Selasa, 05 Agustus 2025



I. Pendahuluan

 

A. Latar Belakang dan Pentingnya Pemahaman Perpajakan Asuransi

 

Asuransi merupakan instrumen krusial dalam strategi manajemen risiko perusahaan, melindungi aset dan keberlangsungan operasional dari berbagai ketidakpastian. Namun, perlakuan perpajakan atas premi yang dibayarkan dan klaim yang diterima oleh perusahaan seringkali kompleks, memerlukan pemahaman mendalam terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perubahan regulasi yang signifikan, seperti yang diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang mencakup perubahan UU Cipta Kerja, serta Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru (misalnya PMK 66/2023, PMK 72/2023, PMK 168/2023, PMK 67/2022), semakin menambah lapisan kompleksitas ini. Hal ini menuntut perusahaan untuk selalu mutakhir dalam pemahaman dan kepatuhan pajaknya guna menghindari risiko fiskal.

Peraturan yang terus berkembang, seperti UU Cipta Kerja yang mengubah pengecualian PPh untuk klaim individu 1, PMK 66/2023 dan PMK 168/2023 yang mengatur detail natura/kenikmatan 5, PMK 72/2023 yang membahas waktu pengakuan kerugian aset 6, dan PMK 67/2022 yang merinci PPN atas jasa asuransi 5, menunjukkan adanya upaya berkelanjutan dari otoritas pajak untuk menyempurnakan dan menyesuaikan aturan perpajakan dengan realitas ekonomi dan praktik bisnis yang terus berubah. Konsekuensi dari dinamika regulasi ini adalah bahwa kepatuhan pajak di sektor asuransi bukanlah proses statis, melainkan memerlukan pendekatan yang dinamis dan proaktif. Perusahaan harus senantiasa memantau pembaruan regulasi dan memastikan tim pajak serta keuangan internal memiliki pemahaman yang mutakhir.

 

B. Tujuan Laporan

 

Laporan ini bertujuan untuk memberikan panduan komprehensif mengenai perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan di Indonesia. Laporan ini dilengkapi dengan contoh perhitungan yang relevan, identifikasi pengecualian objek pajak, pembahasan mengenai kendala dan area abu-abu perpajakan yang sering muncul, serta panduan mengenai pencatatan akuntansi yang tepat sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku.

 

II. Tinjauan Umum Perpajakan Asuransi di Indonesia

 

 

A. Dasar Hukum Utama

 

Perlakuan perpajakan asuransi di Indonesia diatur secara spesifik dalam beberapa undang-undang dan peraturan pelaksana yang saling terkait:

     Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh): Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh, penghasilan didefinisikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan.18 Klaim asuransi, khususnya klaim kerugian, secara eksplisit dianggap sebagai objek PPh 20 karena meningkatkan kemampuan ekonomis perusahaan. Namun, terdapat pengecualian yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh, seperti pembayaran klaim asuransi tertentu kepada orang pribadi.2

     Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN): Jasa asuransi secara umum merupakan objek PPN sebagaimana diatur di Pasal 16B ayat (1a) huruf j nomor 5 UU PPN.11 Meskipun demikian, banyak jasa asuransi inti (seperti asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan reasuransi) mendapatkan fasilitas PPN nol persen atau dibebaskan.11

     Peraturan Menteri Keuangan (PMK): Beberapa PMK yang relevan meliputi:

     PMK Nomor 67/PMK.03/2022: Mengatur PPN atas penyerahan jasa agen asuransi, pialang asuransi, dan pialang reasuransi, dengan tarif besaran tertentu dari komisi yang diterima.5

     PMK Nomor 72/2023: Mengatur mekanisme pembebanan kerugian dan pengakuan penghasilan dalam hal terjadi pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi.6

     PMK Nomor 66/2023 dan PMK Nomor 168/2023: Relevan untuk perlakuan natura/kenikmatan terkait asuransi karyawan, khususnya dalam konteks PPh Pasal 21.5

Meskipun jasa asuransi secara prinsip merupakan objek PPN, peraturan perundang-undangan memberikan fasilitas PPN nol persen atau pembebasan untuk produk asuransi inti seperti asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan reasuransi.11 Hal ini menunjukkan adanya kebijakan pemerintah untuk mempromosikan aksesibilitas dan keterjangkauan layanan perlindungan finansial yang esensial, mengingat manfaat sosial dan ekonomi yang luas dari asuransi. Namun, perlu dicatat bahwa layanan penunjang yang diberikan oleh agen atau pialang asuransi tetap dikenakan PPN.5 Ini mencerminkan pendekatan yang lebih terarah dalam mengenakan pajak pada bagian-bagian tertentu dari rantai nilai asuransi. Perusahaan harus memahami perbedaan nuansa ini untuk memastikan penerapan aturan PPN yang benar pada setiap transaksi terkait asuransi.

 

B. Konsep Premi dan Klaim dalam Perspektif Pajak

 

Premi asuransi didefinisikan sebagai uang yang ditetapkan oleh perusahaan asuransi atau reasuransi dan disetujui oleh pemegang polis untuk dibayarkan kepada perusahaan.27 Dari perspektif perusahaan asuransi, premi ini merupakan penghasilan yang menjadi objek pajak.18 Dari sisi perusahaan tertanggung, premi asuransi dapat menjadi biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak, tergantung pada jenis asuransi dan pihak penerima manfaat.26

Klaim asuransi adalah pembayaran ganti rugi oleh perusahaan asuransi kepada tertanggung atas terjadinya peristiwa yang diasuransikan.29 Penerimaan klaim ini dapat menjadi objek PPh bagi penerimanya, kecuali jika terdapat ketentuan pengecualian yang diatur secara spesifik dalam undang-undang.1

Terdapat perbedaan perlakuan pajak yang mendasar antara premi yang dibayarkan sebagai biaya dan klaim yang diterima sebagai penghasilan. Premi yang dibayarkan oleh perusahaan umumnya dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi penghasilan bruto.26 Sebaliknya, klaim yang diterima oleh perusahaan secara umum dianggap sebagai penghasilan kena pajak 20, dengan pengecualian yang sebagian besar berlaku untuk penerima manfaat orang pribadi.2 Perbedaan ini menciptakan suatu kondisi asimetris dalam perlakuan pajak dari sudut pandang perusahaan tertanggung. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pajak bertujuan untuk mengenakan pajak atas peningkatan kemampuan ekonomi atau pemulihan kerugian yang sebelumnya telah dibebankan sebagai biaya. Oleh karena itu, perusahaan tidak dapat semata-mata memandang asuransi sebagai mekanisme pemulihan biaya murni, karena manfaat bersih dari pembayaran klaim akan berkurang akibat implikasi pajaknya. Pendekatan ini menuntut perencanaan pajak yang komprehensif, yang mempertimbangkan baik deduktibilitas premi maupun pajak atas klaim, untuk menilai dampak finansial asuransi secara akurat.

