Pendahuluan
Acara customer gathering – alias kumpul-kumpul pelanggan setia –
merupakan strategi umum bagi perusahaan untuk menjaga loyalitas pelanggan dan
memperkuat citra merek. Biasanya, perusahaan mengundang pelanggan ke sebuah
event istimewa (misalnya di hotel) dengan hiburan, jamuan makan, dan souvenir
gratis. Harapannya, pelanggan merasa diutamakan, tidak pindah ke pesaing, dan
penjualan pun meningkat. Namun, dari kacamata pajak, biaya kemeriahan
seperti ini bisa menjadi “jebakan” jika tidak ditangani benar. Muncul
pertanyaan: apakah biaya customer gathering dan pemberian souvenir boleh
dikurangkan (deductible) dalam perhitungan pajak, atau justru berisiko
ditolak fiskus dan dikoreksi sebagai non-deductible?
Panduan praktis ini mengupas tuntas
perlakuan pajak atas biaya customer gathering dan souvenir dari sisi Pajak
Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan bahasa santai
namun tetap teknis, Anda akan dipandu memahami syarat pembebanan biaya ini di
PPh Badan, kewajiban PPh 21/23/Final atas jasa dan hadiah, hingga cara
pengkreditan PPN Masukan dan pengenaan PPN Keluaran atas pemberian gratis. Tak
lupa dibahas pentingnya daftar nominatif dan dokumentasi, strategi
menghadapi area abu-abu (grey area) perpajakan, serta tips praktis agar
biaya gathering aman secara pajak dan terhindar dari koreksi fiskal.
Mari kita mulai! 😉
Pengertian Customer Gathering dan Tujuannya
Customer gathering adalah acara berkumpulnya perusahaan dengan para
pelanggan (sering berupa event khusus) yang bertujuan utama membangun hubungan
kuat dengan pelanggan. Secara bisnis, kegiatan ini dirancang agar pelanggan
merasa dihargai, mendapatkan pengalaman positif, dan tetap loyal terhadap
produk/layanan perusahaan. Dalam praktiknya, acara ini juga dimanfaatkan untuk soft
selling – misalnya memperkenalkan produk baru, meminta umpan balik
langsung, hingga menciptakan word of mouth positif. Intinya, customer
gathering merupakan investasi strategis untuk mendorong loyalitas
pelanggan dan pada akhirnya meningkatkan penjualan[1].
Dari sudut pandang pajak, hubungan antara tujuan bisnis dan perpajakan
sangat krusial. Suatu biaya dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto
(artinya dapat dibebankan secara fiskal) jika memenuhi kriteria “untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan” – sering disingkat biaya
3M[2][3]. Nah, biaya customer gathering pada dasarnya memenuhi unsur 3M
tersebut karena jelas dikeluarkan demi mempertahankan dan meningkatkan
pendapatan perusahaan melalui loyalitas pelanggan. Dengan demikian, secara
konseptual biaya customer gathering bisa menjadi biaya yang deductible (boleh
dikurangkan) asalkan memenuhi syarat-syarat pajak yang berlaku.
Untuk membuktikan hal ini, perusahaan harus menyiapkan dasar yang kuat
bahwa kegiatan gathering memang punya tujuan bisnis nyata dan terkait
erat dengan penghasilan yang dikenai pajak. Pajak tidak menilai dari nama
acaranya saja, tetapi dari substansi dan tujuan di balik pengeluaran tersebut[4]. Pada bagian-bagian selanjutnya, kita akan membahas apa saja syarat
agar biaya ini boleh dibebankan, serta implikasi PPh dan PPN yang muncul dari
komponen-komponen biaya gathering (seperti sewa tempat, konsumsi,
souvenir/hadiah, dan jasa event/pembicara).
Klasifikasi Biaya: Promosi vs Entertainment
Di dunia perpajakan, biaya customer gathering bisa masuk sebagai Biaya
Promosi atau Biaya Entertainment/Representasi. Keduanya sebenarnya
mirip tujuannya (sama-sama untuk hubungan bisnis dan mendongkrak penjualan) dan
sama-sama boleh dibebankan, namun dengan syarat administratif yang
sedikit berbeda. Penting bagi kita mengklasifikasikan dengan tepat, karena
salah klasifikasi atau dokumentasi bisa membuat fiskus menolak biaya ini.
Biaya Promosi didefinisikan sebagai
pengeluaran yang bertujuan memperkenalkan atau menganjurkan penggunaan
produk demi mempertahankan atau meningkatkan penjualan[5]. Contoh promosi antara lain: iklan, pameran produk, peluncuran produk
baru, sponsorship, pemberian sampel gratis, dan termasuk event customer
gathering yang tujuannya jelas untuk marketing. Biaya
Entertainment/Representasi mengacu pada pengeluaran untuk jamuan atau
hiburan bagi relasi bisnis (pelanggan, rekanan) dalam rangka hubungan usaha[6]. Misalnya traktir makan klien, biaya karaoke dengan relasi, golf
dengan mitra, dan sejenisnya.
Sering kali, customer gathering mengandung kedua unsur: ada
elemen promosi (memperkenalkan produk, branding) sekaligus unsur entertainment
(jamuan makan, hiburan bagi tamu). Dalam hal ini, fiskus bisa saja melihatnya
sebagai entertainment ketimbang promosi – apalagi jika fokus acara tampak hanya
bersenang-senang. Apa konsekuensinya? Secara substansi, kedua
kategori biaya ini sebenarnya deductible sepanjang memenuhi kriteria 3M. Namun,
secara administratif*, *keduanya wajib didukung Daftar
Nominatif atas tamu/penerima fasilitas. Bedanya, untuk biaya
entertainment, fiskus cenderung menuntut daftar nominatif yang lebih
detail**[7][8].
