I. Pendahuluan
Dalam ekosistem keuangan modern, produk asuransi telah berevolusi melampaui fungsi tradisionalnya sebagai instrumen proteksi risiko, kini seringkali mengintegrasikan komponen investasi. Transformasi ini menghadirkan kompleksitas signifikan terkait perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas penerimaan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi, baik yang berasal dari klaim asuransi maupun dari hasil investasi yang melekat pada polis. Pemahaman yang mendalam mengenai ketentuan perpajakan ini menjadi esensial untuk memastikan kepatuhan pajak yang akurat dan mengoptimalkan perencanaan keuangan individu.
Laporan ini disusun dengan tujuan untuk menyediakan panduan yang
komprehensif, akurat secara hukum, dan praktis mengenai aspek perpajakan yang
berkaitan dengan hasil yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dari polis
asuransi di Indonesia. Fokus utama laporan ini adalah mengidentifikasi jenis
klaim asuransi yang dikecualikan dari objek PPh, klaim yang menjadi objek PPh,
serta dasar hukum yang melandasi ketentuan tersebut. Selain itu, laporan ini
akan menguraikan tata cara pelaporan yang benar dalam Surat Pemberitahuan (SPT)
Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi, termasuk dokumen pendukung yang
relevan. Pembahasan juga akan mencakup bagaimana polis asuransi itu sendiri
diakui dan dilaporkan sebagai harta dalam SPT Tahunan. Kepatuhan perpajakan
yang tepat merupakan fondasi integral dari sistem perpajakan yang efektif.
Laporan ini bertujuan untuk membekali Wajib Pajak dengan pengetahuan yang
diperlukan, tidak hanya untuk menghindari potensi sanksi administratif dan
hukum akibat kesalahan pelaporan, tetapi juga untuk secara efektif memanfaatkan
fasilitas perpajakan yang tersedia.
B. Ruang Lingkup Perpajakan Asuransi bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi
Laporan ini akan menganalisis berbagai jenis klaim asuransi, meliputi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi kerugian. Analisis akan secara cermat membedakan perlakuan pajak antara klaim yang bersifat proteksi murni dengan hasil yang timbul dari komponen investasi dalam produk asuransi, seperti unit link. Aspek pelaporan dalam SPT Tahunan Orang Pribadi akan merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, yang mengatur ketentuan pelaporan pajak dalam rangka pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.
II. Pemahaman Produk Asuransi dan Komponennya dari
Sisi Perpajakan
A. Jenis-jenis Asuransi (Kesehatan, Kecelakaan, Jiwa, Dwiguna, Kerugian)
Asuransi didefinisikan sebagai perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis. Perjanjian ini menjadi dasar bagi perusahaan asuransi untuk menerima premi, dengan imbalan memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis atas kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita akibat peristiwa yang tidak pasti. Alternatifnya, asuransi dapat berupa pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pada hidupnya tertanggung, dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.1
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian
mengklasifikasikan beberapa jenis usaha perasuransian, termasuk Usaha Asuransi
Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Reasuransi, Usaha Asuransi Umum Syariah, Usaha
Asuransi Jiwa Syariah, dan Usaha Reasuransi Syariah.1 Dalam konteks ini,
reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi
oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi
lainnya.3 Beberapa entitas
reasuransi terkemuka di Indonesia meliputi PT Tugu Reasuransi Indonesia
(Tugure), PT Reasuransi Maipark Indonesia (Maipark), dan PT Maskapai Reasuransi
Indonesia (Marein).4
Selain itu, industri asuransi juga melibatkan perantara seperti
pialang asuransi dan agen asuransi. Perusahaan pialang asuransi menyediakan
jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi
syariah, serta penanganan penyelesaian klaim, dengan bertindak untuk dan atas
nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta.6 Contoh perusahaan
pialang asuransi di Indonesia adalah PT AON Indonesia dan PT IBS Insurance
Broking Service.7 Sementara itu, agen asuransi adalah individu yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.8
Memahami peran masing-masing pihak dalam industri asuransi
sangat penting untuk tujuan perpajakan. Meskipun laporan ini berfokus pada
klaim yang diterima nasabah, pengenalan terhadap reasuransi, pialang, dan agen
asuransi membantu membedakan berbagai jenis penghasilan dan kewajiban pajak
yang melekat pada setiap pihak. Sebagai contoh, komisi yang diterima oleh agen
asuransi dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) dengan kode objek
pajak 21-100-05 9 dan juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).8 Perlakuan pajak atas
komisi ini sangat berbeda dengan perlakuan atas klaim asuransi yang diterima
langsung oleh nasabah. Perbedaan ini menunjukkan bahwa dalam industri asuransi,
perlakuan pajak sangat spesifik dan bergantung pada sifat transaksi serta peran
pihak yang terlibat.
