Selasa, 05 Agustus 2025


 

I. Pendahuluan

 

 A. Latar Belakang dan Tujuan Laporan

Dalam ekosistem keuangan modern, produk asuransi telah berevolusi melampaui fungsi tradisionalnya sebagai instrumen proteksi risiko, kini seringkali mengintegrasikan komponen investasi. Transformasi ini menghadirkan kompleksitas signifikan terkait perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas penerimaan yang diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi, baik yang berasal dari klaim asuransi maupun dari hasil investasi yang melekat pada polis. Pemahaman yang mendalam mengenai ketentuan perpajakan ini menjadi esensial untuk memastikan kepatuhan pajak yang akurat dan mengoptimalkan perencanaan keuangan individu.

Laporan ini disusun dengan tujuan untuk menyediakan panduan yang komprehensif, akurat secara hukum, dan praktis mengenai aspek perpajakan yang berkaitan dengan hasil yang diterima oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dari polis asuransi di Indonesia. Fokus utama laporan ini adalah mengidentifikasi jenis klaim asuransi yang dikecualikan dari objek PPh, klaim yang menjadi objek PPh, serta dasar hukum yang melandasi ketentuan tersebut. Selain itu, laporan ini akan menguraikan tata cara pelaporan yang benar dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi, termasuk dokumen pendukung yang relevan. Pembahasan juga akan mencakup bagaimana polis asuransi itu sendiri diakui dan dilaporkan sebagai harta dalam SPT Tahunan. Kepatuhan perpajakan yang tepat merupakan fondasi integral dari sistem perpajakan yang efektif. Laporan ini bertujuan untuk membekali Wajib Pajak dengan pengetahuan yang diperlukan, tidak hanya untuk menghindari potensi sanksi administratif dan hukum akibat kesalahan pelaporan, tetapi juga untuk secara efektif memanfaatkan fasilitas perpajakan yang tersedia.

 

B. Ruang Lingkup Perpajakan Asuransi bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

Laporan ini akan menganalisis berbagai jenis klaim asuransi, meliputi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi kerugian. Analisis akan secara cermat membedakan perlakuan pajak antara klaim yang bersifat proteksi murni dengan hasil yang timbul dari komponen investasi dalam produk asuransi, seperti unit link. Aspek pelaporan dalam SPT Tahunan Orang Pribadi akan merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, yang mengatur ketentuan pelaporan pajak dalam rangka pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

 

II. Pemahaman Produk Asuransi dan Komponennya dari Sisi Perpajakan

A. Jenis-jenis Asuransi (Kesehatan, Kecelakaan, Jiwa, Dwiguna, Kerugian)

Asuransi didefinisikan sebagai perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis. Perjanjian ini menjadi dasar bagi perusahaan asuransi untuk menerima premi, dengan imbalan memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis atas kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita akibat peristiwa yang tidak pasti. Alternatifnya, asuransi dapat berupa pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pada hidupnya tertanggung, dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.1

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian mengklasifikasikan beberapa jenis usaha perasuransian, termasuk Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Reasuransi, Usaha Asuransi Umum Syariah, Usaha Asuransi Jiwa Syariah, dan Usaha Reasuransi Syariah.1 Dalam konteks ini, reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya.3 Beberapa entitas reasuransi terkemuka di Indonesia meliputi PT Tugu Reasuransi Indonesia (Tugure), PT Reasuransi Maipark Indonesia (Maipark), dan PT Maskapai Reasuransi Indonesia (Marein).4

Selain itu, industri asuransi juga melibatkan perantara seperti pialang asuransi dan agen asuransi. Perusahaan pialang asuransi menyediakan jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau asuransi syariah, serta penanganan penyelesaian klaim, dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, atau peserta.6 Contoh perusahaan pialang asuransi di Indonesia adalah PT AON Indonesia dan PT IBS Insurance Broking Service.7 Sementara itu, agen asuransi adalah individu yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.8

Memahami peran masing-masing pihak dalam industri asuransi sangat penting untuk tujuan perpajakan. Meskipun laporan ini berfokus pada klaim yang diterima nasabah, pengenalan terhadap reasuransi, pialang, dan agen asuransi membantu membedakan berbagai jenis penghasilan dan kewajiban pajak yang melekat pada setiap pihak. Sebagai contoh, komisi yang diterima oleh agen asuransi dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) dengan kode objek pajak 21-100-05 9 dan juga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).8 Perlakuan pajak atas komisi ini sangat berbeda dengan perlakuan atas klaim asuransi yang diterima langsung oleh nasabah. Perbedaan ini menunjukkan bahwa dalam industri asuransi, perlakuan pajak sangat spesifik dan bergantung pada sifat transaksi serta peran pihak yang terlibat.

 

B. Komponen Investasi dalam Produk Asuransi (misalnya Unit Link)

Produk asuransi unit link merupakan inovasi yang mengintegrasikan fungsi proteksi asuransi dengan komponen investasi. Selain memberikan manfaat proteksi, produk ini juga berpotensi memberikan nilai investasi bagi pemegang polis.11 Keuntungan investasi yang diperoleh dari asuransi unit link dapat dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.12

Hasil investasi dari unit link, seperti bunga deposito, bunga obligasi, atau keuntungan penjualan saham yang menjadi aset investasi unit link, pada umumnya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final) sesuai dengan tarif yang berlaku untuk masing-masing instrumen investasi dasar.11 Sebagai ilustrasi, bunga deposito dikenakan PPh Final sebesar 20% 15, sedangkan bunga obligasi dikenakan PPh Final sebesar 10%.14

Penting untuk memisahkan komponen proteksi dan investasi dalam produk unit link. Produk unit link memiliki dua komponen yang jelas: asuransi dan investasi.11 Bagian investasi dari produk ini dikenakan PPh Final.11 Hal ini menegaskan bahwa Wajib Pajak harus mampu membedakan secara cermat antara manfaat proteksi asuransi, yang mungkin dikecualikan dari objek pajak, dan keuntungan yang berasal dari komponen investasi, yang dikenakan PPh Final. Kemampuan untuk memisahkan kedua komponen ini sangat penting untuk memastikan pelaporan pajak yang akurat. Mencampuradukkan keduanya dapat mengakibatkan kesalahan pelaporan atau pembayaran pajak yang tidak sesuai, baik lebih bayar maupun kurang bayar.