 

III. Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas Klaim Asuransi yang Diterima Perusahaan

 

 

A. Prinsip Umum Klaim Asuransi sebagai Objek PPh Badan

 

Secara umum, klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan merupakan tambahan kemampuan ekonomis dan oleh karenanya merupakan objek Pajak Penghasilan Badan.18 Hal ini konsisten dengan prinsip umum penghasilan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh. Khusus untuk klaim asuransi kerugian, penerimaan klaim dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku harta yang rusak atau hilang dibebankan sebagai kerugian pada tahun pajak yang bersangkutan.20

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 72/2023 secara khusus mengatur mekanisme pembebanan kerugian dan pengakuan penghasilan dalam hal terjadi pengalihan atau penarikan harta yang mendapatkan penggantian asuransi.6 Jika hasil penggantian asuransi baru dapat diketahui jumlahnya dengan pasti di masa kemudian, nilai sisa buku fiskal yang dibebankan sebagai kerugian baru bisa dibukukan sebagai beban pada tahun pajak diterimanya hasil penggantian asuransi.6 Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunda pembebanan kerugian ini.9 PMK 72/2023 ini memberikan kepastian hukum dan mengakomodir kebutuhan bisnis.10

Aturan ini menekankan pentingnya sinkronisasi pengakuan fiskal untuk klaim aset. Ketentuan dalam PMK 72/2023 yang memungkinkan penundaan pengakuan kerugian hingga jumlah klaim asuransi diketahui secara pasti, mengatasi tantangan praktis yang signifikan bagi perusahaan. Sebelumnya, kerugian dapat terjadi dalam satu tahun fiskal, sementara pembayaran klaim baru diselesaikan di tahun berikutnya, menyebabkan perbedaan waktu yang dapat mengganggu perhitungan penghasilan kena pajak. Kebijakan ini, yang bertujuan untuk mengakomodasi kebutuhan bisnis dan memberikan kepastian hukum 10, memungkinkan perusahaan untuk menyajikan gambaran yang lebih akurat mengenai dampak finansial bersih dari suatu peristiwa yang diasuransikan dalam satu periode pajak. Hal ini mengurangi potensi distorsi penghasilan kena pajak antar periode dan meminimalkan risiko temuan audit yang berkaitan dengan perbedaan waktu pengakuan. Oleh karena itu, perusahaan harus cermat dalam menyelaraskan pengakuan kerugian aset (sebagai biaya yang dapat dikurangkan) dengan pengakuan klaim asuransi (sebagai penghasilan) dalam perhitungan fiskal mereka.

 

B. Perlakuan PPh Berdasarkan Jenis Asuransi:

 

 

1. Asuransi Kerugian (Property & Casualty Insurance)

 

     Definisi dan Ruang Lingkup: Asuransi kerugian adalah jenis asuransi yang memberikan jasa untuk menanggulangi risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, serta tanggung jawab hukum terhadap pihak ketiga, yang muncul karena suatu peristiwa yang tidak pasti.30

     Perlakuan PPh atas Penerimaan Klaim: Klaim asuransi kerugian yang diterima oleh perusahaan merupakan objek PPh Badan.20 Mekanisme pembebanan kerugian atas harta yang mendapatkan penggantian asuransi diatur secara rinci dalam PMK 72/2023.6 Jika hasil penggantian asuransi baru dapat diketahui jumlahnya dengan pasti di masa kemudian, nilai sisa buku fiskal yang dibebankan sebagai kerugian baru bisa dibukukan sebagai beban pada tahun pajak diterimanya hasil penggantian asuransi.6 Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunda pembebanan kerugian ini.9 PMK 72/2023 ini memberikan kepastian hukum dan mengakomodir kebutuhan bisnis.10
Ketentuan dalam PMK 72/2023 yang memungkinkan penundaan pengakuan kerugian hingga jumlah klaim asuransi diketahui secara pasti, menunjukkan adanya fleksibilitas pengakuan kerugian untuk klaim yang tertunda sebagai bentuk akomodasi bisnis. Ini adalah respons terhadap tantangan praktis yang dihadapi perusahaan ketika kerugian terjadi di satu tahun fiskal, tetapi jumlah klaim asuransi baru dapat dipastikan di tahun berikutnya. Fleksibilitas ini memungkinkan perusahaan untuk mencatat dampak finansial bersih dari peristiwa yang diasuransikan dalam satu periode pajak, daripada memecahnya di beberapa periode. Hal ini tidak hanya menyederhanakan pelaporan pajak tetapi juga memberikan gambaran yang lebih akurat tentang kinerja keuangan perusahaan setelah peristiwa yang diasuransikan.

     Contoh Perhitungan PPh Klaim Asuransi Kerugian:

     Situasi 1: Klaim Mobil yang Dijual Terlebih Dahulu (Total Loss)

     Skenario: PT Maju Jaya memiliki mobil operasional yang dibeli dengan harga perolehan Rp300.000.000. Akumulasi penyusutan fiskal hingga akhir tahun 2023 adalah Rp100.000.000. Pada Januari 2024, mobil tersebut mengalami kecelakaan parah dan dinyatakan total loss oleh perusahaan asuransi. PT Maju Jaya menerima klaim asuransi sebesar Rp180.000.000. Mobil rusak tersebut kemudian dijual sebagai rongsokan dengan nilai Rp20.000.000.

     Perhitungan:

     Harga Perolehan Mobil: Rp300.000.000

     Akumulasi Penyusutan Fiskal: Rp100.000.000

     Nilai Sisa Buku Fiskal: Rp300.000.000 - Rp100.000.000 = Rp200.000.000

     Penerimaan Klaim Asuransi: Rp180.000.000

     Nilai Jual Rongsokan: Rp20.000.000

     Total Penerimaan (Klaim + Jual Rongsokan): Rp180.000.000 + Rp20.000.000 = Rp200.000.000

     Perlakuan Pajak (sesuai Pasal 11 ayat (8) UU PPh dan PMK 72/2023):

     Keuntungan/Kerugian Pengalihan Harta = Total Penerimaan – Nilai Sisa Buku Fiskal

     Keuntungan/Kerugian = Rp200.000.000 - Rp200.000.000 = Rp0

     Dalam situasi ini, tidak ada keuntungan atau kerugian fiskal yang diakui karena total penerimaan dari klaim asuransi dan penjualan rongsokan persis menutupi nilai sisa buku fiskal aset. Jika total penerimaan melebihi nilai sisa buku, selisihnya akan menjadi keuntungan yang merupakan objek PPh. Sebaliknya, jika total penerimaan kurang dari nilai sisa buku, selisihnya akan menjadi kerugian yang dapat dibiayakan.

     Situasi 2: Klaim Bangunan Terbakar (Pengakuan Kerugian Tertunda)

     Skenario: PT Abadi Jaya memiliki bangunan pabrik dengan harga perolehan Rp5.000.000.000. Akumulasi penyusutan fiskal hingga akhir tahun 2023 adalah Rp1.500.000.000. Bangunan tersebut terbakar pada Oktober 2023. Nilai kerugian yang disepakati dengan perusahaan asuransi adalah Rp3.000.000.000, namun klaim baru disetujui dan dibayar pada Maret 2024.

     Perhitungan:

     Harga Perolehan Bangunan: Rp5.000.000.000

     Akumulasi Penyusutan Fiskal: Rp1.500.000.000

     Nilai Sisa Buku Fiskal: Rp5.000.000.000 - Rp1.500.000.000 = Rp3.500.000.000

     Penerimaan Klaim Asuransi: Rp3.000.000.000

     Perlakuan Pajak (sesuai PMK 72/2023):

     Karena klaim baru diketahui pasti dan diterima pada Maret 2024 (tahun pajak 2024), PT Abadi Jaya dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunda pembebanan kerugian atas bangunan tersebut pada tahun pajak diterimanya penggantian asuransi, yaitu tahun 2024.6

     Pada tahun pajak 2024:

     Kerugian Fiskal yang dibebankan = Nilai Sisa Buku Fiskal - Penerimaan Klaim Asuransi

     Kerugian Fiskal = Rp3.500.000.000 - Rp3.000.000.000 = Rp500.000.000

     Kerugian sebesar Rp500.000.000 ini dapat dibiayakan pada SPT Tahunan PPh Badan tahun 2024.