Untuk lebih jelas, berikut perbandingan antara Biaya Promosi vs Biaya
Entertainment dari sisi pajak:
Aspek |
Biaya Promosi (PMK No.02/PMK.03/2010) |
Biaya Entertainment (SE-27/PJ.22/1986) |
Tujuan/Definisi |
Pengeluaran untuk memperkenalkan dan/atau menganjurkan penggunaan
produk guna meningkatkan penjualan[9]. Termasuk aktivitas pemasaran dan penjualan. |
Pengeluaran untuk jamuan, representasi, hiburan bagi relasi
bisnis (pelanggan, rekanan)[9]. Intinya biaya jamuan dalam hubungan usaha. |
Deductibility |
Deductible penuh, dengan syarat membuat Daftar
Nominatif yang memuat data penerima (nama, NPWP/alamat), tanggal, jenis
& nominal biaya, dll[10]. |
Deductible (boleh dibebankan), dengan syarat
Daftar Nominatif sangat detail, mencantumkan nama tamu, hubungan
bisnis, rincian biaya per orang, dll[10]. |
Contoh |
Iklan di media, pameran produk, event peluncuran produk baru,
sponsorship, pemberian sampel gratis[11], customer gathering dengan agenda promosi. |
Jamuan makan/minum dengan klien, karaoke dengan relasi bisnis, golf
dengan rekan usaha[11], gathering pelanggan yang isinya murni hiburan/jamuan tanpa materi
bisnis yang jelas. |
Seperti terlihat, perbedaan promosi vs entertainment cukup tipis
dan di lapangan bisa tumpang-tindih. Titik rawan sengketa biasanya soal dokumentasi:
jika perusahaan gagal menunjukkan bahwa acara tersebut murni promosi (misal
tidak ada materi pengenalan produk) dan tidak menyiapkan daftar
nominatif yang lengkap, petugas pajak bisa saja menganggapnya sekadar jamuan
entertainment biasa lalu mengoreksi biaya tersebut[12]. Oleh sebab itu, regardless mau kita label sebagai promosi atau
entertainment, kuncinya adalah disiplin administrasi (daftar nominatif) dan
bukti kuat bahwa acara terkait langsung dengan penjualan. Untuk amannya,
banyak perusahaan mengklasifikasikan biaya gathering sebagai Biaya Promosi
(karena tujuannya pemasaran) namun tetap menyiapkan daftar nominatif lengkap
sebagaimana diwajibkan untuk entertainment. Dengan cara ini, aspek substansi dan
formal terpenuhi.
Syarat Pembebanan di PPh Badan (Deductible Expenses)
Setelah memastikan kategori biaya (promosi vs entertainment) yang
tepat, langkah berikutnya adalah memenuhi syarat-syarat agar biaya customer
gathering dapat dibebankan dalam perhitungan PPh Badan. Syarat ini mencakup
ketentuan materiil (sesuai Pasal 6 UU PPh) maupun formal (sesuai
peraturan pelaksanaannya):
- Memenuhi Kriteria 3M (Mendapatkan, Menagih, Memelihara
Penghasilan): Seperti dijelaskan sebelumnya,
biaya harus berkaitan langsung dengan usaha untuk menghasilkan atau
mempertahankan penghasilan yang merupakan Objek Pajak biasa[2]. Acara gathering umumnya lolos syarat ini karena bertujuan
meningkatkan penjualan melalui loyalitas pelanggan. Pastikan tujuan bisnis
acara terdokumentasi jelas (misal: “untuk memperkenalkan produk baru
kepada 50 pelanggan utama”). Hal ini membantu membuktikan bahwa biaya
memenuhi unsur 3M, bukan sekadar pengeluaran tanpa tujuan.
- Daftar Nominatif (Syarat Formal): Ini
syarat penting yang sering dilupakan. Setiap biaya
promosi/entertainment yang melibatkan pihak eksternal wajib dilengkapi
Daftar Nominatif[13]. Daftar nominatif adalah daftar rinci penerima manfaat biaya
tersebut, minimal memuat: tanggal acara, nama penerima, NPWP (atau
identitas lain jika non-NPWP), jabatan/relasi, jenis fasilitas/biaya yang
diterima, nilai rupiahnya, serta info pajak yang dipotong (jika ada)[14]. Daftar ini harus dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh Badan.
Tanpa daftar nominatif lengkap, fiskus berhak menyatakan biaya gathering non-deductible[15]. Oleh karena itu, perusahaan harus disiplin administrasi: catat
semua tamu undangan, siapa mendapat souvenir apa, nilainya berapa, dll.
Meskipun merepotkan (apalagi kalau tamu ratusan), aturan tetap aturan –
ini untuk mencegah penyalahgunaan biaya promosi/representasi. Jika
daftar nominatif tidak dibuat atau diisi asal-asalan, siap-siap biaya
gathering ditolak sebagai pengurang oleh fiskus dan dikoreksi
fiskal positif (ditambah kembali sebagai penghasilan kena pajak)[16]. (Lihat pembahasan khusus daftar nominatif di bagian
tersendiri di bawah.)
- Kewajaran dan Sesuai Praktik Bisnis:
Biaya yang dikeluarkan harus dalam batas kewajaran dan mengikuti adat
kelaziman usaha yang baik[17]. Konsep “wajar” ini sifatnya kualitatif – misalnya, jika
perusahaan kecil tapi mengadakan gathering super mewah yang biayanya tidak
proporsional, fiskus bisa mempertanyakan kelayakannya[17]. Tidak ada angka batasan resmi, namun guideline-nya: biaya harus masuk
akal dibanding scale usaha dan manfaat bisnis yang diharapkan. Selama
sesuai kelaziman industri, umumnya fiskus menerima. Tips: siapkan
justifikasi bisnis, misal “budget marketing X% dari omzet, dan gathering
ini bagian dari budget tersebut”, sehingga biaya sebesar itu dapat
dianggap normal. Hindari biaya yang overkill tanpa korelasi ke
peningkatan penjualan, karena itu rawan dipermasalahkan.
- Terkait Penghasilan Kena Pajak Normal:
Biaya hanya boleh dibebankan jika tujuannya untuk
mendapatkan/meningkatkan penghasilan yang merupakan objek pajak normal
(bukan penghasilan bebas pajak atau yang pajaknya final)[18]. Biaya promosi untuk memperoleh penghasilan yang bukan objek
atau yang dikenai PPh Final tidak boleh dibebankan[18]. Dalam konteks customer gathering, pastikan acara ditujukan bagi
pelanggan atas produk/jasa yang penjualannya terkena pajak normal
(PPh & PPN). Jangan sampai biaya gathering dialokasikan untuk
mempromosikan segmen usaha yang penghasilannya final atau tidak kena
pajak, karena fiskus bisa menolak biaya tersebut. Untungnya, kebanyakan
gathering pelanggan memang untuk penjualan produk reguler, jadi biasanya
aman pada poin ini.
- Bukan “Imbalan” Terselubung di Luar Promosi: Aturan tegas melarang mengakui sebagai biaya promosi pengeluaran
yang sebenarnya merupakan pemberian kepada pihak lain yang tidak langsung
terkait kegiatan promosi[19]. Contoh tidak boleh: perusahaan memberi hadiah uang tunai
kepada seseorang yang tidak ada hubungannya dengan acara promo
(misal sponsor pribadi pejabat 😛) – jelas ini bukan biaya
promosi yang dapat dibebankan[19]. Pastikan biaya gathering murni untuk pelanggan atau pihak yang
punya relasi bisnis, bukan untuk pihak luar yang tak relevan.
