Sabtu, 06 September 2025

Pendahuluan

Acara customer gathering – alias kumpul-kumpul pelanggan setia – merupakan strategi umum bagi perusahaan untuk menjaga loyalitas pelanggan dan memperkuat citra merek. Biasanya, perusahaan mengundang pelanggan ke sebuah event istimewa (misalnya di hotel) dengan hiburan, jamuan makan, dan souvenir gratis. Harapannya, pelanggan merasa diutamakan, tidak pindah ke pesaing, dan penjualan pun meningkat. Namun, dari kacamata pajak, biaya kemeriahan seperti ini bisa menjadi “jebakan” jika tidak ditangani benar. Muncul pertanyaan: apakah biaya customer gathering dan pemberian souvenir boleh dikurangkan (deductible) dalam perhitungan pajak, atau justru berisiko ditolak fiskus dan dikoreksi sebagai non-deductible?

Panduan praktis ini mengupas tuntas perlakuan pajak atas biaya customer gathering dan souvenir dari sisi Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Dengan bahasa santai namun tetap teknis, Anda akan dipandu memahami syarat pembebanan biaya ini di PPh Badan, kewajiban PPh 21/23/Final atas jasa dan hadiah, hingga cara pengkreditan PPN Masukan dan pengenaan PPN Keluaran atas pemberian gratis. Tak lupa dibahas pentingnya daftar nominatif dan dokumentasi, strategi menghadapi area abu-abu (grey area) perpajakan, serta tips praktis agar biaya gathering aman secara pajak dan terhindar dari koreksi fiskal. Mari kita mulai! 😉

Pengertian Customer Gathering dan Tujuannya

Customer gathering adalah acara berkumpulnya perusahaan dengan para pelanggan (sering berupa event khusus) yang bertujuan utama membangun hubungan kuat dengan pelanggan. Secara bisnis, kegiatan ini dirancang agar pelanggan merasa dihargai, mendapatkan pengalaman positif, dan tetap loyal terhadap produk/layanan perusahaan. Dalam praktiknya, acara ini juga dimanfaatkan untuk soft selling – misalnya memperkenalkan produk baru, meminta umpan balik langsung, hingga menciptakan word of mouth positif. Intinya, customer gathering merupakan investasi strategis untuk mendorong loyalitas pelanggan dan pada akhirnya meningkatkan penjualan[1].

Dari sudut pandang pajak, hubungan antara tujuan bisnis dan perpajakan sangat krusial. Suatu biaya dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto (artinya dapat dibebankan secara fiskal) jika memenuhi kriteria “untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan” – sering disingkat biaya 3M[2][3]. Nah, biaya customer gathering pada dasarnya memenuhi unsur 3M tersebut karena jelas dikeluarkan demi mempertahankan dan meningkatkan pendapatan perusahaan melalui loyalitas pelanggan. Dengan demikian, secara konseptual biaya customer gathering bisa menjadi biaya yang deductible (boleh dikurangkan) asalkan memenuhi syarat-syarat pajak yang berlaku.

Untuk membuktikan hal ini, perusahaan harus menyiapkan dasar yang kuat bahwa kegiatan gathering memang punya tujuan bisnis nyata dan terkait erat dengan penghasilan yang dikenai pajak. Pajak tidak menilai dari nama acaranya saja, tetapi dari substansi dan tujuan di balik pengeluaran tersebut[4]. Pada bagian-bagian selanjutnya, kita akan membahas apa saja syarat agar biaya ini boleh dibebankan, serta implikasi PPh dan PPN yang muncul dari komponen-komponen biaya gathering (seperti sewa tempat, konsumsi, souvenir/hadiah, dan jasa event/pembicara).

Klasifikasi Biaya: Promosi vs Entertainment

Di dunia perpajakan, biaya customer gathering bisa masuk sebagai Biaya Promosi atau Biaya Entertainment/Representasi. Keduanya sebenarnya mirip tujuannya (sama-sama untuk hubungan bisnis dan mendongkrak penjualan) dan sama-sama boleh dibebankan, namun dengan syarat administratif yang sedikit berbeda. Penting bagi kita mengklasifikasikan dengan tepat, karena salah klasifikasi atau dokumentasi bisa membuat fiskus menolak biaya ini.

