Skema Transaksi dan Latar Belakang
PT A (perusahaan di Indonesia) mendapatkan kontrak penjualan barang
kepada S.Co (perusahaan di Singapura). Uniknya, barang dibeli PT A dari
vendor di Jerman dan dikirim langsung dari Jerman ke Singapura tanpa pernah
masuk ke Indonesia. PT A tidak memiliki cabang di Singapura, dan S.Co juga
tidak memiliki cabang atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia. Pembayaran atas
penjualan ini dilakukan oleh S.Co dari Singapura langsung ke rekening PT A di
Indonesia. Transaksi ini murni penjualan barang (bukan jasa), yang terjadi satu
kali (transaksi tunggal).
Dari perspektif PT A sebagai Wajib Pajak Indonesia, perlu dianalisis aspek
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan aspek Pajak Penghasilan (PPh) atas
transaksi tersebut, beserta dasar hukum yang berlaku di Indonesia. Berikut
penjelasan mendalamnya:
Aspek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
1. Objek PPN – Penyerahan Barang di Dalam Daerah Pabean:
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPN (UU No. 42 Tahun 2009), PPN
dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah
Pabean yang dilakukan oleh pengusaha[1]. Ini berarti suatu penyerahan barang akan terutang PPN jika memenuhi tiga syarat kumulatif: (a) barang berwujud tersebut merupakan BKP;
(b) penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean (Indonesia); dan (c)
penyerahan dalam rangka kegiatan usaha[2]. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi,
maka penyerahan tersebut tidak terutang PPN**[3].
2. Penyerahan Barang di Luar Daerah Pabean (Drop Shipment Luar Negeri):
Dalam skema PT A–S.Co, barang diserahkan di luar daerah pabean Indonesia
(barang dikirim dari Jerman ke Singapura, tidak masuk wilayah Indonesia sama
sekali). Kondisi ini berarti syarat “penyerahan di dalam daerah pabean” tidak
terpenuhi. Sesuai penegasan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak SE-130/PJ/2010,
penyerahan BKP yang secara fisik berada di luar daerah pabean tidak
dikenai PPN[4]. Dengan kata lain, transaksi penjualan PT A ke S.Co tidak terutang
PPN di Indonesia karena barang diserahterimakan di luar wilayah kepabeanan
Indonesia.
Contoh Pembanding: SE-130/PJ/2010 memberikan
contoh kasus serupa: PT A (PKP di Jakarta) menjual forklift kepada PT B.
Forklift dibeli dari pabrikan di Jepang dan langsung dikirim ke gudang PT B di
Singapura. Hasilnya, penyerahan forklift tersebut oleh PT A tidak dikenai
PPN karena barangnya berada di luar daerah pabean saat diserahkan[5]. Kasus PT A dan S.Co sejalan dengan contoh ini — penyerahan barang
terjadi di luar Indonesia, sehingga bebas PPN.
3. Bukan Ekspor Formal – PPN 0% vs. Tidak Terutang PPN:
Perlu dibedakan bahwa transaksi ini bukan ekspor formal dari Indonesia,
karena PT A tidak mengirim barang dari Indonesia dan tidak mengurus dokumen
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB). Dalam skema ekspor biasa, penjualan barang
ke luar negeri terutang PPN dengan tarif 0% (zero-rated) jika barang
diekspor secara fisik dari dalam ke luar daerah pabean. Namun, dalam skema drop
shipment ini, barang tidak pernah masuk atau keluar wilayah pabean
Indonesia, sehingga tidak memenuhi definisi ekspor menurut kepabeanan
Indonesia. Oleh karena itu, PPN 0% ekspor tidak dapat diterapkan.
Sebagai gantinya, transaksi ini dikategorikan sebagai penyerahan yang tidak
terutang PPN (outside scope) karena tidak terjadi di dalam daerah
pabean[4].
Praktisnya, PT A tidak perlu memungut PPN keluaran atas invoice
ke S.Co. Faktur penjualan dapat diterbitkan tanpa PPN (nilai jual bersih saja).
