A. Latar Belakang dan Pentingnya Pemahaman
Perpajakan Asuransi
Asuransi merupakan instrumen krusial dalam strategi manajemen
risiko perusahaan, melindungi aset dan keberlangsungan operasional dari
berbagai ketidakpastian. Namun, perlakuan perpajakan atas premi yang dibayarkan
dan klaim yang diterima oleh perusahaan seringkali kompleks, memerlukan
pemahaman mendalam terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Perubahan regulasi yang signifikan, seperti yang diperkenalkan oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP)
yang mencakup perubahan UU Cipta Kerja, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
terbaru (misalnya PMK 66/2023, PMK 72/2023, PMK 168/2023, PMK 67/2022), semakin
menambah lapisan kompleksitas ini. Hal ini menuntut perusahaan untuk selalu
mutakhir dalam pemahaman dan kepatuhan pajaknya guna menghindari risiko fiskal.
Peraturan yang terus berkembang, seperti UU Cipta Kerja yang
mengubah pengecualian PPh untuk klaim individu 1, PMK 66/2023 dan PMK
168/2023 yang mengatur detail natura/kenikmatan 5, PMK 72/2023 yang
membahas waktu pengakuan kerugian aset 6, dan PMK 67/2022 yang merinci PPN atas jasa asuransi 5, menunjukkan adanya
upaya berkelanjutan dari otoritas pajak untuk menyempurnakan dan menyesuaikan
aturan perpajakan dengan realitas ekonomi dan praktik bisnis yang terus
berubah. Konsekuensi dari dinamika regulasi ini adalah bahwa kepatuhan pajak di
sektor asuransi bukanlah proses statis, melainkan memerlukan pendekatan yang
dinamis dan proaktif. Perusahaan harus senantiasa memantau pembaruan regulasi
dan memastikan tim pajak serta keuangan internal memiliki pemahaman yang
mutakhir.
B. Tujuan Laporan
Laporan ini bertujuan untuk memberikan panduan komprehensif
mengenai perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
atas klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan di Indonesia. Laporan ini
dilengkapi dengan contoh perhitungan yang relevan, identifikasi pengecualian
objek pajak, pembahasan mengenai kendala dan area abu-abu perpajakan yang
sering muncul, serta panduan mengenai pencatatan akuntansi yang tepat sesuai
dengan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku.
II. Tinjauan Umum Perpajakan Asuransi di Indonesia
A. Dasar Hukum Utama
Perlakuan perpajakan asuransi di Indonesia diatur secara
spesifik dalam beberapa undang-undang dan peraturan pelaksana yang saling
terkait:
●
Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh): Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh, penghasilan didefinisikan
sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan.18 Klaim asuransi,
khususnya klaim kerugian, secara eksplisit dianggap sebagai objek PPh 20 karena meningkatkan
kemampuan ekonomis perusahaan. Namun, terdapat pengecualian yang diatur dalam
Pasal 4 ayat (3) UU PPh, seperti pembayaran klaim asuransi tertentu kepada
orang pribadi.2
●
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN): Jasa asuransi secara umum merupakan objek PPN sebagaimana
diatur di Pasal 16B ayat (1a) huruf j nomor 5 UU PPN.11 Meskipun demikian,
banyak jasa asuransi inti (seperti asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan
reasuransi) mendapatkan fasilitas PPN nol persen atau dibebaskan.11
●
Peraturan Menteri Keuangan (PMK): Beberapa PMK yang relevan meliputi:
○
PMK Nomor 67/PMK.03/2022: Mengatur PPN atas
penyerahan jasa agen asuransi, pialang asuransi, dan pialang reasuransi, dengan
tarif besaran tertentu dari komisi yang diterima.5
○
PMK Nomor 72/2023: Mengatur mekanisme
pembebanan kerugian dan pengakuan penghasilan dalam hal terjadi pengalihan atau
penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi.6
○
PMK Nomor 66/2023 dan PMK Nomor 168/2023: Relevan untuk perlakuan natura/kenikmatan terkait asuransi
karyawan, khususnya dalam konteks PPh Pasal 21.5
Meskipun jasa asuransi
secara prinsip merupakan objek PPN, peraturan perundang-undangan memberikan
fasilitas PPN nol persen atau pembebasan untuk produk asuransi inti seperti
asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan reasuransi.11 Hal ini menunjukkan
adanya kebijakan pemerintah untuk mempromosikan aksesibilitas dan
keterjangkauan layanan perlindungan finansial yang esensial, mengingat manfaat
sosial dan ekonomi yang luas dari asuransi. Namun, perlu dicatat bahwa layanan
penunjang yang diberikan oleh agen atau pialang asuransi tetap dikenakan PPN.5 Ini mencerminkan
pendekatan yang lebih terarah dalam mengenakan pajak pada bagian-bagian
tertentu dari rantai nilai asuransi. Perusahaan harus memahami perbedaan nuansa
ini untuk memastikan penerapan aturan PPN yang benar pada setiap transaksi
terkait asuransi.
B. Konsep Premi dan Klaim dalam Perspektif Pajak
Premi asuransi didefinisikan sebagai uang yang ditetapkan oleh
perusahaan asuransi atau reasuransi dan disetujui oleh pemegang polis untuk
dibayarkan kepada perusahaan.27 Dari perspektif perusahaan asuransi, premi ini merupakan
penghasilan yang menjadi objek pajak.18 Dari sisi perusahaan tertanggung, premi asuransi dapat menjadi
biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak, tergantung pada
jenis asuransi dan pihak penerima manfaat.26
Klaim asuransi adalah pembayaran ganti rugi oleh perusahaan
asuransi kepada tertanggung atas terjadinya peristiwa yang diasuransikan.29 Penerimaan klaim ini
dapat menjadi objek PPh bagi penerimanya, kecuali jika terdapat ketentuan
pengecualian yang diatur secara spesifik dalam undang-undang.1
Terdapat perbedaan perlakuan pajak yang mendasar antara premi
yang dibayarkan sebagai biaya dan klaim yang diterima sebagai penghasilan.
Premi yang dibayarkan oleh perusahaan umumnya dapat dibebankan sebagai biaya
yang mengurangi penghasilan bruto.26 Sebaliknya, klaim yang diterima oleh perusahaan secara umum
dianggap sebagai penghasilan kena pajak 20, dengan pengecualian yang sebagian besar berlaku untuk penerima
manfaat orang pribadi.2 Perbedaan ini menciptakan suatu kondisi asimetris dalam
perlakuan pajak dari sudut pandang perusahaan tertanggung. Hal ini menunjukkan
bahwa sistem pajak bertujuan untuk mengenakan pajak atas peningkatan kemampuan
ekonomi atau pemulihan kerugian yang sebelumnya telah dibebankan sebagai biaya.
Oleh karena itu, perusahaan tidak dapat semata-mata memandang asuransi sebagai
mekanisme pemulihan biaya murni, karena manfaat bersih dari pembayaran klaim
akan berkurang akibat implikasi pajaknya. Pendekatan ini menuntut perencanaan
pajak yang komprehensif, yang mempertimbangkan baik deduktibilitas premi maupun
pajak atas klaim, untuk menilai dampak finansial asuransi secara akurat.
III. Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas Klaim
Asuransi yang Diterima Perusahaan
A. Prinsip Umum Klaim Asuransi sebagai Objek PPh
Badan
Secara umum, klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan
merupakan tambahan kemampuan ekonomis dan oleh karenanya merupakan objek Pajak
Penghasilan Badan.18 Hal ini konsisten dengan prinsip umum penghasilan dalam Pasal 4
ayat (1) Undang-Undang PPh. Khusus untuk klaim asuransi kerugian, penerimaan
klaim dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun
diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku harta yang rusak atau
hilang dibebankan sebagai kerugian pada tahun pajak yang bersangkutan.20
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 72/2023 secara khusus mengatur
mekanisme pembebanan kerugian dan pengakuan penghasilan dalam hal terjadi
pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi.6 Jika hasil penggantian
asuransi baru dapat diketahui jumlahnya dengan pasti di masa kemudian, nilai
sisa buku fiskal yang dibebankan sebagai kerugian baru bisa dibukukan sebagai
beban pada tahun pajak diterimanya hasil penggantian asuransi.6 Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunda pembebanan
kerugian ini.9 PMK 72/2023 ini memberikan kepastian hukum dan mengakomodir
kebutuhan bisnis.10
Aturan ini menekankan pentingnya sinkronisasi pengakuan fiskal
untuk klaim aset. Ketentuan dalam PMK 72/2023 yang memungkinkan penundaan
pengakuan kerugian hingga jumlah klaim asuransi diketahui secara pasti,
mengatasi tantangan praktis yang signifikan bagi perusahaan. Sebelumnya,
kerugian dapat terjadi dalam satu tahun fiskal, sementara pembayaran klaim baru
diselesaikan di tahun berikutnya, menyebabkan perbedaan waktu yang dapat
mengganggu perhitungan penghasilan kena pajak. Kebijakan ini, yang bertujuan untuk
mengakomodasi kebutuhan bisnis dan memberikan kepastian hukum 10, memungkinkan
perusahaan untuk menyajikan gambaran yang lebih akurat mengenai dampak
finansial bersih dari suatu peristiwa yang diasuransikan dalam satu periode
pajak. Hal ini mengurangi potensi distorsi penghasilan kena pajak antar periode
dan meminimalkan risiko temuan audit yang berkaitan dengan perbedaan waktu
pengakuan. Oleh karena itu, perusahaan harus cermat dalam menyelaraskan
pengakuan kerugian aset (sebagai biaya yang dapat dikurangkan) dengan pengakuan
klaim asuransi (sebagai penghasilan) dalam perhitungan fiskal mereka.
B. Perlakuan PPh Berdasarkan Jenis Asuransi:
1. Asuransi
Kerugian (Property & Casualty Insurance)
●
Definisi dan Ruang Lingkup:
Asuransi kerugian adalah jenis asuransi yang memberikan jasa untuk
menanggulangi risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, serta tanggung jawab
hukum terhadap pihak ketiga, yang muncul karena suatu peristiwa yang tidak
pasti.30
●
Perlakuan PPh atas Penerimaan Klaim: Klaim asuransi kerugian yang diterima oleh perusahaan merupakan
objek PPh Badan.20 Mekanisme pembebanan kerugian atas harta yang mendapatkan
penggantian asuransi diatur secara rinci dalam PMK 72/2023.6 Jika hasil penggantian
asuransi baru dapat diketahui jumlahnya dengan pasti di masa kemudian, nilai
sisa buku fiskal yang dibebankan sebagai kerugian baru bisa dibukukan sebagai
beban pada tahun pajak diterimanya hasil penggantian asuransi.6 Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunda pembebanan
kerugian ini.9 PMK 72/2023 ini memberikan kepastian hukum dan mengakomodir
kebutuhan bisnis.10
Ketentuan dalam PMK 72/2023 yang memungkinkan penundaan
pengakuan kerugian hingga jumlah klaim asuransi diketahui secara pasti,
menunjukkan adanya fleksibilitas pengakuan kerugian untuk klaim yang tertunda
sebagai bentuk akomodasi bisnis. Ini adalah respons terhadap tantangan praktis
yang dihadapi perusahaan ketika kerugian terjadi di satu tahun fiskal, tetapi
jumlah klaim asuransi baru dapat dipastikan di tahun berikutnya. Fleksibilitas
ini memungkinkan perusahaan untuk mencatat dampak finansial bersih dari
peristiwa yang diasuransikan dalam satu periode pajak, daripada memecahnya di
beberapa periode. Hal ini tidak hanya menyederhanakan pelaporan pajak tetapi
juga memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kinerja keuangan perusahaan
setelah peristiwa yang diasuransikan.
●
Contoh Perhitungan PPh Klaim Asuransi Kerugian:
○
Situasi 1: Klaim Mobil yang Dijual Terlebih Dahulu (Total Loss)
■
Skenario: PT Maju Jaya memiliki
mobil operasional yang dibeli dengan harga perolehan Rp300.000.000. Akumulasi
penyusutan fiskal hingga akhir tahun 2023 adalah Rp100.000.000. Pada Januari
2024, mobil tersebut mengalami kecelakaan parah dan dinyatakan total loss oleh perusahaan asuransi. PT
Maju Jaya menerima klaim asuransi sebesar Rp180.000.000. Mobil rusak tersebut
kemudian dijual sebagai rongsokan dengan nilai Rp20.000.000.
■
Perhitungan:
■
Harga Perolehan Mobil:
Rp300.000.000
■
Akumulasi Penyusutan
Fiskal: Rp100.000.000
■
Nilai Sisa Buku Fiskal:
Rp300.000.000 - Rp100.000.000 = Rp200.000.000
■
Penerimaan Klaim
Asuransi: Rp180.000.000
■
Nilai Jual Rongsokan:
Rp20.000.000
■
Total Penerimaan (Klaim
+ Jual Rongsokan): Rp180.000.000 + Rp20.000.000 = Rp200.000.000
■
Perlakuan Pajak (sesuai Pasal 11 ayat (8) UU PPh dan PMK
72/2023):
■
Keuntungan/Kerugian
Pengalihan Harta = Total Penerimaan – Nilai Sisa Buku Fiskal
■
Keuntungan/Kerugian =
Rp200.000.000 - Rp200.000.000 = Rp0
■
Dalam situasi ini, tidak
ada keuntungan atau kerugian fiskal yang diakui karena total penerimaan dari
klaim asuransi dan penjualan rongsokan persis menutupi nilai sisa buku fiskal
aset. Jika total penerimaan melebihi nilai sisa buku, selisihnya akan menjadi
keuntungan yang merupakan objek PPh. Sebaliknya, jika total penerimaan kurang
dari nilai sisa buku, selisihnya akan menjadi kerugian yang dapat dibiayakan.
○
Situasi 2: Klaim Bangunan Terbakar (Pengakuan Kerugian Tertunda)
■
Skenario: PT Abadi Jaya memiliki
bangunan pabrik dengan harga perolehan Rp5.000.000.000. Akumulasi penyusutan
fiskal hingga akhir tahun 2023 adalah Rp1.500.000.000. Bangunan tersebut
terbakar pada Oktober 2023. Nilai kerugian yang disepakati dengan perusahaan
asuransi adalah Rp3.000.000.000, namun klaim baru disetujui dan dibayar pada
Maret 2024.
■
Perhitungan:
■
Harga Perolehan
Bangunan: Rp5.000.000.000
■
Akumulasi Penyusutan
Fiskal: Rp1.500.000.000
■
Nilai Sisa Buku Fiskal:
Rp5.000.000.000 - Rp1.500.000.000 = Rp3.500.000.000
■
Penerimaan Klaim
Asuransi: Rp3.000.000.000
■
Perlakuan Pajak (sesuai PMK 72/2023):
■
Karena klaim baru
diketahui pasti dan diterima pada Maret 2024 (tahun pajak 2024), PT Abadi Jaya
dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunda
pembebanan kerugian atas bangunan tersebut pada tahun pajak diterimanya
penggantian asuransi, yaitu tahun 2024.6
■
Pada tahun pajak 2024:
■
Kerugian Fiskal yang
dibebankan = Nilai Sisa Buku Fiskal - Penerimaan Klaim Asuransi
■
Kerugian Fiskal =
Rp3.500.000.000 - Rp3.000.000.000 = Rp500.000.000
■
Kerugian sebesar
Rp500.000.000 ini dapat dibiayakan pada SPT Tahunan PPh Badan tahun 2024.
