagi di bab-bab sebelumnya, tetap
ada kasus satu penghasilan dikenai dua negara. Metode inilah solusi akhirnya
agar tidak merugikan wajib pajak.
Bab 25: Prinsip Nondiskriminasi dalam Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda
Bab kedua puluh lima menjelaskan prinsip nondiskriminasi dalam
pajak internasional. Prinsip nondiskriminasi berarti negara tidak boleh
memperlakukan wajib pajak dari negara mitra secara lebih buruk daripada warga
atau perusahaan lokal dalam situasi yang sebanding, hanya karena status
kebangsaannya atau karena uangnya lari ke luar. Perjanjian pajak biasanya
memuat pasal nondiskriminasi (Pasal 24 di model OECD) yang mencakup beberapa
hal, misalnya:
- Tidak diskriminasi terhadap warga negara: WN negara mitra di negara
kita tidak boleh dipajaki lebih tinggi hanya karena ia WN asing, dibanding WN
kita dalam kondisi sama.
- Tidak diskriminasi terhadap BUT vs perusahaan lokal: Pajak atas permanent
establishment (BUT) milik perusahaan asing tidak boleh lebih tinggi atau
diperlakukan lebih buruk dari pajak atas perusahaan lokal yang menjalankan
aktivitas serupa.
- Deduksi/deductibility: pembayaran ke penduduk negara mitra (misal
bunga, royalti ke luar negeri) harus boleh dikurangkan sebagai biaya seperti
kalau bayar ke penduduk lokal. Jangan dilarang potong biaya hanya karena
penerimanya di luar negeri.
- Perlakuan pemotongan pajak dividen: misal, perusahaan lokal milik
asing jangan kena pajak yang beda dengan perusahaan lokal milik domestik dalam
hal pembagian laba, dsb. Juga perusahaan yang dimiliki asing tak boleh
dipajaki diskriminatif dibanding yang dimiliki warga lokal.
Contoh situasi: Sebuah PT di Indonesia dimiliki oleh investor Jepang
melalui BUT atau cabang. Prinsip nondiskriminasi menghendaki PT milik
Jepang ini dikenai pajak sama tarifnya dengan PT milik orang Indonesia.
Tidak boleh karena itu milik asing lalu tarif PPh Badannya dinaikkan. Atau
misal Indonesia memberi insentif pengurangan pajak untuk perusahaan yang
terdaftar di bursa lokal, itu harusnya juga terbuka ke perusahaan BUT asing
kalau kondisinya sama. Contoh lain: Warga Perancis bekerja di Indonesia
harus dipajaki dengan cara sama seperti warga Indonesia yang penghasilannya
sama. Jangan ada pajak khusus WNA lebih tinggi misalnya (kecuali di konteks
tertentu di luar perjanjian, tetapi jika itu langsung diskriminasi, bisa
langgar perjanjian).
Bab ini memberikan contoh pelanggaran nondiskriminasi, misalnya dulu
ada negara yang tidak mengizinkan perusahaan cabang asing mengurangi biaya
head-office, padahal perusahaan lokal boleh kurangi biaya manajemen. Nah,
perjanjian akan bilang itu tak boleh. Untuk anak 12 tahun: analogi
sederhananya, "jangan membeda-bedakan". Kalau ada dua pedagang
di pasar, satu pendatang satu lokal, aturan pajak diperlakukan sama selagi
kondisinya setara. Perjanjian pajak mengunci janji itu antara dua negara supaya
investor asing merasa diperlakukan adil. Bab ini penting agar perjanjian
pajak bukan cuma soal tarif, tapi juga soal fairness perlakuan. Negara
diingatkan untuk tidak membuat aturan pajak yang mendiskriminasi mitra
perjanjiannya, dan kalau melanggar, wajib pajak bisa protes sesuai mekanisme
(misal lewat MAP, meski bab MAP tidak khusus dibahas di sini, nondiskriminasi
biasanya tidak bisa dibawa ke pengadilan lokal juga, tapi di perjanjian hal ini
disepakati sebagai prinsip). Intinya, bab 25 menggarisbawahi semangat kesetaraan:
asing atau lokal, kalau situasinya sama, pajaknya harus sama.
