I. Pendahuluan
Usaha pegadaian merupakan salah satu pilar penting dalam sistem keuangan non-bank di Indonesia, menyediakan akses cepat terhadap likuiditas bagi masyarakat dengan memanfaatkan barang bergerak sebagai jaminan. Lembaga ini beroperasi baik dalam bentuk perusahaan berbadan hukum, seperti PT Pegadaian (Persero), maupun sebagai usaha pegadaian yang dimiliki oleh orang pribadi, seringkali dalam skala Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Karakteristik utama dari bisnis pegadaian adalah pemberian pinjaman dan pengenaan biaya atas pinjaman tersebut, yang dikenal sebagai "sewa modal" dalam gadai konvensional atau "ujrah" dalam gadai syariah, serta pengelolaan dan penanganan barang jaminan.
Laporan ini disusun untuk menguraikan secara komprehensif perlakuan perpajakan yang berlaku atas kegiatan usaha pegadaian di Indonesia. Pembahasan akan mencakup Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), dengan fokus khusus pada perbedaan perlakuan antara pegadaian yang dimiliki orang pribadi dan yang berbentuk perusahaan. Selain itu, laporan ini akan menganalisis secara mendalam perlakuan perpajakan terhadap barang jaminan, mulai dari saat penyerahan oleh nasabah, proses penebusan, hingga situasi di mana barang tersebut tidak dapat ditebus dan akhirnya dijual. Setiap penjelasan akan didukung dengan dasar hukum yang relevan, mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri keuangan, beserta pasal dan ayatnya. Tujuan akhir dari laporan ini adalah untuk memberikan pemahaman yang jelas mengenai dampak perpajakan dari transaksi pegadaian di Indonesia bagi pelaku usaha maupun nasabah, serta mengidentifikasi potensi area kompleksitas dalam kepatuhan pajak.
II. Perbedaan Perlakuan Perpajakan Pegadaian (Orang Pribadi vs. Badan Usaha)
Perlakuan perpajakan atas usaha pegadaian di Indonesia sangat bergantung pada bentuk hukum entitas yang menjalankannya, yaitu apakah dimiliki oleh orang pribadi atau berbentuk badan usaha. Perbedaan ini memengaruhi status subjek pajak, tarif PPh yang berlaku, serta kompleksitas kewajiban administrasi perpajakan.
A. Identifikasi Subjek Pajak dan Kewajiban Umum
Subjek pajak Pajak Penghasilan dibedakan menjadi subjek pajak orang pribadi dan subjek pajak badan. Usaha pegadaian yang dimiliki oleh orang pribadi, termasuk pemilik UMKM perorangan, akan dikenai Pajak Penghasilan sebagai Wajib Pajak orang pribadi. Mereka menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pribadi untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.1 Sebaliknya, usaha pegadaian yang berbentuk badan hukum, seperti Perusahaan Terbatas (PT), Commanditaire Vennootschap (CV), koperasi, yayasan, atau firma, akan dikenai Pajak Penghasilan sebagai Wajib Pajak badan. Entitas ini memiliki NPWP badan yang terpisah dan terdaftar atas nama entitas tersebut.1
Setiap Wajib Pajak, baik orang pribadi maupun badan, yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh NPWP. Kewajiban ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 2 ayat (1).
Dalam hal pelaporan, Wajib Pajak orang pribadi umumnya melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi menggunakan Formulir 1770 atau 1770 S/SS. Sementara itu, Wajib Pajak badan memiliki kewajiban yang lebih kompleks, yaitu menyusun laporan keuangan dan melaporkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Badan menggunakan Formulir 1771, yang harus dilengkapi dengan lampiran neraca, laporan laba rugi, serta rekonsiliasi fiskal.1 Selain itu, badan usaha yang telah ditetapkan sebagai pemotong atau pemungut pajak, misalnya untuk PPh Pasal 21, PPh Pasal 23, atau PPN, memiliki tanggung jawab administrasi yang lebih rumit dibandingkan dengan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak memiliki kewajiban pemotongan atau pemungutan pajak.1
B. Perbandingan Tarif Pajak Penghasilan
Tarif Pajak Penghasilan yang dikenakan pada usaha pegadaian juga berbeda berdasarkan bentuk hukumnya.
Untuk Wajib Pajak orang pribadi, tarif Pajak Penghasilan menggunakan skema progresif yang berlapis, mulai dari 5% hingga 35%, tergantung pada besaran Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang diperoleh.1 Dasar hukum tarif progresif ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), Pasal 17 ayat (1) huruf a, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU HPP.
Sementara itu, Wajib Pajak badan umumnya menggunakan tarif flat. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, tarif PPh badan ditetapkan sebesar 22% dari laba kena pajak, yang mulai berlaku efektif pada tahun 2025.1 Ketentuan ini termuat dalam UU PPh, Pasal 17 ayat (1) huruf b, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP.