PT A juga tidak dikenai PPN masukan impor atas pembelian barang dari
Jerman, karena PT A tidak melakukan impor barang ke Indonesia. (PPN impor
justru kemungkinan muncul di Singapura saat barang masuk ke Singapura, namun
itu di luar yurisdiksi pajak Indonesia).
4. Pelaporan dalam SPT Masa PPN:
Meskipun tidak terutang PPN, PT A wajib melaporkan transaksi penyerahan ini
dalam SPT Masa PPN pada bagian “Penyerahan yang tidak terutang PPN”.
Kewajiban ini ditegaskan dalam SE-130/PJ/2010 yang mengatur bahwa PKP harus
melaporkan penyerahan BKP di luar daerah pabean pada SPT PPN masa terkait
sebagai penyerahan tidak terutang[6]. Langkah ini penting untuk transparansi, agar jelas bagi otoritas
pajak bahwa penjualan tersebut terjadi tetapi memang di luar ruang lingkup PPN.
5. Dasar Hukum PPN Terkait:
- Pasal 4 ayat (1) huruf a UU No.42/2009: PPN dikenakan atas penyerahan
BKP di dalam daerah pabean oleh pengusaha[1].
- Pasal 1A ayat (1) huruf a UU No.42/2009: yang dimaksud penyerahan BKP
termasuk penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian (jual beli)[7].
- SE-130/PJ/2010 (Dirjen Pajak): Penegasan bahwa penyerahan BKP yang secara
nyata berada di luar daerah pabean tidak dikenai PPN, dengan contoh
kasus drop shipment[4][5]. Juga ditegaskan kewajiban pelaporan dalam SPT Masa PPN[6].
Dengan berpegang pada aturan di atas, PT A tidak memungut maupun
menyetor PPN atas penjualan barang ke S.Co. Transaksi ini berada di luar
objek PPN Indonesia, sehingga neutral dari sisi PPN (tidak ada PPN
keluaran terutang, tetapi juga tidak ada PPN masukan yang dapat dikreditkan
terkait transaksi tersebut).
Aspek
Pajak Penghasilan (PPh)
1. Pajak Penghasilan Badan atas Laba Penjualan:
Sebagai Wajib Pajak badan dalam negeri, PT A dikenai Pajak Penghasilan atas
setiap penghasilan yang diperoleh, baik dari dalam negeri maupun luar negeri[8]. Indonesia menganut prinsip worldwide income untuk Wajib Pajak
Dalam Negeri, artinya penghasilan PT A dari transaksi penjualan kepada pembeli
di Singapura tetap merupakan objek pajak di Indonesia. Tidak ada
pengecualian PPh hanya karena pembelinya di luar negeri – penghasilan
tersebut tetap dihitung dalam laba rugi PT A dan dikenai PPh Badan sesuai tarif
yang berlaku.
2. Perhitungan PPh Badan (PPh Pasal 25/29):
PT A harus memasukkan pendapatan dari S.Co dan harga pokok pembelian dari
vendor Jerman ke dalam pembukuan tahun berjalan. Laba kotor dari
transaksi ini = (harga jual ke S.Co) – (harga beli dari vendor Jerman) – (biaya
terkait lainnya jika ada). Laba kotor ini akan menjadi bagian dari penghasilan
kena pajak PT A setelah dikurangi biaya-biaya operasional lain. Tarif
PPh Badan tahun 2025 sebesar 22% akan diterapkan atas penghasilan
kena pajak tersebut[9].
Sebagai ilustrasi sederhana:
- Misalkan PT A membeli barang dari Jerman senilai Rp10 miliar (tidak
ada PPN karena pembelian luar negeri).
- PT A lalu menjual ke S.Co seharga Rp12 miliar (tanpa PPN keluaran).
- Pendapatan bruto = Rp12 miliar; Harga Pokok Penjualan (HPP) =
Rp10 miliar, sehingga laba kotor = Rp2 miliar.
- Misal tidak ada biaya lain terkait transaksi ini, maka Rp2 miliar tersebut
menambah penghasilan kena pajak PT A.
