Digital Economy dan Sekilas tentang Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
Suatu hari, ibu anda pulang dari arisan. Raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Dari sudut matanya, beliau menatap anda dan berkata.. “Tadi sewaktu arisan, temen ibu poto-poto pakai handphone, apa itu istilahnya? Yang kayak nama penyanyi dangdut itu. Selfie ya?” Sembari menunjukkan handphone miliknya. Ibu melanjutkan curhatnya, “Handphone ibu sudah jadul, ibu mau handphone seperti punya temen ibu, yang ada kamera depannya. Supaya bisa selfie (sambil tersenyum malu).
Tolong carikan ya nak.. “Sebagai anak, apa yang akan anda lakukan?Saya yakin, anda akan langsung browsing di internet dan mencari smartphone yang sesuai dengan keinginan ibu anda.
Saat ini dunia sudah berubah. Ketika seseorang ingin membeli barang, hal pertama yang akan dilakukan bukan lagi pergi ke toko atau pasar, melainkan mencari barang tersebut di internet. Ya, sekarang Eranya Internet. Eranya Digital Economy.
Masyarakat sudah terbiasa membeli barang di internet, tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri melalui website semacam Amazon, e-Bay, atau Alibaba. Anak-anak kecil pun (entah sadar atau tidak) sudah bisa membeli digital product dari Google Play, Appstore, atau iTunes.
Dari sisi konsumen, hal tersebut tentunya sangat menyenangkan. Konsumen bisa menghemat tenaga, waktu, banyak alternatif produk yang ditawarkan dengan harga bersaing.
Namun, dari sisi perpajakan, digital economy justru menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Pada bisnis yang konvensional, dimana multinasional company (MNC) harus hadir secara fisik untuk memasarkan produknya di suatu negara, maka di Era Digital Economy, kondisinya lebih ekstrem, karena kehadiran fisik tidak diperlukan lagi.
Sehingga praktik profit shifting akan lebih mudah dilakukan, dan pemerintah akan semakin sulit untuk membendung praktik ini.
Seperti diketahui, dominasi media raksasa online global memicu keprihatinan pemerintah. Ini karena mereka mengeruk keuntungan besar terutama dari iklan, tanpa memberikan kontribusi pajak ke Indonesia. Pemerintah kesulitan memantau online asing tersebut karena kantor maupun server-nya berada di luar negeri.
Di Era Digital Economy, pelaku usaha semakin mudah membuat skema tertentu untuk memaksimalkan keuntungannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membuat perencanaan pajak (tax planning) yang melibatkan beberapa yurisdiksi. Tentu saja, negara tax haven dengan fasilitas-fasilitas yang ditawarkannya (tax rate yang rendah) menjadi pilihan utama untuk dimasukkan ke dalam skema tax planning tersebut.
Skema yang dilakukan adalah dengan cara memindahkan penghasilan (profit shifting) yang diperoleh di suatu negara dengan tax rate yang tinggi, ke negara tax haven.
Perpindahan penghasilan tersebut tentu saja menyebabkan tergerusnya dasar pemajakan suatu negara (base erosion) dimana pelaku usaha tersebut memperoleh penghasilan sebenarnya.
Hal tersebut tentunya sangat merugikan bagi negara, karena pelaku usaha tersebut sudah memperoleh penghasilan sekaligus menikmati barang publik dan segala fasilitas umum di negara tersebut, namun penghasilan yang diterima justru dialihkan ke negara tax haven, sehingga perusahaan hanya membayar pajak yang kecil atau bahkan tidak membayar pajak sama sekali di negara tempat mereka memperoleh penghasilan.
Ya.. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Salah satu contohnya dialami Perancis.
Sejak tahun 2011, Pemerintah Perancis mulai menyasar pajak dari perusahaan raksasa internet seperti Google. Menurut New York Times, Google telah meraup omset $30 milyar per tahun dari iklan. dimana dua milyarnya berasal dari Perancis. Namun, karena Google bukan perusahaan Perancis, Google tidak perlu membayar pajak pendapatan kepada Perancis meskipun menyedot devisa dari sana.