Terdapat pula fasilitas khusus bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Baik pegadaian yang dimiliki orang pribadi maupun badan usaha, jika memenuhi kriteria UMKM, dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan final sebesar 0,5% dari omzet bruto. Fasilitas ini berlaku dengan batasan omzet tertentu, misalnya omzet hingga Rp4,8 Miliar per tahun, dengan bagian omzet hingga Rp500 Juta yang dikecualikan dari pengenaan PPh.1 Dasar hukum fasilitas ini adalah UU PPh, Pasal 31E, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU HPP.
Perbedaan bentuk hukum ini secara langsung berpengaruh pada tingkat kepatuhan dan kompleksitas administrasi perpajakan. Pemilihan bentuk badan usaha, meskipun dapat memberikan keuntungan seperti kredibilitas yang lebih tinggi dan akses pembiayaan yang lebih luas, juga membawa serta beban administrasi pajak yang lebih berat. Hal ini terlihat dari kewajiban penyusunan laporan keuangan yang lebih rinci dan peran sebagai pemotong/pemungut pajak. Sebaliknya, bagi usaha pegadaian skala kecil yang dimiliki oleh orang pribadi, terutama yang memenuhi kriteria UMKM dan memilih PPh final, kerangka kepatuhan pajak cenderung lebih sederhana dan efisien dari segi biaya administrasi. Kondisi ini menunjukkan adanya pertimbangan strategis yang perlu dilakukan oleh pelaku usaha pegadaian dalam memilih bentuk entitas hukumnya, di mana efisiensi pajak dan kompleksitas administratif menjadi faktor penentu yang signifikan.
Tabel 1: Perbandingan Kewajiban Perpajakan Pegadaian (Orang Pribadi vs. Badan Usaha)
III. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Kegiatan Usaha Pegadaian
Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam usaha pegadaian memiliki dua aspek utama: PPN atas jasa keuangan inti yang diberikan, dan PPN atas penjualan barang jaminan yang tidak ditebus oleh nasabah.
A. PPN atas Jasa Keuangan Pegadaian
Jasa Keuangan sebagai Jasa yang Tidak Dikenai PPN
Jasa keuangan merupakan salah satu jenis jasa yang secara eksplisit dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Ini berarti bahwa pendapatan utama yang diperoleh Pegadaian dari kegiatan inti mereka, yaitu pemberian pinjaman dan pengenaan "sewa modal" atau "ujrah" sebagai imbalan atas pinjaman tersebut, tidak dikenai PPN. Pengecualian ini didasarkan pada Pasal 4A Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (UU PPN).4 Ketentuan ini diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), Pasal 16B ayat (1a) huruf j, yang secara spesifik memasukkan "jasa keuangan" sebagai salah satu jenis jasa strategis yang diberikan fasilitas tidak dipungut PPN atau dibebaskan dari pengenaan pajak dalam rangka mendukung pembangunan nasional.5Implikasi Kenaikan Tarif PPN menjadi 12% di Tahun 2025
Meskipun tarif PPN umum di Indonesia dijadwalkan akan naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, sebagaimana diatur dalam UU HPP Pasal 7 ayat (1) dan dijabarkan lebih lanjut melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 (PMK 131/2024) 8, kenaikan tarif ini tidak secara langsung berdampak pada jasa keuangan yang diberikan oleh Pegadaian. Hal ini karena jasa keuangan secara fundamental telah dikecualikan dari objek PPN. Tarif 12% ini utamanya ditujukan untuk Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) yang tergolong mewah. Untuk barang atau jasa yang tidak tergolong mewah, pemerintah menerapkan mekanisme Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain, di mana PPN dihitung sebesar 12% dari 11/12 harga jual, yang secara efektif menghasilkan tarif setara 11%.8 Dengan demikian, sifat dasar jasa pegadaian sebagai jasa keuangan memastikan bahwa kenaikan tarif PPN umum tidak mengubah status PPN-nya.