Selama souvenir, doorprize, konsumsi dll diberikan dalam rangka acara
promosi dengan pelanggan, itu termasuk yang boleh dibebankan[20]. Singkatnya: stick to customers! Hindari melibatkan
pejabat/pemerintah dalam acara pelanggan, karena selain berpotensi
dianggap gratifikasi, biaya jamuannya pun tidak boleh jadi pengurang
pajak.
- Nilai yang Dibebankan (Jika Berupa Pemberian Barang): Jika promosi dilakukan dengan memberikan barang gratis (souvenir,
hadiah, sampel produk), yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah
harga pokok perolehan barang tersebut, bukan harga jualnya[21]. Ketentuan ini untuk mencegah perusahaan menaikkan biaya secara
fiktif. Contoh: Perusahaan memberikan souvenir
berupa produk sendiri yang biasanya dijual seharga Rp200 ribu. Yang
dicatat sebagai biaya promosi cukup biaya produksinya misal Rp120
ribu (atau jika barang dagangan, pakai nilai HPP dari persediaan)[21], bukan Rp200 ribu. Kalau souvenirnya
barang yang dibeli dari pihak lain, ya biaya yang dibebankan sebesar harga
belinya. Pastikan juga biaya ini belum dibebankan di tempat lain –
jangan sampai harga pokok sudah masuk HPP, lalu harga jualnya masih mau
dibebankan lagi sebagai promosi (dobel pembebanan). Intinya,
perusahaan hanya boleh membebankan biaya nyata yang dikeluarkan.**
Jika semua syarat di atas terpenuhi, secara teori biaya
customer gathering dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan
(mengurangi laba kena pajak). Artinya, PPh Badan terutang pun berkurang.
Sebaliknya, jika syarat tidak dipenuhi (misal: daftar nominatif tidak ada),
maka sesuai aturan biaya tersebut harus dikeluarkan dari perhitungan fiskal
(dikoreksi positif). Perusahaan terpaksa menambah kembali biaya itu ke laba
kena pajak, sehingga PPh Badan yang harus dibayar jadi lebih besar[16]. Contoh dampaknya: jika biaya gathering Rp100 juta tidak bisa diakui,
dan tarif PPh Badan 22%, perusahaan bakal bayar PPh tambahan Rp22 juta yang
seharusnya bisa dihemat.
PPh 21, PPh 23, dan PPh Final: Kewajiban Pajak atas Jasa & Hadiah
Selain implikasi ke PPh Badan, penyelenggaraan acara gathering kerap
menimbulkan kewajiban pemotongan/pemungutan PPh atas pembayaran
tertentu. Perusahaan harus memperhatikan hal-hal berikut dan memotong PPh
yang diperlukan sebelum melakukan pembayaran atau memberikan hadiah:
- PPh Final 10% atas Sewa Tempat – Pasal
4 ayat (2) UU PPh: Jika acara berlangsung dengan menyewa gedung
atau ruangan (misal sewa ballroom hotel, sewa aula pertemuan), terdapat
kewajiban PPh Final 10% dari jumlah bruto sewa[22][23]. Sesuai peraturan, persewaan tanah/bangunan dikenai PPh Final
10%. Dalam praktiknya, perusahaan sebagai penyewa wajib memotong dan
menyetor PPh final ini ke kas negara. Contoh: sewa ballroom Rp100
juta, perusahaan potong PPh Final Rp10 juta (10%) sebelum bayar ke pemilik
gedung[24][23]. (Catatan: Ada sedikit grey area untuk sewa ruang meeting
di hotel. Jika sewa ruang berdiri sendiri (tidak satu paket dengan
kamar/penginapan), seharusnya kena PPh Final. Tapi kalau sewa ruang sudah
jadi bagian paket layanan hotel (misal paket meeting lengkap dengan
kamar), maka dianggap jasa hotel yang tidak kena PPh Final
melainkan pajak daerah[25]. Untuk amannya, banyak perusahaan tetap memotong 10% final
atas sewa ruang event walau di hotel[26]. Pastikan koordinasi dengan pihak venue; jika hotel mengeluarkan
tagihan full tanpa potongan, perusahaan bisa gross-up, namun sebaiknya ada
bukti bahwa PPh final atas sewa sudah tertanggung.)
- PPh Pasal 23 atas Jasa Event Organizer, Peralatan, Hiburan, dll: Pembayaran kepada pihak ketiga untuk jasa terkait gathering wajib
dipotong PPh 23 tarif 2% (untuk WP Dalam Negeri berbentuk badan) atas
nilai jasa bruto (sebelum PPN)[27]. Termasuk dalam objek PPh 23 antara lain: jasa Event
Organizer (EO), jasa persewaan perlengkapan (sound system, lighting), jasa
hiburan (mengundang band/MC lewat event organizer atau manajemen
artis), dan sejenisnya[27]. Contoh: PT X bayar fee Event Organizer Rp50 juta, harus
potong PPh 23 sebesar 2% = Rp1 juta[28]. PT X akan membayar ke EO sebesar Rp49 juta (net setelah potong),
PPN dari EO tetap dibayar penuh terpisah. Semua PPh 23 yang dipotong
disetor oleh perusahaan, dan perusahaan wajib memberikan Bukti Potong PPh
23 ke vendor. Tip: setiap terima invoice vendor gathering, cek selain PPN
apakah objek PPh 23. Jangan sampai hanya fokus PPN tapi lupa potong PPh
23. (Catatan: Jika pembicara atau entertainer yang diundang
berbentuk badan (PT/CV), honorariumnya juga masuk objek PPh 23 2%.
Penanganannya sama seperti jasa EO).
- PPh Pasal 21 atas Honorarium Pembicara (Orang Pribadi): Bila perusahaan memberikan honor kepada pembicara individu
(misal motivator atau pakar yang diundang memberikan materi di event),
maka wajib potong PPh Pasal 21 atas honor tersebut[29]. PPh 21 dikenakan sesuai tarif progresif Pasal 17 UU PPh. Dalam
banyak kasus, tarif efektifnya 5% (lapisan pertama) jika honor tidak
terlalu besar. Misalnya, bayar honor Rp10 juta ke pembicara pribadi,
potong PPh21 sekitar Rp500 ribu (tergantung status PTKP pembicara). Jika
pembicara dikontrak melalui badan usaha atau agensi, berlaku ketentuan
PPh 23 seperti dijelaskan sebelumnya[30]. Pastikan perusahaan menghitung dan memotong PPh yang tepat, lalu
menyetorkannya.