●
Tabel Ilustrasi Perhitungan PPh Klaim Asuransi Kerugian
Skenario |
Harga Perolehan Aset
(Rp) |
Akumulasi Penyusutan
Fiskal (Rp) |
Nilai Sisa Buku Fiskal
(Rp) |
Penerimaan Klaim
Asuransi (Rp) |
Nilai Jual Aset Rusak
(Rp) |
Total Penerimaan (Rp) |
Keuntungan/Kerugian
Fiskal (Rp) |
Perlakuan PPh |
Mobil Total Loss |
300.000.000 |
100.000.000 |
200.000.000 |
180.000.000 |
20.000.000 |
200.000.000 |
0 |
Tidak ada objek PPh |
Bangunan Terbakar |
5.000.000.000 |
1.500.000.000 |
3.500.000.000 |
3.000.000.000 |
0 |
3.000.000.000 |
(500.000.000) |
Biaya Fiskal |
Mesin Rusak (Gain) |
1.000.000.000 |
700.000.000 |
300.000.000 |
400.000.000 |
0 |
400.000.000 |
100.000.000 |
Objek PPh |
2. Asuransi
Kesehatan Karyawan (Employee Health Insurance)
●
Premi Dibayar Perusahaan: Premi asuransi
kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja (perusahaan) untuk kepentingan
pegawainya dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan.26 Namun, bagi karyawan,
premi tersebut merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21.26 Perlakuan ini memiliki
nuansa penting terkait konsep natura/kenikmatan dan
reimbursement:
○
Natura/Kenikmatan (PMK 66/2023 dan PMK 168/2023): Jika fasilitas kesehatan diberikan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang merupakan kewajiban pemberi kerja berdasarkan peraturan
pemerintah (misalnya terkait penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat
kerja, kedaruratan penyelamatan jiwa, atau pengobatan lanjutan akibat
kecelakaan/penyakit kerja), maka bagi penerima (karyawan) dikecualikan dari
objek PPh Pasal 21.7 Bagi pemberi kerja (perusahaan), biaya tersebut tetap dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.7 Premi asuransi kesehatan yang dibayarkan perusahaan untuk
karyawan juga dapat menjadi objek PPh Pasal 21 bagi karyawan sebagai penambah
penghasilan bruto.5
○
Reimbursement: Jika fasilitas
kesehatan diberikan melalui skema reimbursement
(penggantian biaya dalam bentuk uang tunai), maka bagi karyawan merupakan objek
PPh Pasal 21 karena diterima dalam bentuk uang, bukan natura/kenikmatan yang
dikecualikan.5 Bagi perusahaan, biaya ini dapat dikurangkan jika fasilitas
tersebut diberikan sebagai bagian dari imbalan pekerjaan.7
Perlakuan pajak atas premi asuransi kesehatan karyawan telah
mengalami pergeseran signifikan, terutama dengan adanya PMK 66/2023 dan PMK
168/2023. Premi yang dibayarkan oleh perusahaan untuk karyawan secara
tradisional dianggap sebagai manfaat yang dikenakan PPh 21 bagi karyawan.
Namun, peraturan terbaru memperkenalkan perbedaan penting untuk
natura/kenikmatan. Kena pajak atau tidaknya manfaat kesehatan yang diberikan
perusahaan kepada karyawan kini sangat bergantung pada cara pemberian manfaat
tersebut (misalnya, pembayaran premi langsung ke pihak ketiga, penggantian
tunai, atau fasilitas internal) dan tujuan spesifiknya (misalnya, kesehatan
umum versus kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, atau keadaan darurat yang
diwajibkan). Perusahaan harus cermat dalam mengkategorikan dan
mendokumentasikan manfaat ini untuk memastikan pemotongan PPh 21 yang benar.
Hal ini juga dapat mendorong perusahaan untuk mempertimbangkan kembali struktur
manfaat kesehatan karyawan mereka agar dapat memanfaatkan ketentuan natura yang
bebas pajak jika memungkinkan, menyeimbangkan kesejahteraan karyawan dengan
efisiensi pajak.
●
Klaim Diterima Karyawan: Pembayaran klaim dari
perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan
dikecualikan dari objek PPh Pasal 21.2 Pengecualian ini merupakan salah satu poin penting dalam Pasal
4 ayat (3) UU PPh.
3. Asuransi
Kecelakaan Kerja (Work Accident Insurance)
●
Premi Dibayar Perusahaan: Iuran Asuransi
Kecelakaan Kerja yang ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja merupakan biaya
yang dapat dibebankan bagi perusahaan.28 Bagi karyawan, iuran ini secara umum merupakan penghasilan yang
merupakan objek PPh.33
●
Klaim Diterima Karyawan: Pembayaran klaim dari
perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kecelakaan
dikecualikan dari objek PPh Pasal 21.2 Ini konsisten dengan pengecualian untuk asuransi kesehatan.
Perlakuan pajak untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja
menunjukkan suatu pola yang konsisten: klaim yang diterima oleh individu secara
langsung dikecualikan dari PPh 2, sementara premi yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk
asuransi-asuransi ini umumnya dianggap sebagai objek PPh 21 bagi karyawan.26 Hal ini mencerminkan
pilihan kebijakan pemerintah untuk mengenakan pajak pada manfaat yang diterima
dari pembayaran premi (karena dianggap sebagai bentuk kompensasi atau imbalan
kerja bagi karyawan), tetapi tidak mengenakan pajak pada kompensasi aktual yang
diterima individu ketika peristiwa buruk (sakit atau kecelakaan) terjadi.
Pendekatan ini sejalan dengan prinsip "kenyamanan pembayaran"
(convenience of payment) 24, di mana pajak dipungut pada saat yang dianggap lebih
"nyaman" atau "menyenangkan" bagi wajib pajak, yaitu ketika
mereka menerima manfaat dari pembayaran premi, bukan saat mereka menghadapi
konsekuensi finansial dari sakit atau cedera. Selain itu, kebijakan ini juga
bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak ganda atas manfaat ekonomi yang sama.
4. Asuransi
Jiwa Karyawan (Perusahaan sebagai Ahli Waris)
●
Premi Dibayar Perusahaan: Premi asuransi jiwa
yang dibayar oleh pemberi kerja untuk kepentingan karyawannya dapat dibebankan
sebagai biaya bagi perusahaan.26 Bagi karyawan, premi tersebut merupakan penghasilan yang
merupakan objek PPh Pasal 21.26
●
Klaim Diterima Perusahaan: Jika
perusahaan adalah ahli waris atau penerima manfaat dari polis asuransi jiwa
karyawan (misalnya asuransi key-man),
maka klaim yang diterima oleh perusahaan tersebut merupakan objek PPh Badan.20 Hal ini berbeda dengan
klaim asuransi jiwa yang diterima oleh orang pribadi karena meninggalnya
tertanggung, yang dikecualikan dari objek PPh.2 Jika klaim tersebut
mencakup komponen investasi (misalnya asuransi unit link), selisih lebih antara
manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah dibayarkan dapat
dikenakan PPh final.5
Perlakuan klaim asuransi jiwa menunjukkan perbedaan signifikan
berdasarkan entitas penerima manfaat. Klaim yang diterima oleh individu karena
kematian tertanggung secara jelas dikecualikan dari PPh.2 Namun, ketika
perusahaan menjadi penerima manfaat, klaim tersebut umumnya diperlakukan
sebagai penghasilan kena pajak. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa setiap
"tambahan kemampuan ekonomis" merupakan objek PPh.18 Penerimaan klaim oleh
perusahaan dianggap meningkatkan kemampuan ekonomi perusahaan atau
mengkompensasi kerugian bisnis (misalnya, kehilangan kontribusi karyawan
kunci), berbeda dengan penerimaan oleh individu yang seringkali dipandang
sebagai kompensasi atas kerugian pribadi atau manfaat sosial. Selain itu, jika
polis asuransi jiwa memiliki komponen investasi (seperti unit link), selisih
lebih antara manfaat tabungan yang diterima dan premi yang dibayarkan dapat
dikenakan PPh final.5 Perusahaan yang menggunakan asuransi jiwa untuk perlindungan
key-man atau manfaat korporasi lainnya harus menyadari bahwa pembayaran
klaim akan menambah penghasilan kena pajak mereka.
5. Asuransi
Beasiswa untuk Non-Karyawan
●
Premi Dibayar Perusahaan: Premi asuransi beasiswa
yang dibayarkan oleh pemberi kerja (perusahaan) untuk non-karyawan (misalnya
anak dari karyawan, atau program CSR) dapat dibiayakan bagi perusahaan.26
●
Klaim Diterima Penerima Beasiswa: Pembayaran asuransi beasiswa dikecualikan dari objek PPh bagi
penerimanya (orang pribadi non-karyawan).2 Pengecualian ini bertujuan untuk mendorong kegiatan pendidikan.