     Tabel Ilustrasi Perhitungan PPh Klaim Asuransi Kerugian

Skenario

Harga Perolehan Aset (Rp)

Akumulasi Penyusutan Fiskal (Rp)

Nilai Sisa Buku Fiskal (Rp)

Penerimaan Klaim Asuransi (Rp)

Nilai Jual Aset Rusak (Rp)

Total Penerimaan (Rp)

Keuntungan/Kerugian Fiskal (Rp)

Perlakuan PPh

Mobil Total Loss

300.000.000

100.000.000

200.000.000

180.000.000

20.000.000

200.000.000

0

Tidak ada objek PPh

Bangunan Terbakar

5.000.000.000

1.500.000.000

3.500.000.000

3.000.000.000

0

3.000.000.000

(500.000.000)

Biaya Fiskal

Mesin Rusak (Gain)

1.000.000.000

700.000.000

300.000.000

400.000.000

0

400.000.000

100.000.000

Objek PPh

 

2. Asuransi Kesehatan Karyawan (Employee Health Insurance)

 

     Premi Dibayar Perusahaan: Premi asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja (perusahaan) untuk kepentingan pegawainya dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan.26 Namun, bagi karyawan, premi tersebut merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21.26 Perlakuan ini memiliki nuansa penting terkait konsep natura/kenikmatan dan
reimbursement:

     Natura/Kenikmatan (PMK 66/2023 dan PMK 168/2023): Jika fasilitas kesehatan diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang merupakan kewajiban pemberi kerja berdasarkan peraturan pemerintah (misalnya terkait penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan penyelamatan jiwa, atau pengobatan lanjutan akibat kecelakaan/penyakit kerja), maka bagi penerima (karyawan) dikecualikan dari objek PPh Pasal 21.7 Bagi pemberi kerja (perusahaan), biaya tersebut tetap dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.7 Premi asuransi kesehatan yang dibayarkan perusahaan untuk karyawan juga dapat menjadi objek PPh Pasal 21 bagi karyawan sebagai penambah penghasilan bruto.5

     Reimbursement: Jika fasilitas kesehatan diberikan melalui skema reimbursement (penggantian biaya dalam bentuk uang tunai), maka bagi karyawan merupakan objek PPh Pasal 21 karena diterima dalam bentuk uang, bukan natura/kenikmatan yang dikecualikan.5 Bagi perusahaan, biaya ini dapat dikurangkan jika fasilitas tersebut diberikan sebagai bagian dari imbalan pekerjaan.7

Perlakuan pajak atas premi asuransi kesehatan karyawan telah mengalami pergeseran signifikan, terutama dengan adanya PMK 66/2023 dan PMK 168/2023. Premi yang dibayarkan oleh perusahaan untuk karyawan secara tradisional dianggap sebagai manfaat yang dikenakan PPh 21 bagi karyawan. Namun, peraturan terbaru memperkenalkan perbedaan penting untuk natura/kenikmatan. Kena pajak atau tidaknya manfaat kesehatan yang diberikan perusahaan kepada karyawan kini sangat bergantung pada cara pemberian manfaat tersebut (misalnya, pembayaran premi langsung ke pihak ketiga, penggantian tunai, atau fasilitas internal) dan tujuan spesifiknya (misalnya, kesehatan umum versus kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, atau keadaan darurat yang diwajibkan). Perusahaan harus cermat dalam mengkategorikan dan mendokumentasikan manfaat ini untuk memastikan pemotongan PPh 21 yang benar. Hal ini juga dapat mendorong perusahaan untuk mempertimbangkan kembali struktur manfaat kesehatan karyawan mereka agar dapat memanfaatkan ketentuan natura yang bebas pajak jika memungkinkan, menyeimbangkan kesejahteraan karyawan dengan efisiensi pajak.

     Klaim Diterima Karyawan: Pembayaran klaim dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan dikecualikan dari objek PPh Pasal 21.2 Pengecualian ini merupakan salah satu poin penting dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.

 

3. Asuransi Kecelakaan Kerja (Work Accident Insurance)

 

     Premi Dibayar Perusahaan: Iuran Asuransi Kecelakaan Kerja yang ditanggung seluruhnya oleh pemberi kerja merupakan biaya yang dapat dibebankan bagi perusahaan.28 Bagi karyawan, iuran ini secara umum merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh.33 

     Klaim Diterima Karyawan: Pembayaran klaim dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kecelakaan dikecualikan dari objek PPh Pasal 21.2 Ini konsisten dengan pengecualian untuk asuransi kesehatan.
Perlakuan pajak untuk asuransi kesehatan dan kecelakaan kerja menunjukkan suatu pola yang konsisten: klaim yang diterima oleh individu secara langsung dikecualikan dari PPh 2, sementara premi yang dibayarkan oleh pemberi kerja untuk asuransi-asuransi ini umumnya dianggap sebagai objek PPh 21 bagi karyawan.26 Hal ini mencerminkan pilihan kebijakan pemerintah untuk mengenakan pajak pada manfaat yang diterima dari pembayaran premi (karena dianggap sebagai bentuk kompensasi atau imbalan kerja bagi karyawan), tetapi tidak mengenakan pajak pada kompensasi aktual yang diterima individu ketika peristiwa buruk (sakit atau kecelakaan) terjadi. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip "kenyamanan pembayaran" (convenience of payment) 24, di mana pajak dipungut pada saat yang dianggap lebih "nyaman" atau "menyenangkan" bagi wajib pajak, yaitu ketika mereka menerima manfaat dari pembayaran premi, bukan saat mereka menghadapi konsekuensi finansial dari sakit atau cedera. Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk menghindari pengenaan pajak ganda atas manfaat ekonomi yang sama.

 

4. Asuransi Jiwa Karyawan (Perusahaan sebagai Ahli Waris)

 

     Premi Dibayar Perusahaan: Premi asuransi jiwa yang dibayar oleh pemberi kerja untuk kepentingan karyawannya dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan.26 Bagi karyawan, premi tersebut merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21.26

     Klaim Diterima Perusahaan: Jika perusahaan adalah ahli waris atau penerima manfaat dari polis asuransi jiwa karyawan (misalnya asuransi key-man), maka klaim yang diterima oleh perusahaan tersebut merupakan objek PPh Badan.20 Hal ini berbeda dengan klaim asuransi jiwa yang diterima oleh orang pribadi karena meninggalnya tertanggung, yang dikecualikan dari objek PPh.2 Jika klaim tersebut mencakup komponen investasi (misalnya asuransi unit link), selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dengan premi yang telah dibayarkan dapat dikenakan PPh final.5
Perlakuan klaim asuransi jiwa menunjukkan perbedaan signifikan berdasarkan entitas penerima manfaat. Klaim yang diterima oleh individu karena kematian tertanggung secara jelas dikecualikan dari PPh.2 Namun, ketika perusahaan menjadi penerima manfaat, klaim tersebut umumnya diperlakukan sebagai penghasilan kena pajak. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa setiap "tambahan kemampuan ekonomis" merupakan objek PPh.18 Penerimaan klaim oleh perusahaan dianggap meningkatkan kemampuan ekonomi perusahaan atau mengkompensasi kerugian bisnis (misalnya, kehilangan kontribusi karyawan kunci), berbeda dengan penerimaan oleh individu yang seringkali dipandang sebagai kompensasi atas kerugian pribadi atau manfaat sosial. Selain itu, jika polis asuransi jiwa memiliki komponen investasi (seperti unit link), selisih lebih antara manfaat tabungan yang diterima dan premi yang dibayarkan dapat dikenakan PPh final.5 Perusahaan yang menggunakan asuransi jiwa untuk perlindungan
key-man atau manfaat korporasi lainnya harus menyadari bahwa pembayaran klaim akan menambah penghasilan kena pajak mereka.

 

5. Asuransi Beasiswa untuk Non-Karyawan

 

     Premi Dibayar Perusahaan: Premi asuransi beasiswa yang dibayarkan oleh pemberi kerja (perusahaan) untuk non-karyawan (misalnya anak dari karyawan, atau program CSR) dapat dibiayakan bagi perusahaan.26

     Klaim Diterima Penerima Beasiswa: Pembayaran asuransi beasiswa dikecualikan dari objek PPh bagi penerimanya (orang pribadi non-karyawan).2 Pengecualian ini bertujuan untuk mendorong kegiatan pendidikan.
Pengecualian klaim asuransi beasiswa dari PPh bagi penerima, sementara premi yang dibayarkan dapat dibiayakan oleh perusahaan, merupakan insentif pajak yang jelas untuk mendukung pendidikan. Kebijakan ini mencerminkan pengakuan pemerintah terhadap manfaat sosial yang lebih luas dari pendidikan. Dengan memberikan insentif ini, pemerintah mendorong inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang berorientasi pendidikan. Perusahaan dapat secara efektif mengurangi beban pajak mereka sambil berkontribusi pada pengembangan sumber daya manusia, dan penerima beasiswa mendapatkan manfaat penuh tanpa pengurangan pajak.