Biaya Promosi didefinisikan sebagai pengeluaran yang bertujuan memperkenalkan atau menganjurkan penggunaan produk demi mempertahankan atau meningkatkan penjualan[5]. Contoh promosi antara lain: iklan, pameran produk, peluncuran produk baru, sponsorship, pemberian sampel gratis, dan termasuk event customer gathering yang tujuannya jelas untuk marketing. Biaya Entertainment/Representasi mengacu pada pengeluaran untuk jamuan atau hiburan bagi relasi bisnis (pelanggan, rekanan) dalam rangka hubungan usaha[6]. Misalnya traktir makan klien, biaya karaoke dengan relasi, golf dengan mitra, dan sejenisnya.

Sering kali, customer gathering mengandung kedua unsur: ada elemen promosi (memperkenalkan produk, branding) sekaligus unsur entertainment (jamuan makan, hiburan bagi tamu). Dalam hal ini, fiskus bisa saja melihatnya sebagai entertainment ketimbang promosi – apalagi jika fokus acara tampak hanya bersenang-senang. Apa konsekuensinya? Secara substansi, kedua kategori biaya ini sebenarnya deductible sepanjang memenuhi kriteria 3M. Namun, secara administratif*, *keduanya wajib didukung Daftar Nominatif atas tamu/penerima fasilitas. Bedanya, untuk biaya entertainment, fiskus cenderung menuntut daftar nominatif yang lebih detail**[7][8].

Untuk lebih jelas, berikut perbandingan antara Biaya Promosi vs Biaya Entertainment dari sisi pajak:

Aspek

Biaya Promosi (PMK No.02/PMK.03/2010)

Biaya Entertainment (SE-27/PJ.22/1986)

Tujuan/Definisi

Pengeluaran untuk memperkenalkan dan/atau menganjurkan penggunaan produk guna meningkatkan penjualan[9]. Termasuk aktivitas pemasaran dan penjualan.

Pengeluaran untuk jamuan, representasi, hiburan bagi relasi bisnis (pelanggan, rekanan)[9]. Intinya biaya jamuan dalam hubungan usaha.

Deductibility

Deductible penuh, dengan syarat membuat Daftar Nominatif yang memuat data penerima (nama, NPWP/alamat), tanggal, jenis & nominal biaya, dll[10].

Deductible (boleh dibebankan), dengan syarat Daftar Nominatif sangat detail, mencantumkan nama tamu, hubungan bisnis, rincian biaya per orang, dll[10].

Contoh

Iklan di media, pameran produk, event peluncuran produk baru, sponsorship, pemberian sampel gratis[11], customer gathering dengan agenda promosi.

Jamuan makan/minum dengan klien, karaoke dengan relasi bisnis, golf dengan rekan usaha[11], gathering pelanggan yang isinya murni hiburan/jamuan tanpa materi bisnis yang jelas.

Seperti terlihat, perbedaan promosi vs entertainment cukup tipis dan di lapangan bisa tumpang-tindih. Titik rawan sengketa biasanya soal dokumentasi: jika perusahaan gagal menunjukkan bahwa acara tersebut murni promosi (misal tidak ada materi pengenalan produk) dan tidak menyiapkan daftar nominatif yang lengkap, petugas pajak bisa saja menganggapnya sekadar jamuan entertainment biasa lalu mengoreksi biaya tersebut[12]. Oleh sebab itu, regardless mau kita label sebagai promosi atau entertainment, kuncinya adalah disiplin administrasi (daftar nominatif) dan bukti kuat bahwa acara terkait langsung dengan penjualan. Untuk amannya, banyak perusahaan mengklasifikasikan biaya gathering sebagai Biaya Promosi (karena tujuannya pemasaran) namun tetap menyiapkan daftar nominatif lengkap sebagaimana diwajibkan untuk entertainment. Dengan cara ini, aspek substansi dan formal terpenuhi.