Pengecualian klaim asuransi beasiswa dari PPh bagi penerima,
sementara premi yang dibayarkan dapat dibiayakan oleh perusahaan, merupakan
insentif pajak yang jelas untuk mendukung pendidikan. Kebijakan ini
mencerminkan pengakuan pemerintah terhadap manfaat sosial yang lebih luas dari
pendidikan. Dengan memberikan insentif ini, pemerintah mendorong inisiatif
tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang berorientasi pendidikan. Perusahaan
dapat secara efektif mengurangi beban pajak mereka sambil berkontribusi pada
pengembangan sumber daya manusia, dan penerima beasiswa mendapatkan manfaat
penuh tanpa pengurangan pajak.
6. Asuransi
Dwiguna (Endowment Insurance)
●
Premi Dibayar Perusahaan: Premi asuransi dwiguna
yang dibayar oleh pemberi kerja (perusahaan) dapat dibebankan sebagai biaya
bagi perusahaan.26 Bagi karyawan, premi tersebut merupakan penghasilan yang
merupakan objek PPh Pasal 21.26
●
Klaim Diterima Perusahaan/Pihak Lain: Klaim asuransi dwiguna berpotensi dikenakan PPh, terutama
komponen investasi/tabungannya.1 Perubahan dalam UU Cipta Kerja menggeser pengecualian objek
pajak dari semula mengacu ke jenis asuransi menjadi mengacu ke penyebab klaim
(yaitu karena kecelakaan, sakit, atau meninggalnya orang yang tertanggung).3 Ini berarti, jika
pemegang polis tidak mengalami peristiwa kemalangan (sakit, kecelakaan,
meninggal) tetapi melakukan klaim (misalnya karena berakhirnya masa polis atau
penarikan nilai tunai), maka pembayaran manfaat asuransi tersebut dapat menjadi
objek PPh.3
Perubahan definisi pengecualian objek PPh pada asuransi dwiguna
oleh UU Cipta Kerja memiliki dampak signifikan. Sebelumnya, asuransi dwiguna
secara spesifik dikecualikan dari objek pajak. Namun, dengan perubahan yang
mengacu pada penyebab klaim
(kecelakaan, sakit, atau meninggal dunia) daripada jenis asuransi 3, manfaat yang diterima dari asuransi dwiguna yang tidak
disebabkan oleh peristiwa kemalangan tersebut (misalnya, penarikan nilai tunai
pada akhir masa polis atau penarikan investasi) kini berpotensi dikenakan PPh.1 Hal ini mencerminkan
upaya otoritas pajak untuk memisahkan komponen proteksi dari komponen investasi
dalam produk asuransi. Jika manfaat yang diterima lebih merupakan hasil
investasi daripada kompensasi atas risiko yang diasuransikan, maka manfaat
tersebut akan dianggap sebagai penghasilan kena pajak. Perusahaan yang
mengelola polis dwiguna harus memahami implikasi ini dan mempertimbangkan
dampak pajak pada saat penarikan atau jatuh tempo polis yang tidak terkait
dengan peristiwa kemalangan.
IV. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas
Klaim Asuransi yang Diterima Perusahaan
A. Prinsip Umum PPN dalam Sektor Asuransi
Jasa asuransi secara umum merupakan objek PPN sebagaimana diatur
dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j nomor 5 UU PPN.11 Namun, perlu ditekankan
bahwa banyak jasa asuransi inti (seperti asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan
reasuransi) mendapatkan fasilitas PPN nol persen atau dibebaskan.11
Fokus pengenaan PPN dalam sektor asuransi saat ini lebih tertuju
pada jasa penunjang asuransi, seperti jasa agen asuransi, pialang asuransi, dan
pialang reasuransi. Hal ini diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.03/2022.5 PMK ini menetapkan tarif PPN dengan besaran tertentu dari
komisi atau imbalan yang diterima oleh agen atau pialang asuransi. Misalnya,
untuk agen asuransi, PPN dihitung sebesar 10% dari tarif PPN umum dikalikan
komisi, sementara untuk pialang asuransi atau pialang reasuransi, PPN dihitung
sebesar 20% dari tarif PPN umum dikalikan komisi.5
B. PPN atas Penerimaan Klaim Asuransi oleh
Perusahaan
Secara umum, penerimaan klaim asuransi dalam bentuk uang oleh
perusahaan tidak dikenakan PPN.5 PPN adalah pajak yang
dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di
dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya. Penerimaan klaim asuransi adalah penggantian atas kerugian atau
manfaat yang telah diasuransikan, bukan merupakan penyerahan BKP atau JKP. Oleh
karena itu, klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan tidak termasuk dalam
objek PPN.
Hal ini mengklarifikasi bahwa PPN tidak dikenakan pada klaim
yang diterima, melainkan pada jasa penunjang asuransi. PPN dikenakan pada
layanan yang diberikan oleh agen atau pialang asuransi, bukan pada pembayaran
klaim itu sendiri. Ini adalah perbedaan fundamental yang harus dipahami.
Penerimaan klaim asuransi oleh perusahaan, yang merupakan pembayaran kompensasi
atas kerugian, tidak memenuhi definisi penyerahan barang atau jasa yang
dikenakan PPN. Dengan demikian, perusahaan tidak perlu memungut atau menyetorkan
PPN atas klaim asuransi yang mereka terima.
●
Contoh Perhitungan PPN atas Jasa Pialang Asuransi (bukan Klaim):
○
Skenario: PT SAPI menggunakan
jasa pialang asuransi untuk mengurus polis asuransi kerugiannya. Pialang
asuransi tersebut menerima komisi sebesar Rp200.000.000 dari perusahaan
asuransi. Tarif PPN umum saat ini adalah 11%.
○
Perhitungan PPN yang dipungut oleh perusahaan asuransi atas jasa
pialang:
■
PPN = 20% x Tarif PPN
(UU PPN) x Komisi atau imbalan yang diterima oleh perusahaan pialang asuransi.5
■
PPN = 20% x 11% x
Rp200.000.000
■
PPN = 2.2% x
Rp200.000.000
■
PPN = Rp4.400.000 23
○
Perusahaan asuransi yang
membayarkan komisi kepada pialang asuransi wajib memungut, menyetor, dan
melaporkan PPN ini.12
V. Pengecualian dari Objek Pajak Penghasilan
Terkait Asuransi
A. Klaim yang Dikecualikan dari Objek PPh bagi
Orang Pribadi
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang PPh,
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa (karena meninggalnya
orang yang tertanggung), dan asuransi beasiswa dikecualikan dari objek pajak
penghasilan.2
Penting untuk dicatat bahwa UU Cipta Kerja mengubah redaksional
pengecualian ini. Sebelumnya, pengecualian mengacu pada jenis asuransi (kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan
beasiswa). Namun, setelah UU Cipta Kerja, pengecualian bergeser menjadi mengacu
pada penyebab klaim, yaitu pembayaran
klaim dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena
meninggalnya orang yang tertanggung, serta pembayaran asuransi beasiswa.2 Perubahan ini
menyiratkan bahwa jika klaim diterima bukan karena peristiwa kemalangan
tersebut (misalnya penarikan nilai tunai asuransi dwiguna tanpa kejadian
sakit/kecelakaan/meninggal), maka klaim tersebut berpotensi dikenakan PPh.1
B. Premi Asuransi sebagai Biaya yang Dapat
Dikurangkan
Premi asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan (pemberi kerja)
untuk kepentingan karyawannya, seperti premi asuransi kesehatan, asuransi
kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, dapat
dibebankan sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan dalam perhitungan PPh Badan.26
Namun, perlu diingat bahwa meskipun premi ini dapat dibiayakan
oleh perusahaan, bagi karyawan yang bersangkutan, premi tersebut umumnya
merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 21.26 Pengecualian atas objek
PPh 21 bagi karyawan hanya berlaku untuk natura/kenikmatan tertentu yang diatur
dalam PMK 66/2023, seperti fasilitas kesehatan yang merupakan kewajiban pemberi
kerja terkait kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.7
VI. Hal yang Harus Diperhatikan Perusahaan saat
Menerima Klaim Asuransi
Ketika sebuah perusahaan menerima penggantian klaim asuransi,
baik itu asuransi kerugian maupun jenis asuransi lainnya, ada beberapa aspek
krusial yang harus diperhatikan untuk memastikan kepatuhan perpajakan dan
pencatatan akuntansi yang benar:
A. Dokumentasi Lengkap
Perusahaan harus memastikan memiliki dokumentasi yang lengkap
dan memadai terkait peristiwa yang diasuransikan, proses klaim, dan penerimaan
klaim. Ini termasuk laporan kronologis kejadian, bukti kerugian (foto, laporan
kerusakan), dokumen klaim yang diajukan, surat persetujuan klaim dari
perusahaan asuransi, bukti penerimaan dana klaim (rekening koran), serta data
nilai buku fiskal aset yang relevan.9 Dokumentasi yang baik sangat penting untuk mendukung perlakuan
pajak yang diambil dan menghadapi potensi pemeriksaan pajak.