- PPh atas Hadiah kepada Peserta (Door Prize, Undian, Lomba): Dalam gathering, perusahaan kadang memberikan door prize
atau mengadakan undian berhadiah bagi peserta, juga mungkin ada lomba
berhadiah. Perlakuan pajaknya:
·
Jika hadiah berupa undian
(acak) kepada individu (misal: undian berhadiah
smartphone untuk tamu), terkena PPh Final Pasal 4(2) sebesar 25% dari
nilai bruto hadiah[31]. Perusahaan harus memotong PPh Final 25% ini sebelum menyerahkan
hadiah kepada pemenang. Misal door prize uang tunai Rp1 juta, pemenang akan
dikenai potong pajak Rp250 ribu; biasanya perusahaan menanggung sehingga tetap
beri Rp1 juta net ke pemenang dan setor Rp250 ribu pajaknya.
·
Jika hadiah karena
lomba/kompetisi (bukan undian acak) untuk individu,
perlakuannya PPh Pasal 21 (bukan final). Pajaknya mengikuti tarif
progresif penerima. Umumnya, untuk hadiah tidak terlalu besar, dipotong 5%
(lapisan pertama)[32]. Contoh: perusahaan mengadakan kuis dalam event, hadiah Rp5 juta
kepada pemenang; potong PPh21 sebesar Rp250 ribu (5%).
·
Jika hadiah/souvenir diberikan
merata ke semua tamu (door gift): tidak dikenai PPh
21. Kenapa? Karena souvenir tersebut dianggap bagian dari promosi
penjualan, bukan objek pajak penghasilan bagi penerima[33][34]. Nilai souvenir umumnya kecil per orang dan diberikan ke banyak orang
tanpa seleksi pemenang, sehingga bukan merupakan “penghasilan” bagi si
pelanggan. Jadi untuk goodie bag, door gift, dsb tidak perlu potong PPh 21.
💡 Catatan: Pastikan pemotongan PPh (baik PPh 21, 23,
maupun Final) dilakukan tepat waktu dan disertai pembuatan bukti potong
resmi. Kelalaian memotong dapat berakibat sanksi bagi perusahaan sebagai
pemotong. Jadi sebelum membayar vendor atau memberikan hadiah, cek kewajiban
ini. Lebih baik “bermain aman” dengan memotong pajak yang diperlukan
daripada kena tegur fiskus di kemudian hari.
PPN Masukan & PPN Keluaran: Pajak Pertambahan Nilai atas Gathering
Dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), terdapat dua hal penting yang
harus diperhatikan perusahaan ketika mengadakan customer gathering: PPN
Masukan atas biaya-biaya perolehan acara, dan PPN Keluaran atas
pemberian barang/jasa gratis selama acara.
PPN Masukan atas Biaya
Gathering
Perusahaan
penyelenggara gathering pasti mengeluarkan berbagai biaya yang dikenakan PPN
oleh vendor, misalnya: biaya sewa venue kena PPN, jasa event organizer (jasa
EO) kena PPN, pembelian merchandise/souvenir kena PPN, biaya sewa alat kena
PPN, dan sebagainya. PPN yang dibayar perusahaan atas pembelian/jasa ini
disebut PPN Masukan. Apakah PPN Masukan ini boleh dikreditkan?
Jawabannya: YA, sepanjang perusahaan berstatus PKP (Pengusaha Kena Pajak)
dan pengeluaran tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha yang terutang PPN[35].
Acara
customer gathering biasanya bertujuan menunjang penjualan produk yang juga
terutang PPN (penjualan normal). Jadi, PPN Masukan atas biaya gathering
dapat dikreditkan di SPT Masa PPN, asalkan memenuhi syarat umum (faktur
pajak lengkap dari PKP, tidak lewat batas waktu, dsb). Contoh: - Hotel
mengenakan PPN 11% atas sewa ballroom Rp100 juta (PPN = Rp11 juta) –>
perusahaan dapat mengkreditkan Rp11 juta ini. - Event organizer mengenakan fee
Rp20 juta + PPN Rp2,2 juta –> PPN Masukan Rp2,2 juta bisa dikreditkan. -
Vendor souvenir (PKP) menjual merchandise Rp25 juta + PPN Rp2,75 juta –> PPN
Masukan Rp2,75 juta boleh dikreditkan.
Semua Faktur
Pajak Masukan dari biaya-biaya tersebut harus dikumpulkan. Pastikan nama
PKP dan NPWP vendor terdaftar, agar kredit pajaknya sah.
Catatan: Jika ada komponen biaya acara yang tidak dikenakan PPN, tentu tidak
ada PPN Masukan untuk dikreditkan. Misalnya, biaya catering di hotel
sering dikenai pajak daerah (pajak restoran) 10% bukan PPN – atas komponen
ini perusahaan tidak dapat mengkreditkan apa-apa karena bukan PPN[36]. Pajak
daerah tersebut cukup dibukukan sebagai bagian biaya (non-kredit). Namun secara
keseluruhan, sebagian besar belanja gathering (sewa, jasa, barang) akan kena
PPN dan menghasilkan PPN Masukan yang bisa dikreditkan. Pastikan saja
perolehan jasa/barang dari lawan transaksi yang PKP dan minta faktur pajaknya.
Selain itu,
perlu diperhatikan status lawan transaksi: - Jika vendor merupakan
PKP dan mengenakan PPN (ada Faktur Pajak), PPN Masukan dapat dikreditkan
penuh[37][38]. - Jika
membeli barang/jasa dari pihak Non-PKP (tidak memungut PPN), maka tidak
ada PPN Masukan yang dapat dikreditkan[38]. PPN
“terselubung” yang mungkin dibayar (misal penjual non-PKP biasanya memasukkan
PPN ke harga tapi tidak kasih faktur pajak) menjadi bagian harga perolehan
saja. Dengan kata lain, membeli souvenir dari Non-PKP membuat perusahaan
kehilangan kesempatan kredit PPN, sehingga secara biaya relatif lebih mahal
dibanding beli dari PKP[39].
Intinya: Agar lebih efisien, sebisa mungkin belanjakan kebutuhan gathering
(souvenir, jasa EO, dll) dari sesama PKP supaya PPN Masukan-nya dapat
direstitusi atau dikompensasi.
PPN Keluaran atas
Pemberian Souvenir/Gratisan
Ini
area PPN yang sering terlupakan oleh wajib pajak: ketika perusahaan
memberikan barang atau jasa secara cuma-cuma (gratis), hal tersebut dianggap
sebagai penyerahan yang terutang PPN[40]. Undang-Undang PPN Pasal 1A ayat (1) huruf d menegaskan bahwa
pemberian cuma-cuma BKP/JKP kepada pihak lain diperlakukan seperti penjualan
biasa dan dikenai PPN[41].