B. PPN atas Penyerahan Barang Jaminan yang Tidak Ditebus (Barang Lelang Perusahaan/Aktiva Yang Disisihkan)
Pengenaan PPN atas Penyerahan Agunan yang Diambil Alih oleh Kreditur
Ketika barang jaminan tidak dapat ditebus oleh nasabah dan kemudian diambil alih oleh Pegadaian sebagai kreditur, lalu dijual kepada pihak ketiga (pembeli agunan), penyerahan ini termasuk dalam kategori penyerahan hak atas Barang Kena Pajak yang dikenai PPN. Ketentuan ini secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41 Tahun 2023 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Agunan yang Diambil Alih oleh Kreditur kepada Pembeli Agunan (PMK 41/2023), Pasal 2 ayat (1).12 Pengenaan PPN ini berlaku untuk agunan yang diambil alih dalam rangka penyelesaian kredit, pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, atau pinjaman atas dasar hukum gadai.Mekanisme Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan PPN oleh Kreditur
PPN yang terutang atas penyerahan agunan yang diambil alih wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh kreditur (Pegadaian).12 Pemungutan PPN dilakukan pada saat Pegadaian menerima pembayaran dari pembeli agunan.12 Kreditur juga memiliki kewajiban untuk menyetor PPN yang dipungut menggunakan surat setoran pajak dan/atau sarana administrasi lain yang dipersamakan.12 Pelaporan PPN atas penyerahan agunan ini dilakukan melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.12 Dasar hukum untuk mekanisme ini adalah PMK 41/2023, Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 7 ayat (1).Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan Tarif PPN
PPN yang terutang atas penjualan agunan dipungut dan disetor dengan besaran tertentu. Besaran ini ditetapkan sebesar 10% dari tarif PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN, yang kemudian dikalikan dengan dasar pengenaan pajak berupa harga jual agunan.12 Sebagai contoh, jika tarif PPN umum adalah 11%, maka PPN yang dipungut adalah 10% x 11% = 1.1% dari harga jual agunan. Apabila tarif PPN umum naik menjadi 12% per 2025, maka PPN yang dipungut akan menjadi 10% x 12% = 1.2% dari harga jual agunan. Ketentuan ini diatur dalam PMK 41/2023, Pasal 3 ayat (3) dan (4).Perlakuan Faktur Pajak
Kreditur yang merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa agunan. Dokumen lain seperti faktur penjualan agunan dapat dipersamakan dengan Faktur Pajak. Dokumen ini harus memuat informasi esensial seperti nomor dan tanggal dokumen, nama dan NPWP Kreditur, nama dan NPWP atau NIK Debitur, nama dan NPWP atau NIK Pembeli Agunan, uraian Barang Kena Pajak, Dasar Pengenaan Pajak (DPP), dan jumlah PPN yang dipungut.12 Namun, perlu dicatat bahwa atas pengambilalihan agunan oleh kreditur dari debitur (yaitu pada saat barang jaminan tidak ditebus dan secara administratif menjadi milik kreditur) tidak diterbitkan Faktur Pajak.12 Ketentuan mengenai faktur pajak ini diatur dalam PMK 41/2023, Pasal 4 dan Pasal 5.Contoh Perhitungan PPN Penjualan Agunan
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, berikut adalah contoh perhitungan PPN atas penjualan agunan berdasarkan skenario yang umum terjadi:
Tabel 2: Contoh Perhitungan PPN atas Penjualan Agunan oleh Pegadaian
Pengecualian PPN atas Emas Batangan
Penting untuk dicatat bahwa penyerahan emas batangan yang tidak digunakan sebagai bahan baku perhiasan dikecualikan dari pengenaan PPN. Hal ini sangat relevan bagi Pegadaian yang sering menerima emas batangan sebagai barang jaminan. Pengecualian ini diatur dalam Pasal 4A ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa.15
Tabel 3: Ringkasan Perlakuan PPN atas Transaksi Pegadaian
Perlu diperhatikan adanya potensi konflik interpretasi dan risiko kepatuhan terkait PPN atas penjualan agunan. Meskipun PMK 41/2023 secara eksplisit mengatur pengenaan PPN atas penjualan agunan yang diambil alih oleh kreditur, terdapat putusan Majelis Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa penetapan barang jaminan gadai yang telah jatuh tempo (Barang Kasep) menjadi Barang Lelang Perusahaan (BLP) dan Aktiva Yang Disisihkan (AYD) hanya untuk tujuan administrasi dan pembukuan, dan substansi barang tersebut masih merupakan barang jaminan gadai yang telah jatuh tempo. Oleh karena itu, penjualan BLP dan AYD dianggap bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.15
Majelis Pengadilan Pajak berpendapat bahwa bisnis utama Pegadaian adalah penyediaan jasa keuangan (gadai), bukan penjualan atau pembelian barang, sehingga tidak seharusnya dikenai PPN atas aktivitas ini. Selain itu, berdasarkan Pasal 1154 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), penerima gadai dilarang memiliki barang jaminan, bahkan jika debitur wanprestasi. Setiap perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini dianggap batal demi hukum.15 Putusan ini menunjukkan bahwa reklasifikasi barang menjadi BLP atau AYD semata-mata merupakan proses administratif untuk membedakan pinjaman aktif dari pinjaman bermasalah, bukan transfer kepemilikan yang menimbulkan objek PPN.
Kontradiksi antara regulasi pemerintah (PMK 41/2023) dan putusan pengadilan pajak ini menciptakan ketidakpastian hukum dan risiko kepatuhan yang signifikan bagi entitas Pegadaian. Jika Pegadaian mematuhi PMK, mereka berpotensi mengenakan PPN pada transaksi yang menurut pengadilan pajak seharusnya tidak dikenai pajak. Sebaliknya, jika mereka mengikuti interpretasi pengadilan, mereka berisiko menghadapi tantangan dari Direktorat Jenderal Pajak yang akan menegakkan PMK. Situasi ini menyoroti kompleksitas penerapan hukum pajak di Indonesia, di mana peraturan formal dapat memiliki interpretasi yudisial yang berbeda, sehingga memerlukan kejelasan lebih lanjut dari otoritas terkait atau putusan pengadilan yang lebih tinggi untuk memberikan kepastian hukum.
IV. Pajak Penghasilan (PPh) atas Kegiatan Usaha Pegadaian
Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) pada usaha pegadaian mencakup pendapatan inti dari sewa modal atau bunga, biaya administrasi, serta perlakuan atas penjualan barang jaminan yang tidak ditebus.