B. Komponen Investasi dalam Produk Asuransi
(misalnya Unit Link)
Produk asuransi unit link merupakan inovasi yang mengintegrasikan fungsi proteksi asuransi dengan komponen investasi. Selain memberikan manfaat proteksi, produk ini juga berpotensi memberikan nilai investasi bagi pemegang polis.11 Keuntungan investasi yang diperoleh dari asuransi unit link dapat dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.12
Hasil investasi dari unit link, seperti bunga deposito, bunga
obligasi, atau keuntungan penjualan saham yang menjadi aset investasi unit
link, pada umumnya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final)
sesuai dengan tarif yang berlaku untuk masing-masing instrumen investasi dasar.11 Sebagai ilustrasi,
bunga deposito dikenakan PPh Final sebesar 20% 15, sedangkan bunga
obligasi dikenakan PPh Final sebesar 10%.14
Penting untuk memisahkan komponen proteksi dan investasi dalam
produk unit link. Produk unit link memiliki dua komponen yang jelas: asuransi
dan investasi.11 Bagian investasi dari produk ini dikenakan PPh Final.11 Hal ini menegaskan
bahwa Wajib Pajak harus mampu membedakan secara cermat antara manfaat proteksi
asuransi, yang mungkin dikecualikan dari objek pajak, dan keuntungan yang
berasal dari komponen investasi, yang dikenakan PPh Final. Kemampuan untuk
memisahkan kedua komponen ini sangat penting untuk memastikan pelaporan pajak
yang akurat. Mencampuradukkan keduanya dapat mengakibatkan kesalahan pelaporan
atau pembayaran pajak yang tidak sesuai, baik lebih bayar maupun kurang bayar.
Adanya potensi kesalahpahaman dan kebutuhan akan klarifikasi
rinci dari perusahaan asuransi merupakan hal yang patut diperhatikan. Beberapa
sumber menunjukkan adanya kebingungan di kalangan perusahaan asuransi terkait
pembebasan pajak atas unit link, khususnya mengenai selisih lebih antara
manfaat tabungan yang diterima dan premi yang telah dibayarkan.18 Meskipun Surat Edaran
Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-97/PJ/2011 telah diterbitkan untuk memberikan
penegasan 19, ambiguitas masih dapat terjadi. Oleh karena itu, Wajib Pajak
perlu proaktif dalam meminta laporan rinci dari perusahaan asuransi yang secara
eksplisit memisahkan antara manfaat asuransi yang dikecualikan dari objek pajak
dan hasil investasi yang dikenakan PPh Final. Tanpa rincian yang memadai, Wajib
Pajak akan menghadapi kesulitan dalam memenuhi kewajiban pelaporan pajak secara
benar dan menghindari potensi koreksi.
III. Perlakuan Pajak Penghasilan atas Klaim
Asuransi bagi Wajib Pajak Orang Pribadi
A. Klaim Asuransi yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan
1. Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3) huruf e
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), pembayaran yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa secara eksplisit dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.20 Ini berarti bahwa klaim yang diterima dari jenis-jenis asuransi tersebut tidak dianggap sebagai penghasilan yang dikenai pajak bagi penerimanya.
Pengecualian pajak ini dapat dipandang sebagai bentuk insentif
untuk mendorong individu dan keluarga memiliki perlindungan finansial. Dengan
tidak membebani pajak atas manfaat yang diterima dari polis asuransi yang
bertujuan untuk kesehatan, kecelakaan, jiwa, dan pendidikan, pemerintah secara
tidak langsung mendukung masyarakat untuk membangun ketahanan finansial
terhadap risiko yang tidak terduga. Ini merupakan kebijakan fiskal yang
mendukung kesejahteraan dan stabilitas ekonomi individu.
2. Jenis Klaim
yang Dikecualikan (Kesehatan, Kecelakaan, Jiwa, Dwiguna, Beasiswa)
Ketentuan pengecualian ini mencakup beberapa jenis klaim asuransi spesifik:
●
Asuransi Kesehatan: Meliputi penggantian
biaya pengobatan, rawat inap, atau manfaat lain yang terkait langsung dengan
kondisi kesehatan tertanggung.
●
Asuransi Kecelakaan: Mencakup santunan atau
penggantian kerugian yang timbul akibat kecelakaan.
●
Asuransi Jiwa: Meliputi uang
pertanggungan yang dibayarkan kepada ahli waris (dalam hal tertanggung
meninggal dunia) atau nilai tunai/manfaat jatuh tempo yang dibayarkan kepada
pemegang polis (jika tertanggung hidup hingga akhir masa pertanggungan),
sepanjang pembayaran tersebut merupakan manfaat proteksi dan bukan hasil
investasi yang terpisah.
●
Asuransi Dwiguna (Endowment):
Merupakan produk hibrida yang menggabungkan elemen asuransi jiwa dan tabungan.
Manfaat dibayarkan pada akhir masa kontrak atau jika tertanggung meninggal
dunia dalam masa kontrak. Manfaat proteksi dari asuransi dwiguna ini juga
termasuk dalam kategori yang dikecualikan.
●
Asuransi Beasiswa: Merujuk pada manfaat
yang dibayarkan khusus untuk tujuan pendidikan.
