Selasa, 26 Agustus 2025

 Skema Transaksi dan Latar Belakang

PT A (perusahaan di Indonesia) mendapatkan kontrak penjualan barang kepada S.Co (perusahaan di Singapura). Uniknya, barang dibeli PT A dari vendor di Jerman dan dikirim langsung dari Jerman ke Singapura tanpa pernah masuk ke Indonesia. PT A tidak memiliki cabang di Singapura, dan S.Co juga tidak memiliki cabang atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Pembayaran atas penjualan ini dilakukan oleh S.Co dari Singapura langsung ke rekening PT A di Indonesia. Transaksi ini murni penjualan barang (bukan jasa), yang terjadi satu kali (transaksi tunggal).

Dari perspektif PT A sebagai Wajib Pajak Indonesia, perlu dianalisis aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan aspek Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi tersebut, beserta dasar hukum yang berlaku di Indonesia. Berikut penjelasan mendalamnya:

Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

1. Objek PPN – Penyerahan Barang di Dalam Daerah Pabean:
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN (UU No. 42 Tahun 2009), PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
[1]. Ini berarti suatu penyerahan barang akan terutang PPN jika memenuhi tiga syarat kumulatif: (a) barang berwujud tersebut merupakan BKP; (b) penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean (Indonesia); dan (c) penyerahan dalam rangka kegiatan usaha[2]. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka penyerahan tersebut tidak terutang PPN**[3].

2. Penyerahan Barang di Luar Daerah Pabean (Drop Shipment Luar Negeri):
Dalam skema PT A–S.Co, barang diserahkan di luar daerah pabean Indonesia (barang dikirim dari Jerman ke Singapura, tidak masuk wilayah Indonesia sama sekali). Kondisi ini berarti syarat “penyerahan di dalam daerah pabean” tidak terpenuhi. Sesuai penegasan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak SE-130/PJ/2010, penyerahan BKP yang secara fisik berada di luar daerah pabean tidak dikenai PPN
[4]. Dengan kata lain, transaksi penjualan PT A ke S.Co tidak terutang PPN di Indonesia karena barang diserahterimakan di luar wilayah kepabeanan Indonesia.

Contoh Pembanding: SE-130/PJ/2010 memberikan contoh kasus serupa: PT A (PKP di Jakarta) menjual forklift kepada PT B. Forklift dibeli dari pabrikan di Jepang dan langsung dikirim ke gudang PT B di Singapura. Hasilnya, penyerahan forklift tersebut oleh PT A tidak dikenai PPN karena barangnya berada di luar daerah pabean saat diserahkan[5]. Kasus PT A dan S.Co sejalan dengan contoh ini — penyerahan barang terjadi di luar Indonesia, sehingga bebas PPN.

3. Bukan Ekspor Formal – PPN 0% vs. Tidak Terutang PPN:
Perlu dibedakan bahwa transaksi ini bukan ekspor formal dari Indonesia, karena PT A tidak mengirim barang dari Indonesia dan tidak mengurus dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Dalam skema ekspor biasa, penjualan barang ke luar negeri terutang PPN dengan tarif 0% (zero-rated) jika barang diekspor secara fisik dari dalam ke luar daerah pabean. Namun, dalam skema drop shipment ini, barang tidak pernah masuk atau keluar wilayah pabean Indonesia, sehingga tidak memenuhi definisi ekspor menurut kepabeanan Indonesia. Oleh karena itu, PPN 0% ekspor tidak dapat diterapkan. Sebagai gantinya, transaksi ini dikategorikan sebagai penyerahan yang tidak terutang PPN (outside scope) karena tidak terjadi di dalam daerah pabean
[4].

Praktisnya, PT A tidak perlu memungut PPN keluaran atas invoice ke S.Co. Faktur penjualan dapat diterbitkan tanpa PPN (nilai jual bersih saja). PT A juga tidak dikenai PPN masukan impor atas pembelian barang dari Jerman, karena PT A tidak melakukan impor barang ke Indonesia. (PPN impor justru kemungkinan muncul di Singapura saat barang masuk ke Singapura, namun itu di luar yurisdiksi pajak Indonesia).