A. PPh atas Pendapatan Sewa Modal/Bunga dan Biaya Administrasi
Objek PPh bagi Pegadaian sebagai Badan Usaha
Pendapatan yang diterima atau diperoleh Pegadaian, termasuk "sewa modal" (yang dapat diidentifikasi sebagai bunga atau imbalan sehubungan dengan penggunaan harta) dan biaya administrasi, merupakan objek Pajak Penghasilan. Pendapatan ini dianggap sebagai peningkatan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan entitas Pegadaian.2 Ketentuan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), Pasal 4 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, adalah objek pajak.PPh Pasal 23 atas Bunga/Sewa Modal
Secara umum, penghasilan berupa bunga (termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang) yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri dikenai pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 sebesar 15% dari jumlah bruto.18 Dasar hukum pemotongan ini adalah UU PPh, Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 1.Pengecualian Pemotongan PPh Pasal 23 untuk Jasa Keuangan
Meskipun ada ketentuan umum PPh Pasal 23 atas bunga, terdapat pengecualian penting bagi Pegadaian. Penghasilan berupa bunga atau imbalan sejenis yang dibayarkan atau terutang kepada badan usaha yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan, termasuk Pegadaian sebagai lembaga keuangan, dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23. Ini berarti bahwa nasabah tidak memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 23 atas "sewa modal" atau bunga yang mereka bayarkan kepada Pegadaian. Pengecualian ini diatur secara spesifik dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan yang Dilakukan oleh Badan Usaha yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman dan/atau Pembiayaan yang Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23.18
Pengecualian ini memiliki implikasi penting terhadap beban Pajak Penghasilan atas pendapatan sewa modal. Dengan tidak adanya pemotongan PPh Pasal 23 oleh nasabah, pendapatan "sewa modal" diterima secara bruto oleh Pegadaian. Hal ini menyederhanakan kewajiban perpajakan bagi nasabah, yang umumnya merupakan individu atau entitas kecil yang mungkin tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pemotongan dan penyetoran pajak. Sebagai gantinya, pendapatan ini kemudian akan masuk ke dalam perhitungan laba bruto Pegadaian dan dikenai Pajak Penghasilan Badan. Dengan demikian, tanggung jawab pemajakan atas pendapatan ini bergeser sepenuhnya kepada lembaga keuangan, yang memang memiliki infrastruktur dan keahlian untuk mengelola kewajiban pajak yang lebih kompleks. Pajak atas pendapatan ini tidak bersifat final pada tingkat transaksi, melainkan akan dihitung berdasarkan profitabilitas keseluruhan entitas Pegadaian.PPh Badan atas Laba Usaha Pegadaian
Laba usaha yang diperoleh Pegadaian sebagai badan usaha, setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang diperkenankan oleh peraturan perpajakan, akan dikenai Pajak Penghasilan Badan. Tarif PPh Badan adalah 22%, yang berlaku mulai tahun 2025.1 Ketentuan mengenai tarif PPh Badan ini diatur dalam UU PPh, Pasal 17.
B. PPh atas Penjualan Barang Jaminan yang Tidak Ditebus
Perlakuan PPh atas Penjualan Barang Lelang Perusahaan (BLP) dan Aktiva Yang Disisihkan (AYD)
Ketika barang jaminan tidak ditebus oleh nasabah dan kemudian direklasifikasi menjadi Barang Lelang Perusahaan (BLP) atau Aktiva Yang Disisihkan (AYD) untuk kemudian dijual, laba atau rugi yang timbul dari penjualan ini akan diperhitungkan dalam penghitungan Pajak Penghasilan Badan Pegadaian. Jika penjualan menghasilkan laba, maka laba tersebut akan menambah penghasilan kena pajak Pegadaian; sebaliknya, jika terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan mengurangi penghasilan kena pajak.15 Pendapatan dari penjualan ini akan menjadi bagian dari peredaran bruto Pegadaian yang menjadi dasar perhitungan PPh Badan.
Terdapat dualitas perlakuan pajak atas penjualan agunan ini. Meskipun Majelis Pengadilan Pajak dalam putusannya (sebagaimana diulas pada bagian PPN) berpendapat bahwa penjualan BLP/AYD bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak untuk tujuan PPN karena sifat administratifnya dan larangan kepemilikan agunan oleh penerima gadai (Pasal 1154 KUHPerdata) 15, namun dari sisi Pajak Penghasilan, laba atau rugi dari penjualan ini tetap relevan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun suatu transaksi mungkin dikecualikan dari PPN berdasarkan interpretasi tertentu mengenai substansi penyerahan barang, dampak ekonomisnya (yaitu laba atau rugi) tetap diakui dan memengaruhi dasar perhitungan PPh entitas. PPN adalah pajak atas konsumsi/transaksi, sedangkan PPh adalah pajak atas penghasilan/laba, sehingga keduanya memiliki prinsip dan aplikasi yang berbeda terhadap aktivitas bisnis yang sama.PPh Pasal 22 atas Transaksi Emas
Penjualan emas perhiasan dan/atau emas batangan secara umum dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 sebesar 0,25% dari Harga Jual.4 Pemungutan PPh Pasal 22 ini dilakukan pada saat penjualan. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2023 (PMK 48/2023), Pasal 2 ayat (4) dan (5).