Frasa "sehubungan
dengan" dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 21 memiliki implikasi
penting dalam menginterpretasikan batasan pengecualian ini. Frasa ini
menunjukkan bahwa pengecualian hanya berlaku untuk pembayaran yang secara
langsung terkait dengan tujuan proteksi asuransi yang disebutkan. Hal ini
krusial untuk membedakannya dari potensi keuntungan investasi yang mungkin
melekat pada produk asuransi tertentu, seperti unit link, di mana perlakuan
pajaknya dapat berbeda. Lebih lanjut, pengecualian ini tidak berlaku untuk
penghasilan yang diterima oleh pihak-pihak yang menyediakan jasa penunjang
asuransi, seperti agen atau konsultan asuransi 24, karena penghasilan
mereka berasal dari penyediaan jasa, bukan dari klaim asuransi itu sendiri.
B. Klaim Asuransi yang Merupakan Objek Pajak
Penghasilan
Klaim asuransi kerugian, seperti klaim atas kebakaran aset usaha, tidak termasuk dalam daftar pengecualian objek pajak penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh.23 Oleh karena itu, klaim jenis ini merupakan objek Pajak Penghasilan.
Apabila harta yang diasuransikan (misalnya aset perusahaan)
mengalami kerugian (seperti terbakar) dan Wajib Pajak menerima penggantian dari
asuransi, maka penerimaan neto dari penggantian asuransi tersebut harus
dibukukan sebagai penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi.23 Penerimaan neto di sini
adalah selisih antara jumlah penggantian asuransi yang diterima dan nilai sisa
buku aset yang rusak atau hilang. Sebaliknya, nilai sisa buku fiskal dari harta
yang dialihkan atau ditarik tersebut dapat dibebankan sebagai kerugian.23
Prinsip pengakuan penghasilan dan beban untuk klaim kerugian
aset usaha ini didasarkan pada Pasal 11 ayat (8) dan (9) UU PPh.23 Ketentuan ini mengatur
bagaimana keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta harus diakui. Klaim
asuransi kerugian atas aset usaha diperlakukan sebagai bagian integral dari
siklus pendapatan dan biaya usaha. Ini berarti bahwa penggantian yang diterima
dari asuransi dapat mengurangi kerugian yang timbul atau bahkan menghasilkan
keuntungan jika jumlah penggantian melebihi nilai buku aset yang bersangkutan.
Apabila jumlah penggantian asuransi baru dapat diketahui secara pasti di
kemudian hari, Wajib Pajak memiliki opsi untuk mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal Pajak agar kerugian tersebut dapat dibebankan pada tahun penggantian
asuransi diterima.23 Ini adalah penerapan konsisten dari prinsip akuntansi dan
perpajakan yang mengatur pengakuan penghasilan dan beban terkait aset usaha.
2. Perlakuan
Pajak atas Keuntungan Investasi dari Asuransi Unit Link (bunga, dividen, dll.)
Keuntungan yang berasal dari komponen investasi dalam asuransi unit link, seperti bunga deposito, bunga obligasi, atau dividen saham, pada dasarnya merupakan objek Pajak Penghasilan. Penghasilan ini umumnya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final), bukan PPh progresif umum.11
Tarif PPh Final yang dikenakan bervariasi tergantung pada jenis
instrumen investasi yang mendasari. Sebagai contoh:
●
Bunga deposito dan
tabungan umumnya dikenakan PPh Final sebesar 20%.15
●
Bunga obligasi umumnya
dikenakan PPh Final sebesar 10%.14
●
Keuntungan dari
penjualan saham di bursa efek dikenakan PPh Final sebesar 0,1% dari nilai
transaksi penjualan.15
Sifat ganda produk unit
link memiliki konsekuensi perpajakan yang signifikan. Komponen investasi dari
unit link secara eksplisit dikenakan PPh Final.11 Hal ini diperkuat
dengan fakta bahwa keuntungan investasi dari asuransi unit link dapat dikenakan
pajak 12, dengan rincian tarif
PPh Final untuk berbagai instrumen investasi seperti deposito, obligasi, dan
saham.14 Oleh karena itu, Wajib
Pajak tidak dapat menganggap bahwa seluruh penerimaan dari produk unit link
adalah non-objek pajak. Wajib Pajak harus secara cermat memisahkan antara
manfaat proteksi asuransi dan hasil investasi, serta memastikan bahwa PPh Final
yang relevan telah dipotong oleh pihak yang berwenang atau telah disetor
sendiri. Kegagalan dalam memisahkan komponen ini dapat menyebabkan kesalahan
dalam perhitungan dan pelaporan pajak.
3. Perlakuan Pajak atas Natura dan Kenikmatan (jika relevan dengan klaim asuransi tertentu)
Meskipun klaim asuransi umumnya dibayarkan dalam bentuk uang,
dalam situasi yang jarang terjadi di mana klaim asuransi diselesaikan dalam
bentuk non-moneter (misalnya, penggantian langsung barang yang rusak oleh pihak
asuransi tanpa melalui pembayaran tunai kepada nasabah), perlakuan pajak atas
"natura dan kenikmatan" ini dapat menjadi relevan. Sebagai contoh,
jika sebuah klaim asuransi kerugian atas aset diselesaikan dengan penggantian
langsung barang oleh perusahaan asuransi, maka nilai pasar dari barang yang
diterima dapat dianggap sebagai penghasilan natura bagi penerima. Hal ini
berlaku kecuali jika penerimaan tersebut termasuk dalam kategori pengecualian
yang diatur dalam peraturan perpajakan. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa
konsep penghasilan dapat meluas hingga mencakup manfaat non-moneter, dan Wajib
Pajak perlu mempertimbangkan nilai pasar dari manfaat non-moneter yang diterima
untuk tujuan perpajakan.