Logika sederhananya: negara menganggap konsumsi barang/jasa tetap terjadi dan
ingin PPN-nya, walaupun yang menikmati bukan pembeli melainkan diberikan
gratis. Perusahaan dianggap “memungut” PPN dari dirinya sendiri untuk disetor
ke kas negara.
Karena
tidak ada harga jual (kan gratis), Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk
menghitung PPN ditetapkan menggunakan “Nilai Lain”. Peraturan Pemerintah
No.44/2022 menentukan bahwa DPP atas pemberian cuma-cuma adalah harga jual
atau nilai penggantian setelah dikurangi laba kotor[42]. Praktiknya,
banyak perusahaan simpel menggunakan harga pokok perolehan barang tersebut
sebagai DPP (karena harga pokok = harga jual – laba kotor). Hal ini sejalan
dengan aturan tersebut.
Contoh
perhitungan: Perusahaan membeli souvenir mug seharga Rp50.000
per buah (itu harga beli, dianggap sudah margin vendor). Mug ini kemudian
dibagikan gratis ke pelanggan saat gathering. Perusahaan wajib menghitung
PPN keluaran 11% x Rp50.000 = Rp5.500 per mug[43].
Jika ada 100 mug dibagikan, total PPN keluaran Rp550.000. PPN ini tetap
harus disetor ke negara meskipun tidak ditagihkan ke penerima (namanya juga
gratis). Caranya, perusahaan menerbitkan Faktur Pajak keluaran kode 04
(penyerahan cuma-cuma) sesuai ketentuan PER-03/PJ/2022 yang diubah terakhir
dengan PER-11/PJ/2022[44].
Jika penerima adalah konsumen akhir banyak orang yang tidak punya NPWP, faktur
pajak boleh dibuat gabungan/berminggu (faktur digunggung) selama tetap
mencantumkan keterangan “pemberian cuma-cuma – souvenir gathering tanggal X”[45][46].
Yang penting, perusahaan mengadministrasikan PPN keluaran ini dengan benar.
Kabar
baiknya, PPN Masukan atas souvenir tersebut bisa dikreditkan, sehingga
dalam banyak kasus PPN Masukan dan PPN Keluaran impas. Seperti contoh
tadi: beli mug kena PPN 11% (PPN Masukan Rp5.500 per mug), kasih gratis kena
PPN keluaran Rp5.500 – netral. Perusahaan hanya perlu memastikan
administrasi faktur pajak beres, karena kalau lalai menerbitkan faktur
keluaran, nanti dianggap kurang setor PPN[47].
Bagaimana
jika barang yang diberikan adalah barang produksi sendiri? DPP Nilai
Lain tetap cost (harga pokok produksi). Jadi PPN 11% dihitung dari HPP
per unit barang. Pastikan barang yang di-“free”-kan ini dikeluarkan dari
stok dengan benar (adjust inventori dan jurnal, karena secara komersial
tidak ada pendapatan tetapi ada pengurangan persediaan). PPN keluaran tetap
harus dipungut dan disetor.
Bagaimana
dengan pemberian jasa gratis? Prinsipnya sama:
pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak juga terutang PPN. DPP-nya nilai
pasar jasa tersebut. Namun dalam konteks gathering, umumnya perusahaan tidak
memberikan jasa sendiri secara gratis, melainkan justru membeli jasa dari
pihak lain (yang PPN Masukannya sudah dikreditkan). Misal saat acara ada hiburan
musik live: perusahaan membeli jasa band (kena PPN Masukan) dan pengunjung
menikmati gratis. Karena bukan perusahaan yang memberikan jasa musik
tersebut (band lah yang “memberi” jasa, dan band dibayar normal plus PPN),
maka tidak ada PPN keluaran tambahan atas pengunjung “menikmati hiburan”
tersebut[48]. PPN
keluaran cuma muncul jika perusahaan memberikan barang/jasa miliknya sendiri
secara cuma-cuma. Pada gathering, hal itu biasanya berupa barang (souvenir,
door prize barang, sample produk).
Singkatnya: setiap barang (atau jasa) yang diberikan gratis ke orang luar
perusahaan harus diperlakukan sebagaimana penyerahan biasa. Terbitkan Faktur
Pajak keluaran kode 04, hitung PPN 11% dari nilai wajar/harga pokok, dan
setor PPN-nya tepat waktu[49][46].
Ini penting untuk menunjukkan kepatuhan PPN. Jangan anggap remeh – saat
pemeriksaan, petugas kerap mengecek akun biaya promosi atau persediaan untuk
melihat apakah ada barang keluar gratis yang belum dipungut PPN. Lebih baik
perusahaan proaktif memungut sendiri sebelum ketahuan (karena jika
terlambat, bisa kena sanksi bunga/denda atas PPN kurang setor).
Daftar Nominatif & Dokumentasi Pendukung
Seperti telah disinggung di atas, Daftar Nominatif adalah
senjata utama agar biaya promosi/entertainment (termasuk gathering) bisa lolos
secara fiskal. Mari kita dalami sedikit mengenai daftar nominatif dan dokumen
pendukung lainnya:
Pentingnya Daftar Nominatif
Daftar
Nominatif adalah daftar rincian penerima manfaat
biaya promosi/entertainment yang dikeluarkan perusahaan[50]. Kewajiban
penyusunannya diatur dalam PMK No.02/PMK.03/2010 dan diulang
penegasannya di SE-09/PJ/2010. Tanpa daftar ini, biaya terkait nyaris
pasti ditolak saat pemeriksaan[15]. Mengapa?
Karena otoritas pajak khawatir biaya promosi/entertainment disalahgunakan
(fiktif atau tidak tepat sasaran). Daftar nominatif memaksa WP mencatat uangnya
habis ke siapa.
Elemen yang
harus ada dalam daftar nominatif minimal: Tanggal
(kapan acara/pemberian), Nama penerima (individu atau instansi yang
dijamu/diberi), NPWP atau alamat (jika penerima bukan WP ber-NPWP), Bentuk
biaya yang diberikan (misal: makan siang, hotel, souvenir, door prize), Jumlah
(Rp) per penerima, serta keterangan hubungan/tujuan (misal
“pelanggan utama – gathering produk baru”)[14]. Jika atas
biaya tersebut ada pemotongan PPh, cantumkan juga PPh dipotong & nomor
bukti potong[51]. Semakin rinci,
semakin baik. Daftar ini nantinya dilampirkan di SPT Tahunan PPh Badan
sebagai syarat formal.