Namun, terdapat informasi bahwa transaksi emas di Pegadaian dapat bebas dari pemungutan PPh Pasal 22. Pengecualian ini berlaku khususnya bagi Wajib Pajak UMKM yang penghasilannya dikenai PPh final, serta Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22.24 Adanya pengecualian ini menunjukkan upaya pemerintah untuk tidak membebani transaksi emas di Pegadaian dengan PPh Pasal 22, yang mungkin bertujuan untuk mendukung industri bullion bank atau memfasilitasi masyarakat dalam bertransaksi emas.
Tabel 4: Ringkasan Perlakuan PPh atas Transaksi Pegadaian
V. Perlakuan Perpajakan bagi Nasabah Pegadaian
Perlakuan perpajakan bagi nasabah Pegadaian, mulai dari penyerahan barang jaminan hingga barang tersebut tidak dapat ditebus, dirancang untuk menjaga kemudahan aksesibilitas layanan gadai.
A. Saat Penyerahan Barang Jaminan
Pada saat awal transaksi gadai, ketika nasabah menyerahkan barang jaminan kepada Pegadaian, transaksi ini tidak menimbulkan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak Penghasilan (PPh) bagi nasabah. Penyerahan barang tersebut semata-mata bersifat sebagai agunan atau jaminan atas pinjaman yang diterima, bukan merupakan penyerahan hak kepemilikan yang dapat menimbulkan objek pajak.15 Dengan demikian, tidak ada pemungutan pajak yang terjadi pada tahap ini, sejalan dengan substansi transaksi gadai sebagai pemberian hak jaminan.
B. Saat Penebusan Barang Jaminan
Ketika nasabah melunasi pinjaman pokok beserta sewa modal atau ujrah dan biaya administrasi, kemudian menebus kembali barang jaminannya, transaksi ini juga tidak menimbulkan objek PPN maupun PPh bagi nasabah.27 Proses penebusan ini adalah pengembalian barang yang sebelumnya dijaminkan kepada pemilik aslinya setelah kewajiban finansial dipenuhi. Nasabah hanya membayar jumlah pinjaman yang telah jatuh tempo ditambah dengan biaya-biaya yang disepakati, tanpa adanya pengenaan pajak tambahan pada transaksi penebusan itu sendiri.
C. Saat Barang Jaminan Tidak Dapat Ditebus dan Dijual
Dampak PPN bagi Pembeli Agunan
Apabila nasabah tidak dapat menebus barang jaminannya dan Pegadaian kemudian menjual barang tersebut kepada pihak ketiga (Pembeli Agunan), maka Pembeli Agunan memiliki perlakuan PPN tertentu. Jika Pembeli Agunan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP), mereka dapat mengkreditkan PPN yang tertera dalam Faktur Pajak (atau dokumen yang dipersamakan kedudukannya dengan Faktur Pajak) atas pembelian agunan tersebut.12 Kemampuan untuk mengkreditkan PPN ini penting bagi PKP karena dapat mengurangi jumlah PPN yang harus mereka setorkan. Ketentuan ini diatur dalam PMK 41/2023, Pasal 8.Dampak PPh bagi Nasabah (jika ada)
Secara umum, nasabah yang barang jaminannya dijual oleh Pegadaian karena tidak dapat ditebus tidak dikenai Pajak Penghasilan atas penjualan tersebut. Hal ini karena penjualan dilakukan oleh Pegadaian sebagai kreditur untuk melunasi utang nasabah, dan laba atau rugi dari penjualan tersebut dibukukan oleh Pegadaian, bukan oleh nasabah. Namun, jika terdapat selisih lebih dari hasil penjualan setelah dikurangi pinjaman pokok, sewa modal, dan biaya-biaya sah lainnya, dan selisih lebih tersebut dikembalikan kepada nasabah, maka selisih lebih ini dapat menjadi objek PPh bagi nasabah jika memenuhi kriteria penghasilan. Dalam praktik gadai, selisih lebih ini umumnya jarang terjadi atau nilainya kecil, dan seringkali habis untuk menutupi biaya-biaya terkait.
Perlakuan pajak yang cenderung netral bagi nasabah pada tahap penyerahan dan penebusan barang jaminan merupakan kebijakan yang mendukung aksesibilitas layanan gadai. Pendekatan ini memastikan bahwa individu, terutama mereka yang mungkin berada dalam kebutuhan finansial mendesak dan memiliki literasi pajak terbatas, tidak langsung dibebani dengan kewajiban pajak tambahan hanya karena memanfaatkan layanan gadai. Hal ini menjadikan Pegadaian sebagai solusi keuangan yang lebih mudah diakses dan tidak memberatkan bagi segmen masyarakat yang lebih luas, sehingga turut mendukung inklusi keuangan. Beban pengumpulan pajak utamanya tetap berada pada sisi institusi Pegadaian, yang lebih siap dan mampu dalam mengelola kompleksitas kepatuhan pajak.