4. Pelaporan dalam SPT Masa PPN:
Meskipun tidak terutang PPN, PT A wajib melaporkan transaksi penyerahan ini dalam SPT Masa PPN pada bagian “Penyerahan yang tidak terutang PPN”. Kewajiban ini ditegaskan dalam SE-130/PJ/2010 yang mengatur bahwa PKP harus melaporkan penyerahan BKP di luar daerah pabean pada SPT PPN masa terkait sebagai penyerahan tidak terutang
[6]. Langkah ini penting untuk transparansi, agar jelas bagi otoritas pajak bahwa penjualan tersebut terjadi tetapi memang di luar ruang lingkup PPN.

5. Dasar Hukum PPN Terkait:
- Pasal 4 ayat (1) huruf a UU No.42/2009: PPN dikenakan atas penyerahan BKP di dalam daerah pabean oleh pengusaha
[1].
- Pasal 1A ayat (1) huruf a UU No.42/2009: yang dimaksud penyerahan BKP termasuk penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian (jual beli)
[7].
- SE-130/PJ/2010 (Dirjen Pajak): Penegasan bahwa penyerahan BKP yang secara nyata berada di luar daerah pabean tidak dikenai PPN, dengan contoh kasus drop shipment
[4][5]. Juga ditegaskan kewajiban pelaporan dalam SPT Masa PPN[6].

Dengan berpegang pada aturan di atas, PT A tidak memungut maupun menyetor PPN atas penjualan barang ke S.Co. Transaksi ini berada di luar objek PPN Indonesia, sehingga neutral dari sisi PPN (tidak ada PPN keluaran terutang, tetapi juga tidak ada PPN masukan yang dapat dikreditkan terkait transaksi tersebut).

Aspek Pajak Penghasilan (PPh)

1. Pajak Penghasilan Badan atas Laba Penjualan:
Sebagai Wajib Pajak badan dalam negeri, PT A dikenai Pajak Penghasilan atas setiap penghasilan yang diperoleh, baik dari dalam negeri maupun luar negeri
[8]. Indonesia menganut prinsip worldwide income untuk Wajib Pajak Dalam Negeri, artinya penghasilan PT A dari transaksi penjualan kepada pembeli di Singapura tetap merupakan objek pajak di Indonesia. Tidak ada pengecualian PPh hanya karena pembelinya di luar negeri – penghasilan tersebut tetap dihitung dalam laba rugi PT A dan dikenai PPh Badan sesuai tarif yang berlaku.

2. Perhitungan PPh Badan (PPh Pasal 25/29):
PT A harus memasukkan pendapatan dari S.Co dan harga pokok pembelian dari vendor Jerman ke dalam pembukuan tahun berjalan. Laba kotor dari transaksi ini = (harga jual ke S.Co) – (harga beli dari vendor Jerman) – (biaya terkait lainnya jika ada). Laba kotor ini akan menjadi bagian dari penghasilan kena pajak PT A setelah dikurangi biaya-biaya operasional lain. Tarif PPh Badan tahun 2025 sebesar 22% akan diterapkan atas penghasilan kena pajak tersebut
[9].

Sebagai ilustrasi sederhana:
- Misalkan PT A membeli barang dari Jerman senilai Rp10 miliar (tidak ada PPN karena pembelian luar negeri).
- PT A lalu menjual ke S.Co seharga Rp12 miliar (tanpa PPN keluaran).
- Pendapatan bruto = Rp12 miliar; Harga Pokok Penjualan (HPP) = Rp10 miliar, sehingga laba kotor = Rp2 miliar.
- Misal tidak ada biaya lain terkait transaksi ini, maka Rp2 miliar tersebut menambah penghasilan kena pajak PT A.
- PPh Badan terutang = 22% × Rp2 miliar = Rp440 juta. PT A harus melaporkan penghasilan ini dalam SPT Tahunan PPh Badan dan menyetor pajaknya (dikreditkan dengan angsuran PPh Pasal 25 yang sudah dibayar sepanjang tahun, jika ada).

