Oleh Rizmy Otlani Novastria, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Modifikasi produk asuransi untuk menarik minat masyarakat semakin beragam. Tujuan utama dari asuransi murni yang merupakan alat manajemen risiko menjadi kurang menarik dikarenakan preferensi masyarakat yang cenderung memilih produk investasi dengan jaminan pengembalian dana plus imbal hasil di masa depan.
Sementara itu, asuransi murni dirasa hanya memberikan proteksi yang bersifat sementara. Dalam hal risiko yang ditanggungkan tidak terjadi, maka premi yang telah dibayar oleh pemegang polis akan hangus. Oleh karena itu perusahaan asuransi harus berpikir kreatif agar mampu mengemas produk asuransi ke dalam bentuk lain yang lebih menarik.
Maka diciptakanlah produk asuransi unit link yang merupakan perpaduan produk asuransi dengan produk investasi. Lalu bagaimanakah aspek perpajakan atas produk asuransi unit link ini?
Asuransi Unit Link Lebih Menggiurkan
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa fungsi utama dari asuransi adalah pengalihan resiko dari pemegang polis asuransi kepada perusahaan asuransi. Oleh karena itu, dalam hal ini tujuan dari perusahaan asuransi adalah memberikan perlindungan sesuai dengan risiko yang tercantum dalam kontrak (jiwa, kesehatan, pendidikan, pensiun, dsb.) dengan imbalan berupa premi yang dibayar rutin oleh pemegang polis.
Dalam asuransi tradisional atau pure insurance, premi ini merupakan bentuk jaminan dari pemegang polis bahwa risiko yang dialihkan akan menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi. Dapat dibayangkan satu perusahaan asuransi menanggung risiko dari ratusan bahkan ribuan pemegang polis yang bisa saja setiap pemegang polis mengajukan klaim dalam waktu yang bersamaan.
Tentu saja risiko lapse atau gagal klaim dapat terjadi. Sementara kontrak pure insurance benar-benar menyatakan bahwa tanggung jawab penanggungan resiko berada di pihak perusahaan asuransi. Oleh karena itu, semua perusahaan asuransi pasti juga dicover oleh beberapa perusahaan reasurasi di belakangnya yang bertindak sebagai reasuradur untuk risk sharing.
Bagaimanapun juga bisnis perusahaan asuransi ini memikul risiko tinggi yang penuh ketidakpastian bagi perusahaan asuransi. Oleh karena itu, pemerintah memberikan perlakuan perpajakan khusus bagi cadangan premi asuransi yang deductible sesuai dengan PMK-219/PMK.011/2012 perubahan dari PMK-81/PMK.03/2009 mengenai pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya.
Cadangan ini nantinya akan digunakan untuk membayar klaim pemegang polis yang terjadi. Sementara itu, premi asuransi yang dibayarkan oleh pemegang polis sebagai jaminan merupakan penghasilan taxable non final bagi perusahaan asuransi pada saat dibayarnya premi sesuai dengan pasal 4 ayat 1 huruf n Undang-Undang PPh.
Tingginya risiko pada perusahaan asuransi ini menuntut perusahaan asuransi untuk terus berekspansi dengan cara menambah klien/pemegang polis. Oleh karena itu seringkali kita lihat bahwa pegawai asuransi membutuhkan teknik marketing dan komunikasi yang baik agar dapat merekrut klien baru.
Namun sayangnya, seiring berkembangnya pengetahuan masyarakat mengenai pengelolaan keuangan dan investasi, di samping sikap wealth oriented yang menjangkiti sebagian besar masyarakat, seberapa hebat kemampuan marketing pegawai asuransi dalam berkomunikasi tersebut menjadi kurang menarik selama ada nama “asuransi” yang ia bawa. Oleh karena itu, dibentuklah sebuah konsep baru bernama unit link untuk memikat masyarakat.
Produk asuransi unit link memang merupakan produk kompleks yang sulit dijelaskan baik dari segi akuntansi maupun prosedur pengelolaan polis. Akan tetapi, produk asuransi ini memiliki kekhasan tertentu yang berbeda dengan pure insurance.
Asuransi unit link memberikan keuntungan kepada pemegang polis dengan adanya dua manfaat dalam satu produk, yaitu manfaat proteksi serta manfaat investasi dimana premi yang dibayarkan tidak akan hilang dan justru memberikan imbal hasil dalam hal pengelolaan dana ditempatkan pada investasi yang memiliki trend positif dalam pengembalian return.