VI. Dampak Perpajakan atas Transaksi Pegadaian di Indonesia
Perlakuan perpajakan atas transaksi pegadaian di Indonesia memiliki dampak yang signifikan, baik bagi entitas Pegadaian sebagai pelaku bisnis, bagi nasabah, maupun terhadap industri keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.
A. Dampak terhadap Pegadaian sebagai Entitas Bisnis
Kepatuhan PPN yang Kompleks
Meskipun jasa inti Pegadaian (pemberian pinjaman dan sewa modal) dikecualikan dari PPN, penjualan agunan yang tidak ditebus dikenai PPN dengan mekanisme khusus sesuai PMK 41/2023.12 Hal ini menuntut Pegadaian untuk memiliki sistem pencatatan dan pelaporan PPN yang cermat dan sistematis. Kompleksitas ini diperparah dengan adanya perbedaan interpretasi antara regulasi (PMK 41/2023) dan putusan pengadilan pajak terkait pengenaan PPN atas penjualan Barang Lelang Perusahaan (BLP) atau Aktiva Yang Disisihkan (AYD).15 Perbedaan pandangan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan dapat meningkatkan risiko kepatuhan atau sengketa pajak bagi Pegadaian.Beban PPh Badan
Pendapatan utama Pegadaian dari sewa modal dan biaya administrasi merupakan objek Pajak Penghasilan Badan, yang secara langsung berkontribusi pada laba kena pajak perusahaan. Selain itu, laba atau rugi yang timbul dari penjualan BLP/AYD juga akan memengaruhi perhitungan PPh Badan.15 Hal ini menuntut Pegadaian untuk mengelola efisiensi operasional dan biaya secara cermat agar dapat mempertahankan profitabilitas setelah pajak.Peran sebagai Pemungut PPh 22 (Emas)
Pegadaian memiliki peran sebagai pemungut PPh Pasal 22 atas penjualan emas, meskipun terdapat pengecualian bagi Wajib Pajak UMKM atau yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 22.4 Peran ini menambah kompleksitas administrasi perpajakan Pegadaian, yang harus memastikan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan yang akurat sesuai dengan peraturan yang berlaku.
B. Dampak terhadap Nasabah
Transaksi Gadai Bebas PPN dan PPh Langsung
Bagi nasabah, penyerahan barang jaminan pada awal transaksi gadai dan penebusannya kembali umumnya tidak menimbulkan kewajiban PPN atau PPh secara langsung.15 Kebijakan ini sangat penting untuk menjaga aksesibilitas layanan gadai, terutama bagi masyarakat yang membutuhkan dana cepat tanpa terbebani oleh kompleksitas atau biaya pajak tambahan pada setiap transaksi.Potensi Dampak PPN bagi Pembeli Agunan (PKP)
Pembeli agunan yang merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat mengkreditkan PPN yang dipungut atas pembelian agunan dari Pegadaian.12 Kemampuan pengkreditan PPN ini secara tidak langsung dapat memengaruhi daya tarik dan harga jual agunan di pasar, karena harga bersih yang harus dibayar oleh PKP menjadi lebih rendah.
C. Dampak terhadap Industri Keuangan dan Perekonomian
Dukungan terhadap Inklusi Keuangan
Perlakuan PPN yang mengecualikan jasa keuangan Pegadaian dari pengenaan pajak merupakan langkah strategis untuk mendukung inklusi keuangan. Dengan tidak dikenakannya PPN pada jasa inti, biaya layanan gadai menjadi lebih terjangkau, sehingga mempermudah akses masyarakat, khususnya segmen berpenghasilan rendah atau yang tidak memiliki akses ke perbankan formal, untuk mendapatkan pinjaman.Potensi Hambatan dalam Transaksi Emas
Isu terkait "saling pungut" PPh Pasal 22 pada transaksi jual beli emas antara produsen dan Pegadaian atau Bullion Bank 24 dapat menjadi hambatan bagi pengembangan industri emas dan Bullion Bank di Indonesia. Meskipun ada kebijakan pengecualian PPh 22 untuk transaksi emas di Pegadaian bagi UMKM atau WP dengan SKB 25, isu ini tetap memerlukan evaluasi kebijakan perpajakan yang berkelanjutan untuk memastikan operasional Bullion Bank dapat berjalan optimal tanpa hambatan regulasi yang kontraproduktif.Kontribusi Penerimaan Negara
Meskipun terdapat berbagai pengecualian dan fasilitas, Pegadaian sebagai entitas bisnis tetap berkontribusi signifikan pada penerimaan negara melalui pembayaran Pajak Penghasilan Badan atas laba usahanya dan pemungutan PPN atas penjualan agunan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk menjaga aksesibilitas layanan dan mendukung sektor tertentu, kerangka perpajakan tetap memastikan kontribusi yang adil terhadap anggaran negara.
VII. Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Ringkasan Temuan Utama
Perlakuan perpajakan atas usaha pegadaian di Indonesia menunjukkan kompleksitas dan nuansa yang signifikan, yang dipengaruhi oleh bentuk hukum entitas dan jenis transaksinya.