Penghitungan di atas tentunya akan disesuaikan dengan posisi keuangan sebenarnya PT A dan kurs pajak yang berlaku (jika transaksi dalam valuta asing). Kurs konversi: Karena pembayaran mungkin diterima dalam mata uang asing (misal SGD atau EUR), PT A wajib mengonversi nilai transaksi ke Rupiah untuk keperluan pembukuan dan pelaporan pajak, menggunakan kurs pajak yang ditetapkan Menteri Keuangan pada saat transaksi atau kurs tengah BI pada saat pengakuan pendapatan, sesuai ketentuan berlaku.

3. Withholding Tax (PPh Potongan/Pungutan) Terkait:
Dalam transaksi ini, hampir tidak ada mekanisme pemotongan/pemungutan PPh oleh pihak lain, karena:
- S.Co (pembeli asing) tidak berkedudukan di Indonesia, sehingga tidak ada kewajiban memotong PPh 23/26 atas pembayaran kepada PT A. (Pemotongan PPh 26 biasanya terjadi jika subjek luar negeri menerima penghasilan dari Indonesia, namun di sini PT A adalah subjek dalam negeri yang menerima pembayaran dari luar negeri). Jadi, PT A menerima pembayaran bruto penuh.
- Pembelian barang dari vendor Jerman oleh PT A juga tidak dikenai withholding tax Indonesia. PT A membayar ke pemasok luar negeri untuk barang dagangan; jenis pembayaran ini tidak termasuk objek PPh Pasal 26 (karena bukan berupa royalti, bunga, dividen, jasa, dll., melainkan pembelian barang fisik). Tidak ada PPh 26 yang harus dipotong atas transaksi pembelian barang impor secara offshore tersebut.
- PPh Pasal 22 Impor: Biasanya, importir dikenai PPh Pasal 22 impor (sebesar 2,5% nilai impor jika ber-NPWP) sebagai pungutan di Bea Cukai dan bisa dikreditkan sebagai prapembayaran PPh Badan. Dalam kasus ini, PT A tidak melakukan impor fisik ke Indonesia, sehingga tidak terutang PPh 22 impor di Indonesia. PPh 22 impor justru akan dikenakan di negara tujuan (Singapura) sesuai aturan di sana, atau tidak sama sekali jika vendor Jerman yang ekspor. (Sebagai gambaran, dalam contoh SE-130/PJ/2010, karena PT B yang memasukkan barang ke Indonesia, PT B-lah yang dianggap importir dan harus membayar bea masuk, PPN impor, dan PPh 22 impor
[10]. Berbeda dengan skema PT A–S.Co, di mana importir akhir adalah pihak di Singapura, bukan di Indonesia.)

Dengan demikian, fokus utama PPh dari sisi PT A adalah PPh Badan atas laba usaha. PT A wajib melaporkan penghasilan penjualan tersebut dalam SPT Tahunan PPh dan membayar pajaknya sesuai tarif 22%. Tidak ada pemotongan PPh final atau PPh lainnya yang langsung dikenakan pada transaksi lintas negara ini dari sisi Indonesia.