IV. Pelaporan Klaim Asuransi dalam SPT Tahunan
Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Untuk melaporkan klaim asuransi yang dikecualikan dari objek pajak, Wajib Pajak harus mengisi Lampiran 2 Bagian B SPT Tahunan Orang Pribadi. Bagian ini wajib diisi dan dilampirkan jika Wajib Pajak menjawab "Ya" pada pertanyaan di induk SPT Tahunan Orang Pribadi Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14 Huruf d "APAKAH ANDA MENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK?".9 Tujuan pengisian bagian ini adalah untuk melaporkan besarnya penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selama Tahun Pajak yang bersangkutan.9
Kolom-kolom yang harus diisi adalah sebagai berikut:
●
Kolom (1) NO: Diisi dengan nomor
urut, dimulai dari angka 1.9
●
Kolom (2) KODE: Diisi dengan kode 407 yang secara spesifik ditujukan
untuk "Klaim asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna,
beasiswa".9
●
Kolom (3) JENIS PENGHASILAN:
Diisi dengan deskripsi jenis penghasilan sesuai dengan kode 407.9
●
Kolom (4) NIK/NPWP SUMBER PENGHASILAN: Diisi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP), atau nomor identitas lainnya dari perusahaan asuransi yang
memberikan klaim.9
●
Kolom (5) NAMA SUMBER PENGHASILAN: Diisi dengan nama perusahaan asuransi pemberi klaim.9
●
Kolom (6) PENGHASILAN BRUTO:
Diisi dengan besarnya jumlah penggantian atau santunan bruto yang diterima dari
perusahaan asuransi.9
Setelah semua klaim yang
dikecualikan diinput, jumlah total penghasilan bruto dari tabel ini (terdapat
pada baris JUMLAH TABEL B kolom (6) PENGHASILAN BRUTO) kemudian dipindahkan ke
induk SPT Tahunan Orang Pribadi Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14
Huruf d.9
Penggunaan kode 407 dan petunjuk pengisian yang terperinci pada
Lampiran 2 Bagian B menunjukkan adanya standarisasi yang jelas dari Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) untuk pelaporan penghasilan yang dikecualikan.
Standardisasi ini tidak hanya mempermudah Wajib Pajak dalam proses pelaporan,
tetapi juga memfasilitasi DJP dalam melakukan verifikasi dan pengawasan. Dengan
format yang terstruktur, otoritas pajak dapat lebih efisien dalam memastikan
bahwa hanya klaim yang benar-benar memenuhi syarat pengecualian yang dilaporkan
sebagai non-objek pajak, sehingga meningkatkan akurasi dan kepatuhan dalam
sistem perpajakan.
Berikut adalah contoh pengisian Lampiran 2 Bagian B untuk klaim
asuransi yang tidak termasuk objek pajak:
Tabel 1: Contoh
Pengisian Lampiran 2 Bagian B untuk Klaim Asuransi Non-Objek Pajak
NO |
KODE |
JENIS PENGHASILAN |
NIK/NPWP SUMBER
PENGHASILAN |
NAMA SUMBER
PENGHASILAN |
PENGHASILAN BRUTO (Rp) |
1 |
407 |
Klaim asuransi
kesehatan |
01.234.567.8-901.000 |
PT Asuransi Sehat
Sejahtera |
50.000.000 |
2 |
407 |
Klaim asuransi jiwa |
09.876.543.2-109.000 |
PT Asuransi Hidup
Abadi |
200.000.000 |
|
|
JUMLAH TABEL B |
|
|
250.000.000 |
B. Pelaporan Penghasilan yang Dikenakan Pajak
Penghasilan Bersifat Final (jika relevan) (UNIT LINK)
1. Petunjuk Pengisian Lampiran 2 Bagian A SPT Tahunan Orang Pribadi (PER-11/PJ/2025)
Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final, seperti keuntungan investasi dari produk unit link, harus dilaporkan pada Lampiran 2 Bagian A SPT Tahunan Orang Pribadi. Bagian ini diisi apabila Wajib Pajak menjawab "Ya" pada pertanyaan di induk SPT Tahunan Orang Pribadi Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14 Huruf c "APAKAH ANDA MENERIMA PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN BERSIFAT FINAL?".9 Tujuannya adalah untuk melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang dikenakan PPh bersifat final.9
Kolom-kolom yang harus diisi adalah sebagai berikut:
●
Kolom (1) NO: Diisi dengan nomor
urut.9
●
Kolom (2) PEMOTONG/PEMUNGUT PPh (NIK/NPWP & NAMA): Diisi dengan NIK/NPWP dan nama pihak yang memotong atau
memungut PPh Final. Jika PPh Final disetor sendiri, maka kolom ini diisi dengan
NIK/NPWP dan nama Wajib Pajak sendiri.9
●
Kolom (3) KODE & (4) JENIS PENGHASILAN: Diisi dengan kode dan jenis penghasilan yang dikenakan PPh
Final. Sebagai contoh, bunga tabungan dan deposito menggunakan kode 28-404-01.9
●
Kolom (5) DASAR PENGENAAN PAJAK: Diisi dengan jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar
pengenaan pajak.9
●