 

6. Asuransi Dwiguna (Endowment Insurance)

 

     Premi Dibayar Perusahaan: Premi asuransi dwiguna yang dibayar oleh pemberi kerja (perusahaan) dapat dibebankan sebagai biaya bagi perusahaan.26 Bagi karyawan, premi tersebut merupakan penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 21.26

     Klaim Diterima Perusahaan/Pihak Lain: Klaim asuransi dwiguna berpotensi dikenakan PPh, terutama komponen investasi/tabungannya.1 Perubahan dalam UU Cipta Kerja menggeser pengecualian objek pajak dari semula mengacu ke jenis asuransi menjadi mengacu ke penyebab klaim (yaitu karena kecelakaan, sakit, atau meninggalnya orang yang tertanggung).3 Ini berarti, jika pemegang polis tidak mengalami peristiwa kemalangan (sakit, kecelakaan, meninggal) tetapi melakukan klaim (misalnya karena berakhirnya masa polis atau penarikan nilai tunai), maka pembayaran manfaat asuransi tersebut dapat menjadi objek PPh.3
Perubahan definisi pengecualian objek PPh pada asuransi dwiguna oleh UU Cipta Kerja memiliki dampak signifikan. Sebelumnya, asuransi dwiguna secara spesifik dikecualikan dari objek pajak. Namun, dengan perubahan yang mengacu pada penyebab klaim (kecelakaan, sakit, atau meninggal dunia) daripada jenis asuransi 3, manfaat yang diterima dari asuransi dwiguna yang tidak disebabkan oleh peristiwa kemalangan tersebut (misalnya, penarikan nilai tunai pada akhir masa polis atau penarikan investasi) kini berpotensi dikenakan PPh.1 Hal ini mencerminkan upaya otoritas pajak untuk memisahkan komponen proteksi dari komponen investasi dalam produk asuransi. Jika manfaat yang diterima lebih merupakan hasil investasi daripada kompensasi atas risiko yang diasuransikan, maka manfaat tersebut akan dianggap sebagai penghasilan kena pajak. Perusahaan yang mengelola polis dwiguna harus memahami implikasi ini dan mempertimbangkan dampak pajak pada saat penarikan atau jatuh tempo polis yang tidak terkait dengan peristiwa kemalangan.

 

IV. Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Klaim Asuransi yang Diterima Perusahaan

 

 

A. Prinsip Umum PPN dalam Sektor Asuransi

 

Jasa asuransi secara umum merupakan objek PPN sebagaimana diatur dalam Pasal 16B ayat (1a) huruf j nomor 5 UU PPN.11 Namun, perlu ditekankan bahwa banyak jasa asuransi inti (seperti asuransi jiwa, asuransi kerugian, dan reasuransi) mendapatkan fasilitas PPN nol persen atau dibebaskan.11

Fokus pengenaan PPN dalam sektor asuransi saat ini lebih tertuju pada jasa penunjang asuransi, seperti jasa agen asuransi, pialang asuransi, dan pialang reasuransi. Hal ini diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.03/2022.5 PMK ini menetapkan tarif PPN dengan besaran tertentu dari komisi atau imbalan yang diterima oleh agen atau pialang asuransi. Misalnya, untuk agen asuransi, PPN dihitung sebesar 10% dari tarif PPN umum dikalikan komisi, sementara untuk pialang asuransi atau pialang reasuransi, PPN dihitung sebesar 20% dari tarif PPN umum dikalikan komisi.5

 

B. PPN atas Penerimaan Klaim Asuransi oleh Perusahaan

 

Secara umum, penerimaan klaim asuransi dalam bentuk uang oleh perusahaan tidak dikenakan PPN.5 PPN adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Penerimaan klaim asuransi adalah penggantian atas kerugian atau manfaat yang telah diasuransikan, bukan merupakan penyerahan BKP atau JKP. Oleh karena itu, klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan tidak termasuk dalam objek PPN.

Hal ini mengklarifikasi bahwa PPN tidak dikenakan pada klaim yang diterima, melainkan pada jasa penunjang asuransi. PPN dikenakan pada layanan yang diberikan oleh agen atau pialang asuransi, bukan pada pembayaran klaim itu sendiri. Ini adalah perbedaan fundamental yang harus dipahami. Penerimaan klaim asuransi oleh perusahaan, yang merupakan pembayaran kompensasi atas kerugian, tidak memenuhi definisi penyerahan barang atau jasa yang dikenakan PPN. Dengan demikian, perusahaan tidak perlu memungut atau menyetorkan PPN atas klaim asuransi yang mereka terima.

     Contoh Perhitungan PPN atas Jasa Pialang Asuransi (bukan Klaim):

     Skenario: PT SAPI menggunakan jasa pialang asuransi untuk mengurus polis asuransi kerugiannya. Pialang asuransi tersebut menerima komisi sebesar Rp200.000.000 dari perusahaan asuransi. Tarif PPN umum saat ini adalah 11%.

     Perhitungan PPN yang dipungut oleh perusahaan asuransi atas jasa pialang:

     PPN = 20% x Tarif PPN (UU PPN) x Komisi atau imbalan yang diterima oleh perusahaan pialang asuransi.5

     PPN = 20% x 11% x Rp200.000.000

     PPN = 2.2% x Rp200.000.000

     PPN = Rp4.400.000 23

     Perusahaan asuransi yang membayarkan komisi kepada pialang asuransi wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN ini.12

 

V. Pengecualian dari Objek Pajak Penghasilan Terkait Asuransi

 

 

A. Klaim yang Dikecualikan dari Objek PPh bagi Orang Pribadi

 

Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang PPh, pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa (karena meninggalnya orang yang tertanggung), dan asuransi beasiswa dikecualikan dari objek pajak penghasilan.2

Penting untuk dicatat bahwa UU Cipta Kerja mengubah redaksional pengecualian ini. Sebelumnya, pengecualian mengacu pada jenis asuransi (kesehatan, kecelakaan, jiwa, dwiguna, dan beasiswa). Namun, setelah UU Cipta Kerja, pengecualian bergeser menjadi mengacu pada penyebab klaim, yaitu pembayaran klaim dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, serta pembayaran asuransi beasiswa.2 Perubahan ini menyiratkan bahwa jika klaim diterima bukan karena peristiwa kemalangan tersebut (misalnya penarikan nilai tunai asuransi dwiguna tanpa kejadian sakit/kecelakaan/meninggal), maka klaim tersebut berpotensi dikenakan PPh.1

 

B. Premi Asuransi sebagai Biaya yang Dapat Dikurangkan

 

Premi asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan (pemberi kerja) untuk kepentingan karyawannya, seperti premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, dapat dibebankan sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dalam perhitungan PPh Badan.26

Namun, perlu diingat bahwa meskipun premi ini dapat dibiayakan oleh perusahaan, bagi karyawan yang bersangkutan, premi tersebut umumnya merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 21.26 Pengecualian atas objek PPh 21 bagi karyawan hanya berlaku untuk natura/kenikmatan tertentu yang diatur dalam PMK 66/2023, seperti fasilitas kesehatan yang merupakan kewajiban pemberi kerja terkait kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.7

 

VI. Hal yang Harus Diperhatikan Perusahaan saat Menerima Klaim Asuransi

 

Ketika sebuah perusahaan menerima penggantian klaim asuransi, baik itu asuransi kerugian maupun jenis asuransi lainnya, ada beberapa aspek krusial yang harus diperhatikan untuk memastikan kepatuhan perpajakan dan pencatatan akuntansi yang benar:

 

A. Dokumentasi Lengkap

 

Perusahaan harus memastikan memiliki dokumentasi yang lengkap dan memadai terkait peristiwa yang diasuransikan, proses klaim, dan penerimaan klaim. Ini termasuk laporan kronologis kejadian, bukti kerugian (foto, laporan kerusakan), dokumen klaim yang diajukan, surat persetujuan klaim dari perusahaan asuransi, bukti penerimaan dana klaim (rekening koran), serta data nilai buku fiskal aset yang relevan.9 Dokumentasi yang baik sangat penting untuk mendukung perlakuan pajak yang diambil dan menghadapi potensi pemeriksaan pajak.