Adanya potensi kesalahpahaman dan kebutuhan akan klarifikasi rinci dari perusahaan asuransi merupakan hal yang patut diperhatikan. Beberapa sumber menunjukkan adanya kebingungan di kalangan perusahaan asuransi terkait pembebasan pajak atas unit link, khususnya mengenai selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dan premi yang telah dibayarkan.18 Meskipun Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-97/PJ/2011 telah diterbitkan untuk memberikan penegasan 19, ambiguitas masih dapat terjadi. Oleh karena itu, Wajib Pajak perlu proaktif dalam meminta laporan rinci dari perusahaan asuransi yang secara eksplisit memisahkan antara manfaat asuransi yang dikecualikan dari objek pajak dan hasil investasi yang dikenakan PPh Final. Tanpa rincian yang memadai, Wajib Pajak akan menghadapi kesulitan dalam memenuhi kewajiban pelaporan pajak secara benar dan menghindari potensi koreksi.

 

III. Perlakuan Pajak Penghasilan atas Klaim Asuransi bagi Wajib Pajak Orang Pribadi

A. Klaim Asuransi yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan

1. Dasar Hukum: Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3) huruf e

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), pembayaran yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan asuransi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa secara eksplisit dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan.20 Ini berarti bahwa klaim yang diterima dari jenis-jenis asuransi tersebut tidak dianggap sebagai penghasilan yang dikenai pajak bagi penerimanya.

Pengecualian pajak ini dapat dipandang sebagai bentuk insentif untuk mendorong individu dan keluarga memiliki perlindungan finansial. Dengan tidak membebani pajak atas manfaat yang diterima dari polis asuransi yang bertujuan untuk kesehatan, kecelakaan, jiwa, dan pendidikan, pemerintah secara tidak langsung mendukung masyarakat untuk membangun ketahanan finansial terhadap risiko yang tidak terduga. Ini merupakan kebijakan fiskal yang mendukung kesejahteraan dan stabilitas ekonomi individu.

 

2. Jenis Klaim yang Dikecualikan (Kesehatan, Kecelakaan, Jiwa, Dwiguna, Beasiswa)

Ketentuan pengecualian ini mencakup beberapa jenis klaim asuransi spesifik:

     Asuransi Kesehatan: Meliputi penggantian biaya pengobatan, rawat inap, atau manfaat lain yang terkait langsung dengan kondisi kesehatan tertanggung.

     Asuransi Kecelakaan: Mencakup santunan atau penggantian kerugian yang timbul akibat kecelakaan.

     Asuransi Jiwa: Meliputi uang pertanggungan yang dibayarkan kepada ahli waris (dalam hal tertanggung meninggal dunia) atau nilai tunai/manfaat jatuh tempo yang dibayarkan kepada pemegang polis (jika tertanggung hidup hingga akhir masa pertanggungan), sepanjang pembayaran tersebut merupakan manfaat proteksi dan bukan hasil investasi yang terpisah.

     Asuransi Dwiguna (Endowment): Merupakan produk hibrida yang menggabungkan elemen asuransi jiwa dan tabungan. Manfaat dibayarkan pada akhir masa kontrak atau jika tertanggung meninggal dunia dalam masa kontrak. Manfaat proteksi dari asuransi dwiguna ini juga termasuk dalam kategori yang dikecualikan.

     Asuransi Beasiswa: Merujuk pada manfaat yang dibayarkan khusus untuk tujuan pendidikan.

Frasa "sehubungan dengan" dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh 21 memiliki implikasi penting dalam menginterpretasikan batasan pengecualian ini. Frasa ini menunjukkan bahwa pengecualian hanya berlaku untuk pembayaran yang secara langsung terkait dengan tujuan proteksi asuransi yang disebutkan. Hal ini krusial untuk membedakannya dari potensi keuntungan investasi yang mungkin melekat pada produk asuransi tertentu, seperti unit link, di mana perlakuan pajaknya dapat berbeda. Lebih lanjut, pengecualian ini tidak berlaku untuk penghasilan yang diterima oleh pihak-pihak yang menyediakan jasa penunjang asuransi, seperti agen atau konsultan asuransi 24, karena penghasilan mereka berasal dari penyediaan jasa, bukan dari klaim asuransi itu sendiri.

 

B. Klaim Asuransi yang Merupakan Objek Pajak Penghasilan

 1. Klaim Asuransi Kerugian (misalnya klaim kebakaran atas aset usaha)

Klaim asuransi kerugian, seperti klaim atas kebakaran aset usaha, tidak termasuk dalam daftar pengecualian objek pajak penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU PPh.23 Oleh karena itu, klaim jenis ini merupakan objek Pajak Penghasilan.