Selain itu, Apple, sebagai salah satu perusahaan yang paling menguntungkan di dunia juga melakukan hal yang sama dengan Google. Apple memiliki sebuah kantor yang terdaftar di Nevada, Amerika Serikat yang berfungsi untuk mengumpulkan dan menginvestasikan keuntungan yang diperoleh Apple. Lantas mengapa Apple memilih Nevada, padahal headquarters atau pusat kegiatan Apple terletak di California? Alasan utamanya adalah karena pajak. Tarif pajak badan di California adalah 8,84 persen. Sedangkan Nevada, nol persen!
Isu Base Erosion & Profit Shifting (BEPS) ini sudah menarik perhatian banyak negara di dunia.
Hal ini dikarenakan implementasi BEPS dapat merugikan dan menjadi ancaman bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi dalam sistem perpajakannya, serta dapat mendorong terciptanya unfairness di dalam perekonomian global.
BEPS adalah strategi perencanaan pajak (tax planning) yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk “menghilangkan” keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan bebas pajak.
Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan (OECD, 2013).
Digital Economy memang tidak menciptakan risiko BEPS baru, namun, digital economy dengan karakteristik bisnisnya berpotensi mempertajam risiko BEPS yang telah ada.
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi BEPS antara lain:
1. Pemerintah Indonesia harus terlibat aktif bersama negara G20 yang bekerja sama dengan OECD untuk membahas BEPS dan penanggulangannya. Untuk itu, pemerintah perlu terus menyampaikan usulan-usulan agar regulasi perpajakan yang disusun untuk mengatasi BEPS ini dapat bersifat fleksibel dengan tetap memperhatikan kondisi dan kesiapan infrastruktur di setiapnegara, dan tidak merugikan dalam implementasinya nanti.
2. Menyusun peraturan yang dapat membatasi akses perusahaan luar negeri untuk memperoleh keuntungan dari Indonesia. Seperti pemblokiran situs luar negeri, seperti yang pemerintah China lakukan terhadap Google.
3.Pembentukan National Payment Gateway dan pengembangannya untuk mengawasi transaksi ecommerce, baik di dalam negeri, maupun transaksi ke luar negeri.
4.Penyempurnaan ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) agar dibuat lebih jelas dan rinci.
Suatu hari, ibu anda pulang dari arisan. Raut wajahnya menyiratkan kegelisahan. Dari sudut matanya, beliau menatap anda dan berkata.. “Tadi sewaktu arisan, temen ibu poto-poto pakai handphone, apa itu istilahnya? Yang kayak nama penyanyi dangdut itu. Selfie ya?” Sembari menunjukkan handphone miliknya. Ibu melanjutkan curhatnya, “Handphone ibu sudah jadul, ibu mau handphone seperti punya temen ibu, yang ada kamera depannya. Supaya bisa selfie (sambil tersenyum malu).
Tolong carikan ya nak.. “Sebagai anak, apa yang akan anda lakukan?Saya yakin, anda akan langsung browsing di internet dan mencari smartphone yang sesuai dengan keinginan ibu anda.
Saat ini dunia sudah berubah. Ketika seseorang ingin membeli barang, hal pertama yang akan dilakukan bukan lagi pergi ke toko atau pasar, melainkan mencari barang tersebut di internet. Ya, sekarang Eranya Internet. Eranya Digital Economy.
Masyarakat sudah terbiasa membeli barang di internet, tidak hanya dari dalam negeri, tapi juga dari luar negeri melalui website semacam Amazon, e-Bay, atau Alibaba. Anak-anak kecil pun (entah sadar atau tidak) sudah bisa membeli digital product dari Google Play, Appstore, atau iTunes.
Dari sisi konsumen, hal tersebut tentunya sangat menyenangkan. Konsumen bisa menghemat tenaga, waktu, banyak alternatif produk yang ditawarkan dengan harga bersaing.
Namun, dari sisi perpajakan, digital economy justru menimbulkan kekhawatiran tersendiri.
Pada bisnis yang konvensional, dimana multinasional company (MNC) harus hadir secara fisik untuk memasarkan produknya di suatu negara, maka di Era Digital Economy, kondisinya lebih ekstrem, karena kehadiran fisik tidak diperlukan lagi.
Sehingga praktik profit shifting akan lebih mudah dilakukan, dan pemerintah akan semakin sulit untuk membendung praktik ini.
Seperti diketahui, dominasi media raksasa online global memicu keprihatinan pemerintah. Ini karena mereka mengeruk keuntungan besar terutama dari iklan, tanpa memberikan kontribusi pajak ke Indonesia. Pemerintah kesulitan memantau online asing tersebut karena kantor maupun server-nya berada di luar negeri.