Bab 26: Pertukaran Informasi untuk Tujuan Pajak
Bab kedua puluh enam membahas pertukaran informasi antar negara
untuk keperluan pajak, sesuai Pasal 26 OECD Model. Ini topik yang sangat aktual
karena terkait upaya global memberantas penghindaran pajak dengan cara
transparansi. Inti pasal ini: otoritas pajak kedua negara akan saling
membantu dengan menukar informasi yang relevan untuk memastikan penegakan hukum
pajak yang benar. Artinya, jika Indonesia butuh data rekening atau
penghasilan warga Indonesia di negara mitra P3B, negara mitra harus membantu
memberikan (tentu lewat prosedur resmi). Demikian pula sebaliknya. Informasi
yang ditukar bisa berbagai macam: data keuangan, kepemilikan aset, transaksi,
dsb, asalkan berguna untuk penagihan atau penegakan pajak.
Bab ini menjelaskan beberapa bentuk pertukaran info: pertukaran
berdasarkan permintaan (kalau satu negara minta data spesifik, negara lain
berikan), pertukaran spontan (kalau ada temuan yang mungkin berguna
untuk negara partner, dikasih tahu meski tidak diminta), dan pertukaran
otomatis (secara rutin, misal setiap tahun tukar data rekening bank warga
masing-masing – ini hal yang belakangan diatur melalui kesepakatan global CRS).
Ada cerita juga soal Global Forum on Transparency and Exchange of
Information, Tax Information Exchange Agreement (TIEA) dan
standar-standar seperti FATCA (dari AS) atau CRS (Common Reporting Standard)
yang melibatkan banyak negara. Meskipun detailnya teknis, intinya perjanjian
pajak menghilangkan kerahasiaan berlebihan: rahasia bank misalnya tak boleh
dipakai alasan menolak beri data kalau diminta sesuai pasal ini.
Contoh supaya jelas: Bapak E di Indonesia diduga sembunyikan uang di
Bank negara F. Otoritas pajak Indonesia curiga dan lewat mekanisme
perjanjian, Indonesia kirim permintaan resmi ke negara F: “tolong berikan data
rekening Bapak E di bank sana.” Negara F tidak boleh menolak dengan alasan
misal "di negara kami data bank rahasia", karena pasal P3B mewajibkan
kerjasama. Mereka harus kumpulkan info itu (tentu mengikuti prosedur hukum) dan
mengirim ke Indonesia. Contoh lain: Nyonya G warga negara mitra punya usaha
di Indonesia, mungkin Indonesia lapor spontan ke negara asal G bahwa G ada
penghasilan sekian di Indonesia (kalau diperlukan). Sekarang lebih maju
lagi, banyak negara (termasuk Indonesia) sudah ikut pertukaran otomatis data
rekening keuangan setiap tahun, jadi petugas pajak bisa melihat warga negaranya
punya simpanan berapa di luar negeri, sehingga tak bisa sembunyi penghasilan.
Ini semua sejalan dengan pasal pertukaran informasi dalam P3B.
Untuk anak-anak: mudahnya begini, negara-negara sekarang saling
bantu seperti teman sekelas yang jujur – kalau ada teman nyontek sembunyiin
sesuatu, mereka akan saling kasih tahu guru supaya semuanya tertib. Jadi orang
kaya tak bisa sembunyi uang di negeri lain untuk menghindari pajak, karena
negeri lain akan laporan. Bab 26 menekankan bahwa kerjasama ini sudah menjadi
standar global. Data yang ditukar pun dijaga kerahasiaannya oleh penerima
(hanya boleh dipakai untuk penegakan pajak). Hal ini bikin wajib pajak lebih
patuh, karena mereka tahu “zaman sudah terbuka, tak bisa main petak umpet
uang lagi” antar yurisdiksi.
Bab 27: Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda atas Penghasilan Pejabat
Diplomatik dan Konsulat
Bab kedua puluh tujuh menjelaskan aturan terkait pejabat diplomatik
dan konsulat dalam P3B. Sebenarnya, pajak penghasilan diplomat diatur juga
di perjanjian internasional lain (Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik),
yang intinya para diplomat dan konsuler punya kekebalan pajak tertentu di
negara tempat mereka bertugas. Pasal dalam P3B (Pasal 28 OECD Model) biasanya
menyatakan bahwa perjanjian pajak tidak memengaruhi keistimewaan pajak para
diplomat dan konsul yang sudah diatur di perjanjian internasional atau aturan
khusus. Juga kadang ditegaskan bahwa jika diplomat dari negara A bertugas
di negara B, maka untuk tujuan P3B, dianggap seolah diplomat itu tetap resident
di negara A (negara asalnya) jika ia dibebaskan pajak di B.