Kolom (6) PPh TERUTANG: Diisi dengan jumlah PPh
Final yang telah dipotong atau disetor.9
Jumlah total dasar
pengenaan pajak dari tabel ini (terdapat pada baris JUMLAH TABEL A kolom (5)
DASAR PENGENAAN PAJAK) kemudian dipindahkan ke induk SPT Tahunan Orang Pribadi
Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14 Huruf c.9
Pelaporan penghasilan investasi dari unit link yang dikenakan
PPh Final pada Lampiran 2 Bagian A menggarisbawahi pentingnya bukti pemotongan
atau penyetoran PPh Final. Keuntungan investasi dari unit link memang dikenakan
PPh Final.11 Oleh karena itu, Wajib Pajak perlu memperoleh bukti pemotongan
PPh Final dari pihak yang melakukan pemotongan (misalnya perusahaan asuransi
atau manajer investasi) atau bukti penyetoran jika Wajib Pajak menyetornya
sendiri. Tanpa adanya bukti-bukti ini, pelaporan di SPT Tahunan akan sulit
diverifikasi oleh otoritas pajak, yang dapat memicu permintaan klarifikasi atau
pemeriksaan. Hal ini menekankan perlunya dokumentasi yang akurat dan lengkap
dari perusahaan asuransi terkait komponen investasi dan pemotongan pajak yang
telah dilakukan.
Berikut adalah contoh pengisian Lampiran 2 Bagian A untuk
penghasilan final dari investasi asuransi:
Tabel 2: Contoh
Pengisian Lampiran 2 Bagian A untuk Penghasilan Final dari Investasi Asuransi
NO |
NIK/NPWP
PEMOTONG/PEMUNGUT PPh |
NAMA PEMOTONG/PEMUNGUT
PPh |
KODE |
JENIS PENGHASILAN |
DASAR PENGENAAN PAJAK
(Rp) |
PPh TERUTANG (Rp) |
1 |
01.234.567.8-901.000 |
PT Asuransi Investama |
28-404-01 |
Bunga Deposito |
10.000.000 |
2.000.000 |
2 |
01.234.567.8-901.000 |
PT Asuransi Investama |
28-401-01 |
Bunga Obligasi |
5.000.000 |
500.000 |
|
|
JUMLAH TABEL A |
|
|
15.000.000 |
2.500.000 |
C. Dokumen Pendukung yang Harus Disiapkan
1. Bukti Penerimaan Klaim Asuransi
2. Dokumen
Polis Asuransi
3. Dokumen
Pendukung Lainnya (misalnya laporan investasi dari perusahaan asuransi)
Dalam konteks klaim asuransi kerugian atas aset usaha, dokumen
pendukung tambahan mungkin diperlukan. Ini bisa termasuk laporan penilaian
kerugian yang dilakukan oleh penilai independen, bukti nilai sisa buku fiskal
dari aset yang rusak atau hilang, dan dokumen lain yang relevan untuk mendukung
perhitungan keuntungan atau kerugian fiskal yang timbul dari klaim tersebut.
Pentingnya dokumentasi lengkap sebagai pertahanan dalam
pemeriksaan pajak tidak dapat diremehkan. Dalam sistem perpajakan self-assessment, Wajib Pajak memikul
tanggung jawab penuh atas kebenaran dan keakuratan pelaporan pajaknya. Oleh
karena itu, menjaga semua dokumen terkait klaim asuransi dalam kondisi lengkap
dan tersusun rapi adalah hal yang esensial. Dokumen-dokumen ini akan menjadi bukti
kuat yang diperlukan jika sewaktu-waktu terjadi pemeriksaan pajak atau
permintaan klarifikasi dari otoritas pajak. Tanpa bukti yang memadai, Wajib
Pajak berisiko menghadapi koreksi pajak dan potensi sanksi administratif.
Berikut adalah daftar dokumen pendukung yang wajib disiapkan
untuk pelaporan klaim asuransi:
Tabel 3: Daftar Dokumen
Pendukung Wajib untuk Pelaporan Klaim Asuransi
Jenis Dokumen |
Keterangan/Fungsi |
Surat Persetujuan
Klaim Asuransi |
Bukti resmi
persetujuan klaim oleh perusahaan asuransi. |
Bukti Transfer Dana
Klaim |
Konfirmasi penerimaan
dana klaim ke rekening bank Wajib Pajak. |
Laporan Pembayaran
Manfaat Asuransi |
Rincian manfaat yang
dibayarkan oleh perusahaan asuransi. |
Polis Asuransi |
Dokumen kontrak asli
yang memuat syarat dan ketentuan asuransi. |
Laporan Nilai
Tunai/Investasi Unit Link |
Rincian nilai
investasi, keuntungan yang diperoleh, dan biaya yang dibebankan. |
Bukti Potong PPh Final
(jika ada) |
Formulir bukti
pemotongan pajak atas penghasilan investasi (misalnya dari bank/asuransi). |
Laporan Penilaian
Kerugian (jika klaim kerugian aset usaha) |
Dokumen penilaian
kerugian aset yang mendukung perhitungan fiskal. |
Laporan Keuangan (jika
klaim kerugian aset usaha) |
Untuk mendukung nilai
sisa buku aset dan pengakuan keuntungan/kerugian. |
V. Pelaporan Polis Asuransi sebagai Harta dalam
SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi
Kolom-kolom yang harus diisi pada Lampiran 1 Bagian A Tabel 3
adalah sebagai berikut:
●
Kolom (1) KODE: Diisi dengan kode harta
yang relevan 9:
○
0310 untuk
"Asuransi" (polis asuransi tradisional tanpa komponen unit link).