 

B. Pengakuan Pendapatan dan Beban

 

Perusahaan harus memahami waktu yang tepat untuk mengakui pendapatan klaim asuransi dan membebankan kerugian terkait. Khusus untuk klaim asuransi kerugian atas aset, PMK 72/2023 memberikan kejelasan mengenai mekanisme pembebanan kerugian dan pengakuan penghasilan. Jika jumlah klaim baru diketahui pasti di kemudian hari, nilai sisa buku fiskal yang dibebankan sebagai kerugian baru dapat dibukukan pada tahun pajak diterimanya hasil penggantian asuransi.6 Perusahaan dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk penundaan pembebanan kerugian ini.9 Kesalahan dalam waktu pengakuan dapat menyebabkan distorsi pada penghasilan kena pajak dan potensi sanksi.

 

C. Konsistensi Pelaporan

 

Pencatatan akuntansi atas klaim dan premi asuransi harus konsisten dengan pelaporan pajak. Hal ini mencakup pengakuan pendapatan klaim sebagai objek PPh Badan, pembebanan premi asuransi sebagai biaya, dan perlakuan PPh Pasal 21 untuk premi asuransi karyawan. Ketidaksesuaian antara laporan keuangan dan SPT Tahunan PPh Badan dapat menimbulkan pertanyaan dari otoritas pajak.

 

D. Dampak pada PPh Badan

 

Penerimaan klaim asuransi, terutama klaim kerugian yang melebihi nilai sisa buku fiskal aset, akan menambah penghasilan kena pajak perusahaan.22 Perusahaan harus memperhitungkan potensi peningkatan beban PPh Badan akibat penerimaan klaim ini dalam perencanaan keuangannya.

 

E. Perencanaan Pajak

 

Perusahaan perlu memasukkan skenario klaim asuransi dalam perencanaan pajaknya untuk menghindari kejutan dalam pembayaran pajak.22 Ini melibatkan estimasi potensi klaim, dampaknya terhadap penghasilan kena pajak, dan strategi untuk mengelola kewajiban pajak yang timbul.

 

VII. Kendala dan Area Abu-abu Perpajakan Terkait Klaim Asuransi

 

Meskipun peraturan perpajakan terkait asuransi telah berkembang, beberapa kendala dan area abu-abu masih dapat muncul, menuntut kehati-hatian dan interpretasi yang cermat dari pihak perusahaan.

 

A. Interpretasi Peraturan yang Dinamis

 

Salah satu kendala utama adalah sifat peraturan perpajakan yang dinamis dan seringkali mengalami perubahan. Perubahan dalam UU Cipta Kerja dan penerbitan PMK-PMK baru seperti PMK 66/2023, PMK 72/2023, dan PMK 168/2023 1 menunjukkan bahwa pemahaman yang statis tidak lagi memadai. Perusahaan harus terus memantau dan menginterpretasikan peraturan terbaru, yang terkadang menimbulkan ketidakpastian dalam penerapannya. Ketidakpastian interpretasi regulasi baru ini mengharuskan perusahaan untuk memiliki tim pajak yang kompeten atau berkonsultasi dengan ahli pajak eksternal untuk memastikan kepatuhan.

 

B. Penentuan Nilai Klaim dan Nilai Buku Fiskal

 

Dalam kasus asuransi kerugian, penentuan nilai klaim yang tepat dan rekonsiliasinya dengan nilai sisa buku fiskal aset dapat menjadi kompleks. Terutama untuk kerugian sebagian atau aset dengan jadwal penyusutan yang unik, proses ini memerlukan analisis yang cermat. Perbedaan waktu antara kejadian kerugian dan penerimaan klaim juga dapat menimbulkan tantangan dalam pengakuan fiskal, meskipun PMK 72/2023 telah memberikan solusi berupa penundaan pembebanan kerugian.6

 

C. Perlakuan Natura/Kenikmatan

 

Perlakuan pajak atas asuransi kesehatan karyawan yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan masih dapat menimbulkan area abu-abu. Meskipun PMK 66/2023 telah memberikan batasan dan pengecualian yang lebih jelas 7, klasifikasi apakah suatu manfaat asuransi merupakan natura yang dikenakan pajak atau fasilitas yang dikecualikan tetap memerlukan penilaian yang hati-hati. Misalnya, perbedaan antara pembayaran premi langsung ke asuransi pihak ketiga versus penggantian tunai kepada karyawan memiliki implikasi pajak yang berbeda.5

 

D. Klaim Asuransi dengan Komponen Investasi

 

Asuransi dwiguna atau unit-link yang memiliki komponen investasi seringkali menimbulkan kompleksitas perpajakan. Perdebatan muncul mengenai apakah manfaat yang diterima dari komponen investasi ini harus dikenakan PPh, terutama jika penarikan dilakukan bukan karena peristiwa yang diasuransikan (sakit, kecelakaan, meninggal dunia).1 Meskipun ada ketentuan bahwa selisih lebih antara manfaat tabungan dan premi yang dibayarkan dapat dikenakan PPh final 5, interpretasi dan penerapannya masih bisa menjadi area diskusi dengan otoritas pajak, terutama untuk produk-produk yang inovatif.

 

E. Transaksi dengan Pihak Luar Negeri

 

Pembayaran premi asuransi kepada perusahaan asuransi di luar negeri merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26.11 Penentuan perkiraan penghasilan neto dan tarif efektif PPh Pasal 26 yang berlaku (misalnya 10% dari premi untuk tertanggung, 2% untuk perusahaan asuransi di Indonesia, atau 1% untuk perusahaan reasuransi di Indonesia 18) memerlukan pemahaman mendalam tentang ketentuan pajak internasional dan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B). Kesalahan dalam pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 26 dapat menimbulkan sanksi.

 

VIII. Pencatatan Asuransi dalam Laporan Keuangan (PSAK)

 

Pencatatan akuntansi atas transaksi asuransi, baik premi maupun klaim, harus sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku di Indonesia untuk memastikan laporan keuangan yang relevan dan representatif.

 

A. Premi Asuransi Dibayar di Muka

 

Premi asuransi yang dibayarkan oleh perusahaan untuk periode pertanggungan di masa depan dicatat sebagai aset "Asuransi Dibayar di Muka" (Prepaid Insurance).41 Aset ini merupakan bagian dari aset lancar dalam laporan posisi keuangan.42 Seiring berjalannya waktu atau berlalunya periode pertanggungan, nilai asuransi dibayar di muka ini akan dialokasikan dan diakui sebagai beban asuransi dalam laporan laba rugi.

Penyusunan jurnal penyesuaian untuk beban dibayar di muka dapat dilakukan melalui dua metode:

     Pendekatan Neraca: Pada saat pembayaran, seluruh premi dicatat sebagai aset. Jurnal penyesuaian dibuat pada akhir periode untuk mengakui porsi yang telah menjadi beban. Contoh: PT Mei Bong membayar premi asuransi Rp24.000.000 untuk 12 bulan pada Juni 2020. Jurnal umum awal: (Db) Asuransi dibayar di muka Rp24.000.000 (Kr) Kas Rp24.000.000. Pada Desember 2020, jurnal penyesuaian untuk 7 bulan (Juni-Desember) adalah: (Db) Beban Asuransi Rp14.000.000 (Kr) Asuransi dibayar di muka Rp14.000.000.42

     Pendekatan Laba-Rugi: Pada saat pembayaran, seluruh premi dicatat sebagai beban. Jurnal penyesuaian dibuat pada akhir periode untuk mengakui porsi yang belum menjadi beban (masih aset).

 

B. Pengakuan Klaim Asuransi

 

Penerimaan klaim asuransi oleh perusahaan diakui sebagai pendapatan pada saat hak atas klaim tersebut diterima atau disepakati.29 Klaim yang disetujui, klaim dalam proses penyelesaian, dan klaim yang terjadi namun belum dilaporkan, diakui sebagai beban klaim pada saat timbulnya kewajiban untuk memenuhi klaim.44 Perubahan estimasi liabilitas klaim diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya perubahan.44

Dalam laporan laba rugi, klaim yang diterima dapat disajikan sebagai pendapatan lain-lain atau sebagai pengurang beban terkait kerugian yang terjadi, tergantung pada sifat klaim dan kebijakan akuntansi perusahaan. Jika klaim asuransi berkaitan dengan penggantian aset yang rusak atau hilang, maka penerimaan klaim ini akan mempengaruhi perhitungan keuntungan atau kerugian atas pengalihan aset tersebut.