Bahasa mudahnya, bab ini bilang: “Ingat, aturan pajak biasa di P3B
tak berlaku buat diplomat sesuai ketentuan mereka.” Misalnya, perjanjian
pajak ada pasal gaji pegawai (Bab 16 dan Bab 20) yang normalnya memajaki di
negara tempat bekerja. Tapi untuk Duta Besar, staf kedutaan, konsul,
gaji mereka tidak dipajaki tuan rumah, hanya negara mereka yang pajaki (atau
malah dibebaskan juga tergantung kebijakan domestik).
Contoh: Seorang diplomat India bertugas di Kedubes India di Jakarta.
Dia digaji pemerintah India dan sesuai aturan diplomatik, Indonesia tidak
memajaki gaji itu. Perjanjian pajak Indonesia-India tidak akan mengubah itu,
malah mengakui bahwa "ya, kita hormati aturan diplomatik". Juga,
kalau diplomat itu kebetulan bukan WNI, maka di mata Indonesia dia dianggap
bukan penduduk lokal untuk pajak. Sebaliknya diplomat Indonesia di luar negeri
ya begitu juga. Bab ini juga mencakup keluarga diplomat atau staf konsulat
(mereka juga biasanya dapat pembebasan pajak tertentu asalkan bukan warga
lokal).
Untuk mempermudah: diplomat itu ibarat tamu resmi negara, jadi
mereka punya perlakuan khusus. P3B bab ini hanya menegaskan, “perlakuan khusus
sesuai Konvensi Wina tetap berjalan, perjanjian pajak tidak meniadakannya.”
Misal, kalau ada kebijakan diplomat bebas pajak impor mobil pribadinya, itu di
luar P3B tapi P3B mengakui hak-hak seperti itu. Bab 27 mengingatkan kita bahwa aturan
main pajak internasional ada pengecualian orang-orang spesial (diplomat) yang
diatur terpisah, dan P3B menghormatinya.
Bab 28: Penghindaran Pajak, Proyek Anti-BEPS, dan Upaya Merestorasi
Sistem Pajak Internasional
Bab terakhir, bab kedua puluh delapan, bergeser dari pasal-pasal P3B ke
pembahasan yang lebih luas tentang penghindaran pajak global dan proyek
anti-BEPS. BEPS adalah singkatan dari Base Erosion and Profit Shifting,
sebuah inisiatif global yang diprakarsai OECD dan G20 untuk mengatasi
strategi-strategi perusahaan multinasional yang menggerus basis pajak negara
(menghindari pajak dengan memindah laba ke tempat ber-pajak rendah). Bab ini
menjelaskan kenapa BEPS muncul, apa saja yang dilakukan, dan bagaimana hasilnya
mengubah lanskap pajak internasional termasuk perjanjian pajak.
Dalam bahasa sederhana, bab ini mengajak kita melihat masalah besar: banyak
perusahaan besar dunia (misal perusahaan teknologi, perusahan farmasi, dll)
yang karena lihai, mampu bayar pajak sangat kecil meski untung besar.
Caranya dengan memanfaatkan celah peraturan antarnegara, misal: membuat
struktur perusahaan di mana laba dialihkan ke negara suaka pajak (tax haven)
yang tarifnya hampir nol. Ini legal (beda dengan penggelapan, ini
penghindaran yang memanfaatkan aturan). Akibatnya, negara-negara tempat mereka
benar-benar jualan barang/jasa merasa dirugikan karena basis pajaknya terkikis
(erosion). Publik pun marah melihat perusahaan raksasa hampir tak bayar pajak.
BEPS Project (sekitar 2013-2015) melahirkan 15 Rencana Aksi (Actions)
untuk menutup celah-celah itu. Contohnya: Aksi 1 bahas ekonomi digital, Aksi
2 atasi pemborosan pajak akibat aturan ganda (hybrid mismatch), Aksi 3
perkuat aturan CFC (kendalikan perusahaan asing yang dimiliki domestik supaya
labanya tak parkir di tax haven), Aksi 4 batasi bunga pinjaman antargrup
agar tak gede-gedein biaya, Aksi 6 langsung mengenai treaty: mencegah
penyalahgunaan perjanjian pajak (anti treaty shopping), dsb. Salah satu hasil
besar BEPS adalah MLI (Multilateral Instrument), perjanjian multilateral
yang bisa mengubah banyak P3B sekaligus menambah klausul anti-misuse. Juga
muncul standar pertukaran informasi otomatis (CRS) yang di bab 26 sudah
disinggung, dan kesepakatan negara untuk country-by-country reporting
(transparansi laporan per negara untuk perusahaan besar).