Pertama, jasa inti Pegadaian, yaitu pemberian pinjaman dan pengenaan sewa modal atau ujrah, secara konsisten dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdasarkan Undang-Undang PPN Pasal 4A ayat (3) dan UU HPP Pasal 16B ayat (1a) huruf j. Pengecualian ini, yang mengklasifikasikan pegadaian sebagai jasa keuangan, berkontribusi pada keterjangkauan layanan dan dukungan terhadap inklusi keuangan. Kenaikan tarif PPN umum menjadi 12% pada tahun 2025 tidak mengubah status pengecualian ini.
Kedua, penjualan agunan yang tidak ditebus oleh nasabah dan diambil alih oleh Pegadaian dikenai PPN dengan mekanisme khusus. Berdasarkan PMK 41/2023 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (4), PPN dipungut sebesar 10% dari tarif PPN umum (efektif 1,1% atau 1,2% dari harga jual agunan) oleh kreditur. Namun, terdapat putusan Majelis Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa penjualan Barang Lelang Perusahaan (BLP) dan Aktiva Yang Disisihkan (AYD) bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak untuk tujuan PPN, mengingat substansi transaksi gadai dan larangan kepemilikan agunan oleh penerima gadai (Pasal 1154 KUHPerdata). Kontradiksi antara regulasi dan putusan pengadilan ini menciptakan ketidakpastian hukum yang memerlukan perhatian lebih lanjut.
Ketiga, dari sisi Pajak Penghasilan (PPh), pendapatan "sewa modal" atau "bunga" dan biaya administrasi bagi Pegadaian merupakan objek PPh Badan sesuai UU PPh Pasal 4 ayat (1). Pentingnya, pembayaran sewa modal/bunga oleh nasabah kepada Pegadaian dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23 oleh nasabah, sebagaimana diatur dalam PMK 251/PMK.03/2008. Ini menggeser beban pemajakan ke Pegadaian sebagai entitas yang lebih mampu mengelola kewajiban PPh Badan. Laba atau rugi dari penjualan barang jaminan yang tidak ditebus juga diperhitungkan dalam PPh Badan Pegadaian.
Keempat, transaksi penjualan emas di Pegadaian dikenai PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari harga jual (PMK 48/2023 Pasal 2 ayat (4) dan (5)), meskipun terdapat pengecualian bagi Wajib Pajak UMKM atau yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh 22.
Kelima, perbedaan bentuk hukum usaha pegadaian (orang pribadi vs. badan usaha) berdampak signifikan pada tarif PPh yang berlaku (progresif untuk orang pribadi, flat 22% untuk badan per 2025) dan kompleksitas administrasi perpajakan. Usaha berbentuk badan memiliki kewajiban pelaporan dan pemotongan/pemungutan pajak yang lebih kompleks.
Terakhir, bagi nasabah, transaksi penyerahan dan penebusan barang jaminan umumnya tidak menimbulkan kewajiban PPN atau PPh secara langsung, yang menjaga aksesibilitas dan daya tarik layanan gadai.
B. Implikasi Kebijakan Perpajakan
Kebijakan perpajakan saat ini secara umum mendukung peran Pegadaian dalam inklusi keuangan dengan mengecualikan jasa inti dari PPN, sehingga menjaga biaya layanan tetap terjangkau. Namun, area abu-abu terkait PPN atas penjualan agunan yang tidak ditebus, di mana terdapat perbedaan interpretasi antara regulasi dan putusan pengadilan, menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha. Kondisi ini dapat menghambat kepastian hukum dan efisiensi operasional bagi Pegadaian.
C. Rekomendasi
Untuk meningkatkan kepastian hukum dan efisiensi kepatuhan perpajakan dalam usaha pegadaian, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:
Harmonisasi Interpretasi PPN atas Penjualan Agunan: Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Keuangan perlu meninjau kembali dan mengharmonisasi ketentuan PPN atas penjualan agunan yang diambil alih, dengan mempertimbangkan putusan-putusan pengadilan pajak yang relevan. Penerbitan penegasan atau revisi peraturan yang lebih jelas akan sangat membantu dalam mengurangi risiko sengketa dan memberikan kepastian bagi Pegadaian.
Edukasi dan Sosialisasi Berkelanjutan: Peningkatan edukasi dan sosialisasi mengenai perlakuan perpajakan yang spesifik untuk usaha pegadaian, terutama bagi pelaku UMKM yang menjalankan usaha pegadaian orang pribadi, akan membantu meningkatkan kepatuhan sukarela.
Evaluasi Dampak PPh 22 Emas: Terus memantau dan mengevaluasi dampak pengenaan PPh Pasal 22 atas transaksi emas, termasuk potensi "saling pungut," untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak menghambat pertumbuhan industri bullion bank dan tetap mendukung kemudahan bertransaksi emas bagi masyarakat.
Dengan penyesuaian dan klarifikasi yang tepat, kerangka perpajakan dapat lebih efektif mendukung peran vital usaha pegadaian dalam perekonomian Indonesia, sambil tetap memastikan kontribusi yang adil terhadap penerimaan negara.