Di Era Digital Economy, pelaku usaha semakin mudah membuat skema tertentu untuk memaksimalkan keuntungannya. Salah satu cara yang dilakukan adalah dengan membuat perencanaan pajak (tax planning) yang melibatkan beberapa yurisdiksi. Tentu saja, negara tax haven dengan fasilitas-fasilitas yang ditawarkannya (tax rate yang rendah) menjadi pilihan utama untuk dimasukkan ke dalam skema tax planning tersebut.
Skema yang dilakukan adalah dengan cara memindahkan penghasilan (profit shifting) yang diperoleh di suatu negara dengan tax rate yang tinggi, ke negara tax haven.
Perpindahan penghasilan tersebut tentu saja menyebabkan tergerusnya dasar pemajakan suatu negara (base erosion) dimana pelaku usaha tersebut memperoleh penghasilan sebenarnya.
Hal tersebut tentunya sangat merugikan bagi negara, karena pelaku usaha tersebut sudah memperoleh penghasilan sekaligus menikmati barang publik dan segala fasilitas umum di negara tersebut, namun penghasilan yang diterima justru dialihkan ke negara tax haven, sehingga perusahaan hanya membayar pajak yang kecil atau bahkan tidak membayar pajak sama sekali di negara tempat mereka memperoleh penghasilan.
Ya.. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Salah satu contohnya dialami Perancis.
Sejak tahun 2011, Pemerintah Perancis mulai menyasar pajak dari perusahaan raksasa internet seperti Google. Menurut New York Times, Google telah meraup omset $30 milyar per tahun dari iklan. dimana dua milyarnya berasal dari Perancis. Namun, karena Google bukan perusahaan Perancis, Google tidak perlu membayar pajak pendapatan kepada Perancis meskipun menyedot devisa dari sana.
Selain itu, Apple, sebagai salah satu perusahaan yang paling menguntungkan di dunia juga melakukan hal yang sama dengan Google. Apple memiliki sebuah kantor yang terdaftar di Nevada, Amerika Serikat yang berfungsi untuk mengumpulkan dan menginvestasikan keuntungan yang diperoleh Apple. Lantas mengapa Apple memilih Nevada, padahal headquarters atau pusat kegiatan Apple terletak di California? Alasan utamanya adalah karena pajak. Tarif pajak badan di California adalah 8,84 persen. Sedangkan Nevada, nol persen!
Isu Base Erosion & Profit Shifting (BEPS) ini sudah menarik perhatian banyak negara di dunia.
Hal ini dikarenakan implementasi BEPS dapat merugikan dan menjadi ancaman bagi negara-negara yang menerapkan tarif pajak normal/tinggi dalam sistem perpajakannya, serta dapat mendorong terciptanya unfairness di dalam perekonomian global.
BEPS adalah strategi perencanaan pajak (tax planning) yang memanfaatkan gap dan kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perpajakan domestik untuk “menghilangkan” keuntungan atau mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak yang rendah atau bahkan bebas pajak.
Tujuan akhirnya adalah agar perusahaan tidak perlu membayar pajak atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara keseluruhan (OECD, 2013).
Digital Economy memang tidak menciptakan risiko BEPS baru, namun, digital economy dengan karakteristik bisnisnya berpotensi mempertajam risiko BEPS yang telah ada.
Beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk mengatasi BEPS antara lain:
1. Pemerintah Indonesia harus terlibat aktif bersama negara G20 yang bekerja sama dengan OECD untuk membahas BEPS dan penanggulangannya. Untuk itu, pemerintah perlu terus menyampaikan usulan-usulan agar regulasi perpajakan yang disusun untuk mengatasi BEPS ini dapat bersifat fleksibel dengan tetap memperhatikan kondisi dan kesiapan infrastruktur di setiapnegara, dan tidak merugikan dalam implementasinya nanti.
2. Menyusun peraturan yang dapat membatasi akses perusahaan luar negeri untuk memperoleh keuntungan dari Indonesia. Seperti pemblokiran situs luar negeri, seperti yang pemerintah China lakukan terhadap Google.
3.Pembentukan National Payment Gateway dan pengembangannya untuk mengawasi transaksi ecommerce, baik di dalam negeri, maupun transaksi ke luar negeri.
4.Penyempurnaan ketentuan tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR) agar dibuat lebih jelas dan rinci.
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.