 

C. Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Terkait

 

Beberapa PSAK relevan yang mengatur akuntansi asuransi di Indonesia meliputi:

     PSAK 74 (Kontrak Asuransi): PSAK ini mengadopsi IFRS 17 Insurance Contracts dan menetapkan prinsip pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan kontrak asuransi. PSAK 74 berlaku efektif untuk periode tahun buku yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2022 (dengan penerapan dini diperbolehkan), dan akan menjadi mandatori pada 1 Januari 2025.45 Tujuannya adalah memastikan entitas menyediakan informasi yang relevan dan merepresentasikan secara tepat mengenai kontrak asuransi.45 PSAK 74 mengatur pengukuran kelompok kontrak asuransi berdasarkan nilai total arus kas pemenuhan (
fulfilment cash flows) dan marjin jasa kontraktual (contractual service margin).45

     PSAK 28 (Akuntansi Asuransi Kerugian) dan PSAK 62 (Kontrak Asuransi): Sebelum berlakunya PSAK 74 secara penuh, PSAK 28 dan PSAK 62 adalah standar utama untuk akuntansi asuransi. PSAK 28 mengatur pengakuan pendapatan premi dan beban klaim untuk asuransi kerugian, termasuk cadangan premi dan cadangan klaim.29 PSAK 62 mengatur pengklasifikasian kontrak asuransi dan investasi.47 Meskipun PSAK 74 akan menggantikan sebagian besar ketentuan ini, pemahaman atas standar lama tetap relevan untuk periode sebelumnya dan transisi.

     PSAK 108 (Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah): Standar ini khusus mengatur akuntansi untuk transaksi asuransi syariah, termasuk pengakuan kontribusi peserta dan pembayaran manfaat atau klaim yang berasal dari dana peserta kolektif (dana tabarru').48

     PSAK 23 (Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan): Meskipun PSAK 74 adalah standar utama untuk kontrak asuransi, PSAK 23 dapat relevan jika kontrak asuransi memiliki komponen non-asuransi yang dapat dibedakan, seperti janji untuk menyediakan barang atau jasa non-asuransi.45

 

D. Dampak Penerapan PSAK 74

 

Penerapan PSAK 74 (adopsi IFRS 17) membawa perubahan signifikan pada proses bisnis dan pencatatan akuntansi perusahaan asuransi. Perubahan ini mencakup pengukuran pendapatan (liabilitas) kontrak asuransi, pendefinisian kontrak asuransi, pembagian kontrak berdasarkan portofolio, dan perhitungan penyesuaian risiko.46 Model pengukuran baru seperti

General Measurement Model, Premium Allocation Approach, dan Variable Fee Approach akan mengubah General Ledger Chart of Accounts perusahaan.46 Bagi perusahaan tertanggung, meskipun dampak langsungnya tidak sebesar perusahaan asuransi, pemahaman tentang perubahan ini penting untuk membaca dan menganalisis laporan keuangan perusahaan asuransi yang menjadi mitra mereka.

 

IX. PPh atas Premi Asuransi Kesehatan Karyawan (Dampak ke Orang Pribadi Karyawan)

 

 

A. Premi Dibayar Perusahaan

 

Ketika perusahaan membayarkan premi asuransi kesehatan untuk para pekerjanya, premi tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan dalam perhitungan PPh Badan.26 Namun, bagi karyawan yang bersangkutan, premi asuransi kesehatan yang dibayarkan oleh pemberi kerja ini merupakan penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 21.26 Premi ini akan menambah penghasilan bruto karyawan yang menjadi dasar perhitungan PPh Pasal 21.

 

B. Perlakuan Natura/Kenikmatan (PMK 66/2023)

 

Perlakuan pajak atas premi asuransi kesehatan yang dibayar perusahaan untuk karyawan menjadi lebih terperinci dengan berlakunya PMK Nomor 66 Tahun 2023. Secara umum, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan merupakan objek PPh.5 Namun, PMK 66/2023 memberikan pengecualian untuk jenis natura/kenikmatan tertentu.

Untuk fasilitas kesehatan yang diberikan dalam bentuk premi polis kepada pihak ketiga (asuransi kesehatan), manfaat tersebut dapat dikecualikan dari objek PPh bagi penerima (karyawan) jika memenuhi batasan tertentu, yaitu jika diberikan dalam rangka penanganan:

     Kecelakaan kerja 7

     Penyakit akibat kerja 7

     Kedaruratan penyelamatan jiwa 7

     Pengobatan lanjutan sebagai akibat kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja 7

Ketentuan ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019, dan legitimasinya memerlukan surat keterangan dari dokter/dokter spesialis.7

Penting untuk membedakan antara pemberian dalam bentuk natura/kenikmatan dengan reimbursement (penggantian uang tunai). Jika fasilitas kesehatan diberikan dalam skema reimbursement, di mana karyawan membayar terlebih dahulu dan kemudian diganti dalam bentuk uang oleh perusahaan, maka penggantian tersebut tidak termasuk dalam kategori natura/kenikmatan yang dikecualikan. Oleh karena itu, reimbursement dalam bentuk uang tetap merupakan objek PPh Pasal 21 bagi karyawan.5

 

C. Contoh Perhitungan PPh 21

 

Misalkan PT Sejahtera membayarkan premi asuransi kesehatan sebesar Rp500.000 per bulan untuk setiap karyawannya. Premi ini akan ditambahkan ke penghasilan bruto karyawan untuk perhitungan PPh Pasal 21.

Contoh Perhitungan PPh 21 untuk Karyawan (Premi Asuransi sebagai Penambah Penghasilan Bruto):

     Skenario: Karyawan A, lajang, menerima gaji pokok Rp8.000.000 per bulan. PT Sejahtera membayarkan premi asuransi kesehatan untuk Karyawan A sebesar Rp500.000 per bulan.

     Perhitungan PPh 21 (bulanan, asumsi tarif progresif PPh 21):

     Gaji Pokok: Rp8.000.000

     Premi Asuransi Kesehatan (ditanggung perusahaan): Rp500.000

     Penghasilan Bruto Bulanan: Rp8.000.000 + Rp500.000 = Rp8.500.000

     Biaya Jabatan (5% dari Penghasilan Bruto, maks. Rp500.000/bulan) 8: 5% x Rp8.500.000 = Rp425.000

     Penghasilan Neto Bulanan: Rp8.500.000 - Rp425.000 = Rp8.075.000

     Penghasilan Neto Disetahunkan: Rp8.075.000 x 12 = Rp96.900.000

     PTKP (Wajib Pajak Lajang, TK/0): Rp54.000.000 (sesuai PMK 101/PMK010/2016, meskipun PMK 168/2023 merujuk pada UU PPh Pasal 7 ayat (1) dan (3) 8)

     Penghasilan Kena Pajak (PKP) Disetahunkan: Rp96.900.000 - Rp54.000.000 = Rp42.900.000

     PPh Pasal 21 Terutang Setahun:

     5% x Rp42.900.000 = Rp2.145.000 (karena PKP di bawah Rp60.000.000)

     PPh Pasal 21 Terutang Bulanan: Rp2.145.000 / 12 = Rp178.750

Dalam contoh ini, premi asuransi kesehatan yang dibayarkan perusahaan menambah penghasilan bruto karyawan, sehingga meningkatkan dasar perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong oleh perusahaan.

 

X. Perusahaan Mengasuransikan Karyawan, Manfaat Diterima Perusahaan

 

 

A. PPh Badan

 

Jika perusahaan mengasuransikan karyawannya, tetapi yang menerima manfaatnya adalah perusahaan itu sendiri (misalnya, dalam kasus asuransi key-man untuk melindungi perusahaan dari kerugian finansial akibat kehilangan karyawan kunci), maka klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan tersebut merupakan objek Pajak Penghasilan Badan.20 Penerimaan klaim ini dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis bagi perusahaan dan harus dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.