- PPh Badan terutang = 22% × Rp2 miliar = Rp440 juta. PT A harus
melaporkan penghasilan ini dalam SPT Tahunan PPh Badan dan menyetor pajaknya
(dikreditkan dengan angsuran PPh Pasal 25 yang sudah dibayar sepanjang tahun,
jika ada).
Penghitungan di atas tentunya akan disesuaikan dengan posisi keuangan
sebenarnya PT A dan kurs pajak yang berlaku (jika transaksi dalam valuta
asing). Kurs konversi: Karena pembayaran mungkin diterima dalam mata
uang asing (misal SGD atau EUR), PT A wajib mengonversi nilai transaksi ke
Rupiah untuk keperluan pembukuan dan pelaporan pajak, menggunakan kurs pajak
yang ditetapkan Menteri Keuangan pada saat transaksi atau kurs tengah BI pada
saat pengakuan pendapatan, sesuai ketentuan berlaku.
3. Withholding Tax (PPh Potongan/Pungutan) Terkait:
Dalam transaksi ini, hampir tidak ada mekanisme pemotongan/pemungutan PPh
oleh pihak lain, karena:
- S.Co (pembeli asing) tidak berkedudukan di Indonesia, sehingga tidak
ada kewajiban memotong PPh 23/26 atas pembayaran kepada PT A. (Pemotongan
PPh 26 biasanya terjadi jika subjek luar negeri menerima penghasilan dari
Indonesia, namun di sini PT A adalah subjek dalam negeri yang menerima
pembayaran dari luar negeri). Jadi, PT A menerima pembayaran bruto penuh.
- Pembelian barang dari vendor Jerman oleh PT A juga tidak dikenai
withholding tax Indonesia. PT A membayar ke pemasok luar negeri untuk barang
dagangan; jenis pembayaran ini tidak termasuk objek PPh Pasal 26 (karena bukan
berupa royalti, bunga, dividen, jasa, dll., melainkan pembelian barang fisik). Tidak
ada PPh 26 yang harus dipotong atas transaksi pembelian barang impor secara
offshore tersebut.
- PPh Pasal 22 Impor: Biasanya, importir dikenai PPh Pasal 22 impor
(sebesar 2,5% nilai impor jika ber-NPWP) sebagai pungutan di Bea Cukai dan bisa
dikreditkan sebagai prapembayaran PPh Badan. Dalam kasus ini, PT A tidak
melakukan impor fisik ke Indonesia, sehingga tidak terutang PPh 22 impor
di Indonesia. PPh 22 impor justru akan dikenakan di negara tujuan (Singapura)
sesuai aturan di sana, atau tidak sama sekali jika vendor Jerman yang ekspor.
(Sebagai gambaran, dalam contoh SE-130/PJ/2010, karena PT B yang memasukkan
barang ke Indonesia, PT B-lah yang dianggap importir dan harus membayar bea
masuk, PPN impor, dan PPh 22 impor[10]. Berbeda dengan skema PT A–S.Co, di mana importir akhir adalah
pihak di Singapura, bukan di Indonesia.)
Dengan demikian, fokus utama PPh dari sisi PT A adalah PPh Badan
atas laba usaha. PT A wajib melaporkan penghasilan penjualan tersebut dalam
SPT Tahunan PPh dan membayar pajaknya sesuai tarif 22%. Tidak ada pemotongan
PPh final atau PPh lainnya yang langsung dikenakan pada transaksi lintas negara
ini dari sisi Indonesia.
4. Dasar Hukum PPh Terkait:
- Pasal 4 ayat (1) UU PPh (UU No. 7 Tahun 1983 jo. UU No. 36 Tahun 2008,
dan perubahan terakhir UU HPP No.7 Tahun 2021): Definisi penghasilan mencakup setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima Wajib Pajak, baik yang berasal
dari dalam negeri maupun dari luar negeri[8]. Ini menegaskan bahwa penghasilan PT A dari penjualan ke luar negeri
tetap objek pajak.
- Pasal 17 UU PPh dan perubahannya: Mengatur tarif Pajak Penghasilan
Badan. Saat ini tarif umum PPh Badan adalah 22% dari Penghasilan Kena
Pajak[9].