B. Pengakuan Pendapatan dan Beban
Perusahaan harus memahami waktu yang tepat untuk mengakui
pendapatan klaim asuransi dan membebankan kerugian terkait. Khusus untuk klaim
asuransi kerugian atas aset, PMK 72/2023 memberikan kejelasan mengenai
mekanisme pembebanan kerugian dan pengakuan penghasilan. Jika jumlah klaim baru
diketahui pasti di kemudian hari, nilai sisa buku fiskal yang dibebankan
sebagai kerugian baru dapat dibukukan pada tahun pajak diterimanya hasil
penggantian asuransi.6 Perusahaan dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal
Pajak untuk penundaan pembebanan kerugian ini.9 Kesalahan dalam waktu
pengakuan dapat menyebabkan distorsi pada penghasilan kena pajak dan potensi
sanksi.
C. Konsistensi Pelaporan
Pencatatan akuntansi atas klaim dan premi asuransi harus
konsisten dengan pelaporan pajak. Hal ini mencakup pengakuan pendapatan klaim
sebagai objek PPh Badan, pembebanan premi asuransi sebagai biaya, dan perlakuan
PPh Pasal 21 untuk premi asuransi karyawan. Ketidaksesuaian antara laporan
keuangan dan SPT Tahunan PPh Badan dapat menimbulkan pertanyaan dari otoritas
pajak.
D. Dampak pada PPh Badan
Penerimaan klaim asuransi, terutama klaim kerugian yang melebihi
nilai sisa buku fiskal aset, akan menambah penghasilan kena pajak perusahaan.22 Perusahaan harus
memperhitungkan potensi peningkatan beban PPh Badan akibat penerimaan klaim ini
dalam perencanaan keuangannya.
E. Perencanaan Pajak
Perusahaan perlu memasukkan skenario klaim asuransi dalam
perencanaan pajaknya untuk menghindari kejutan dalam pembayaran pajak.22 Ini melibatkan estimasi
potensi klaim, dampaknya terhadap penghasilan kena pajak, dan strategi untuk
mengelola kewajiban pajak yang timbul.
VII. Kendala dan Area Abu-abu Perpajakan Terkait
Klaim Asuransi
Meskipun peraturan perpajakan terkait asuransi telah berkembang,
beberapa kendala dan area abu-abu masih dapat muncul, menuntut kehati-hatian
dan interpretasi yang cermat dari pihak perusahaan.
A. Interpretasi Peraturan yang Dinamis
Salah satu kendala utama adalah sifat peraturan perpajakan yang
dinamis dan seringkali mengalami perubahan. Perubahan dalam UU Cipta Kerja dan
penerbitan PMK-PMK baru seperti PMK 66/2023, PMK 72/2023, dan PMK 168/2023 1 menunjukkan bahwa
pemahaman yang statis tidak lagi memadai. Perusahaan harus terus memantau dan
menginterpretasikan peraturan terbaru, yang terkadang menimbulkan
ketidakpastian dalam penerapannya. Ketidakpastian interpretasi regulasi baru
ini mengharuskan perusahaan untuk memiliki tim pajak yang kompeten atau
berkonsultasi dengan ahli pajak eksternal untuk memastikan kepatuhan.
B. Penentuan Nilai Klaim dan Nilai Buku Fiskal
Dalam kasus asuransi kerugian, penentuan nilai klaim yang tepat
dan rekonsiliasinya dengan nilai sisa buku fiskal aset dapat menjadi kompleks.
Terutama untuk kerugian sebagian atau aset dengan jadwal penyusutan yang unik,
proses ini memerlukan analisis yang cermat. Perbedaan waktu antara kejadian
kerugian dan penerimaan klaim juga dapat menimbulkan tantangan dalam pengakuan
fiskal, meskipun PMK 72/2023 telah memberikan solusi berupa penundaan
pembebanan kerugian.6
C. Perlakuan Natura/Kenikmatan
Perlakuan pajak atas asuransi kesehatan karyawan yang diberikan
dalam bentuk natura atau kenikmatan masih dapat menimbulkan area abu-abu.
Meskipun PMK 66/2023 telah memberikan batasan dan pengecualian yang lebih jelas
7, klasifikasi apakah
suatu manfaat asuransi merupakan natura yang dikenakan pajak atau fasilitas
yang dikecualikan tetap memerlukan penilaian yang hati-hati. Misalnya,
perbedaan antara pembayaran premi langsung ke asuransi pihak ketiga versus
penggantian tunai kepada karyawan memiliki implikasi pajak yang berbeda.5
D. Klaim Asuransi dengan Komponen Investasi
Asuransi dwiguna atau unit-link yang memiliki komponen investasi
seringkali menimbulkan kompleksitas perpajakan. Perdebatan muncul mengenai
apakah manfaat yang diterima dari komponen investasi ini harus dikenakan PPh,
terutama jika penarikan dilakukan bukan karena peristiwa yang diasuransikan
(sakit, kecelakaan, meninggal dunia).1 Meskipun ada ketentuan bahwa selisih lebih antara manfaat
tabungan dan premi yang dibayarkan dapat dikenakan PPh final 5, interpretasi dan
penerapannya masih bisa menjadi area diskusi dengan otoritas pajak, terutama
untuk produk-produk yang inovatif.
E. Transaksi dengan Pihak Luar Negeri
Pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi di luar
negeri merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26.11 Penentuan perkiraan
penghasilan neto dan tarif efektif PPh Pasal 26 yang berlaku (misalnya 10% dari
premi untuk tertanggung, 2% untuk perusahaan asuransi di Indonesia, atau 1%
untuk perusahaan reasuransi di Indonesia 18) memerlukan pemahaman mendalam tentang ketentuan pajak
internasional dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Kesalahan dalam
pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 26 dapat menimbulkan sanksi.
VIII. Pencatatan Asuransi dalam Laporan Keuangan
(PSAK)
Pencatatan akuntansi atas transaksi asuransi, baik premi maupun
klaim, harus sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku di
Indonesia untuk memastikan laporan keuangan yang relevan dan representatif.
A. Premi Asuransi Dibayar di Muka
Premi asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan untuk periode
pertanggungan di masa depan dicatat sebagai aset "Asuransi Dibayar di
Muka" (Prepaid Insurance).41 Aset ini merupakan bagian dari aset lancar dalam laporan posisi
keuangan.42 Seiring berjalannya
waktu atau berlalunya periode pertanggungan, nilai asuransi dibayar di muka ini
akan dialokasikan dan diakui sebagai beban asuransi dalam laporan laba rugi.
Penyusunan jurnal penyesuaian untuk beban dibayar di muka dapat
dilakukan melalui dua metode:
●
Pendekatan Neraca: Pada saat pembayaran,
seluruh premi dicatat sebagai aset. Jurnal penyesuaian dibuat pada akhir
periode untuk mengakui porsi yang telah menjadi beban. Contoh: PT Mei Bong
membayar premi asuransi Rp24.000.000 untuk 12 bulan pada Juni 2020. Jurnal umum
awal: (Db) Asuransi dibayar di muka Rp24.000.000 (Kr) Kas Rp24.000.000. Pada
Desember 2020, jurnal penyesuaian untuk 7 bulan (Juni-Desember) adalah: (Db)
Beban Asuransi Rp14.000.000 (Kr) Asuransi dibayar di muka Rp14.000.000.42
●
Pendekatan Laba-Rugi: Pada saat pembayaran,
seluruh premi dicatat sebagai beban. Jurnal penyesuaian dibuat pada akhir
periode untuk mengakui porsi yang belum menjadi beban (masih aset).