Perlakuan ini berbeda dengan klaim asuransi yang diterima oleh orang pribadi (karyawan atau ahli warisnya) yang mungkin dikecualikan dari objek PPh (misalnya untuk asuransi jiwa karena meninggal dunia, asuransi kesehatan, atau kecelakaan).2 Perbedaan ini timbul karena tujuan asuransi dari perspektif perusahaan adalah untuk mitigasi risiko bisnis dan pemulihan kerugian ekonomi yang dialami perusahaan, bukan sebagai kompensasi personal.

 

B. PPN

 

Penerimaan klaim asuransi dalam bentuk uang oleh perusahaan, meskipun perusahaan adalah penerima manfaatnya, secara umum tidak dikenakan PPN.5 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, PPN dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Penerimaan klaim asuransi adalah penggantian atas kerugian atau manfaat yang telah diasuransikan, bukan merupakan penyerahan barang atau jasa yang dikenakan PPN. PPN dalam konteks asuransi lebih berfokus pada jasa asuransi itu sendiri (premi) atau jasa agen/pialang asuransi.11

 

XI. Kesimpulan

 

Perlakuan perpajakan atas klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan di Indonesia merupakan area yang kompleks, melibatkan berbagai jenis pajak dan peraturan yang dinamis.

Dari sisi Pajak Penghasilan (PPh), klaim asuransi yang diterima oleh perusahaan secara umum merupakan objek PPh Badan, karena dianggap sebagai tambahan kemampuan ekonomis. Hal ini berlaku untuk klaim asuransi kerugian, termasuk penggantian aset yang rusak atau hilang, dan klaim asuransi jiwa di mana perusahaan adalah penerima manfaat (misalnya asuransi key-man). PMK 72/2023 memberikan fleksibilitas penting dalam pengakuan kerugian atas aset yang diasuransikan, memungkinkan penundaan pembebanan kerugian hingga jumlah klaim diketahui pasti, yang membantu perusahaan dalam perencanaan pajak dan pelaporan yang akurat. Premi asuransi yang dibayar perusahaan untuk kepentingan bisnisnya dapat dibiayakan. Untuk asuransi karyawan, premi yang dibayar perusahaan umumnya menjadi objek PPh Pasal 21 bagi karyawan, kecuali untuk natura/kenikmatan tertentu yang diatur dalam PMK 66/2023 terkait penanganan kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja. Klaim asuransi kesehatan, kecelakaan, jiwa (karena meninggal), dan beasiswa yang diterima oleh orang pribadi dikecualikan dari objek PPh. Namun, untuk asuransi dwiguna, manfaat yang diterima yang tidak terkait dengan peristiwa kemalangan (sakit, kecelakaan, meninggal) berpotensi dikenakan PPh akibat perubahan redaksional dalam UU Cipta Kerja.

Dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), penerimaan klaim asuransi dalam bentuk uang oleh perusahaan secara umum tidak dikenakan PPN, karena bukan merupakan penyerahan barang atau jasa. Pengenaan PPN di sektor asuransi lebih difokuskan pada jasa penunjang asuransi, seperti jasa agen asuransi, pialang asuransi, dan pialang reasuransi, yang diatur secara spesifik dalam PMK 67/PMK.03/2022 dengan tarif besaran tertentu dari komisi yang diterima. Jasa asuransi inti sendiri banyak yang mendapatkan fasilitas PPN nol persen atau dibebaskan.

Pencatatan akuntansi harus mengikuti Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang berlaku, terutama PSAK 74 (Kontrak Asuransi) yang mengadopsi IFRS 17, serta PSAK 28 dan PSAK 62 untuk asuransi kerugian. Premi asuransi dicatat sebagai aset dibayar di muka dan dialokasikan menjadi beban seiring berjalannya periode pertanggungan. Klaim asuransi diakui sebagai pendapatan pada saat hak atas klaim diterima atau disepakati.

Kendala dan area abu-abu seringkali muncul dari interpretasi peraturan yang dinamis, kompleksitas penentuan nilai klaim dan nilai buku fiskal, klasifikasi natura/kenikmatan, serta perlakuan pajak atas komponen investasi dalam produk asuransi. Transaksi dengan pihak luar negeri juga menimbulkan tantangan terkait pemotongan PPh Pasal 26.

Secara keseluruhan, pemahaman yang mendalam mengenai berbagai peraturan perpajakan yang relevan dan konsistensi dalam pencatatan akuntansi sangat penting bagi perusahaan untuk memastikan kepatuhan dan mengelola risiko fiskal terkait transaksi asuransi. Perusahaan disarankan untuk terus memantau pembaruan regulasi dan, jika perlu, mencari nasihat profesional untuk menavigasi kompleksitas perpajakan asuransi.

Karya yang dikutip

1.    Waduh, Klaim Asuransi Berpotensi Kena Pajak! - Suryani Suyanto & Associates, diakses Agustus 5, 2025, https://www.ssas.co.id/waduh-klaim-asuransi-berpotensi-kena-pajak/

2.    Klaim Asuransi Yang Dikenakan Pajak Setelah Omnibus Law - SM Consulting, diakses Agustus 5, 2025, https://smconsult.co.id/id/klaim-asuransi-yang-dikenakan-pajak-setelah-omnibus-law/

3.    Apa jadinya jika klaim asuransi Anda dipotong pajak penghasilan atau PPh? Menariknya, terdapat perubahan klausul syarat terkait pengecualian klaim dalam UU Cipta Kerja. - SF Consulting, diakses Agustus 5, 2025, https://sfconsulting.co.id/sf/?mod=berita&page=show&id=17140&q=&hlm=

4.    Soal PPh di Klaim Asuransi, Ini Penjelasannya Ditjen Pajak - YouTube, diakses Agustus 5, 2025, https://www.youtube.com/watch?v=KMpTD560svU

5.    Aspek Perpajakan Perusahaan Asuransi | Info Pajak Terbaru - Blog PajakInd, diakses Agustus 5, 2025, https://blog.pajakind.com/aspek-perpajakan-perusahaan-asuransi/

6.    Mekanisme Pembebanan Kerugian atas Harta yang Dapat Klaim ..., diakses Agustus 5, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1795954/mekanisme-pembebanan-kerugian-atas-harta-yang-dapat-klaim-asuransi

7.    KMS:: PPh atas Natura dalam PMK 66 Tahun 2023 - Bagian 2, diakses Agustus 5, 2025, https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/pph-atas-natura-dalam-pmk-66-tahun-2023-bagian-2-5a7704ee/detail/

8.    Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 168 Tahun 2023 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25454

9.    Mekanisme Permohonan dan Contoh Pengakuan Kerugian atas Asuransi - PAJAK.COM, diakses Agustus 5, 2025, https://www.pajak.com/pajak/mekanisme-permohonan-dan-contoh-pengakuan-kerugian-atas-asuransi/

10.  Dapat Klaim Asuransi atas Aset Perusahaan, Begini Perlakuan Perpajakannya, diakses Agustus 5, 2025, https://www.pajak.go.id/id/artikel/dapat-klaim-asuransi-atas-aset-perusahaan-begini-perlakuan-perpajakannya

11.  Jenis-Jenis Asuransi dan Ketentuan Pajak atas Asuransi (2) - Konsultan Pajak Surabaya, diakses Agustus 5, 2025, https://konsultanpajaksurabaya.com/jenis-jenis-asuransi-dan-ketentuan-pajak-atas-asuransi-2

12.  Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 67/PMK.03/2022 - Ortax - Data Center, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/17756

13.  67/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Agen Asuransi, Jasa Pialang Asuransi, dan Jasa Pialang Reasu - JDIH Kemenkeu, diakses Agustus 5, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/6766cbf9-dca8-418e-81bb-09695cde3310/67~PMK.03~2022Per.pdf

14.  Jasa Asuransi Kena PPN per 1 April 2022 - Suryani Suyanto & Associates, diakses Agustus 5, 2025, https://www.ssas.co.id/jasa-asuransi-kena-ppn-per-1-april-2022/