Bagaimana
jika tamunya banyak sekali atau penerimanya individu non NPWP? Buatlah sebisa mungkin. Tidak ada dispensasi formal – meski
tamu ratusan, tetap harus dibuat daftar. Jika memang terlalu banyak untuk
dicantumkan satu per satu, perusahaan bisa membuat daftar kolektif per event,
misal mencantumkan nama event dan total peserta. Idealnya tetap
sebutkan siapa saja (nama atau minimal grup pelanggan mana) yang diundang. NPWP
kalau tidak ada ya kosongkan atau isi dengan identitas lain. Yang penting,
ada upaya dokumentasi bahwa biaya yang dikeluarkan “mendarat” ke siapa[52][53]. Ini sangat
membantu jika kelak diperiksa – petugas pajak lebih lunak ketika melihat Wajib
Pajak beritikad baik melaporkan detail. Bahkan, dalam sengketa di Pengadilan
Pajak, sering kali hakim mempertimbangkan substansi. Ada kasus di mana WP
tidak sempurna daftar nominatifnya, tapi bisa dibuktikan bahwa biaya benar
untuk promosi (prinsip substansi mengalahkan formalitas), maka koreksi
fiskus dibatalkan[54]. Namun,
jangan jadikan ini alasan untuk abai, karena mengandalkan sengketa itu
melelahkan dan mahal. Lebih baik sejak awal patuhi aturan main.
Berikut contoh
potongan format sederhana daftar nominatif:
Tanggal |
Nama
Penerima |
NPWP |
Jabatan/Relasi |
Biaya
Diberikan |
Jumlah
(Rp) |
Keterangan |
15/01/2024 |
Budi Santoso |
09.xxx.xxx.x-xxx.xxx |
Manajer
Pembelian |
Makan Siang |
250.000 |
Jamuan –
diskusi produk baru |
15/01/2024 |
Fajar Purnama |
- (Non NPWP) |
Pelanggan
(Individu) |
Undian (Door
Prize) |
5.000.000 |
Hadiah undian
acara gathering |
15/01/2024 |
Seluruh
Peserta |
- |
Konsumen
terpilih |
Souvenir
(goodie bag) |
75.000 |
Souvenir
loyalitas pelanggan (per orang) |
(Contoh di
atas ilustratif: Budi Santoso dan Fajar Purnama adalah tamu, Budi punya NPWP
dicantumkan, Fajar tidak punya NPWP diisi “-”. Ada door prize Rp5 juta dipotong
PPh Final 25% oleh perusahaan, dan souvenir senilai Rp75 rb per orang.)
Seperti
terlihat, formatnya fleksibel tapi harus memuat elemen wajib. Daftar
nominatif ini ibarat benteng pertahanan pertama saat biaya promosi
diperiksa[55][56]. Jadi buatlah
sedetail mungkin. Simpan pula pendukungnya: daftar hadir tamu, undangan
acara, agenda acara, foto-foto kegiatan, materi presentasi, laporan evaluasi
event, dan sebagainya. Dokumentasi lengkap akan sangat membantu menunjukkan
bahwa biaya memang benar-benar terjadi dan menunjang usaha, bukan
fiktif.
Terakhir, lampirkan
daftar nominatif di SPT dan pastikan nominalnya konsisten dengan yang
dibukukan. Ketidakkonsistenan data antara pembukuan dan daftar juga bisa
menimbulkan pertanyaan. Konsistensi dan kelengkapan data akan mengurangi
potensi sengketa di kemudian hari.
Menghadapi Grey Area Pajak dalam Biaya Gathering
Meskipun aturan sudah cukup jelas, biaya customer gathering masih
menyisakan beberapa grey area (area abu-abu) dalam perpajakan. Grey area
artinya situasi yang aturannya tidak tegas atau bisa multitafsir, sehingga berpotensi
diperdebatkan antara Wajib Pajak dan fiskus[57]. Untuk biaya gathering, ada dua grey area utama: klasifikasi
biaya dan persyaratan formal vs substansi.
- Klasifikasi Promosi vs Entertainment:
Seperti dibahas, perbedaan promosi vs entertainment itu tipis. Wajib Pajak
mungkin menganggap semua biaya gathering sebagai promosi, tapi petugas
bisa saja memandang itu entertainment (karena ada unsur jamuan). Kedua
belah pihak sama-sama punya dasar aturan[7][58]. Ini bisa jadi sengketa jika fiskus bersikeras menerapkan standar
lebih ketat (misal meminta bukti detail bahwa acara bukan sekadar pesta).
Solusi: klasifikasikan biaya secara logis sejak awal (kalau ragu,
pisahkan komponen: konsumsi dkk sebagai entertainment, acara/merchandise
sebagai promosi) dan siapkan dokumentasi pendukung lengkap untuk kedua
unsur. Dengan demikian, apapun sudut pandang pemeriksa, perusahaan siap[59][60].
- Kelengkapan Daftar Nominatif (Formalitas vs Substansi): Ini area abu-abu lainnya. Peraturan jelas mewajibkan daftar
nominatif, tapi dalam praktik ada kasus di mana WP sudah keluarkan
biaya nyata untuk promosi tapi dokumentasi formal kurang (misal NPWP
penerima tidak tercantum). Petugas pajak seringkali langsung
koreksi jika menemukan daftar nominatif tidak lengkap[61][62]. Namun, di sisi lain Pengadilan Pajak kadang berpihak pada WP
apabila secara substansi terbukti biaya tersebut benar untuk
mendapatkan penghasilan[63]. Contohnya, dalam beberapa putusan, meski daftar nominatif kurang
sempurna, hakim membatalkan koreksi fiskus karena promosi nyata terjadi
dan mendukung penjualan. Ini menunjukkan adanya gap antara
pendekatan formal fiskus vs pendekatan substansi di pengadilan. Bagi
WP, apakah mau “bermain” di area ini? Tentu tidak ideal menguji
peruntungan di pengadilan. Sebaiknya, penuhi saja formalitas sebaik
mungkin. Prinsip kami: Lebih baik repot administrasi di awal
daripada repot sengketa di belakang hari.
Selain dua hal di atas, ada grey area lain yang perlu diwaspadai:
- Acara Gathering Disangka “Natura” Karyawan: Pastikan peserta gathering
adalah pelanggan atau relasi bisnis, bukan karyawan sendiri. Jika
kegiatannya employee gathering (untuk internal karyawan), beda lagi
perlakuan pajaknya (sebelumnya natura karyawan tidak boleh dibebankan, meski
aturan sejak 2022 mulai berubah – di luar cakupan bahasan ini). Untuk
customer gathering, fokus hanya pada pelanggan, sehingga tidak terkait sama
sekali dengan isu natura karyawan[64]. Ini penting supaya fiskus tidak mengira biaya tersebut pemberian
kenikmatan ke pegawai (yang pernah tidak boleh dibebankan).