4. Dasar Hukum PPh Terkait:
- Pasal 4 ayat (1) UU PPh (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 36 Tahun 2008, dan perubahan terakhir UU HPP No.7 Tahun 2021): Definisi penghasilan mencakup setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri
[8]. Ini menegaskan bahwa penghasilan PT A dari penjualan ke luar negeri tetap objek pajak.
- Pasal 17 UU PPh dan perubahannya: Mengatur tarif Pajak Penghasilan Badan. Saat ini tarif umum PPh Badan adalah 22% dari Penghasilan Kena Pajak
[9].
- PP No. 23 Tahun 2018 (jika relevan untuk UMKM) – kemungkinan tidak berlaku di sini karena transaksi bernilai besar dan bukan objek PPh final UMKM 0.5%. (Jika PT A perusahaan kecil beromzet ≤4.8 M setahun dan memilih PPh final UMKM, skema berbeda. Namun asumsi kasus ini PT A bukan UMKM).
- Peraturan Dirjen atau SE terkait kurs: Misalnya, KMK tentang kurs pajak mingguan untuk konversi valuta asing. PT A harus mematuhi ketentuan ini saat pembukuan pembayaran dari S.Co.

Contoh Pencatatan Transaksi oleh PT A

Untuk lebih memahami alur pajaknya, berikut ringkasan contoh pencatatan dan perlakuan pajak atas transaksi tersebut dari sudut pandang PT A:

  • Pembelian dari Vendor Jerman:
    PT A membeli barang dari Jerman senilai misal EUR 600.000. Barang dikirim langsung ke Singapura (tidak masuk Indonesia).
    Pajak terkait: Tidak ada PPN maupun bea masuk Indonesia, karena tidak ada impor fisik ke Indonesia. Juga tidak ada withholding PPh ke vendor (pembayaran penuh ke vendor luar negeri). PT A mencatat HPP sebesar EUR 600.000 (dikonversi ke Rupiah sesuai kurs saat transaksi).
  • Penjualan ke S.Co Singapura:
    PT A menjual kepada S.Co seharga misal EUR 700.000 (langsung dikonversi ke Rupiah di pembukuan sesuai kurs faktur/pembayaran).
    Pajak terkait: PPN 0 – PT A tidak memungut PPN keluaran (penyerahan luar negeri, non-DP). PPh Badan – Laba kotor EUR 100.000 (selisih jual-beli) akan terakumulasi dalam laba kena pajak tahun tersebut. Pajak penghasilan yang akhirnya harus disetor = 22% × laba kena pajak (setelah perhitungan komprehensif satu tahun).

PT A sebaiknya tetap mendokumentasikan transaksi ini dengan baik (kontrak, invoice, bukti pembayaran, bukti pengiriman ke Singapura seperti bill of lading atau airway bill) untuk keperluan pembukuan dan sebagai bukti jika diminta otoritas pajak.

Grey Area dan Potensi Risiko Pajak

Meskipun secara aturan perpajakan transaksi ini cukup jelas, terdapat beberapa grey area atau titik rawan yang harus diperhatikan PT A agar terhindar dari sanksi atau pemeriksaan pajak yang mendalam:

  • Dokumentasi Pengiriman Barang: PT A perlu memastikan memiliki bukti otentik bahwa barang benar-benar dikirim dari luar negeri (Jerman) ke luar negeri (Singapura) dan tidak masuk wilayah RI. Sesuai SE-130/PJ/2010, penyerahan di luar pabean harus dibuktikan dengan dokumen atau akta otentik pendukung transaksi[4]. Bukti ini bisa berupa: kontrak jual beli yang mencantumkan term pengiriman (misal ship from Germany to Singapore), invoice dari vendor Jerman, bukti pengiriman (konosemen/AWB) yang menunjukkan Jerman ke Singapura, dan dokumentasi kepabeanan Singapura. Tanpa bukti kuat, otoritas pajak bisa meragukan transaksi dan menganggap seolah-olah barang diserahkan di Indonesia. Hal itu berpotensi memicu koreksi: misalnya fiskus dapat menagih PPN 11% plus sanksi bunga dan denda atas penjualan tersebut jika dianggap terutang PPN di dalam negeri akibat kurangnya bukti pendukung.
  • Pelaporan PPN yang Tepat: PT A harus konsisten melaporkan transaksi ini di SPT Masa PPN pada kolom Penyerahan Tidak Terutang PPN[6]. Grey area-nya, beberapa perusahaan mungkin keliru tidak melaporkan sama sekali (karena mengira tidak ada PPN jadi tidak perlu dilaporkan), atau salah memasukkannya sebagai ekspor 0%. Kesalahan pelaporan dapat menimbulkan pertanyaan saat pemeriksaan. Jika tidak dilaporkan, omzet PT A di SPT PPN akan tampak lebih rendah daripada di SPT PPh, yang bisa memancing inquiry dari fiskus. Pastikan nilai penjualan ke S.Co tetap tercantum di SPT PPN (walau di kolom tidak terutang) untuk transparansi.
  • Perbedaan Perlakuan PPN vs PPh: Perlu disadari bahwa bebas PPN bukan berarti bebas PPh. Transaksi ini tetap dikenai PPh Badan. PT A harus melaporkan omzet dan labanya di SPT Tahunan PPh. Grey area yang mungkin terjadi adalah mismatch data: Misalnya PT A lapor SPT PPh ada penjualan RpX, tapi di SPT PPN tidak ada PPN keluaran terkait RpX. Ini sebenarnya wajar karena tidak terutang PPN, namun tanpa penjelasan/bukti, hal ini mungkin menimbulkan kecurigaan petugas pajak. Solusinya, sediakan penjelasan dan dokumen pendukung saat rekonsiliasi SPT, bahwa penjualan tersebut luar negeri (non-DP), sehingga PPN-nya nihil sesuai aturan.
  • Kepatuhan Pajak Penghasilan: Dari sisi PPh, risiko utama adalah jika PT A tidak membayar pajak atas laba transaksi ini. Mengingat pembeli adalah pihak luar negeri, sebagian aliran dana mungkin tidak terlapor melalui mekanisme potput (beda dengan penjualan domestik yang kadang terpotong PPh 23). PT A harus proaktif menghitung dan menyetor sendiri angsuran PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29 bila ada kurang bayar. Kelalaian melaporkan penghasilan ini di SPT Tahunan PPh dapat dianggap sebagai upaya penghindaran pajak yang berakibat sanksi (denda keterlambatan, bunga pasal 13 UU KUP, atau bahkan penalti Pasal 38/39 UU KUP jika dianggap disengaja).
  • Transaksi Afiliasi dan Harga Transfer: Apabila (hipotetis) S.Co di Singapura atau vendor di Jerman memiliki hubungan istimewa dengan PT A (afiliasi satu grup), harga transaksi harus wajar (arm’s length). Grey area-nya, fiskus bisa memeriksa apakah PT A menjual dengan harga terlalu rendah atau membeli terlalu mahal untuk menggeser laba ke luar negeri. Pastikan dokumentasi transfer pricing tersedia (jika relevan). Namun, jika hubungan pihak independen, risiko ini minim.
  • Aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE): Bank Indonesia mensyaratkan ekspor tertentu untuk memasukkan devisa hasil ekspor melalui bank domestik. Dalam kasus ini, karena tidak ada dokumen ekspor PEB, strictly speaking transaksi PT A mungkin tidak tercatat sebagai ekspor resmi. Namun, dana tetap masuk dari luar negeri ke Indonesia. PT A sebaiknya menerima pembayaran melalui bank nasional dan mendeskripsikan transaksi dengan benar. Jika nominal besar, bank mungkin meminta underlying transaction documents (invoice, kontrak) untuk kepatuhan PPATK/BI. Selama dana masuk ke Indonesia dan dilaporkan sebagai penghasilan, kepatuhan DHE tercapai secara substansi. Grey area bisa muncul kalau PT A membiarkan pembayaran disimpan di luar negeri (offshore) – hal ini melanggar kewajiban repatriasi devisa (untuk sektor tertentu) dan tentu penghasilan tersebut tetap terutang pajak di Indonesia meski tidak dibawa pulang.
  • Kesalahan Penafsiran Atas Jenis Transaksi: Penting bagi PT A untuk menegaskan bahwa ini adalah jual-beli barang biasa secara cross-border, bukan jasa perantara. Mengapa ini penting? Jika otoritas pajak salah menafsirkan bahwa PT A hanya bertindak sebagai perantara jasa (misal agen komisi) alih-alih penjual barang, mereka bisa mencoba mengenakan PPN jasa atau PPh berbeda. Pastikan kontrak menyatakan itu sales of goods. Dalam kasus kita, tidak ada komisi terpisah – keuntungan PT A murni selisih harga jual dan beli barang, sehingga jelas merupakan laba perdagangan barang.