Syarat Pembebanan di PPh Badan (Deductible Expenses)

Setelah memastikan kategori biaya (promosi vs entertainment) yang tepat, langkah berikutnya adalah memenuhi syarat-syarat agar biaya customer gathering dapat dibebankan dalam perhitungan PPh Badan. Syarat ini mencakup ketentuan materiil (sesuai Pasal 6 UU PPh) maupun formal (sesuai peraturan pelaksanaannya):

  • Memenuhi Kriteria 3M (Mendapatkan, Menagih, Memelihara Penghasilan): Seperti dijelaskan sebelumnya, biaya harus berkaitan langsung dengan usaha untuk menghasilkan atau mempertahankan penghasilan yang merupakan Objek Pajak biasa[2]. Acara gathering umumnya lolos syarat ini karena bertujuan meningkatkan penjualan melalui loyalitas pelanggan. Pastikan tujuan bisnis acara terdokumentasi jelas (misal: “untuk memperkenalkan produk baru kepada 50 pelanggan utama”). Hal ini membantu membuktikan bahwa biaya memenuhi unsur 3M, bukan sekadar pengeluaran tanpa tujuan.
  • Daftar Nominatif (Syarat Formal): Ini syarat penting yang sering dilupakan. Setiap biaya promosi/entertainment yang melibatkan pihak eksternal wajib dilengkapi Daftar Nominatif[13]. Daftar nominatif adalah daftar rinci penerima manfaat biaya tersebut, minimal memuat: tanggal acara, nama penerima, NPWP (atau identitas lain jika non-NPWP), jabatan/relasi, jenis fasilitas/biaya yang diterima, nilai rupiahnya, serta info pajak yang dipotong (jika ada)[14]. Daftar ini harus dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh Badan. Tanpa daftar nominatif lengkap, fiskus berhak menyatakan biaya gathering non-deductible[15]. Oleh karena itu, perusahaan harus disiplin administrasi: catat semua tamu undangan, siapa mendapat souvenir apa, nilainya berapa, dll. Meskipun merepotkan (apalagi kalau tamu ratusan), aturan tetap aturan – ini untuk mencegah penyalahgunaan biaya promosi/representasi. Jika daftar nominatif tidak dibuat atau diisi asal-asalan, siap-siap biaya gathering ditolak sebagai pengurang oleh fiskus dan dikoreksi fiskal positif (ditambah kembali sebagai penghasilan kena pajak)[16]. (Lihat pembahasan khusus daftar nominatif di bagian tersendiri di bawah.)
  • Kewajaran dan Sesuai Praktik Bisnis: Biaya yang dikeluarkan harus dalam batas kewajaran dan mengikuti adat kelaziman usaha yang baik[17]. Konsep “wajar” ini sifatnya kualitatif – misalnya, jika perusahaan kecil tapi mengadakan gathering super mewah yang biayanya tidak proporsional, fiskus bisa mempertanyakan kelayakannya[17]. Tidak ada angka batasan resmi, namun guideline-nya: biaya harus masuk akal dibanding scale usaha dan manfaat bisnis yang diharapkan. Selama sesuai kelaziman industri, umumnya fiskus menerima. Tips: siapkan justifikasi bisnis, misal “budget marketing X% dari omzet, dan gathering ini bagian dari budget tersebut”, sehingga biaya sebesar itu dapat dianggap normal. Hindari biaya yang overkill tanpa korelasi ke peningkatan penjualan, karena itu rawan dipermasalahkan.