- Jangan Campur dengan Hubungan
Istimewa/Pengaruh*: Hindari mengundang atau memberi fasilitas
berlebihan ke pejabat pemerintahan atau pihak berpengaruh non-pelanggan
dalam event pelanggan. *Biaya entertainment kepada pejabat/pemerintah
tidak boleh jadi biaya fiskal (dan secara etika bisa dianggap
gratifikasi)[65]. Jadi stick to customers saja untuk amannya (point ini
sudah disebut, tapi perlu ditekankan ulang sebagai area caution).
- Justifikasi Bisnis atas Besarnya Biaya:
Jika biaya gathering tergolong besar, siapkan argumen bisnis yang kuat.
Misal: “Budget acara ini setara 5% dari revenue dari pelanggan yang
diundang, masih wajar karena pelanggan tersebut berkontribusi 50%
penjualan.” Intinya, tunjukkan bahwa biaya sebesar itu worth it
secara bisnis (ada ROI atau at least masuk akal menjaga segmen
pelanggan tertentu)[66][67]. Ini untuk berjaga-jaga kalau fiskus menantang kewajaran biaya. Benchmark
dengan praktik industri juga bisa dipakai: “kompetitor kami juga rutin
menganggarkan sekian untuk customer gathering.” Selama biaya tidak
menyimpang jauh dari kelaziman, biasanya argumen kewajaran bisa diterima.
- Pastikan Terkait Penghasilan Kena Pajak:
(Sudah diuraikan di syarat PPh Badan) – ulang sedikit: jangan sampai biaya
gathering dialokasikan ke penjualan yang PPh-nya final atau PPN-nya
ditanggung pemerintah, dsb. Fiskus melarang beban promosi untuk
penghasilan yang bukan objek atau yang final[68]. Jadi kalau perusahaan punya segmen usaha final/non-objek,
sebaiknya gathering difokuskan untuk segmen yang normal saja.
Singkatnya, menghadapi grey area membutuhkan kombinasi strategi
formal dan substansi. Pendekatan proaktif sangat disarankan: sejak
awal, patuhi saja persyaratan formal (meski merepotkan) sekalian siapkan
justifikasi substansi. Dengan begitu, kemungkinan sengketa bisa
diminimalisir. Ingat, mencegah lebih baik daripada mengobati sengketa
pajak.
Tips & Rekomendasi Praktis (Agar Biaya Gathering Aman dari Koreksi)
Terakhir, berikut adalah beberapa tips praktis dan checklist
yang bisa diterapkan agar biaya customer gathering dan pemberian souvenir aman
secara pajak serta minim risiko koreksi fiskal:
- Rencanakan dengan Tujuan Bisnis Jelas:
Pastikan setiap event gathering punya tujuan yang terukur dan
terdokumentasi. Misalnya: “Acara untuk memperkenalkan produk baru X
kepada 50 pelanggan utama di wilayah Y, dengan target peningkatan
penjualan 20% di segmen ini.” Tujuan yang jelas membantu membuktikan
kaitan ke penghasilan (unsur 3M) dan bisa dicantumkan dalam laporan
kegiatan[69].
- Klasifikasikan Pengeluaran dengan Tepat:
Sejak awal pembukuan, catatlah setiap komponen biaya acara di akun yang
sesuai. Usahakan mengklasifikasikan biaya gathering sebagai Biaya
Promosi (karena tujuan utamanya pemasaran) – tentu sambil menyertakan
bukti kuat pendukungnya[70][60]. Jika ada elemen jamuan, boleh dicatat terpisah sebagai
entertainment. Yang penting, konsisten dan didukung dokumentasi.
Pencatatan rinci di general ledger untuk setiap jenis pengeluaran akan
memudahkan justifikasi saat diperiksa[71].
- Buat Daftar Nominatif yang Sangat
Detail*: Jangan malas membuat daftar nominatif. *Buatlah
sedetail mungkin mencakup semua penerima fasilitas saat gathering[59][72]. Semakin rinci, semakin kuat pembuktiannya. Sertakan nama,
relasi bisnis, tujuan pemberian di kolom keterangan. Formatlah rapi
dan simpan baik-baik. Ingat, ini dokumen pertama yang akan diminta fiskus
ketika biaya promosi signifikan.
- Kreditkan PPN Masukan dengan Benar:
Kumpulkan semua Faktur Pajak Masukan dari biaya acara (sewa tempat,
jasa EO/pembicara, pembelian souvenir) dan pastikan PPN Masukan
tersebut diklaim di SPT Masa PPN dengan benar[73]. Jangan sampai ada yang tercecer. Periksa juga bahwa nama NPWP
vendor sesuai dan faktur tidak fiktif. Pengkreditan PPN Masukan yang valid
akan mengurangi beban PPN perusahaan.
- Setor PPN Keluaran atas Pemberian Souvenir: Ingat selalu bahwa pemberian barang gratis kena PPN keluaran.
Siapkan perhitungan DPP Nilai Lain dengan tepat, biasanya pakai
harga pokok[42]. Terbitkan faktur pajak kode 04 dan setor PPN keluaran
souvenir tepat waktu[74]. Ini area yang sering dilupakan, jadi berikan perhatian khusus
agar tidak terjadi underpayment PPN.
- Lakukan Pemotongan PPh 21/23/Final dengan Taat: Check list: sudah potong PPh 23 untuk semua
pembayaran jasa (EO, sewa alat, dll)? Sudah potong PPh 21 untuk
honor individu (pembicara) jika ada? Sudah potong PPh Final 10%
untuk sewa ruangan? Sudah potong PPh Final 25% untuk door prize
undian? [75]Semua pajak yang dipotong/pungut harus segera disetor sebelum
jatuh tempo. Jangan menunggu sampai diperiksa baru heboh – potong
dan setor sesuai aturan saat itu juga.
- Simpan Dokumentasi Secara Rapi: Kumpulkan
seluruh dokumen terkait acara dalam satu file: proposal acara, surat
undangan, daftar hadir peserta, foto dokumentasi, materi presentasi,
kontrak/vendor invoice, bukti pembayaran, daftar nominatif, bukti setor
pajak, dll. Arsipkan minimal 5-10 tahun (ingat, dokumen pajak
sebaiknya disimpan 10 tahun)[76]. Dengan dokumentasi lengkap, jika suatu saat diperiksa, Anda
dapat dengan cepat membuktikan semua biaya dan kepatuhan pajaknya.