Meskipun demikian, dalam hal ini pemegang polis juga harus tetap waspada dengan adanya penurunan nilai investasi akibat pasar yang kurang bagus. Akan tetapi, pada intinya pemegang polis masih menguasai kepemilikan preminya pada tahun-tahun mendatang, baik nilainya meningkat atau menurun tergantung pada iklim investasi.
Dalam hal ini tanggung jawab resiko kenaikan/penurunan nilai investasi berada di tangan pemegang polis. Tentu saja hal tersebut menjadi sangat menggiurkan bagi masyarakat yang menomorduakan risiko dan mementingkan investment return.
Seakan lupa dengan tujuan utama asuransi, masyarakat yang cenderung memegang patokan ‘sekali dayung dua tiga pulau terlampaui’ tentu saja lebih memilih produk unit link ini daripada pure insurance. Melihat adanya potensi perubahan sikap masyarakat terhadap asuransi sejak adanya produk asuransi unit link, perusahaan asuransi kini rela memberikan pelayanan ekstra kepada masyarakat.
Masyarakat yang tidak memiliki waktu untuk melakukan survei investasi serta tidak ingin kehilangan dana preminya untuk pertanggungan asuransi murni dapat menanamkan preminya pada produk-produk asuransi unit link. Akan tetapi, pelayanan ekstra tersebut tidaklah gratis, masyarakat harus merelakan pemotongan-pemotongan tertentu atas premi dan imbal hasil polis seperti biaya akuisisi/biaya underwiter dan biaya administrasi untuk dibayarkan kepada perusahaan asuransi.
Sebagian dana ini nantinya akan digunakan untuk proteksi, dan sebagian lagi dikelola untuk ditempatkan pada produk-produk investasi berupa reksadana, saham, obligasi, dsb. Tentu saja ada potensi penghasilan final yang terkandung dalam kejadian akuntansi ini yang memerlukan perlakuan tertentu. Begitu pula dengan perlakuan terhadap biaya pencadangan premi asuransi unit link.
Tidak bisa serta merta perusahaan memberlakukan aturan menurut PMK-219/PMK.011/2012 mengenai pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya karena ada unsur penghasilan final dalam sebagian aliran dana untuk investasi di atas.
Oleh karena itu, pemahaman mengenai cara kerja unit link sangat diperlukan bagi perusahaan. Cara Kerja Unit Link Unit link memiliki beberapa unsur, antara lain premi, biaya akuisisi/ biaya underwriting, manfaat premi/proteksi, polis, biaya asuransi, biaya administrasi, biaya terhutang, unapplied premium, serta imbal hasil. Konsep utamanya adalah bahwa premi yang dibayarkan pemegang polis dalam asuransi unit link harus dipotong terlebih dahulu dengan biaya akuisisi.
Besarnya biaya akuisisi ini beragam dari tahun ke tahun. Untuk tahun pertama, seluruh premi akan digunakan untuk membayar biaya akuisisi sampai dengan 100%. Sementara tahun kedua, menurun menjadi 60%, tahun ketiga hingga kelima menurun menjadi 15%. Untuk tahun ke enam dan seterusnya adalah 0%.
Sebagian pihak asuransi biasanya tidak memberikan detail pembagian biaya akuisisi ini secara transparan karena akan disesuaikan dengan kondisi mana yang paling menguntungkan dan perbedaan kebijakan dari setiap bank. Biaya akuisisi ini merupakan unsur pengurang penghasilan bruto secara akuntansi.
Akan tetapi jika ditinjau secara pajak, biaya tersebut harus ditelaah lebih lanjut berkaitan dengan adanya unsur 3M penghasilan final disana. Setelah premi pemegang polis dikurangkan dengan biaya akuisisi, maka polis tesebut akan dibagi ke dalam dua jalur, yaitu dana untuk proteksi dan dana untuk investasi yang merupakan unapplied premium.
Unapplied premium ini dalam kata lain merupakan hasil dari pengurangan biaya-biaya terhadap dana proteksi yang nantinya akan digunakan untuk diversifikasi investasi pada investasi yang sesuai, misal reksadana, saham, dsb. Hasil dari aliran dana investasi ini akan menghasilkan imbal hasil yang lebih tinggi daripada bunga tabungan sebab dana tersebut ditempatkan di pasar uang yang cenderung volatile.