B. Pengakuan Klaim Asuransi
Penerimaan klaim asuransi oleh perusahaan diakui sebagai
pendapatan pada saat hak atas klaim tersebut diterima atau disepakati.29 Klaim yang disetujui,
klaim dalam proses penyelesaian, dan klaim yang terjadi namun belum dilaporkan,
diakui sebagai beban klaim pada saat timbulnya kewajiban untuk memenuhi klaim.44 Perubahan estimasi
liabilitas klaim diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya
perubahan.44
Dalam laporan laba rugi, klaim yang diterima dapat disajikan
sebagai pendapatan lain-lain atau sebagai pengurang beban terkait kerugian yang
terjadi, tergantung pada sifat klaim dan kebijakan akuntansi perusahaan. Jika
klaim asuransi berkaitan dengan penggantian aset yang rusak atau hilang, maka
penerimaan klaim ini akan mempengaruhi perhitungan keuntungan atau kerugian
atas pengalihan aset tersebut.
C. Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Terkait
Beberapa PSAK relevan yang mengatur akuntansi asuransi di
Indonesia meliputi:
●
PSAK 74 (Kontrak Asuransi): PSAK
ini mengadopsi IFRS 17 Insurance
Contracts dan menetapkan prinsip pengakuan, pengukuran, penyajian, dan
pengungkapan kontrak asuransi. PSAK 74 berlaku efektif untuk periode tahun buku
yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2022 (dengan penerapan dini
diperbolehkan), dan akan menjadi mandatori pada 1 Januari 2025.45 Tujuannya adalah
memastikan entitas menyediakan informasi yang relevan dan merepresentasikan
secara tepat mengenai kontrak asuransi.45 PSAK 74 mengatur pengukuran kelompok kontrak asuransi
berdasarkan nilai total arus kas pemenuhan (
fulfilment cash flows) dan marjin jasa kontraktual (contractual service margin).45
●
PSAK 28 (Akuntansi Asuransi Kerugian) dan PSAK 62 (Kontrak
Asuransi): Sebelum berlakunya PSAK 74 secara penuh,
PSAK 28 dan PSAK 62 adalah standar utama untuk akuntansi asuransi. PSAK 28
mengatur pengakuan pendapatan premi dan beban klaim untuk asuransi kerugian,
termasuk cadangan premi dan cadangan klaim.29 PSAK 62 mengatur pengklasifikasian kontrak asuransi dan
investasi.47 Meskipun PSAK 74 akan menggantikan sebagian besar ketentuan
ini, pemahaman atas standar lama tetap relevan untuk periode sebelumnya dan
transisi.
●
PSAK 108 (Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah): Standar ini khusus mengatur akuntansi untuk transaksi asuransi
syariah, termasuk pengakuan kontribusi peserta dan pembayaran manfaat atau
klaim yang berasal dari dana peserta kolektif (dana tabarru').48
●
PSAK 23 (Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan): Meskipun PSAK 74 adalah standar utama untuk kontrak asuransi,
PSAK 23 dapat relevan jika kontrak asuransi memiliki komponen non-asuransi yang
dapat dibedakan, seperti janji untuk menyediakan barang atau jasa non-asuransi.45
D. Dampak Penerapan PSAK 74
Penerapan PSAK 74 (adopsi IFRS 17) membawa perubahan signifikan
pada proses bisnis dan pencatatan akuntansi perusahaan asuransi. Perubahan ini
mencakup pengukuran pendapatan (liabilitas) kontrak asuransi, pendefinisian
kontrak asuransi, pembagian kontrak berdasarkan portofolio, dan perhitungan
penyesuaian risiko.46 Model pengukuran baru seperti
General Measurement
Model, Premium
Allocation Approach, dan Variable Fee
Approach akan mengubah General Ledger
Chart of Accounts perusahaan.46 Bagi perusahaan tertanggung, meskipun dampak langsungnya tidak
sebesar perusahaan asuransi, pemahaman tentang perubahan ini penting untuk
membaca dan menganalisis laporan keuangan perusahaan asuransi yang menjadi
mitra mereka.
IX. PPh atas Premi Asuransi Kesehatan Karyawan
(Dampak ke Orang Pribadi Karyawan)
A. Premi Dibayar Perusahaan
Ketika perusahaan membayarkan premi asuransi kesehatan untuk
para pekerjanya, premi tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto perusahaan dalam perhitungan PPh Badan.26 Namun, bagi karyawan
yang bersangkutan, premi asuransi kesehatan yang dibayarkan oleh pemberi kerja
ini merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 21.26 Premi ini akan menambah
penghasilan bruto karyawan yang menjadi dasar perhitungan PPh Pasal 21.
B. Perlakuan Natura/Kenikmatan (PMK 66/2023)
Perlakuan pajak atas premi asuransi kesehatan yang dibayar
perusahaan untuk karyawan menjadi lebih terperinci dengan berlakunya PMK Nomor
66 Tahun 2023. Secara umum, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
dan/atau kenikmatan merupakan objek PPh.5 Namun, PMK 66/2023 memberikan pengecualian untuk jenis
natura/kenikmatan tertentu.
Untuk fasilitas kesehatan yang diberikan dalam bentuk premi
polis kepada pihak ketiga (asuransi kesehatan), manfaat tersebut dapat
dikecualikan dari objek PPh bagi penerima (karyawan) jika memenuhi batasan
tertentu, yaitu jika diberikan dalam rangka penanganan:
●
Kecelakaan kerja 7
●
Penyakit akibat kerja 7
●
Kedaruratan penyelamatan
jiwa 7
●
Pengobatan lanjutan
sebagai akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja 7
Ketentuan ini didasarkan
pada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019, dan legitimasinya memerlukan surat
keterangan dari dokter/dokter spesialis.7
Penting untuk membedakan antara pemberian dalam bentuk
natura/kenikmatan dengan reimbursement
(penggantian uang tunai). Jika fasilitas kesehatan diberikan dalam skema reimbursement, di mana karyawan membayar
terlebih dahulu dan kemudian diganti dalam bentuk uang oleh perusahaan, maka
penggantian tersebut tidak termasuk dalam kategori natura/kenikmatan yang
dikecualikan. Oleh karena itu, reimbursement
dalam bentuk uang tetap merupakan objek PPh Pasal 21 bagi karyawan.5
C. Contoh Perhitungan PPh 21
Misalkan PT Sejahtera membayarkan premi asuransi kesehatan
sebesar Rp500.000 per bulan untuk setiap karyawannya. Premi ini akan
ditambahkan ke penghasilan bruto karyawan untuk perhitungan PPh Pasal 21.
Contoh Perhitungan PPh
21 untuk Karyawan (Premi Asuransi sebagai Penambah Penghasilan Bruto):
●
Skenario: Karyawan A, lajang,
menerima gaji pokok Rp8.000.000 per bulan. PT Sejahtera membayarkan premi
asuransi kesehatan untuk Karyawan A sebesar Rp500.000 per bulan.
●
Perhitungan PPh 21 (bulanan, asumsi tarif progresif PPh 21):
○
Gaji Pokok: Rp8.000.000
○
Premi Asuransi Kesehatan
(ditanggung perusahaan): Rp500.000
○
Penghasilan Bruto Bulanan:
Rp8.000.000 + Rp500.000 = Rp8.500.000
○
Biaya Jabatan (5% dari
Penghasilan Bruto, maks. Rp500.000/bulan) 8: 5% x Rp8.500.000 = Rp425.000
○
Penghasilan Neto Bulanan: Rp8.500.000 - Rp425.000
= Rp8.075.000
○
Penghasilan Neto
Disetahunkan: Rp8.075.000 x 12 = Rp96.900.000
○
PTKP (Wajib Pajak
Lajang, TK/0): Rp54.000.000 (sesuai PMK 101/PMK010/2016, meskipun PMK 168/2023
merujuk pada UU PPh Pasal 7 ayat (1) dan (3) 8)
○
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Disetahunkan: Rp96.900.000 - Rp54.000.000 = Rp42.900.000
○
PPh Pasal 21 Terutang Setahun:
■
5% x Rp42.900.000 = Rp2.145.000 (karena PKP di bawah
Rp60.000.000)
○
PPh Pasal 21 Terutang Bulanan:
Rp2.145.000 / 12 = Rp178.750
Dalam contoh ini, premi
asuransi kesehatan yang dibayarkan perusahaan menambah penghasilan bruto
karyawan, sehingga meningkatkan dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus
dipotong oleh perusahaan.