Bab ini juga menyoroti upaya merestorasi sistem pajak: misal negara-negara
mulai adopsi aturan anti penghindaran di undang-undang domestik (seperti aturan
anti-penyalahgunaan umum atau GAAR), kerjasama makin ditekankan, dan wacana
mereformasi fundamental seperti digital tax untuk raksasa digital, atau
bahkan sistem alokasi laba global (unitary taxation) mulai dibahas. Bagi orang
awam, bisa diceritakan seperti ini: negara-negara di dunia bergotong royong
bak menambal jaring yang bocor. Bocornya di mana? Di situ: perusahaan
multi-nasional yang licin lolos pajak, orang-orang kaya sembunyi uang di surga
pajak. Jadi melalui BEPS, lubang-lubang ditutup. Hasilnya, sekarang P3B-P3B
baru dilengkapi pasal anti-abuse, definisi Beneficial Owner dipertegas
(kembali ke Bab 12), pertukaran informasi (Bab 26) dijalankan agresif, dan
negara bisa berbagi pajak lebih adil. Contohnya, setelah BEPS, Indonesia
menegosiasi ulang banyak treaty agar memasukkan pasal Anti-Penyalahgunaan
dan ikut MLI yang langsung memperbarui belasan perjanjian sekaligus dengan satu
dokumen.
Sebuah ilustrasi praktis: dulu, perusahaan X bisa mengalihkan profit
dari negara A ke anak usaha di negara B yang pajaknya 0% lewat transaksi harga
transfer manipulatif atau menumpuk utang. Setelah BEPS, negara A dan B kompak
bikin aturan: misal bunga utang di atas rasio tertentu tak boleh dikurangkan
(Aksi 4), harga transfer diawasi ketat, perjanjian pajak A-B diubah supaya
kalau perusahaan X cuma bikin perusahaan cangkang di B (tanpa aktivitas nyata)
sekadar terima laba lalu teruskan, maka manfaat treaty ditolak (Aksi 6, tentang
beneficial owner dan PPT clause). Dengan langkah-langkah ini, celah-celah
mulai tertutup.
Bab 28 ini menutup buku dengan refleksi bahwa sistem pajak
internasional sedang dibenahi besar-besaran. Walau BEPS sudah dilakukan,
tantangan masih ada (contohnya ekonomi digital masih menimbulkan debat global:
hak pajak atas Google, Facebook, dll). Namun spirit-nya: seluruh dunia ingin
pajak lebih adil dan menghindari praktik licik yang membuat beberapa pihak tak
bayar bagian yang semestinya. Untuk adik-adik, bisa dibilang begini: kalau
main petak umpet, sekarang "area persembunyian" perusahaan nakal
makin sedikit. Negara-negara bekerjasama seperti satpam gabungan menjaga
agar tak ada yang sembunyiin laba di tempat gelap. Mereka berbagi info, ubah
aturan main, biar semua bayar pajak sesuai porsi seharusnya. Inilah upaya
merestorasi (memulihkan) kepercayaan publik bahwa sistem pajak internasional
bisa berjalan adil untuk semua pihak.
Demikianlah ringkasan 28 bab buku ini dalam bahasa sehari-hari. Dengan
membaca ini, diharapkan bahkan anak 12 tahun atau orang yang awam pajak
sekalipun bisa menangkap gambaran umum apa itu perjanjian penghindaran pajak
berganda (P3B), mengapa diperlukan, bagaimana strukturnya per bab/pasal,
serta perkembangan terbaru dalam praktik pajak internasional. Semua bab saling
terkait membentuk pemahaman utuh: mulai dari konsep dasar pajak internasional,
pasal-pasal spesifik dalam perjanjian, hingga tantangan modern seperti BEPS.
Intinya, perjanjian pajak antarnegara dibuat supaya orang dan perusahaan
tidak dipajaki dua kali untuk penghasilan yang sama, sekaligus memastikan
setiap negara mendapat hak pajaknya secara adil dan mencegah kecurangan. Semoga
penjelasan sederhana ini bermanfaat!
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.