Apabila harta yang diasuransikan (misalnya aset perusahaan) mengalami kerugian (seperti terbakar) dan Wajib Pajak menerima penggantian dari asuransi, maka penerimaan neto dari penggantian asuransi tersebut harus dibukukan sebagai penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi.23 Penerimaan neto di sini adalah selisih antara jumlah penggantian asuransi yang diterima dan nilai sisa buku aset yang rusak atau hilang. Sebaliknya, nilai sisa buku fiskal dari harta yang dialihkan atau ditarik tersebut dapat dibebankan sebagai kerugian.23

Prinsip pengakuan penghasilan dan beban untuk klaim kerugian aset usaha ini didasarkan pada Pasal 11 ayat (8) dan (9) UU PPh.23 Ketentuan ini mengatur bagaimana keuntungan atau kerugian dari pengalihan harta harus diakui. Klaim asuransi kerugian atas aset usaha diperlakukan sebagai bagian integral dari siklus pendapatan dan biaya usaha. Ini berarti bahwa penggantian yang diterima dari asuransi dapat mengurangi kerugian yang timbul atau bahkan menghasilkan keuntungan jika jumlah penggantian melebihi nilai buku aset yang bersangkutan. Apabila jumlah penggantian asuransi baru dapat diketahui secara pasti di kemudian hari, Wajib Pajak memiliki opsi untuk mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar kerugian tersebut dapat dibebankan pada tahun penggantian asuransi diterima.23 Ini adalah penerapan konsisten dari prinsip akuntansi dan perpajakan yang mengatur pengakuan penghasilan dan beban terkait aset usaha.

 

2. Perlakuan Pajak atas Keuntungan Investasi dari Asuransi Unit Link (bunga, dividen, dll.)

Keuntungan yang berasal dari komponen investasi dalam asuransi unit link, seperti bunga deposito, bunga obligasi, atau dividen saham, pada dasarnya merupakan objek Pajak Penghasilan. Penghasilan ini umumnya dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh Final), bukan PPh progresif umum.11

Tarif PPh Final yang dikenakan bervariasi tergantung pada jenis instrumen investasi yang mendasari. Sebagai contoh:

     Bunga deposito dan tabungan umumnya dikenakan PPh Final sebesar 20%.15

     Bunga obligasi umumnya dikenakan PPh Final sebesar 10%.14

     Keuntungan dari penjualan saham di bursa efek dikenakan PPh Final sebesar 0,1% dari nilai transaksi penjualan.15

Sifat ganda produk unit link memiliki konsekuensi perpajakan yang signifikan. Komponen investasi dari unit link secara eksplisit dikenakan PPh Final.11 Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa keuntungan investasi dari asuransi unit link dapat dikenakan pajak 12, dengan rincian tarif PPh Final untuk berbagai instrumen investasi seperti deposito, obligasi, dan saham.14 Oleh karena itu, Wajib Pajak tidak dapat menganggap bahwa seluruh penerimaan dari produk unit link adalah non-objek pajak. Wajib Pajak harus secara cermat memisahkan antara manfaat proteksi asuransi dan hasil investasi, serta memastikan bahwa PPh Final yang relevan telah dipotong oleh pihak yang berwenang atau telah disetor sendiri. Kegagalan dalam memisahkan komponen ini dapat menyebabkan kesalahan dalam perhitungan dan pelaporan pajak.

 

3. Perlakuan Pajak atas Natura dan Kenikmatan (jika relevan dengan klaim asuransi tertentu)

Meskipun klaim asuransi umumnya dibayarkan dalam bentuk uang, dalam situasi yang jarang terjadi di mana klaim asuransi diselesaikan dalam bentuk non-moneter (misalnya, penggantian langsung barang yang rusak oleh pihak asuransi tanpa melalui pembayaran tunai kepada nasabah), perlakuan pajak atas "natura dan kenikmatan" ini dapat menjadi relevan. Sebagai contoh, jika sebuah klaim asuransi kerugian atas aset diselesaikan dengan penggantian langsung barang oleh perusahaan asuransi, maka nilai pasar dari barang yang diterima dapat dianggap sebagai penghasilan natura bagi penerima. Hal ini berlaku kecuali jika penerimaan tersebut termasuk dalam kategori pengecualian yang diatur dalam peraturan perpajakan. Pertimbangan ini menunjukkan bahwa konsep penghasilan dapat meluas hingga mencakup manfaat non-moneter, dan Wajib Pajak perlu mempertimbangkan nilai pasar dari manfaat non-moneter yang diterima untuk tujuan perpajakan.

 

IV. Pelaporan Klaim Asuransi dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi

 A. Pelaporan Penghasilan yang Tidak Termasuk Objek Pajak

 1. Petunjuk Pengisian Lampiran 2 Bagian B SPT Tahunan Orang Pribadi (PER-11/PJ/2025)

Untuk melaporkan klaim asuransi yang dikecualikan dari objek pajak, Wajib Pajak harus mengisi Lampiran 2 Bagian B SPT Tahunan Orang Pribadi. Bagian ini wajib diisi dan dilampirkan jika Wajib Pajak menjawab "Ya" pada pertanyaan di induk SPT Tahunan Orang Pribadi Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14 Huruf d "APAKAH ANDA MENERIMA PENGHASILAN YANG TIDAK TERMASUK OBJEK PAJAK?".9 Tujuan pengisian bagian ini adalah untuk melaporkan besarnya penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selama Tahun Pajak yang bersangkutan.9

Kolom-kolom yang harus diisi adalah sebagai berikut:

     Kolom (1) NO: Diisi dengan nomor urut, dimulai dari angka 1.9

     Kolom (2) KODE: Diisi dengan kode 407 yang secara spesifik ditujukan untuk "Klaim asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, beasiswa".9