  • Terkait Penghasilan Kena Pajak Normal: Biaya hanya boleh dibebankan jika tujuannya untuk mendapatkan/meningkatkan penghasilan yang merupakan objek pajak normal (bukan penghasilan bebas pajak atau yang pajaknya final)[18]. Biaya promosi untuk memperoleh penghasilan yang bukan objek atau yang dikenai PPh Final tidak boleh dibebankan[18]. Dalam konteks customer gathering, pastikan acara ditujukan bagi pelanggan atas produk/jasa yang penjualannya terkena pajak normal (PPh & PPN). Jangan sampai biaya gathering dialokasikan untuk mempromosikan segmen usaha yang penghasilannya final atau tidak kena pajak, karena fiskus bisa menolak biaya tersebut. Untungnya, kebanyakan gathering pelanggan memang untuk penjualan produk reguler, jadi biasanya aman pada poin ini.
  • Bukan “Imbalan” Terselubung di Luar Promosi: Aturan tegas melarang mengakui sebagai biaya promosi pengeluaran yang sebenarnya merupakan pemberian kepada pihak lain yang tidak langsung terkait kegiatan promosi[19]. Contoh tidak boleh: perusahaan memberi hadiah uang tunai kepada seseorang yang tidak ada hubungannya dengan acara promo (misal sponsor pribadi pejabat 😛) – jelas ini bukan biaya promosi yang dapat dibebankan[19]. Pastikan biaya gathering murni untuk pelanggan atau pihak yang punya relasi bisnis, bukan untuk pihak luar yang tak relevan. Selama souvenir, doorprize, konsumsi dll diberikan dalam rangka acara promosi dengan pelanggan, itu termasuk yang boleh dibebankan[20]. Singkatnya: stick to customers! Hindari melibatkan pejabat/pemerintah dalam acara pelanggan, karena selain berpotensi dianggap gratifikasi, biaya jamuannya pun tidak boleh jadi pengurang pajak.
  • Nilai yang Dibebankan (Jika Berupa Pemberian Barang): Jika promosi dilakukan dengan memberikan barang gratis (souvenir, hadiah, sampel produk), yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah harga pokok perolehan barang tersebut, bukan harga jualnya[21]. Ketentuan ini untuk mencegah perusahaan menaikkan biaya secara fiktif. Contoh: Perusahaan memberikan souvenir berupa produk sendiri yang biasanya dijual seharga Rp200 ribu. Yang dicatat sebagai biaya promosi cukup biaya produksinya misal Rp120 ribu (atau jika barang dagangan, pakai nilai HPP dari persediaan)[21], bukan Rp200 ribu. Kalau souvenirnya barang yang dibeli dari pihak lain, ya biaya yang dibebankan sebesar harga belinya. Pastikan juga biaya ini belum dibebankan di tempat lain – jangan sampai harga pokok sudah masuk HPP, lalu harga jualnya masih mau dibebankan lagi sebagai promosi (dobel pembebanan). Intinya, perusahaan hanya boleh membebankan biaya nyata yang dikeluarkan.**