Dengan langkah mitigasi di atas, PT A dapat menghindari sengketa atau sanksi. Kuncinya adalah kepatuhan administrasi dan dokumentasi. Apabila semua aturan diikuti (pelaporan benar, pajak penghasilan dibayar, dan bukti transaksi lengkap), maka transaksi semacam ini sah dan tidak menimbulkan beban pajak ganda di Indonesia.

Kesimpulan

Dari sudut pandang PT A (Indonesia), transaksi penjualan barang ke S.Co Singapura dengan barang dikirim langsung dari Jerman memiliki implikasi pajak sebagai berikut:

  • PPN: Tidak terutang PPN di Indonesia karena penyerahan barang terjadi di luar daerah pabean Indonesia[4]. PT A tidak memungut PPN atas invoice ke S.Co, dan wajib melaporkan omset ini sebagai penyerahan tidak terutang PPN di SPT Masa PPN[6].
  • PPh: Laba atas penjualan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan Indonesia (prinsip worldwide income)[8]. PT A harus memasukkan penghasilannya dalam perhitungan PPh Badan tahunannya dan membayar sesuai tarif 22%[9]. Tidak ada pemotongan PPh oleh pembeli luar negeri, sehingga PT A harus memastikan sendiri pemenuhan kewajiban PPh-nya. PPh pasal lain seperti PPh 22 impor tidak berlaku karena tidak ada impor fisik ke Indonesia[10].

Dengan mengikuti dasar aturan pajak yang berlaku dan praktik pembukuan yang benar, PT A dapat melaksanakan transaksi ini secara efisien pajak (tanpa terkena PPN domestik) namun tetap patuh terhadap kewajiban PPh. Tetap perlu waspada terhadap hal-hal abu-abu seperti aspek dokumentasi dan pelaporan, agar terhindar dari penalti atau pemeriksaan di kemudian hari. Semoga penjelasan ini membantu memberikan gambaran komprehensif mengenai PPh dan PPN atas skema transaksi tersebut.

Sumber Referensi:

·       Surat Edaran Dirjen Pajak SE-130/PJ/2010 – Perlakuan PPN atas penyerahan BKP di luar Daerah Pabean (drop shipment)[4][5].

·       UU PPN No. 42 Tahun 2009, Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 1A ayat (1) huruf a – Objek PPN penyerahan dalam daerah pabean[1][7].

·       UU PPh (Terakhir diubah UU HPP No.7/2021), Pasal 4 ayat (1) – Penghasilan Wajib Pajak dalam negeri mencakup penghasilan dari luar negeri[8].

·       Tarif PPh Badan 22% (berlaku tahun pajak 2022 dan setelahnya)[9].

·       Artikel MUC Consulting – Ex-Work dan PPN (contoh kasus penyerahan barang sebagian dari luar negeri)[11][10].


[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 130/PJ/2010 - Ortax

https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/14488

[8] Indonesia Hijrah ke Sistem Pajak Teritorial, Perlukah Disoal? | Direktorat Jenderal Pajak

https://pajak.go.id/id/artikel/indonesia-hijrah-ke-sistem-pajak-teritorial-perlukah-disoal

[9] Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Badan

https://pajak.go.id/en/node/34958

[10] [11] Pahami Aspek Pajak Pertambahan Nilai Atas Skema Penyerahan Barang Ex-Work

https://muc.co.id/id/article/pahami-aspek-pajak-pertambahan-nilai-atas-skema-penyerahan-barang-ex-work

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.