     Kolom (3) JENIS PENGHASILAN: Diisi dengan deskripsi jenis penghasilan sesuai dengan kode 407.9

     Kolom (4) NIK/NPWP SUMBER PENGHASILAN: Diisi dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), atau nomor identitas lainnya dari perusahaan asuransi yang memberikan klaim.9

     Kolom (5) NAMA SUMBER PENGHASILAN: Diisi dengan nama perusahaan asuransi pemberi klaim.9

     Kolom (6) PENGHASILAN BRUTO: Diisi dengan besarnya jumlah penggantian atau santunan bruto yang diterima dari perusahaan asuransi.9

Setelah semua klaim yang dikecualikan diinput, jumlah total penghasilan bruto dari tabel ini (terdapat pada baris JUMLAH TABEL B kolom (6) PENGHASILAN BRUTO) kemudian dipindahkan ke induk SPT Tahunan Orang Pribadi Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14 Huruf d.9

Penggunaan kode 407 dan petunjuk pengisian yang terperinci pada Lampiran 2 Bagian B menunjukkan adanya standarisasi yang jelas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk pelaporan penghasilan yang dikecualikan. Standardisasi ini tidak hanya mempermudah Wajib Pajak dalam proses pelaporan, tetapi juga memfasilitasi DJP dalam melakukan verifikasi dan pengawasan. Dengan format yang terstruktur, otoritas pajak dapat lebih efisien dalam memastikan bahwa hanya klaim yang benar-benar memenuhi syarat pengecualian yang dilaporkan sebagai non-objek pajak, sehingga meningkatkan akurasi dan kepatuhan dalam sistem perpajakan.

Berikut adalah contoh pengisian Lampiran 2 Bagian B untuk klaim asuransi yang tidak termasuk objek pajak:

Tabel 1: Contoh Pengisian Lampiran 2 Bagian B untuk Klaim Asuransi Non-Objek Pajak

NO

KODE

JENIS PENGHASILAN

NIK/NPWP SUMBER PENGHASILAN

NAMA SUMBER PENGHASILAN

PENGHASILAN BRUTO (Rp)

1

407

Klaim asuransi kesehatan

01.234.567.8-901.000

PT Asuransi Sehat Sejahtera

50.000.000

2

407

Klaim asuransi jiwa

09.876.543.2-109.000

PT Asuransi Hidup Abadi

200.000.000

 

 

JUMLAH TABEL B

 

 

250.000.000

 

B. Pelaporan Penghasilan yang Dikenakan Pajak Penghasilan Bersifat Final (jika relevan) (UNIT LINK)

1. Petunjuk Pengisian Lampiran 2 Bagian A SPT Tahunan Orang Pribadi (PER-11/PJ/2025)

Penghasilan yang dikenakan PPh bersifat final, seperti keuntungan investasi dari produk unit link, harus dilaporkan pada Lampiran 2 Bagian A SPT Tahunan Orang Pribadi. Bagian ini diisi apabila Wajib Pajak menjawab "Ya" pada pertanyaan di induk SPT Tahunan Orang Pribadi Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14 Huruf c "APAKAH ANDA MENERIMA PENGHASILAN YANG DIKENAKAN PAJAK PENGHASILAN BERSIFAT FINAL?".9 Tujuannya adalah untuk melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang dikenakan PPh bersifat final.9

Kolom-kolom yang harus diisi adalah sebagai berikut:

     Kolom (1) NO: Diisi dengan nomor urut.9

     Kolom (2) PEMOTONG/PEMUNGUT PPh (NIK/NPWP & NAMA): Diisi dengan NIK/NPWP dan nama pihak yang memotong atau memungut PPh Final. Jika PPh Final disetor sendiri, maka kolom ini diisi dengan NIK/NPWP dan nama Wajib Pajak sendiri.9

     Kolom (3) KODE & (4) JENIS PENGHASILAN: Diisi dengan kode dan jenis penghasilan yang dikenakan PPh Final. Sebagai contoh, bunga tabungan dan deposito menggunakan kode 28-404-01.9

     Kolom (5) DASAR PENGENAAN PAJAK: Diisi dengan jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan pajak.9

     Kolom (6) PPh TERUTANG: Diisi dengan jumlah PPh Final yang telah dipotong atau disetor.9

Jumlah total dasar pengenaan pajak dari tabel ini (terdapat pada baris JUMLAH TABEL A kolom (5) DASAR PENGENAAN PAJAK) kemudian dipindahkan ke induk SPT Tahunan Orang Pribadi Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14 Huruf c.9

Pelaporan penghasilan investasi dari unit link yang dikenakan PPh Final pada Lampiran 2 Bagian A menggarisbawahi pentingnya bukti pemotongan atau penyetoran PPh Final. Keuntungan investasi dari unit link memang dikenakan PPh Final.11 Oleh karena itu, Wajib Pajak perlu memperoleh bukti pemotongan PPh Final dari pihak yang melakukan pemotongan (misalnya perusahaan asuransi atau manajer investasi) atau bukti penyetoran jika Wajib Pajak menyetornya sendiri. Tanpa adanya bukti-bukti ini, pelaporan di SPT Tahunan akan sulit diverifikasi oleh otoritas pajak, yang dapat memicu permintaan klarifikasi atau pemeriksaan. Hal ini menekankan perlunya dokumentasi yang akurat dan lengkap dari perusahaan asuransi terkait komponen investasi dan pemotongan pajak yang telah dilakukan.