○
0311 untuk "Unit Link
di Asuransi" (polis asuransi yang memiliki komponen investasi unit link).
●
Kolom (2) DESKRIPSI: Diisi dengan deskripsi
investasi/sekuritas, misalnya "Polis Asuransi Jiwa [Nama Perusahaan
Asuransi]" atau "Polis Unit Link [Nama Perusahaan Asuransi]".9
●
Kolom (3) LOKASI HARTA: Diisi dengan negara
tempat harta tersebut berada, misalnya "Indonesia".9
●
Kolom (4) BANK/INSTITUSI/PENERIMA INVESTASI (NPWP & NAMA): Diisi dengan NPWP dan nama perusahaan asuransi penerbit polis.9
●
Kolom (5) NOMOR AKUN: Diisi dengan nomor
polis asuransi atau nomor dokumen bukti kepemilikan.9
●
Kolom (6) HARGA PEROLEHAN:
Diisi dengan harga perolehan polis asuransi, yaitu total premi yang telah
dibayarkan hingga akhir tahun pajak.9 Jika premi dibayar dalam mata uang asing, nilai ini harus
dikonversi ke Rupiah menggunakan kurs yang berlaku pada saat perolehan.9
●
Kolom (7) TAHUN PEROLEHAN:
Diisi dengan tahun perolehan polis asuransi.9
●
Kolom (8) NILAI SAAT INI: Diisi dengan nilai
tunai (cash value) atau nilai investasi polis pada akhir Tahun Pajak.9 Jika tidak ada nilai
yang dipublikasikan, nilai harta dapat ditentukan berdasarkan hasil penilaian
kantor jasa penilai publik atau nilai wajar menurut penilaian Wajib Pajak.9
●
Kolom (9) KETERANGAN: Hanya diisi jika jenis
harta terkait dengan pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib
Pajak, dengan pilihan "Harta PPS" atau "Harta Investasi
PPS".9
Setelah mengisi Tabel 3,
jumlah total harga perolehan harta dari baris "JUMLAH TABEL 3" kolom
(6) HARGA PEROLEHAN akan diagregasikan ke Tabel 7 "IKHTISAR HARTA".
Dari Tabel 7, total harga perolehan harta pada akhir tahun pajak kemudian
dipindahkan ke induk SPT Tahunan PPh Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA
Angka 14 Huruf a "HARTA PADA AKHIR TAHUN PAJAK".9
Pelaporan ini merupakan bagian dari pengawasan kekayaan Wajib
Pajak melalui pelaporan harta. Dengan mewajibkan pelaporan polis asuransi
sebagai harta, otoritas pajak tidak hanya memantau penghasilan yang berasal
dari asuransi, tetapi juga mengawasi nilai aset asuransi itu sendiri sebagai
bagian dari total kekayaan Wajib Pajak. Ini memungkinkan DJP untuk melakukan
pemantauan pertumbuhan kekayaan Wajib Pajak dan memastikan adanya konsistensi
antara penghasilan yang dilaporkan dan akumulasi harta.
B. Kode Harta untuk Asuransi dan Unit Link (Kode
0310 dan 0311)
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025
memperkenalkan kode harta yang spesifik untuk produk asuransi: 0310 untuk "Asuransi" dan 0311 untuk "Unit Link di
Asuransi".9
Kehadiran dua kode yang berbeda untuk asuransi dan unit link
dalam peraturan terbaru menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak memiliki
kebutuhan yang lebih besar untuk membedakan kedua jenis aset ini. Hal ini
memungkinkan DJP untuk melakukan analisis data yang lebih mendalam mengenai
pola kepemilikan dan pertumbuhan nilai antara produk asuransi murni (proteksi)
dan produk yang memiliki komponen investasi. Informasi yang lebih granular ini
dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi risiko kepatuhan, merumuskan
kebijakan perpajakan yang lebih tepat sasaran, atau bahkan untuk tujuan
pengawasan kekayaan Wajib Pajak di masa mendatang. Peningkatan granularitas
data ini mendukung upaya DJP dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas
administrasi perpajakan.