- PP No. 23 Tahun 2018 (jika relevan untuk UMKM) – kemungkinan tidak
berlaku di sini karena transaksi bernilai besar dan bukan objek PPh final UMKM
0.5%. (Jika PT A perusahaan kecil beromzet ≤4.8 M setahun dan memilih PPh final
UMKM, skema berbeda. Namun asumsi kasus ini PT A bukan UMKM).
- Peraturan Dirjen atau SE terkait kurs: Misalnya, KMK tentang kurs
pajak mingguan untuk konversi valuta asing. PT A harus mematuhi ketentuan ini
saat pembukuan pembayaran dari S.Co.
Contoh Pencatatan Transaksi oleh PT A
Untuk lebih memahami alur pajaknya, berikut ringkasan contoh pencatatan
dan perlakuan pajak atas transaksi tersebut dari sudut pandang PT A:
- Pembelian dari Vendor Jerman:
PT A membeli barang dari Jerman senilai misal EUR 600.000. Barang dikirim langsung ke Singapura (tidak masuk Indonesia).
Pajak terkait: Tidak ada PPN maupun bea masuk Indonesia, karena tidak ada impor fisik ke Indonesia. Juga tidak ada withholding PPh ke vendor (pembayaran penuh ke vendor luar negeri). PT A mencatat HPP sebesar EUR 600.000 (dikonversi ke Rupiah sesuai kurs saat transaksi). - Penjualan ke S.Co Singapura:
PT A menjual kepada S.Co seharga misal EUR 700.000 (langsung dikonversi ke Rupiah di pembukuan sesuai kurs faktur/pembayaran).
Pajak terkait: PPN 0 – PT A tidak memungut PPN keluaran (penyerahan luar negeri, non-DP). PPh Badan – Laba kotor EUR 100.000 (selisih jual-beli) akan terakumulasi dalam laba kena pajak tahun tersebut. Pajak penghasilan yang akhirnya harus disetor = 22% × laba kena pajak (setelah perhitungan komprehensif satu tahun).
PT A sebaiknya tetap mendokumentasikan transaksi ini dengan baik
(kontrak, invoice, bukti pembayaran, bukti pengiriman ke Singapura seperti bill
of lading atau airway bill) untuk keperluan pembukuan dan sebagai bukti jika
diminta otoritas pajak.
Grey Area dan Potensi Risiko Pajak
Meskipun secara aturan perpajakan transaksi ini cukup jelas, terdapat
beberapa grey area atau titik rawan yang harus diperhatikan PT A agar
terhindar dari sanksi atau pemeriksaan pajak yang mendalam:
- Dokumentasi
Pengiriman Barang: PT A perlu memastikan memiliki
bukti otentik bahwa barang benar-benar dikirim dari luar negeri
(Jerman) ke luar negeri (Singapura) dan tidak masuk wilayah RI.
Sesuai SE-130/PJ/2010, penyerahan di luar pabean harus dibuktikan
dengan dokumen atau akta otentik pendukung transaksi[4]. Bukti ini bisa berupa: kontrak jual beli yang mencantumkan term
pengiriman (misal ship from Germany to Singapore), invoice dari
vendor Jerman, bukti pengiriman (konosemen/AWB) yang menunjukkan Jerman ke
Singapura, dan dokumentasi kepabeanan Singapura. Tanpa bukti kuat,
otoritas pajak bisa meragukan transaksi dan menganggap seolah-olah barang
diserahkan di Indonesia. Hal itu berpotensi memicu koreksi: misalnya
fiskus dapat menagih PPN 11% plus sanksi bunga dan denda atas penjualan
tersebut jika dianggap terutang PPN di dalam negeri akibat kurangnya bukti
pendukung.