Berikut adalah contoh pengisian Lampiran 2 Bagian A untuk penghasilan final dari investasi asuransi:

Tabel 2: Contoh Pengisian Lampiran 2 Bagian A untuk Penghasilan Final dari Investasi Asuransi

NO

NIK/NPWP PEMOTONG/PEMUNGUT PPh

NAMA PEMOTONG/PEMUNGUT PPh

KODE

JENIS PENGHASILAN

DASAR PENGENAAN PAJAK (Rp)

PPh TERUTANG (Rp)

1

01.234.567.8-901.000

PT Asuransi Investama

28-404-01

Bunga Deposito

10.000.000

2.000.000

2

01.234.567.8-901.000

PT Asuransi Investama

28-401-01

Bunga Obligasi

5.000.000

500.000

 

 

JUMLAH TABEL A

 

 

15.000.000

2.500.000

 

C. Dokumen Pendukung yang Harus Disiapkan

1. Bukti Penerimaan Klaim Asuransi

 Dokumen ini dapat berupa surat persetujuan klaim resmi yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi, bukti transfer dana klaim ke rekening bank nasabah, atau laporan pembayaran manfaat asuransi yang diterbitkan oleh perusahaan asuransi. Dokumen-dokumen ini harus secara jelas mencantumkan jenis klaim yang diterima, jumlah dana yang dibayarkan, dan tanggal pembayaran klaim.

 

2. Dokumen Polis Asuransi

 Penting untuk menyimpan salinan polis asuransi, baik dalam bentuk fisik maupun digital. Polis asuransi adalah kontrak hukum yang merinci jenis asuransi, cakupan risiko yang ditanggung, manfaat yang dijanjikan, dan semua syarat serta ketentuan lainnya. Dokumen ini berfungsi sebagai dasar hukum yang kuat untuk klaim yang diterima.

 

3. Dokumen Pendukung Lainnya (misalnya laporan investasi dari perusahaan asuransi)

 Untuk produk asuransi yang memiliki komponen investasi, seperti unit link, Wajib Pajak perlu menyiapkan laporan nilai tunai atau laporan investasi berkala dari perusahaan asuransi. Laporan ini harus merinci secara jelas komponen investasi, keuntungan yang diperoleh (seperti bunga, dividen, atau capital gain), serta Pajak Penghasilan Final yang telah dipotong oleh perusahaan asuransi atau manajer investasi yang mengelola dana tersebut.

Dalam konteks klaim asuransi kerugian atas aset usaha, dokumen pendukung tambahan mungkin diperlukan. Ini bisa termasuk laporan penilaian kerugian yang dilakukan oleh penilai independen, bukti nilai sisa buku fiskal dari aset yang rusak atau hilang, dan dokumen lain yang relevan untuk mendukung perhitungan keuntungan atau kerugian fiskal yang timbul dari klaim tersebut.

Pentingnya dokumentasi lengkap sebagai pertahanan dalam pemeriksaan pajak tidak dapat diremehkan. Dalam sistem perpajakan self-assessment, Wajib Pajak memikul tanggung jawab penuh atas kebenaran dan keakuratan pelaporan pajaknya. Oleh karena itu, menjaga semua dokumen terkait klaim asuransi dalam kondisi lengkap dan tersusun rapi adalah hal yang esensial. Dokumen-dokumen ini akan menjadi bukti kuat yang diperlukan jika sewaktu-waktu terjadi pemeriksaan pajak atau permintaan klarifikasi dari otoritas pajak. Tanpa bukti yang memadai, Wajib Pajak berisiko menghadapi koreksi pajak dan potensi sanksi administratif.

Berikut adalah daftar dokumen pendukung yang wajib disiapkan untuk pelaporan klaim asuransi:

Tabel 3: Daftar Dokumen Pendukung Wajib untuk Pelaporan Klaim Asuransi

Jenis Dokumen

Keterangan/Fungsi

Surat Persetujuan Klaim Asuransi

Bukti resmi persetujuan klaim oleh perusahaan asuransi.

Bukti Transfer Dana Klaim

Konfirmasi penerimaan dana klaim ke rekening bank Wajib Pajak.

Laporan Pembayaran Manfaat Asuransi

Rincian manfaat yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi.

Polis Asuransi

Dokumen kontrak asli yang memuat syarat dan ketentuan asuransi.

Laporan Nilai Tunai/Investasi Unit Link

Rincian nilai investasi, keuntungan yang diperoleh, dan biaya yang dibebankan.

Bukti Potong PPh Final (jika ada)

Formulir bukti pemotongan pajak atas penghasilan investasi (misalnya dari bank/asuransi).

Laporan Penilaian Kerugian (jika klaim kerugian aset usaha)

Dokumen penilaian kerugian aset yang mendukung perhitungan fiskal.

Laporan Keuangan (jika klaim kerugian aset usaha)

Untuk mendukung nilai sisa buku aset dan pengakuan keuntungan/kerugian.

 

V. Pelaporan Polis Asuransi sebagai Harta dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi

 A. Petunjuk Pengisian Lampiran 1 Bagian A Tabel 3 "Investasi/Sekuritas" (PER-11/PJ/2025)

 Polis asuransi, khususnya yang memiliki nilai tunai (cash value) atau komponen investasi (seperti unit link), dianggap sebagai harta yang wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan Orang Pribadi. Bagian ini wajib diisi dan dilampirkan untuk melaporkan harta, baik yang digunakan untuk usaha maupun non-usaha, yang dimiliki atau dikuasai Wajib Pajak pada akhir Tahun Pajak.9 Pelaporan ini bertujuan untuk memberikan gambaran lengkap tentang kekayaan Wajib Pajak.