X. Perusahaan Mengasuransikan Karyawan, Manfaat
Diterima Perusahaan
A. PPh Badan
Jika perusahaan mengasuransikan karyawannya, tetapi yang
menerima manfaatnya adalah perusahaan itu sendiri (misalnya, dalam kasus
asuransi key-man untuk melindungi
perusahaan dari kerugian finansial akibat kehilangan karyawan kunci), maka
klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan tersebut merupakan objek Pajak
Penghasilan Badan.20 Penerimaan klaim ini dianggap sebagai tambahan kemampuan
ekonomis bagi perusahaan dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
Perlakuan ini berbeda dengan klaim asuransi yang diterima oleh
orang pribadi (karyawan atau ahli warisnya) yang mungkin dikecualikan dari
objek PPh (misalnya untuk asuransi jiwa karena meninggal dunia, asuransi
kesehatan, atau kecelakaan).2 Perbedaan ini timbul karena tujuan asuransi dari perspektif
perusahaan adalah untuk mitigasi risiko bisnis dan pemulihan kerugian ekonomi
yang dialami perusahaan, bukan sebagai kompensasi personal.
B. PPN
Penerimaan klaim asuransi dalam bentuk uang oleh perusahaan,
meskipun perusahaan adalah penerima manfaatnya, secara umum tidak dikenakan PPN.5 Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak. Penerimaan klaim asuransi adalah penggantian atas kerugian
atau manfaat yang telah diasuransikan, bukan merupakan penyerahan barang atau
jasa yang dikenakan PPN. PPN dalam konteks asuransi lebih berfokus pada jasa
asuransi itu sendiri (premi) atau jasa agen/pialang asuransi.11
XI. Kesimpulan
Perlakuan perpajakan atas klaim asuransi yang diterima oleh
perusahaan di Indonesia merupakan area yang kompleks, melibatkan berbagai jenis
pajak dan peraturan yang dinamis.
Dari sisi Pajak
Penghasilan (PPh), klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan secara umum
merupakan objek PPh Badan, karena dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis.
Hal ini berlaku untuk klaim asuransi kerugian, termasuk penggantian aset yang
rusak atau hilang, dan klaim asuransi jiwa di mana perusahaan adalah penerima
manfaat (misalnya asuransi key-man).
PMK 72/2023 memberikan fleksibilitas penting dalam pengakuan kerugian atas aset
yang diasuransikan, memungkinkan penundaan pembebanan kerugian hingga jumlah
klaim diketahui pasti, yang membantu perusahaan dalam perencanaan pajak dan
pelaporan yang akurat. Premi asuransi yang dibayar perusahaan untuk kepentingan
bisnisnya dapat dibiayakan. Untuk asuransi karyawan, premi yang dibayar
perusahaan umumnya menjadi objek PPh Pasal 21 bagi karyawan, kecuali untuk
natura/kenikmatan tertentu yang diatur dalam PMK 66/2023 terkait penanganan
kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. Klaim asuransi kesehatan,
kecelakaan, jiwa (karena meninggal), dan beasiswa yang diterima oleh orang
pribadi dikecualikan dari objek PPh. Namun, untuk asuransi dwiguna, manfaat
yang diterima yang tidak terkait dengan peristiwa kemalangan (sakit,
kecelakaan, meninggal) berpotensi dikenakan PPh akibat perubahan redaksional
dalam UU Cipta Kerja.
Dari sisi Pajak
Pertambahan Nilai (PPN), penerimaan klaim asuransi dalam bentuk uang oleh
perusahaan secara umum tidak dikenakan PPN, karena bukan merupakan penyerahan
barang atau jasa. Pengenaan PPN di sektor asuransi lebih difokuskan pada jasa
penunjang asuransi, seperti jasa agen asuransi, pialang asuransi, dan pialang
reasuransi, yang diatur secara spesifik dalam PMK 67/PMK.03/2022 dengan tarif
besaran tertentu dari komisi yang diterima. Jasa asuransi inti sendiri banyak
yang mendapatkan fasilitas PPN nol persen atau dibebaskan.
Pencatatan akuntansi harus mengikuti Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku,
terutama PSAK 74 (Kontrak Asuransi) yang mengadopsi IFRS 17, serta PSAK 28 dan
PSAK 62 untuk asuransi kerugian. Premi asuransi dicatat sebagai aset dibayar di
muka dan dialokasikan menjadi beban seiring berjalannya periode pertanggungan.
Klaim asuransi diakui sebagai pendapatan pada saat hak atas klaim diterima atau
disepakati.
Kendala dan area abu-abu seringkali muncul dari interpretasi peraturan yang dinamis,
kompleksitas penentuan nilai klaim dan nilai buku fiskal, klasifikasi
natura/kenikmatan, serta perlakuan pajak atas komponen investasi dalam produk
asuransi. Transaksi dengan pihak luar negeri juga menimbulkan tantangan terkait
pemotongan PPh Pasal 26.
Secara keseluruhan, pemahaman yang mendalam mengenai berbagai
peraturan perpajakan yang relevan dan konsistensi dalam pencatatan akuntansi
sangat penting bagi perusahaan untuk memastikan kepatuhan dan mengelola risiko
fiskal terkait transaksi asuransi. Perusahaan disarankan untuk terus memantau
pembaruan regulasi dan, jika perlu, mencari nasihat profesional untuk
menavigasi kompleksitas perpajakan asuransi.
Karya yang dikutip
1.
Waduh,
Klaim Asuransi Berpotensi Kena Pajak! - Suryani Suyanto & Associates,
diakses Agustus 5, 2025, https://www.ssas.co.id/waduh-klaim-asuransi-berpotensi-kena-pajak/
2.
Klaim
Asuransi Yang Dikenakan Pajak Setelah Omnibus Law - SM Consulting, diakses
Agustus 5, 2025, https://smconsult.co.id/id/klaim-asuransi-yang-dikenakan-pajak-setelah-omnibus-law/
3.
Apa
jadinya jika klaim asuransi Anda dipotong pajak penghasilan atau PPh?
Menariknya, terdapat perubahan klausul syarat terkait pengecualian klaim dalam
UU Cipta Kerja. - SF Consulting, diakses Agustus 5, 2025, https://sfconsulting.co.id/sf/?mod=berita&page=show&id=17140&q=&hlm=
4.
Soal
PPh di Klaim Asuransi, Ini Penjelasannya Ditjen Pajak - YouTube, diakses
Agustus 5, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=KMpTD560svU
5.
Aspek
Perpajakan Perusahaan Asuransi | Info Pajak Terbaru - Blog PajakInd, diakses
Agustus 5, 2025, https://blog.pajakind.com/aspek-perpajakan-perusahaan-asuransi/
6.
Mekanisme
Pembebanan Kerugian atas Harta yang Dapat Klaim ..., diakses Agustus 5, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1795954/mekanisme-pembebanan-kerugian-atas-harta-yang-dapat-klaim-asuransi
7.
KMS::
PPh atas Natura dalam PMK 66 Tahun 2023 - Bagian 2, diakses Agustus 5, 2025, https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/pph-atas-natura-dalam-pmk-66-tahun-2023-bagian-2-5a7704ee/detail/
8.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor: 168 Tahun 2023 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25454
9.
Mekanisme
Permohonan dan Contoh Pengakuan Kerugian atas Asuransi - PAJAK.COM, diakses
Agustus 5, 2025, https://www.pajak.com/pajak/mekanisme-permohonan-dan-contoh-pengakuan-kerugian-atas-asuransi/
10.
Dapat
Klaim Asuransi atas Aset Perusahaan, Begini Perlakuan Perpajakannya, diakses
Agustus 5, 2025, https://www.pajak.go.id/id/artikel/dapat-klaim-asuransi-atas-aset-perusahaan-begini-perlakuan-perpajakannya
11.
Jenis-Jenis
Asuransi dan Ketentuan Pajak atas Asuransi (2) - Konsultan Pajak Surabaya,
diakses Agustus 5, 2025, https://konsultanpajaksurabaya.com/jenis-jenis-asuransi-dan-ketentuan-pajak-atas-asuransi-2
12.
Peraturan
Menteri Keuangan Nomor: 67/PMK.03/2022 - Ortax - Data Center, diakses Agustus
5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/17756
13.
67/PMK.03/2022
tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa
Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasu - JDIH Kemenkeu, diakses Agustus 5,
2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/6766cbf9-dca8-418e-81bb-09695cde3310/67~PMK.03~2022Per.pdf
14.