- Pendekatan Proaktif & Konsultasi:
Selalu proaktif dalam urusan pajak. Jangan menunggu sampai ada
pemeriksaan baru merapikan dokumen[77]. Sejak awal, lengkapi dan cocokkan pelaporan pajak dengan
pembukuan. Jika merasa aturan terlalu kompleks, jangan ragu libatkan
konsultan pajak profesional[78]. Mereka bisa membantu strategi sejak perencanaan acara, hingga
pendampingan saat pemeriksaan pajak jika diperlukan.
Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, diharapkan biaya customer
gathering dan souvenir yang Anda keluarkan benar-benar menjadi investasi
bisnis yang efektif sekaligus aman secara fiskal. Ketaatan pajak bukan
cuma soal membayar, tapi juga soal mengelola dan membuktikan** pengeluaran
tersebut. Dengan persiapan matang, acara untuk pelanggan pun bisa digelar tanpa
khawatir pajak menghantui.
Kata Penutup: Urusan pajak memang kompleks,
tetapi dengan pemahaman yang tepat dan strategi yang matang, pajak tidak
akan menjadi hambatan melainkan menjadi pilar kokoh yang mendukung
pertumbuhan bisnis Anda[79]. Ingatlah untuk selalu menjadi Wajib Pajak yang proaktif, bukan
reaktif dalam mengelola kewajiban perpajakan. Semoga panduan ini bermanfaat
bagi Anda. Sukses selalu untuk bisnis dan acara-acara Anda! 🎉
Referensi:
1.
Pasal 6 ayat (1) huruf a UU
No.36 Tahun 2008 (UU PPh) – Ketentuan dasar deductible
expense untuk biaya yang berhubungan dengan penghasilan (3M:
mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan)[2].
2.
PMK No.02/PMK.03/2010 – Peraturan Menkeu tentang biaya promosi yang dapat dikurangkan,
mewajibkan daftar nominatif untuk promosi & hadiah.
3.
SE-09/PJ/2010 – Surat Edaran Dirjen Pajak yang menegaskan kewajiban daftar nominatif
biaya promosi/entertainment sebagai syarat deductible.
4.
SE-27/PJ.22/1986 – Surat Edaran Dirjen Pajak soal definisi & perlakuan biaya
representasi/entertainment yang dapat dibebankan dengan syarat tertentu[80][81].
5.
PP No.34 Tahun 2017 – Aturan PPh Final 10% atas persewaan tanah/bangunan (re: sewa venue
kena PPh Final)[25][23].
6.
PP No.44 Tahun 2022 – Aturan Nilai Lain sebagai DPP PPN, termasuk penentuan DPP
pemberian cuma-cuma BKP/JKP (harga jual setelah dikurangi laba bruto)[42].
7.
Artikel DDTC News – “Biaya
Promosi dan Entertainment yang Boleh Dibebankan” –
(DDTC, 2019) Pembahasan biaya promosi vs entertainment secara umum beserta
syarat-syaratnya[5][17].
8.
Artikel Ortax – “Ketentuan
Biaya Entertainment dalam Menghitung PPh Badan” –
(Ortax, 2010) Membahas syarat kewajaran, daftar nominatif, dll untuk biaya
entertainment.
9.
Artikel OnlinePajak – “Biaya
Entertainment: Definisi dan Cara Buat Daftar Nominatifnya” – (OnlinePajak) Sumber praktis mengenai pembuatan daftar nominatif
biaya entertainment[50].
10. Putusan Pengadilan Pajak No.
PUT-58854/PP/M.XVA/15/2015 – Contoh kasus sengketa biaya promosi vs formalitas
daftar nominatif, di mana Majelis mengutamakan substansi (biaya diakui karena
benar untuk usaha meski dokumen kurang)[63].
11. Putusan Pengadilan Pajak No.
PUT-110081.15/2012/PP/M.IA/2018 – Kasus lain terkait biaya promosi dan koreksi
fiskus; berguna memahami sudut pandang hukum atas grey area.
12. Artikel Ortax – “Bagikan Produk Sampel untuk Konsumen, Tetap Pungut
PPN?” – (Ortax, 2022) Menjelaskan kewajiban PPN atas
pemberian cuma-cuma produk (souvenir/sampel)[82].
13. UU PPh Pasal 4 ayat (2) – Ketentuan PPh Final,
termasuk pajak hadiah undian 25% final dan pajak sewa tanah/bangunan 10% final.
14. UU PPh Pasal 21 & Pasal 23 – Ketentuan
pemotongan PPh 21 atas penghasilan orang pribadi (termasuk hadiah lomba, honor
pembicara) dan PPh 23 atas penghasilan badan (termasuk jasa EO, pembicara
badan).
15. Peraturan DJP PER-03/PJ/2022 (diubah PER-11/PJ/2022) – Tata cara pembuatan Faktur Pajak, termasuk penomoran dan kode faktur
04 untuk penyerahan cuma-cuma[49].
16. Checklist Kepatuhan Pajak – Enforce Advisory –
(EnforceA, Blog) Tips mensiasati biaya promosi agar tidak disikat fiskus, salah
satunya dengan pendekatan proaktif dan dokumentasi lengkap. (Referensi umum
pendukung tips).
17. Materi “Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak” – KerjaPajak 2025 – (Video/Artikel) Menekankan pentingnya bersikap proaktif, simpan
dokumen 10 tahun, dan melibatkan ahli jika perlu[77].
(Catatan: Nomor referensi di atas disusun untuk keperluan panduan ini
dan merujuk pada kombinasi sumber regulasi dan artikel praktis yang telah
disebut di teks sebelumnya, termasuk beberapa kutipan langsung dari regulasi
serta penjelasan para praktisi.)
[1] [3] [4] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [29] [30] [37] [38] [39] [54] [55] [56] [57] [58] [59] [60] [61] [62] [63] [69] [70] [71] [72] [73] [74] [75] [76] [77] [78] [79] Pajak Gathering dan
Souvenir_.docx
file://file-EZ6bBp8Gjix7VDBcn4pSCc
[2] [5] [6] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] [24] [25] [26] [27] [28] [31] [32] [33] [34] [35] [36] [40] [41] [42] [43] [44] [45] [46] [47] [48] [49] [50] [51] [52] [53] [64] [65] [66] [67] [68] [80] [81] [82] Biaya Gathering Demi Loyalitas
Pelanggan_ Perlakuan PPh dan PPN.docx
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.