Kolom-kolom yang harus diisi pada Lampiran 1 Bagian A Tabel 3 adalah sebagai berikut:

     Kolom (1) KODE: Diisi dengan kode harta yang relevan 9:

     0310 untuk "Asuransi" (polis asuransi tradisional tanpa komponen unit link).

     0311 untuk "Unit Link di Asuransi" (polis asuransi yang memiliki komponen investasi unit link).

     Kolom (2) DESKRIPSI: Diisi dengan deskripsi investasi/sekuritas, misalnya "Polis Asuransi Jiwa [Nama Perusahaan Asuransi]" atau "Polis Unit Link [Nama Perusahaan Asuransi]".9

     Kolom (3) LOKASI HARTA: Diisi dengan negara tempat harta tersebut berada, misalnya "Indonesia".9

     Kolom (4) BANK/INSTITUSI/PENERIMA INVESTASI (NPWP & NAMA): Diisi dengan NPWP dan nama perusahaan asuransi penerbit polis.9

     Kolom (5) NOMOR AKUN: Diisi dengan nomor polis asuransi atau nomor dokumen bukti kepemilikan.9

     Kolom (6) HARGA PEROLEHAN: Diisi dengan harga perolehan polis asuransi, yaitu total premi yang telah dibayarkan hingga akhir tahun pajak.9 Jika premi dibayar dalam mata uang asing, nilai ini harus dikonversi ke Rupiah menggunakan kurs yang berlaku pada saat perolehan.9

     Kolom (7) TAHUN PEROLEHAN: Diisi dengan tahun perolehan polis asuransi.9

     Kolom (8) NILAI SAAT INI: Diisi dengan nilai tunai (cash value) atau nilai investasi polis pada akhir Tahun Pajak.9 Jika tidak ada nilai yang dipublikasikan, nilai harta dapat ditentukan berdasarkan hasil penilaian kantor jasa penilai publik atau nilai wajar menurut penilaian Wajib Pajak.9

     Kolom (9) KETERANGAN: Hanya diisi jika jenis harta terkait dengan pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak, dengan pilihan "Harta PPS" atau "Harta Investasi PPS".9

Setelah mengisi Tabel 3, jumlah total harga perolehan harta dari baris "JUMLAH TABEL 3" kolom (6) HARGA PEROLEHAN akan diagregasikan ke Tabel 7 "IKHTISAR HARTA". Dari Tabel 7, total harga perolehan harta pada akhir tahun pajak kemudian dipindahkan ke induk SPT Tahunan PPh Bagian I. PERNYATAAN TRANSAKSI LAINNYA Angka 14 Huruf a "HARTA PADA AKHIR TAHUN PAJAK".9

Pelaporan ini merupakan bagian dari pengawasan kekayaan Wajib Pajak melalui pelaporan harta. Dengan mewajibkan pelaporan polis asuransi sebagai harta, otoritas pajak tidak hanya memantau penghasilan yang berasal dari asuransi, tetapi juga mengawasi nilai aset asuransi itu sendiri sebagai bagian dari total kekayaan Wajib Pajak. Ini memungkinkan DJP untuk melakukan pemantauan pertumbuhan kekayaan Wajib Pajak dan memastikan adanya konsistensi antara penghasilan yang dilaporkan dan akumulasi harta.

 

B. Kode Harta untuk Asuransi dan Unit Link (Kode 0310 dan 0311)

 

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 memperkenalkan kode harta yang spesifik untuk produk asuransi: 0310 untuk "Asuransi" dan 0311 untuk "Unit Link di Asuransi".9

Kehadiran dua kode yang berbeda untuk asuransi dan unit link dalam peraturan terbaru menunjukkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak memiliki kebutuhan yang lebih besar untuk membedakan kedua jenis aset ini. Hal ini memungkinkan DJP untuk melakukan analisis data yang lebih mendalam mengenai pola kepemilikan dan pertumbuhan nilai antara produk asuransi murni (proteksi) dan produk yang memiliki komponen investasi. Informasi yang lebih granular ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi potensi risiko kepatuhan, merumuskan kebijakan perpajakan yang lebih tepat sasaran, atau bahkan untuk tujuan pengawasan kekayaan Wajib Pajak di masa mendatang. Peningkatan granularitas data ini mendukung upaya DJP dalam meningkatkan efisiensi dan efektivitas administrasi perpajakan.

 

C. Penentuan Harga Perolehan dan Nilai Saat Ini

 

Penentuan harga perolehan polis asuransi didasarkan pada total premi yang telah dibayarkan hingga akhir tahun pajak. Jika premi dibayarkan dalam mata uang asing, penting untuk mengonversinya ke dalam Rupiah menggunakan kurs yang berlaku pada saat perolehan polis.9

Untuk nilai saat ini, khususnya bagi polis yang memiliki nilai tunai atau investasi, nilai yang dilaporkan adalah nilai yang dapat dicairkan pada akhir tahun pajak. Apabila tidak ada nilai yang dipublikasikan secara jelas sebagai pedoman, penilaian harta dapat didasarkan pada hasil penilaian kantor jasa penilai publik atau, secara alternatif, nilai wajar menurut penilaian Wajib Pajak sendiri sesuai kondisi pada akhir Tahun Pajak.9

Proses penentuan harga perolehan dan nilai saat ini untuk polis asuransi, terutama yang kompleks atau melibatkan mata uang asing, dapat menjadi tantangan bagi Wajib Pajak awam. Kebutuhan untuk mengonversi kurs secara tepat atau melakukan penilaian wajar menunjukkan bahwa Wajib Pajak mungkin memerlukan bantuan dari perusahaan asuransi atau profesional keuangan/pajak untuk memastikan bahwa nilai yang dilaporkan akurat dan sesuai dengan ketentuan perpajakan. Kesalahan dalam penentuan nilai ini dapat berujung pada ketidakpatuhan dan potensi koreksi pajak. Oleh karena itu, akurasi dalam pencatatan premi dan penilaian nilai polis sangatlah penting.