- Pelaporan
PPN yang Tepat: PT A harus konsisten melaporkan
transaksi ini di SPT Masa PPN pada kolom Penyerahan Tidak Terutang PPN[6]. Grey area-nya, beberapa perusahaan mungkin keliru tidak
melaporkan sama sekali (karena mengira tidak ada PPN jadi tidak perlu
dilaporkan), atau salah memasukkannya sebagai ekspor 0%. Kesalahan
pelaporan dapat menimbulkan pertanyaan saat pemeriksaan. Jika tidak
dilaporkan, omzet PT A di SPT PPN akan tampak lebih rendah daripada di SPT
PPh, yang bisa memancing inquiry dari fiskus. Pastikan nilai penjualan ke
S.Co tetap tercantum di SPT PPN (walau di kolom tidak terutang) untuk transparansi.
- Perbedaan
Perlakuan PPN vs PPh: Perlu disadari bahwa bebas
PPN bukan berarti bebas PPh. Transaksi ini tetap dikenai PPh Badan. PT
A harus melaporkan omzet dan labanya di SPT Tahunan PPh. Grey area
yang mungkin terjadi adalah mismatch data: Misalnya PT A lapor SPT
PPh ada penjualan RpX, tapi di SPT PPN tidak ada PPN keluaran terkait RpX.
Ini sebenarnya wajar karena tidak terutang PPN, namun tanpa
penjelasan/bukti, hal ini mungkin menimbulkan kecurigaan petugas pajak.
Solusinya, sediakan penjelasan dan dokumen pendukung saat rekonsiliasi SPT,
bahwa penjualan tersebut luar negeri (non-DP), sehingga PPN-nya nihil
sesuai aturan.
- Kepatuhan
Pajak Penghasilan: Dari sisi PPh, risiko utama
adalah jika PT A tidak membayar pajak atas laba transaksi ini.
Mengingat pembeli adalah pihak luar negeri, sebagian aliran dana mungkin
tidak terlapor melalui mekanisme potput (beda dengan penjualan domestik
yang kadang terpotong PPh 23). PT A harus proaktif menghitung dan menyetor
sendiri angsuran PPh Pasal 25 atau PPh Pasal 29 bila ada kurang bayar. Kelalaian
melaporkan penghasilan ini di SPT Tahunan PPh dapat dianggap sebagai
upaya penghindaran pajak yang berakibat sanksi (denda keterlambatan, bunga
pasal 13 UU KUP, atau bahkan penalti Pasal 38/39 UU KUP jika dianggap
disengaja).
- Transaksi
Afiliasi dan Harga Transfer: Apabila (hipotetis)
S.Co di Singapura atau vendor di Jerman memiliki hubungan istimewa dengan
PT A (afiliasi satu grup), harga transaksi harus wajar (arm’s length).
Grey area-nya, fiskus bisa memeriksa apakah PT A menjual dengan
harga terlalu rendah atau membeli terlalu mahal untuk menggeser laba ke
luar negeri. Pastikan dokumentasi transfer pricing tersedia (jika
relevan). Namun, jika hubungan pihak independen, risiko ini minim.
- Aturan
Devisa Hasil Ekspor (DHE): Bank Indonesia
mensyaratkan ekspor tertentu untuk memasukkan devisa hasil ekspor melalui
bank domestik. Dalam kasus ini, karena tidak ada dokumen ekspor PEB, strictly
speaking transaksi PT A mungkin tidak tercatat sebagai ekspor resmi.
Namun, dana tetap masuk dari luar negeri ke Indonesia. PT A
sebaiknya menerima pembayaran melalui bank nasional dan mendeskripsikan
transaksi dengan benar. Jika nominal besar, bank mungkin meminta
underlying transaction documents (invoice, kontrak) untuk kepatuhan
PPATK/BI. Selama dana masuk ke Indonesia dan dilaporkan sebagai
penghasilan, kepatuhan DHE tercapai secara substansi. Grey area
bisa muncul kalau PT A membiarkan pembayaran disimpan di luar negeri
(offshore) – hal ini melanggar kewajiban repatriasi devisa (untuk sektor
tertentu) dan tentu penghasilan tersebut tetap terutang pajak di Indonesia
meski tidak dibawa pulang.