C. Penentuan Harga Perolehan dan Nilai Saat Ini
Penentuan harga perolehan polis asuransi didasarkan pada total
premi yang telah dibayarkan hingga akhir tahun pajak. Jika premi dibayarkan
dalam mata uang asing, penting untuk mengonversinya ke dalam Rupiah menggunakan
kurs yang berlaku pada saat perolehan polis.9
Untuk nilai saat ini, khususnya bagi polis yang memiliki nilai
tunai atau investasi, nilai yang dilaporkan adalah nilai yang dapat dicairkan
pada akhir tahun pajak. Apabila tidak ada nilai yang dipublikasikan secara
jelas sebagai pedoman, penilaian harta dapat didasarkan pada hasil penilaian
kantor jasa penilai publik atau, secara alternatif, nilai wajar menurut
penilaian Wajib Pajak sendiri sesuai kondisi pada akhir Tahun Pajak.9
Proses penentuan harga perolehan dan nilai saat ini untuk polis
asuransi, terutama yang kompleks atau melibatkan mata uang asing, dapat menjadi
tantangan bagi Wajib Pajak awam. Kebutuhan untuk mengonversi kurs secara tepat
atau melakukan penilaian wajar menunjukkan bahwa Wajib Pajak mungkin memerlukan
bantuan dari perusahaan asuransi atau profesional keuangan/pajak untuk
memastikan bahwa nilai yang dilaporkan akurat dan sesuai dengan ketentuan
perpajakan. Kesalahan dalam penentuan nilai ini dapat berujung pada
ketidakpatuhan dan potensi koreksi pajak. Oleh karena itu, akurasi dalam
pencatatan premi dan penilaian nilai polis sangatlah penting.
VI. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Nasabah saat
Menerima Klaim Asuransi
B. Pentingnya Dokumentasi Lengkap
C. Konsultasi dengan Profesional Pajak
Peraturan perpajakan di Indonesia bersifat dinamis dan sering
mengalami perubahan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025
sendiri merupakan pembaruan signifikan dalam tata cara pelaporan pajak, yang
bertujuan untuk menyesuaikan ketentuan pelaporan dengan pelaksanaan Sistem Inti
Administrasi Perpajakan.9 Peraturan ini memperkenalkan perubahan dalam format dan tata
cara pengisian SPT, termasuk lampiran-lampirannya.9 Oleh karena itu, Wajib
Pajak harus lebih proaktif dalam memahami format baru ini, atau mengandalkan
bantuan profesional untuk memastikan kepatuhan. Adaptasi terhadap perubahan
sistem administrasi perpajakan ini, meskipun bertujuan untuk meningkatkan
kemudahan administrasi dan pelayanan, pada tahap awal mungkin menimbulkan
tantangan adaptasi bagi Wajib Pajak. Mengikuti perkembangan ini atau
berkonsultasi dengan ahli akan membantu Wajib Pajak tetap patuh dan efisien
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
VII. Kesimpulan
Memahami aspek perpajakan atas hasil yang diterima dari asuransi
adalah langkah fundamental bagi Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia untuk
memastikan kepatuhan. Sebagian besar klaim asuransi yang bersifat proteksi diri
dan keluarga, seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan
beasiswa, secara tegas dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan berdasarkan
Pasal 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang PPh. Pengecualian ini merupakan insentif
fiskal yang mendorong individu untuk memiliki perlindungan finansial.
Namun, penting untuk dicatat bahwa klaim asuransi kerugian atas
aset usaha dan keuntungan yang berasal dari komponen investasi dalam produk
unit link umumnya merupakan objek pajak. Penghasilan dari investasi ini
seringkali dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan tarif yang
bervariasi tergantung pada jenis instrumen investasi yang mendasarinya.
Perlakuan pajak yang berbeda ini menyoroti sifat ganda dari produk asuransi
unit link, yang memerlukan pemisahan yang cermat antara manfaat proteksi dan
hasil investasi.
Pelaporan yang akurat dalam SPT Tahunan Orang Pribadi sangat
krusial. Klaim asuransi yang dikecualikan dari objek pajak harus dilaporkan
pada Lampiran 2 Bagian B SPT Tahunan Orang Pribadi dengan menggunakan kode 407.
Sementara itu, penghasilan investasi yang dikenakan PPh Final harus dilaporkan
pada Lampiran 2 Bagian A. Selain itu, polis asuransi yang memiliki nilai tunai
atau komponen investasi juga wajib dilaporkan sebagai harta pada Lampiran 1
Bagian A Tabel 3, dengan menggunakan kode harta spesifik (0310 untuk asuransi
dan 0311 untuk unit link di asuransi), beserta harga perolehan dan nilai saat
ini.
Kunci utama dalam menghadapi kompleksitas perpajakan asuransi
adalah verifikasi yang cermat terhadap jenis klaim yang diterima, menjaga
dokumentasi yang lengkap dan rapi sebagai bukti yang kuat, serta tidak ragu
untuk mencari nasihat dari profesional pajak. Hal ini terutama penting dalam
kasus-kasus yang kompleks atau ketika terjadi perubahan peraturan, seperti
implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan yang diatur dalam
PER-11/PJ/2025. Dengan pemahaman yang tepat dan persiapan yang matang, Wajib Pajak
dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar dan efisien, sekaligus
menghindari potensi risiko ketidakpatuhan.
Karya yang dikutip
1.