 

VI. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Nasabah saat Menerima Klaim Asuransi

 A. Verifikasi Jenis Klaim dan Perlakuan Pajaknya

 Nasabah harus secara cermat mengidentifikasi jenis klaim yang diterima, apakah itu klaim asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, atau kerugian. Selain itu, penting untuk membedakan klaim proteksi murni dari hasil investasi yang mungkin melekat pada produk asuransi unit link. Perlakuan pajak sangat bergantung pada klasifikasi ini. Segera setelah menerima klaim, Wajib Pajak disarankan untuk melakukan verifikasi dengan perusahaan asuransi mengenai komponen-komponen pembayaran (misalnya, manfaat proteksi versus hasil investasi) dan apakah ada pemotongan PPh Final yang telah dilakukan oleh perusahaan asuransi.

 

B. Pentingnya Dokumentasi Lengkap

 Wajib Pajak bertanggung jawab untuk membuktikan kebenaran pelaporan pajaknya. Oleh karena itu, menyimpan semua dokumen terkait klaim asuransi adalah esensial. Dokumen-dokumen ini meliputi polis asuransi, surat persetujuan klaim, bukti transfer dana klaim, laporan pembayaran manfaat asuransi, dan untuk produk unit link, laporan investasi yang merinci keuntungan dan PPh Final yang dipotong. Dokumentasi yang lengkap dan rapi akan menjadi bukti kuat yang sangat diperlukan jika sewaktu-waktu terjadi pemeriksaan pajak atau permintaan klarifikasi dari otoritas pajak. Tanpa bukti yang memadai, Wajib Pajak berisiko dikenai koreksi pajak dan sanksi.

 

C. Konsultasi dengan Profesional Pajak

 Untuk kasus klaim asuransi dengan nilai yang signifikan, klaim yang melibatkan aset usaha, atau produk asuransi yang sangat kompleks (misalnya unit link dengan berbagai jenis investasi dasar), sangat disarankan bagi Wajib Pajak untuk berkonsultasi dengan konsultan pajak yang berpengalaman. Profesional pajak dapat membantu menganalisis perlakuan pajak yang tepat, memastikan pelaporan yang akurat, dan memberikan saran mengenai strategi kepatuhan.

Peraturan perpajakan di Indonesia bersifat dinamis dan sering mengalami perubahan. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 sendiri merupakan pembaruan signifikan dalam tata cara pelaporan pajak, yang bertujuan untuk menyesuaikan ketentuan pelaporan dengan pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.9 Peraturan ini memperkenalkan perubahan dalam format dan tata cara pengisian SPT, termasuk lampiran-lampirannya.9 Oleh karena itu, Wajib Pajak harus lebih proaktif dalam memahami format baru ini, atau mengandalkan bantuan profesional untuk memastikan kepatuhan. Adaptasi terhadap perubahan sistem administrasi perpajakan ini, meskipun bertujuan untuk meningkatkan kemudahan administrasi dan pelayanan, pada tahap awal mungkin menimbulkan tantangan adaptasi bagi Wajib Pajak. Mengikuti perkembangan ini atau berkonsultasi dengan ahli akan membantu Wajib Pajak tetap patuh dan efisien dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

 

VII. Kesimpulan

 

Memahami aspek perpajakan atas hasil yang diterima dari asuransi adalah langkah fundamental bagi Wajib Pajak Orang Pribadi di Indonesia untuk memastikan kepatuhan. Sebagian besar klaim asuransi yang bersifat proteksi diri dan keluarga, seperti asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan beasiswa, secara tegas dikecualikan dari objek Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang PPh. Pengecualian ini merupakan insentif fiskal yang mendorong individu untuk memiliki perlindungan finansial.

Namun, penting untuk dicatat bahwa klaim asuransi kerugian atas aset usaha dan keuntungan yang berasal dari komponen investasi dalam produk unit link umumnya merupakan objek pajak. Penghasilan dari investasi ini seringkali dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final, dengan tarif yang bervariasi tergantung pada jenis instrumen investasi yang mendasarinya. Perlakuan pajak yang berbeda ini menyoroti sifat ganda dari produk asuransi unit link, yang memerlukan pemisahan yang cermat antara manfaat proteksi dan hasil investasi.

Pelaporan yang akurat dalam SPT Tahunan Orang Pribadi sangat krusial. Klaim asuransi yang dikecualikan dari objek pajak harus dilaporkan pada Lampiran 2 Bagian B SPT Tahunan Orang Pribadi dengan menggunakan kode 407. Sementara itu, penghasilan investasi yang dikenakan PPh Final harus dilaporkan pada Lampiran 2 Bagian A. Selain itu, polis asuransi yang memiliki nilai tunai atau komponen investasi juga wajib dilaporkan sebagai harta pada Lampiran 1 Bagian A Tabel 3, dengan menggunakan kode harta spesifik (0310 untuk asuransi dan 0311 untuk unit link di asuransi), beserta harga perolehan dan nilai saat ini.