- Kesalahan
Penafsiran Atas Jenis Transaksi: Penting bagi PT
A untuk menegaskan bahwa ini adalah jual-beli barang biasa secara
cross-border, bukan jasa perantara. Mengapa ini penting? Jika
otoritas pajak salah menafsirkan bahwa PT A hanya bertindak sebagai
perantara jasa (misal agen komisi) alih-alih penjual barang, mereka bisa
mencoba mengenakan PPN jasa atau PPh berbeda. Pastikan kontrak menyatakan
itu sales of goods. Dalam kasus kita, tidak ada komisi terpisah –
keuntungan PT A murni selisih harga jual dan beli barang, sehingga jelas
merupakan laba perdagangan barang.
Dengan langkah mitigasi di atas, PT A dapat menghindari sengketa atau
sanksi. Kuncinya adalah kepatuhan administrasi dan dokumentasi. Apabila
semua aturan diikuti (pelaporan benar, pajak penghasilan dibayar, dan bukti
transaksi lengkap), maka transaksi semacam ini sah dan tidak menimbulkan beban
pajak ganda di Indonesia.
Kesimpulan
Dari sudut pandang PT A (Indonesia), transaksi penjualan barang ke
S.Co Singapura dengan barang dikirim langsung dari Jerman memiliki
implikasi pajak sebagai berikut:
- PPN: Tidak terutang PPN di Indonesia karena penyerahan barang terjadi
di luar daerah pabean Indonesia[4]. PT A tidak memungut PPN atas invoice ke S.Co, dan wajib
melaporkan omset ini sebagai penyerahan tidak terutang PPN di SPT Masa PPN[6].
- PPh: Laba atas penjualan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan
Indonesia (prinsip worldwide income)[8]. PT A harus memasukkan penghasilannya dalam perhitungan PPh Badan
tahunannya dan membayar sesuai tarif 22%[9]. Tidak ada pemotongan PPh oleh pembeli luar negeri, sehingga PT A
harus memastikan sendiri pemenuhan kewajiban PPh-nya. PPh pasal lain
seperti PPh 22 impor tidak berlaku karena tidak ada impor fisik ke
Indonesia[10].
Dengan mengikuti dasar aturan pajak yang berlaku dan praktik
pembukuan yang benar, PT A dapat melaksanakan transaksi ini secara efisien
pajak (tanpa terkena PPN domestik) namun tetap patuh terhadap
kewajiban PPh. Tetap perlu waspada terhadap hal-hal abu-abu seperti aspek
dokumentasi dan pelaporan, agar terhindar dari penalti atau pemeriksaan di
kemudian hari. Semoga penjelasan ini membantu memberikan gambaran komprehensif
mengenai PPh dan PPN atas skema transaksi tersebut.
Sumber Referensi:
·
Surat Edaran Dirjen Pajak SE-130/PJ/2010
– Perlakuan PPN atas penyerahan BKP di luar Daerah Pabean (drop shipment)[4][5].
·
UU PPN No. 42 Tahun 2009, Pasal 4 ayat (1) huruf a dan Pasal 1A ayat (1) huruf a – Objek PPN
penyerahan dalam daerah pabean[1][7].
·
UU PPh (Terakhir diubah UU HPP
No.7/2021), Pasal 4 ayat (1) – Penghasilan Wajib Pajak
dalam negeri mencakup penghasilan dari luar negeri[8].
·
Tarif PPh Badan 22% (berlaku tahun pajak 2022 dan setelahnya)[9].
·
Artikel MUC Consulting – Ex-Work
dan PPN (contoh kasus penyerahan barang sebagian dari luar negeri)[11][10].
[1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 130/PJ/2010 - Ortax
https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/14488
[8] Indonesia Hijrah ke Sistem Pajak Teritorial, Perlukah Disoal? |
Direktorat Jenderal Pajak
https://pajak.go.id/id/artikel/indonesia-hijrah-ke-sistem-pajak-teritorial-perlukah-disoal
[9] Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Badan
https://pajak.go.id/en/node/34958
[10] [11] Pahami Aspek Pajak Pertambahan Nilai Atas Skema Penyerahan Barang
Ex-Work
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.