Jasa
Asuransi Kena PPN per 1 April 2022 - Suryani Suyanto & Associates, diakses
Agustus 5, 2025, https://www.ssas.co.id/jasa-asuransi-kena-ppn-per-1-april-2022/
15.
PMK
No. 67/PMK.03/2022 - Peraturan BPK, diakses Agustus 5, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/215536/pmk-no-67pmk032022
16.
Baru!
Pemungutan Pajak Terhadap Jasa Asuransi - SIP Law Firm, diakses Agustus 5,
2025, https://siplawfirm.id/jasa-asuransi/?lang=id
17.
Kena
PPN, Agen Asuransi Harus Punya E-faktur ? | Direktorat Jenderal Pajak, diakses
Agustus 5, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/kena-ppn-agen-asuransi-harus-punya-e-faktur
18.
Industri
Asuransi - Pajak Industri - Perpajakan DDTC, diakses Agustus 5, 2025, https://perpajakan.ddtc.co.id/panduan-pajak/industri/industri-asuransi
19.
Nomor
112/PUU-XXI/2023 - Mahkamah Konstitusi RI, diakses Agustus 5, 2025, https://www.mkri.id/public/filepermohonan/Permohonan%20diRegistrasi_3310_2989_Permohonan%20Registrasi%20112%20PUU%20XXI%202023.pdf
20.
Putusan
Pengadilan Pajak Nomor : PUT.46527/PP/M.XII/15/2013 Jenis Pajak : Pajak
Penghasilan Badan Tahun Pajak : 2008 Pokok Sen, diakses Agustus 5, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/8071
21.
Klaim
Asuransi - Forum Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://forum.ortax.org/forums/discussion/klaim-asuransi/
22.
OBJEK
PAJAK ASURANSI DAN NON PAJAK ASURANSI - Kampus Akademik, diakses Agustus 5,
2025, https://ejurnal.kampusakademik.co.id/index.php/jiem/article/download/1889/1716/7417
23.
Pajak
Premi Asuransi, diakses Agustus 5, 2025, https://www.sharingpajak.co.id/pajak-premi-asuransi/
24.
Penghasilan
yang Bukan Objek PPh Pasal 21 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://ortax.org/penghasilan-yang-bukan-objek-pph-pasal-21
25.
Sri
Mulyani: Asuransi Kerugian, Asuransi Jiwa, hingga Reasuransi Tetap Dapat
Fasilitas PPN 0%, diakses Agustus 5, 2025, https://mediaasuransinews.co.id/news-in-brief/sri-mulyani-asuransi-kerugian-asuransi-jiwa-hingga-reasuransi-tetap-dapat-fasilitas-ppn-0/
26.
Pajak
Natura: Asuransi Karyawan, diakses Agustus 5, 2025, https://artikel.pajakku.com/pajak-natura-asuransi-karyawan
27.
PPh
Pasal 26 atas Pembayaran Premi Asuransi dan Premi Reasuransi ke Luar Negeri,
diakses Agustus 5, 2025, https://ortax.org/pph-pasal-26-atas-pembayaran-premi-asuransi-dan-reasuransi-ke-luar-negeri
28.
Pajak
Atas Premi Asuransi & Komponen Premi PPh 21 - OnlinePajak, diakses Agustus
5, 2025, https://www.online-pajak.com/tips-pph21/pajak-atas-premi-asuransi
29.
JIAKES
- Jurnal IBIK, diakses Agustus 5, 2025, https://jurnal.ibik.ac.id/index.php/jiakes/article/download/234/191/618
30.
Begini
Ketentuan Pajak Perusahaan Asuransi yang Harus Anda Pahami - Klikpajak, diakses
Agustus 5, 2025, https://klikpajak.id/blog/pajak-perusahaan-asuransi/
31.
SEKRETARIAT
PENGADILAN PAJAK, diakses Agustus 5, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/35611
32.
Apa
itu Reimbursement? Ini Panduan dan Ketentuannya dalam PPh 21 - Bee.id, diakses
Agustus 5, 2025, https://www.bee.id/blog/reimbursement/
33.
Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 19/PJ.23/1984 - Ortax - Data Center, diakses
Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/6679
34.
Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 09/PJ.42/1997 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025,
https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/2897
35.
UU
Cipta Kerja Bikin Asuransi Kena Pajak Penghasilan, Bagaimana Faktanya? -
Allianz, diakses Agustus 5, 2025, https://www.allianz.co.id/explore/uu-cipta-kerja-bikin-asuransi-kena-pajak-penghasilan-bagaimana-faktanya.html
36.
Article
Detail | Pencairan Polis Asuransi Jiwa Bebas Pajak - IFG Life, diakses Agustus
5, 2025, https://ifg-life.id/berita/article/asuransi/detail/pencairan-polis-asuransi-jiwa-bebas-pajak
37.
Pajak
Klaim Asuransi Dwiguna akan Turunkan Minat Berasuransi - Investor Daily,
diakses Agustus 5, 2025, https://investor.id/finance/233624/pajak-klaim-asuransi-dwiguna-akan-turunkan-minat-berasuransi
38.
Discussion
Batch 1 - FPSB Indonesia, diakses Agustus 5, 2025, http://www.fpsbindonesia.net/download/paperasset/paperasset%20seminar_TDS.pdf
39.
Pemajakan
pada Perusahaan Asuransi - Accounting BINUS, diakses Agustus 5, 2025, https://accounting.binus.ac.id/2021/12/09/pemajakan-pada-perusahaan-asuransi/
40.
Surat
Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 25/PJ.4/1995 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://1.ortax.org/ortax/aturan/show/2596
41.
Asuransi
Dibayar Dimuka: Pengertian, Contoh Kasus, dan Cara Mencatatnya, diakses Agustus
5, 2025, https://accurate.id/ekonomi-keuangan/asuransi-dibayar-dimuka/
42.
AKUNTANSI
BEBAN DIBAYAR DIMUKA/PREPAID EXPENSES - Accounting BINUS, diakses Agustus 5,
2025, https://accounting.binus.ac.id/2020/07/04/akuntansi-beban-dibayar-dimuka-prepaid-expenses/
43.
ANALISIS
PENGAKUAN PENDAPATAN KLAIM ASURANSI KESEHATAN BERDASARKAN PSAK 23 PADA RUMAH
SAKIT UMUM (RSU) 'AISYIYAH PADANG - Jurnal UMSB, diakses Agustus 5, 2025, https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/menaraekonomi/article/download/4855/pdf
44.
ANALISIS
PENGAKUAN PENDAPATAN DAN BEBAN MENURUT PSAK NO. 28 PADA PT. ASURANSI TRI
PAKARTA CABANG MANADO Eugenia Rosalie - Neliti, diakses Agustus 5, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/72525-ID-analisis-pengakuan-pendapatan-dan-beban.pdf
45.
PSAK
74 - Ikatan Akuntan Indonesia, diakses Agustus 5, 2025, http://www.iaiglobal.or.id/v03/files/file_sak/exposure-draft/DE%20PSAK%2074%20Kontrak%20Asuransi.pdf
46.
Analisis
Persiapan Persiapan Implementasi PSAK 74 pada Perusahaan Asuransi Indonesia
(Studi Kasus pada Perusahaan Asuransi X), diakses Agustus 5, 2025, https://owner.polgan.ac.id/index.php/owner/article/download/1392/839/7856
47.
Evaluasi
Penerapan PSAK No. 62 Mengenai Kontrak Asuransi dan PSAK No. 28 Mengenai
Akuntansi Kontrak Asuransi Kerugian - E-Journal UNSRAT, diakses Agustus 5,
2025, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lppmekososbudkum/article/download/45288/41039/103756
48.
AKUNTANSI
TRANSAKSI ASURANSI SYARIAH 108 - Ikatan Akuntan Indonesia, diakses Agustus 5,
2025, https://web.iaiglobal.or.id/assets/files/file_sak/exposure-draft/05_ED%20PSAK%20108%20Akuntansi%20Transaksi%20Asuransi%20Syariah.pdf
49.
Cara
Menghitung Tarif Pajak Progresif Agen Asuransi - Klikpajak, diakses Agustus 5,
2025, https://klikpajak.id/blog/memahami-pajak-progresif-agen-asuransi/
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.