Yield dan polis akan diputar dan diolah lagi sesuai alur tersebut sehingga menghasilkan polis dengan nilai yang besar dan mampu mengcover risiko. Dengan demikian, pendapatan perusahaan asuransi unit link didapatkan dari tiga sumber yakni dari pendapatan premi, pendapatan premi subdana investasi dan hasil investasi dari penanaman premi subdana investasi.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai cara kerja unit link, penulis memberi ilustrasi berdasarkan gambar di atas. Pada asuransi unit link, risiko naik turunnya dana polis ditanggung oleh pemegang polis (bukan oleh perusahaan asuransi) dan hal tersebut dilaporkan secara berkala kepada pemegang polis sehingga pemegang polis dapat menentukan rate imbal hasil positif atau negatif dari polis asuransi. Dalam hal nilai polis yang tersedia tidak mencukupi untuk klaim proteksi, maka pemegang polis harus melakukan top up premi.
Begitu pula sebaliknya. Bila dana polis yang tersedia saat kontrak berakhir melebihi dana premi yang terkumpul, maka kelebihan tersebut merupakan keuntungan bagi pemegang polis yang dapat diambil oleh pemegang polis saat jatuh tempo sebagai hasil dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan unit link.
Pada ilustrasi gambar di atas, dapat dilihat bahwa pada tahun-tahun awal, hampir seluruh premi digunakan untuk membayar biaya akuisisi. Lalu bagaimana bila terjadi klaim pada tahun yang bersangkutan padahal polis belum mencukupi? Dalam hal ini pihak asuransi akan memberikan ‘pinjaman/hutang’ terlebih dahulu kepada pemegang polis agar pemegang polis tetap dapat menikmati klaim proteksi.
Pada tahun-tahun berikutnya, hutang ini akan dibayar melalui pemotongan terhadap polis dan hasil investasi premi yang dikelola perusahaan asuransi. Sungguh suatu sistem yang sangat menarik dan menguntungkan kedua belah pihak dengan adanya dualisme manfaat yang diperoleh. Jika dilihat dari segi akuntansi dan pajak, jelas terlihat bahwa aliran dana untuk proteksi perlakuan perpajakannya harus dibedakan dengan aliran dana untuk investasi.
Sebagaimana terlihat bahwa terdapat potensi penghasilan final di sini dimana biaya-biaya yang terkait dengan pengelolaan dana untuk investasi tersebut tidak seharusnya dapat dibebankan karena berkaitan dengan 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang bersifat final sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan.
Aspek Perpajakan Asuransi Unit Link
Sebelum melangkah pada pembahasan mengenai aspek perpajakan asuransi unit link, ada baiknya kita memahami sekilas pengenaan pajak pada perusahaan asuransi murni. Perusahaan asuransi murni memiliki unsur pengurang berupa biaya-biaya dan juga cadangan sebagaimana diatur dalam PMK-81/PMK.03/2009 jo. PMK-219/PMK.011/2012. Unsur cadangan dibagi menjadi dua, yaitu cadangan premi tanggungan sendiri dan cadangan klaim tanggungan sendiri (claim on retention).
Ketentuan mengenai cadangan premi tanggungan sendiri sebagaimana yang diatur dalam PMK tersebut adalah sebesar 40% dari jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana ketentuan yang diwajibkan oleh Bapepam LK. Yang dimaksud premi tanggungan sendiri dalam hal ini merupakan premi asuransi setelah dikurangi premi reasuransi.
Cadangan premi yang dapat dikurangkan adalah 40% dari jumlah premi tanggungan sendiri yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak yang bersangkutan. Cadangan premi tanggungan sendiri tersebut merupakan premi yang sudah diterima atau diperoleh akan tetapi belum merupakan penghasilan pada tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh, perusahaan asuransi kerugian Pasti Untung (PU) dalam tahun 2012 dapat mengumpulkan premi tanggungan sendiri sebesar Rp100 milyar dan pada tahun 2013 sebesar Rp 120 milyar. Maka besar cadangan premi pada tahun 2013 adalah sebesar 40% dari penghasilan premi tanggungan sendiri tahun lalu, yaitu 40% x Rp100 milyar = Rp40 milyar.
Khusus untuk perusahaan asuransi jiwa, besarnya cadangan premi ditentukan sesuai dengan penghitungan aktuaria yang telah mendapat pengesahan dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Berbeda dengan cadangan premi, besarnya cadangan klaim yang dapat dikurangkan adalah sebesar 100% dari jumlah klaim yang sudah disepakati tetapi belum dibayar dan klaim yang sudah dilaporkan dan sedang dalam proses (tidak termasuk klaim yang belum dilaporkan).