Works cited
Pajak Pribadi vs Pajak Badan: Apa Bedanya? - SWS Consulting, accessed August 20, 2025, https://swsconsulting.co.id/blog-post/pajak-pribadi-vs-pajak-badan-apa-bedanya/
Pajak Penghasilan: Jenis, Tarif, dan Batas Pembayarannya - Sahabat Pegadaian, accessed August 20, 2025, https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/keuangan/pajak-penghasilan
nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan - JDIH Kementerian Keuangan, accessed August 20, 2025, https://jdih-old.kemenkeu.go.id/FullText/2000/17TAHUN2000UUPenj.htm
Pengenaan PPN atas Kegiatan Usaha Perbankan - Blog, accessed August 20, 2025, https://enforcea.com/Blog/pengenaan-ppn-atas-kegiatan-usaha-perbankan
Salinan UU Nomor 7 Tahun 2021.pdf - Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 20, 2025, https://pajak.go.id/sites/default/files/2021-12/Salinan%20UU%20Nomor%207%20Tahun%202021.pdf
Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewa - Konsultan Pajak Surabaya, accessed August 20, 2025, https://konsultanpajaksurabaya.com/pasal-16b-undang-undang-pajak-pertambahan-nilai-barang-dan-jasa-dan-pajak-penjualan-atas-barang-mewah
UU No. 7 Tahun 2021 - Peraturan BPK, accessed August 20, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/details/185162/uu-no-7-tahun-2021
PPN 2025, Apa Dasar Hukumnya dan Bagaimana Cara Hitungnya? - Sahabat Pegadaian, accessed August 20, 2025, https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/keuangan/ppn-2025
PMK 131/2024: Tarif PPN Sebelas-Dua Belas | Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 20, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/pmk-1312024-tarif-ppn-sebelas-dua-belas
PMK 131/2024: Terobosan Hukum dalam Mengatur PPN 2025 | Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 20, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/pmk-1312024-terobosan-hukum-dalam-mengatur-ppn-2025
Penegasan terkait perubahan tarif PPN sesuai UU No 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) (S-323) - DJPb, accessed August 20, 2025, https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/kotabumi/id/download/pengumuman/3239-penegasan-terkait-perubahan-tarif-ppn-sesuai-uu-no-7-tahun-2021-tentang-harmonisasi-peraturan-perpajakan-hpp-s-323.html
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 41 Tahun ... - JDIH Kemenkeu, accessed August 20, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/7d475fef-cce0-4b81-959a-d8604ecb8e85/2023pmkeuangan041.pdf
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 41 TAHUN 2023 - Ortax - Data Center, accessed August 20, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25113
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN AGUNAN YANG DIAMBIL ALIH OLEH KREDITUR KEPADA PEMBELI AGUNAN | Direktorat Jenderal Pajak, accessed August 20, 2025, https://pajak.go.id/id/peraturan/pajak-pertambahan-nilai-atas-penyerahan-agunan-yang-diambil-alih-oleh-kreditur-kepada
SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK, accessed August 20, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/32634
Mengapa Memilih Gadai Emas - Pegadaian, accessed August 20, 2025, https://pegadaian.co.id/produk/gadai-emas
Apa itu Pegadaian Gadai Efek?, accessed August 20, 2025, https://pegadaian.co.id/produk/gadai-efek
PPh Pasal 23 - DJPb - Kementerian Keuangan, accessed August 20, 2025, https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/bandaaceh/id/layanan/perpajakan/pph-pasal-23.html
251/PMK.03/2008 - Penghasilan atas Jasa Keuangan yang ..., accessed August 20, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/dok/251-pmk-03-2008
Peraturan Menteri Keuangan 251/PMK.03/2008 | JDIH Kementerian Keuangan, accessed August 20, 2025, https://jdih-old.kemenkeu.go.id/in/dokumen/peraturan/662c547b-ff29-4b15-b203-a29f194cc1f6
accessed January 1, 1970, https://jdih.kemenkeu.go.id/FullText/2008/251~PMK.03~2008Per.HTM
PMK No. 48 Tahun 2023 - Peraturan BPK, accessed August 20, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/248649/pmk-no-48-tahun-2023
Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 48 Tahun 2023 - Ortax - Data Center, accessed August 20, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25118
Bullion Bank Resmi Hadir di Indonesia, Pegadaian dan BSI Jadi Pelopor Bank Emas!, accessed August 20, 2025, https://taxcentreui.org/kabar/142
Masyarakat Wajib Tahu, Transaksi Emas di Pegadaian Bebas Pajak PPh 22, accessed August 20, 2025, https://www.cnbcindonesia.com/news/20250804144240-4-654880/masyarakat-wajib-tahu-transaksi-emas-di-pegadaian-bebas-pajak-pph-22
Masyarakat Transaksi Emas di Pegadaian Bebas Pajak PPh 22 - Press Release - KONTAN, accessed August 20, 2025, https://pressrelease.kontan.co.id/news/masyarakat-transaksi-emas-di-pegadaian-bebas-pajak-pph-22
Syarat dan Panduan Lengkap Cara Menebus Barang Di Pegadaian, accessed August 20, 2025, https://sahabat.pegadaian.co.id/artikel/keuangan/baca-syarat-dan-panduan-lengkap-cara-menebus-barang-di-pegadaian
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.