15.  PMK No. 67/PMK.03/2022 - Peraturan BPK, diakses Agustus 5, 2025, https://peraturan.bpk.go.id/Details/215536/pmk-no-67pmk032022

16.  Baru! Pemungutan Pajak Terhadap Jasa Asuransi - SIP Law Firm, diakses Agustus 5, 2025, https://siplawfirm.id/jasa-asuransi/?lang=id

17.  Kena PPN, Agen Asuransi Harus Punya E-faktur ? | Direktorat Jenderal Pajak, diakses Agustus 5, 2025, https://pajak.go.id/id/artikel/kena-ppn-agen-asuransi-harus-punya-e-faktur

18.  Industri Asuransi - Pajak Industri - Perpajakan DDTC, diakses Agustus 5, 2025, https://perpajakan.ddtc.co.id/panduan-pajak/industri/industri-asuransi

19.  Nomor 112/PUU-XXI/2023 - Mahkamah Konstitusi RI, diakses Agustus 5, 2025, https://www.mkri.id/public/filepermohonan/Permohonan%20diRegistrasi_3310_2989_Permohonan%20Registrasi%20112%20PUU%20XXI%202023.pdf

20.  Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT.46527/PP/M.XII/15/2013 Jenis Pajak : Pajak Penghasilan Badan Tahun Pajak : 2008 Pokok Sen, diakses Agustus 5, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/8071

21.  Klaim Asuransi - Forum Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://forum.ortax.org/forums/discussion/klaim-asuransi/

22.  OBJEK PAJAK ASURANSI DAN NON PAJAK ASURANSI - Kampus Akademik, diakses Agustus 5, 2025, https://ejurnal.kampusakademik.co.id/index.php/jiem/article/download/1889/1716/7417

23.  Pajak Premi Asuransi, diakses Agustus 5, 2025, https://www.sharingpajak.co.id/pajak-premi-asuransi/

24.  Penghasilan yang Bukan Objek PPh Pasal 21 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://ortax.org/penghasilan-yang-bukan-objek-pph-pasal-21

25.  Sri Mulyani: Asuransi Kerugian, Asuransi Jiwa, hingga Reasuransi Tetap Dapat Fasilitas PPN 0%, diakses Agustus 5, 2025, https://mediaasuransinews.co.id/news-in-brief/sri-mulyani-asuransi-kerugian-asuransi-jiwa-hingga-reasuransi-tetap-dapat-fasilitas-ppn-0/

26.  Pajak Natura: Asuransi Karyawan, diakses Agustus 5, 2025, https://artikel.pajakku.com/pajak-natura-asuransi-karyawan

27.  PPh Pasal 26 atas Pembayaran Premi Asuransi dan Premi Reasuransi ke Luar Negeri, diakses Agustus 5, 2025, https://ortax.org/pph-pasal-26-atas-pembayaran-premi-asuransi-dan-reasuransi-ke-luar-negeri

28.  Pajak Atas Premi Asuransi & Komponen Premi PPh 21 - OnlinePajak, diakses Agustus 5, 2025, https://www.online-pajak.com/tips-pph21/pajak-atas-premi-asuransi

29.  JIAKES - Jurnal IBIK, diakses Agustus 5, 2025, https://jurnal.ibik.ac.id/index.php/jiakes/article/download/234/191/618

30.  Begini Ketentuan Pajak Perusahaan Asuransi yang Harus Anda Pahami - Klikpajak, diakses Agustus 5, 2025, https://klikpajak.id/blog/pajak-perusahaan-asuransi/

31.  SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK, diakses Agustus 5, 2025, https://setpp.kemenkeu.go.id/risalah/ambilFileDariDisk/35611

32.  Apa itu Reimbursement? Ini Panduan dan Ketentuannya dalam PPh 21 - Bee.id, diakses Agustus 5, 2025, https://www.bee.id/blog/reimbursement/

33.  Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 19/PJ.23/1984 - Ortax - Data Center, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/6679

34.  Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 09/PJ.42/1997 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/2897

35.  UU Cipta Kerja Bikin Asuransi Kena Pajak Penghasilan, Bagaimana Faktanya? - Allianz, diakses Agustus 5, 2025, https://www.allianz.co.id/explore/uu-cipta-kerja-bikin-asuransi-kena-pajak-penghasilan-bagaimana-faktanya.html

36.  Article Detail | Pencairan Polis Asuransi Jiwa Bebas Pajak - IFG Life, diakses Agustus 5, 2025, https://ifg-life.id/berita/article/asuransi/detail/pencairan-polis-asuransi-jiwa-bebas-pajak

37.  Pajak Klaim Asuransi Dwiguna akan Turunkan Minat Berasuransi - Investor Daily, diakses Agustus 5, 2025, https://investor.id/finance/233624/pajak-klaim-asuransi-dwiguna-akan-turunkan-minat-berasuransi

38.  Discussion Batch 1 - FPSB Indonesia, diakses Agustus 5, 2025, http://www.fpsbindonesia.net/download/paperasset/paperasset%20seminar_TDS.pdf

39.  Pemajakan pada Perusahaan Asuransi - Accounting BINUS, diakses Agustus 5, 2025, https://accounting.binus.ac.id/2021/12/09/pemajakan-pada-perusahaan-asuransi/

40.  Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE - 25/PJ.4/1995 - Ortax, diakses Agustus 5, 2025, https://1.ortax.org/ortax/aturan/show/2596

41.  Asuransi Dibayar Dimuka: Pengertian, Contoh Kasus, dan Cara Mencatatnya, diakses Agustus 5, 2025, https://accurate.id/ekonomi-keuangan/asuransi-dibayar-dimuka/

42.  AKUNTANSI BEBAN DIBAYAR DIMUKA/PREPAID EXPENSES - Accounting BINUS, diakses Agustus 5, 2025, https://accounting.binus.ac.id/2020/07/04/akuntansi-beban-dibayar-dimuka-prepaid-expenses/

43.  ANALISIS PENGAKUAN PENDAPATAN KLAIM ASURANSI KESEHATAN BERDASARKAN PSAK 23 PADA RUMAH SAKIT UMUM (RSU) 'AISYIYAH PADANG - Jurnal UMSB, diakses Agustus 5, 2025, https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/menaraekonomi/article/download/4855/pdf

44.  ANALISIS PENGAKUAN PENDAPATAN DAN BEBAN MENURUT PSAK NO. 28 PADA PT. ASURANSI TRI PAKARTA CABANG MANADO Eugenia Rosalie - Neliti, diakses Agustus 5, 2025, https://media.neliti.com/media/publications/72525-ID-analisis-pengakuan-pendapatan-dan-beban.pdf

45.  PSAK 74 - Ikatan Akuntan Indonesia, diakses Agustus 5, 2025, http://www.iaiglobal.or.id/v03/files/file_sak/exposure-draft/DE%20PSAK%2074%20Kontrak%20Asuransi.pdf

46.  Analisis Persiapan Persiapan Implementasi PSAK 74 pada Perusahaan Asuransi Indonesia (Studi Kasus pada Perusahaan Asuransi X), diakses Agustus 5, 2025, https://owner.polgan.ac.id/index.php/owner/article/download/1392/839/7856

47.  Evaluasi Penerapan PSAK No. 62 Mengenai Kontrak Asuransi dan PSAK No. 28 Mengenai Akuntansi Kontrak Asuransi Kerugian - E-Journal UNSRAT, diakses Agustus 5, 2025, https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lppmekososbudkum/article/download/45288/41039/103756

48.  AKUNTANSI TRANSAKSI ASURANSI SYARIAH 108 - Ikatan Akuntan Indonesia, diakses Agustus 5, 2025, https://web.iaiglobal.or.id/assets/files/file_sak/exposure-draft/05_ED%20PSAK%20108%20Akuntansi%20Transaksi%20Asuransi%20Syariah.pdf

49.  Cara Menghitung Tarif Pajak Progresif Agen Asuransi - Klikpajak, diakses Agustus 5, 2025, https://klikpajak.id/blog/memahami-pajak-progresif-agen-asuransi/

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.