UU
Nomor 40 Tahun 2014.pdf - Peraturan BPK, diakses Agustus 5, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/28114/UU%20Nomor%2040%20Tahun%202014.pdf
2.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Asuransi 1. Pengertian Asuransi
a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, diakses Agustus 5, 2025, https://eprints2.undip.ac.id/21133/4/Edo%20Ardyant%20Fachrozi%20%2811010115130429%29-bab%202.pdf
3.
Definisi
Perusahaan Reasuransi | JDIH Kementerian Keuangan, diakses Agustus 5, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/kamus-hukum/perusahaan-reasuransi?id=063d2df2161a838a7412f6b68e9034d8
4.
Reasuransi:
Pengertian, Jenis, dan Contoh Perusahaannya, diakses Agustus 5, 2025, https://www.roojai.co.id/article/asuransi/reasuransi/
5.
Daftar
Perusahaan Reasuransi di Indonesia dan Kinerja Laba per Desember 2023, diakses
Agustus 5, 2025, https://finansial.bisnis.com/read/20240129/215/1736311/daftar-perusahaan-reasuransi-di-indonesia-dan-kinerja-laba-per-desember-2023
6.
67/PMK.03/2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa
Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasu - JDIH Kemenkeu, diakses Agustus 5,
2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/6766cbf9-dca8-418e-81bb-09695cde3310/67~PMK.03~2022Per.pdf
7.
Perusahaan
Pialang Asuransi / Insurance Brokerage Company - SahamU, diakses Agustus 5,
2025, https://sahamu.com/perusahaan-asuransi-indonesia/perusahaan-pialang-asuransi-insurance-brokerage-company/
8.
Kena
PPN, Agen Asuransi Harus Punya E-faktur ? | Direktorat Jenderal Pajak, diakses
Agustus 5, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/kena-ppn-agen-asuransi-harus-punya-e-faktur
9.
PER
11 PJ 2025.pdf
10.
PPN
atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang
Reasuransi, diakses Agustus 5, 2025, https://www.hananta.com/downloads/20220419/drive/Sosialisasi%20Jasa%20Agen%20dan%20Pialang%20PMK-67.pdf
11.
SEKRETARIAT
PENGADILAN PAJAK, diakses Agustus 5, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/31468
12.
Jenis
Asuransi yang Wajib Dilaporkan dalam SPT Pajak - Manulife Indonesia, diakses
Agustus 5, 2025, https://www.manulife.co.id/id/artikel/jenis-asuransi-yang-wajib-dilaporkan-dalam-spt-pajak.html
13.
PUT.58190/PP/M.XIIIB/16/2014
- Perpajakan DDTC, diakses Agustus 5, 2025, https://perpajakan.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/put-58190ppm-xiiib162014
14.
Peraturan
Pemerintah Nomor: 91 TAHUN 2021 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/17527
15.
Ketentuan
Pajak Reksadana dan Cara Lapor SPT tahunannya, diakses Agustus 5, 2025, https://klikpajak.id/blog/pajak-reksadana/
16.
Pemotongan
Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia - Peraturan BPK, diakses Agustus 5, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/113778/pmk-no-212pmk032018
17.
PMK-18/2021
- www.jdih.kemenkeu.go.id - Kementerian Keuangan, diakses Agustus 5, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/39fdb2fc-1736-4ebb-80f5-d257f75df0b5/18~PMK.03~2021Per.pdf
18.
Article
Detail | Pencairan Polis Asuransi Jiwa Bebas Pajak - IFG Life, diakses Agustus
5, 2025, https://ifg-life.id/berita/article/asuransi/detail/pencairan-polis-asuransi-jiwa-bebas-pajak
19.
Ditjen
Pajak Tidak Kenakan Pajak atas Cadangan Premi Unit Link, diakses Agustus 5,
2025, https://www.pajak.go.id/id/ditjen-pajak-tidak-kenakan-pajak-atas-cadangan-premi-unit-link
20.
Pajak
Premi Asuransi: Aturan dan Cara Menghitungnya, diakses Agustus 5, 2025, https://klikpajak.id/blog/pajak-premi-asuransi/
21.
Yang
Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3) - PajakMania,
diakses Agustus 5, 2025, https://pajakmania.com/yang-dikecualikan-dari-objek-pajak-penghasilan-pasal-4-ayat-3/
22.
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA - JDIH Kota Bandung, diakses Agustus 5, 2025, https://jdih.bandung.go.id/media/3123
23.
Klaim
Asuransi - Forum Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://forum.ortax.org/forums/discussion/klaim-asuransi/
24.
SEKRETARIAT
PENGADILAN PAJAK, diakses Agustus 5, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/36708
25.
Dapat
Klaim Asuransi atas Aset Perusahaan, Begini Perlakuan Perpajakannya, diakses
Agustus 5, 2025, https://www.pajak.go.id/id/artikel/dapat-klaim-asuransi-atas-aset-perusahaan-begini-perlakuan-perpajakannya
26.
Peraturan
Pemerintah Nomor: 55 TAHUN 2022 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25023
27.
PP
No. 55 Tahun 2022 - Peraturan BPK, diakses Agustus 5, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/233488/pp-no-55-tahun-2022
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.