Jika semua syarat di atas terpenuhi, secara teori biaya customer gathering dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto perusahaan (mengurangi laba kena pajak). Artinya, PPh Badan terutang pun berkurang. Sebaliknya, jika syarat tidak dipenuhi (misal: daftar nominatif tidak ada), maka sesuai aturan biaya tersebut harus dikeluarkan dari perhitungan fiskal (dikoreksi positif). Perusahaan terpaksa menambah kembali biaya itu ke laba kena pajak, sehingga PPh Badan yang harus dibayar jadi lebih besar[16]. Contoh dampaknya: jika biaya gathering Rp100 juta tidak bisa diakui, dan tarif PPh Badan 22%, perusahaan bakal bayar PPh tambahan Rp22 juta yang seharusnya bisa dihemat.

PPh 21, PPh 23, dan PPh Final: Kewajiban Pajak atas Jasa & Hadiah

Selain implikasi ke PPh Badan, penyelenggaraan acara gathering kerap menimbulkan kewajiban pemotongan/pemungutan PPh atas pembayaran tertentu. Perusahaan harus memperhatikan hal-hal berikut dan memotong PPh yang diperlukan sebelum melakukan pembayaran atau memberikan hadiah:

  • PPh Final 10% atas Sewa Tempat Pasal 4 ayat (2) UU PPh: Jika acara berlangsung dengan menyewa gedung atau ruangan (misal sewa ballroom hotel, sewa aula pertemuan), terdapat kewajiban PPh Final 10% dari jumlah bruto sewa[22][23]. Sesuai peraturan, persewaan tanah/bangunan dikenai PPh Final 10%. Dalam praktiknya, perusahaan sebagai penyewa wajib memotong dan menyetor PPh final ini ke kas negara. Contoh: sewa ballroom Rp100 juta, perusahaan potong PPh Final Rp10 juta (10%) sebelum bayar ke pemilik gedung[24][23]. (Catatan: Ada sedikit grey area untuk sewa ruang meeting di hotel. Jika sewa ruang berdiri sendiri (tidak satu paket dengan kamar/penginapan), seharusnya kena PPh Final. Tapi kalau sewa ruang sudah jadi bagian paket layanan hotel (misal paket meeting lengkap dengan kamar), maka dianggap jasa hotel yang tidak kena PPh Final melainkan pajak daerah[25]. Untuk amannya, banyak perusahaan tetap memotong 10% final atas sewa ruang event walau di hotel[26]. Pastikan koordinasi dengan pihak venue; jika hotel mengeluarkan tagihan full tanpa potongan, perusahaan bisa gross-up, namun sebaiknya ada bukti bahwa PPh final atas sewa sudah tertanggung.)
  • PPh Pasal 23 atas Jasa Event Organizer, Peralatan, Hiburan, dll: Pembayaran kepada pihak ketiga untuk jasa terkait gathering wajib dipotong PPh 23 tarif 2% (untuk WP Dalam Negeri berbentuk badan) atas nilai jasa bruto (sebelum PPN)[27]. Termasuk dalam objek PPh 23 antara lain: jasa Event Organizer (EO), jasa persewaan perlengkapan (sound system, lighting), jasa hiburan (mengundang band/MC lewat event organizer atau manajemen artis), dan sejenisnya[27]. Contoh: PT X bayar fee Event Organizer Rp50 juta, harus potong PPh 23 sebesar 2% = Rp1 juta[28]. PT X akan membayar ke EO sebesar Rp49 juta (net setelah potong), PPN dari EO tetap dibayar penuh terpisah. Semua PPh 23 yang dipotong disetor oleh perusahaan, dan perusahaan wajib memberikan Bukti Potong PPh 23 ke vendor. Tip: setiap terima invoice vendor gathering, cek selain PPN apakah objek PPh 23. Jangan sampai hanya fokus PPN tapi lupa potong PPh 23. (Catatan: Jika pembicara atau entertainer yang diundang berbentuk badan (PT/CV), honorariumnya juga masuk objek PPh 23 2%. Penanganannya sama seperti jasa EO).
  • PPh Pasal 21 atas Honorarium Pembicara (Orang Pribadi): Bila perusahaan memberikan honor kepada pembicara individu (misal motivator atau pakar yang diundang memberikan materi di event), maka wajib potong PPh Pasal 21 atas honor tersebut[29]. PPh 21 dikenakan sesuai tarif progresif Pasal 17 UU PPh. Dalam banyak kasus, tarif efektifnya 5% (lapisan pertama) jika honor tidak terlalu besar. Misalnya, bayar honor Rp10 juta ke pembicara pribadi, potong PPh21 sekitar Rp500 ribu (tergantung status PTKP pembicara). Jika pembicara dikontrak melalui badan usaha atau agensi, berlaku ketentuan PPh 23 seperti dijelaskan sebelumnya[30]. Pastikan perusahaan menghitung dan memotong PPh yang tepat, lalu menyetorkannya.
  • PPh atas Hadiah kepada Peserta (Door Prize, Undian, Lomba): Dalam gathering, perusahaan kadang memberikan door prize atau mengadakan undian berhadiah bagi peserta, juga mungkin ada lomba berhadiah. Perlakuan pajaknya:

·         Jika hadiah berupa undian (acak) kepada individu (misal: undian berhadiah smartphone untuk tamu), terkena PPh Final Pasal 4(2) sebesar 25% dari nilai bruto hadiah[31]. Perusahaan harus memotong PPh Final 25% ini sebelum menyerahkan hadiah kepada pemenang. Misal door prize uang tunai Rp1 juta, pemenang akan dikenai potong pajak Rp250 ribu; biasanya perusahaan menanggung sehingga tetap beri Rp1 juta net ke pemenang dan setor Rp250 ribu pajaknya.