Cadangan ini dibentuk pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. Dalam hal jumlah cadangan klaim tanggungan sendiri seluruhnya atau sebagian tidak dipakai untuk menutup kerugian, maka kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan. Sementara dalam hal jumlah klaim tanggungan sendiri dipakai untuk menutup kerugian namun tidak mencukupi jumlah kekurangan cadangan tersebur boleh dibebankan sebagai biaya.
Contoh pada kasus di atas, PT PU menerima claim on retention pada tahun 2013 sebesar 5 milyar. Maka cadangan klaim tanggungan sendiri pada tahun 2013 adalah sebesar 5 milyar. Dengan demikian total cadangan yang dapat dibiayakan adalah sebesar Rp40 milyar + Rp5 milyar = Rp 45 milyar.
Bila besarnya biaya underwriting yang diperbolehkan sebagai pengurang penghasilan bruto tahun 2013 adalah sebesar 40 milyar, biaya administrasi dan lain-lain 5 milyar, dan besarnya cadangan premi tahun 2012 sebesar Rp25 milyar, sedangkan realisasi pembayaran klaim tahun 2013 adalah sebesar Rp8 milyar, maka perhitungan PPh terutang perusahaan asuransi dapat disajikan sebagai berikut:
- Akun Nilai Premi tanggungan sendiri Rp120.000.000.000
- Biaya underwriting selain beban klaim on retention Rp 40.0000.000.000
- Laba Bruto Rp 80.000.000.000
- Biaya Cadangan Premi tanggungan sendiri 40% x Rp100 milyar=40 M
- Biaya Cadangan Klaim tanggungan sendiri Rp5 milyar
- Total Cadangan Rp45.000.000.000
- Biaya Administrasi dll. Rp 5.000.000.000
- Total Pengurang Rp 50.000.000.000
- Penghasilan Usaha Rp 30.000.000.000
- Penghasilan Cadangan (cadangan premi tahun lalu yang tidak terealisasi) 25 milyar – 8 milyar = 17 milyar Rp 17.000.000.000
- Penghasilan Kena Pajak Rp 47.000.000.000 PPh terutang 25% Rp 11.750.000.000
Perhitungan tersebut merupakan perhitungan untuk pajak penghasilan perusahaan asuransi murni yang memang penghasilannya bersifat non final dan pencadangan biayanya sesuai dengan PMK-219/PMK.0.11/2012. Lalu bagaimana dengan perhitungan pajak penghasilan untuk asuransi unit link dimana sebagian dana digunakan untuk proteksi dan sebagian lagi untuk investasi?
Ternyata Direktorat Jenderal Pajak telah mengambil langkah cekatan untuk mengantisipasi laba asuransi unit link yang diperkecil dikarenakan pembiayaan cadangan premi dan cadangan klaim. Hal tersebut tertuang dalam SE-97/PJ/2011 tentang perlakuan pajak penghasilan atas pembentukan atau pemupukan dana cadangan premi bagi wajib pajak yang bergerak di bidang usaha asuransi jiwa yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Surat edaran tersebut belum dicabut meskipun PMK-81/PMK.03/2009 telah digantikan dengan PMK-219/PMK.011/2012. SE-97/PJ/2011 mengatur mengenai besarnya biaya cadangan premi asuransi unit link yang dapat dikurangkan dalam menentukan penghasilan kena pajak. Dengan mengacu pada ketentuan pasal 9 PP 94 tahun 2010 bahwa pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, termasuk antara lain biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak dan/atau pengenaan pajaknya bersifat final.
Dengan demikian, dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak yang dikenai tarif umum Pasal 17 UU PPh, penghasilan dari aliran dana investasi tidak boleh digabungkan karena penghasilan tersebut bersifat final seperti halnya investasi di bidang reksadana, saham, obligasi, dsb. Imbal hasil ini seharusnya dikenakan tarif PPh final sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 2 UU PPh beserta juklak peraturan pemerintahnya, misalnya 10% untuk imbal hasil dari investasi saham (biasa disebut dengan deviden) yang diterima oleh orang pribadi.
Demikian pula dengan biaya yang digunakan untuk memelihara penghasilan tersebut. Seluruh biaya yang terkait dengan aliran dana investasi hendaknya tidak boleh dikurangkan. Kecuali dalam hal rincian biaya untuk aktivitas penghasilan yang bersifat final tersebut tidak diketahui, maka harus digunakan proporsi penghasilan final atas seluruh penghasilan yang diterima.