Kunci utama dalam menghadapi kompleksitas perpajakan asuransi adalah verifikasi yang cermat terhadap jenis klaim yang diterima, menjaga dokumentasi yang lengkap dan rapi sebagai bukti yang kuat, serta tidak ragu untuk mencari nasihat dari profesional pajak. Hal ini terutama penting dalam kasus-kasus yang kompleks atau ketika terjadi perubahan peraturan, seperti implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan yang diatur dalam PER-11/PJ/2025. Dengan pemahaman yang tepat dan persiapan yang matang, Wajib Pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar dan efisien, sekaligus menghindari potensi risiko ketidakpatuhan.

Karya yang dikutip

1.    UU Nomor 40 Tahun 2014.pdf - Peraturan BPK, diakses Agustus 5, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Home/Download/28114/UU%20Nomor%2040%20Tahun%202014.pdf

2.    BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Mengenai Asuransi 1. Pengertian Asuransi a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, diakses Agustus 5, 2025, https://eprints2.undip.ac.id/21133/4/Edo%20Ardyant%20Fachrozi%20%2811010115130429%29-bab%202.pdf

3.    Definisi Perusahaan Reasuransi | JDIH Kementerian Keuangan, diakses Agustus 5, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/kamus-hukum/perusahaan-reasuransi?id=063d2df2161a838a7412f6b68e9034d8

4.    Reasuransi: Pengertian, Jenis, dan Contoh Perusahaannya, diakses Agustus 5, 2025, https://www.roojai.co.id/article/asuransi/reasuransi/

5.    Daftar Perusahaan Reasuransi di Indonesia dan Kinerja Laba per Desember 2023, diakses Agustus 5, 2025, https://finansial.bisnis.com/read/20240129/215/1736311/daftar-perusahaan-reasuransi-di-indonesia-dan-kinerja-laba-per-desember-2023

6.    67/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasu - JDIH Kemenkeu, diakses Agustus 5, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/6766cbf9-dca8-418e-81bb-09695cde3310/67~PMK.03~2022Per.pdf

7.    Perusahaan Pialang Asuransi / Insurance Brokerage Company - SahamU, diakses Agustus 5, 2025, https://sahamu.com/perusahaan-asuransi-indonesia/perusahaan-pialang-asuransi-insurance-brokerage-company/

8.    Kena PPN, Agen Asuransi Harus Punya E-faktur ? | Direktorat Jenderal Pajak, diakses Agustus 5, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/kena-ppn-agen-asuransi-harus-punya-e-faktur

9.    PER 11 PJ 2025.pdf

10.  PPN atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasuransi, diakses Agustus 5, 2025, https://www.hananta.com/downloads/20220419/drive/Sosialisasi%20Jasa%20Agen%20dan%20Pialang%20PMK-67.pdf

11.  SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK, diakses Agustus 5, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/31468

12.  Jenis Asuransi yang Wajib Dilaporkan dalam SPT Pajak - Manulife Indonesia, diakses Agustus 5, 2025, https://www.manulife.co.id/id/artikel/jenis-asuransi-yang-wajib-dilaporkan-dalam-spt-pajak.html

13.  PUT.58190/PP/M.XIIIB/16/2014 - Perpajakan DDTC, diakses Agustus 5, 2025, https://perpajakan.ddtc.co.id/sumber-hukum/putusan/put-58190ppm-xiiib162014

14.  Peraturan Pemerintah Nomor: 91 TAHUN 2021 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/17527

15.  Ketentuan Pajak Reksadana dan Cara Lapor SPT tahunannya, diakses Agustus 5, 2025, https://klikpajak.id/blog/pajak-reksadana/

16.  Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Bunga Deposito Dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia - Peraturan BPK, diakses Agustus 5, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/113778/pmk-no-212pmk032018

17.  PMK-18/2021 - www.jdih.kemenkeu.go.id - Kementerian Keuangan, diakses Agustus 5, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/39fdb2fc-1736-4ebb-80f5-d257f75df0b5/18~PMK.03~2021Per.pdf

18.  Article Detail | Pencairan Polis Asuransi Jiwa Bebas Pajak - IFG Life, diakses Agustus 5, 2025, https://ifg-life.id/berita/article/asuransi/detail/pencairan-polis-asuransi-jiwa-bebas-pajak

19.  Ditjen Pajak Tidak Kenakan Pajak atas Cadangan Premi Unit Link, diakses Agustus 5, 2025, https://www.pajak.go.id/id/ditjen-pajak-tidak-kenakan-pajak-atas-cadangan-premi-unit-link

20.  Pajak Premi Asuransi: Aturan dan Cara Menghitungnya, diakses Agustus 5, 2025, https://klikpajak.id/blog/pajak-premi-asuransi/

21.  Yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (3) - PajakMania, diakses Agustus 5, 2025, https://pajakmania.com/yang-dikecualikan-dari-objek-pajak-penghasilan-pasal-4-ayat-3/

22.  UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA - JDIH Kota Bandung, diakses Agustus 5, 2025, https://jdih.bandung.go.id/media/3123

23.  Klaim Asuransi - Forum Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://forum.ortax.org/forums/discussion/klaim-asuransi/

24.  SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK, diakses Agustus 5, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/36708

25.  Dapat Klaim Asuransi atas Aset Perusahaan, Begini Perlakuan Perpajakannya, diakses Agustus 5, 2025, https://www.pajak.go.id/id/artikel/dapat-klaim-asuransi-atas-aset-perusahaan-begini-perlakuan-perpajakannya

26.  Peraturan Pemerintah Nomor: 55 TAHUN 2022 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25023

27.  PP No. 55 Tahun 2022 - Peraturan BPK, diakses Agustus 5, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/233488/pp-no-55-tahun-2022

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.