Dalam SE-97/PJ/2011 juga diatur bahwa cadangan premi asuransi jiwa yang dibentuk berdasarkan penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dan/atau yang bukan merupakan objek pajak, tidak dapat dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak yang pajaknya dikenakan dengan menggunakan tarif umum. Jika aturan pada SE-97/PJ/2011 diterapkan pada contoh kasus PU di atas, dalam hal PU merupakan asuransi unit link dengan proporsi aliran dana untuk proteksi dan untuk investasi adalah 40% : 60% serta terdapat pendapatan dari hasil subdana investasi adalah sebesar 20 milyar, maka perhitungan PPh-nya disajikan sebagai berikut:
- Akun Nilai Premi tanggungan sendiri Proporsi Penghasilan non final : Proporsi total = 40% x 120 M=Rp 48.000.000.000
- Biaya underwriting selain beban klaim on retention Proporsi non final : Proporsi total = 40% x 40 M=Rp 16.0000.000.000
- Laba Bruto Rp 32.000.000.000 Biaya Cadangan Premi tanggungan sendiri 40% x 100 M=Rp 40.000.000.000
- Biaya Cadangan Klaim tanggungan sendiri Rp 5 milyar
- Total Cadangan yang boleh dibebankan Proporsi non final : Proporsi total = 40% x 45 M=Rp18.000.000.000 (Biaya Administrasi dll)
- Proporsi non final : Proporsi total = 40% x 5 M=Rp 2.000.000.000
- Total Pengurang Rp 20.000.000.000
- Penghasilan Usaha Rp 12.000.000.000
- Penghasilan Cadangan (cadangan premi tahun lalu yang tidak terealisasi) 25 milyar – 8 milyar = 17 milyar
- Proporsi non final : Proporsi total = 40% x17 M=Rp 6.800.000.000
- Penghasilan Kena Pajak Rp 18.800.000.000
- PPh terutang 25% Rp 4.700.000.000
Sementara itu, atas penghasilan final sebesar 60% atas pengelolaan investasi yaitu atas penghasilan dari hasil subdana investasi, harus dilakukan pemotongan PPh final atas setiap yield dalam bentuk apapun yang diterima perusahaan maupun oleh pemegang polis sesuai dengan rate PPh final yang berlaku. Nilai PPh yang terutang sebagaimana perhitungan di atas bisa jadi lebih besar daripada asuransi murni dalam hal Wajib Pajak memasukkan seluruh unsur cadangan sebagai biaya tanpa memilah mana yang dikenakan final dan tidak.
Sedangkan di sisi lain, penghasilan premi yang diakui oleh Wajib Pajak hanya sebesar premi asuransi murni. Tentu saja jika ditemui hal tersebut, pemeriksa harus melakukan koreksi positif atas cadangan premi dan klaim yang telah dibebankan.
Penutup
Agar pemeriksa pajak tidak salah langkah dalam melakukan koreksi fiskal, serta agar perusahaan asuransi mampu mengaplikasikan prinsip perpajakan yang paling tepat, masing-masing pihak harus mengenali mana karakteristik produk asuransi murni dan mana yang bersifat unit link. Kriteria produk unit link diatur dalam Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor KEP-104/BL/2006 tentang Produk Unit Link.
Keputusan tersebut mengatur bahwa Produk Unit Link adalah produk asuransi jiwa yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1.nilai manfaat yang dijanjikan ditentukan oleh kinerja subdana investasi yang dibentuk untuk Unit Link tersebut; 2.nilai manfaat yang diperoleh dari subdana investasi dinyatakan dalam unit; dan 3.mengandung pertanggungan risiko kematian alami.
Dengan mengenali karakteristik tersebut, pihak DJP diharapkan lebih jeli dalam memilah serta melakukan koreksi atas laporan keuangan perusahaan asuransi agar tidak menimbulkan loophole penerimaan pajak. Tapi disisi lain juga tidak merugikan perusahaan asuransi yang bersangkutan akibat salah melakukan koreksi fiskal. Oleh karena itu, pada akhirnya catatan atas laporan keuangan yang transparan atas proporsi final dan tidak final ini harus jelas agar tidak menimbulkan dispute yang merugikan salah satu pihak di masa mendatang.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja
**) Artikel ini telah dimuat dalam Majalah Indonesian Tax Review Vol. VIII/Edisi 01/Tahun 2015 dengan hak cipta penulisan berada di tangan penulis
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.