·         Jika hadiah karena lomba/kompetisi (bukan undian acak) untuk individu, perlakuannya PPh Pasal 21 (bukan final). Pajaknya mengikuti tarif progresif penerima. Umumnya, untuk hadiah tidak terlalu besar, dipotong 5% (lapisan pertama)[32]. Contoh: perusahaan mengadakan kuis dalam event, hadiah Rp5 juta kepada pemenang; potong PPh21 sebesar Rp250 ribu (5%).

·         Jika hadiah/souvenir diberikan merata ke semua tamu (door gift): tidak dikenai PPh 21. Kenapa? Karena souvenir tersebut dianggap bagian dari promosi penjualan, bukan objek pajak penghasilan bagi penerima[33][34]. Nilai souvenir umumnya kecil per orang dan diberikan ke banyak orang tanpa seleksi pemenang, sehingga bukan merupakan “penghasilan” bagi si pelanggan. Jadi untuk goodie bag, door gift, dsb tidak perlu potong PPh 21.

💡 Catatan: Pastikan pemotongan PPh (baik PPh 21, 23, maupun Final) dilakukan tepat waktu dan disertai pembuatan bukti potong resmi. Kelalaian memotong dapat berakibat sanksi bagi perusahaan sebagai pemotong. Jadi sebelum membayar vendor atau memberikan hadiah, cek kewajiban ini. Lebih baik “bermain aman” dengan memotong pajak yang diperlukan daripada kena tegur fiskus di kemudian hari.

PPN Masukan & PPN Keluaran: Pajak Pertambahan Nilai atas Gathering

Dari sisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN), terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan perusahaan ketika mengadakan customer gathering: PPN Masukan atas biaya-biaya perolehan acara, dan PPN Keluaran atas pemberian barang/jasa gratis selama acara.

PPN Masukan atas Biaya Gathering

Perusahaan penyelenggara gathering pasti mengeluarkan berbagai biaya yang dikenakan PPN oleh vendor, misalnya: biaya sewa venue kena PPN, jasa event organizer (jasa EO) kena PPN, pembelian merchandise/souvenir kena PPN, biaya sewa alat kena PPN, dan sebagainya. PPN yang dibayar perusahaan atas pembelian/jasa ini disebut PPN Masukan. Apakah PPN Masukan ini boleh dikreditkan? Jawabannya: YA, sepanjang perusahaan berstatus PKP (Pengusaha Kena Pajak) dan pengeluaran tersebut berkaitan dengan kegiatan usaha yang terutang PPN[35].

Acara customer gathering biasanya bertujuan menunjang penjualan produk yang juga terutang PPN (penjualan normal). Jadi, PPN Masukan atas biaya gathering dapat dikreditkan di SPT Masa PPN, asalkan memenuhi syarat umum (faktur pajak lengkap dari PKP, tidak lewat batas waktu, dsb). Contoh: - Hotel mengenakan PPN 11% atas sewa ballroom Rp100 juta (PPN = Rp11 juta) –> perusahaan dapat mengkreditkan Rp11 juta ini. - Event organizer mengenakan fee Rp20 juta + PPN Rp2,2 juta –> PPN Masukan Rp2,2 juta bisa dikreditkan. - Vendor souvenir (PKP) menjual merchandise Rp25 juta + PPN Rp2,75 juta –> PPN Masukan Rp2,75 juta boleh dikreditkan.

Semua Faktur Pajak Masukan dari biaya-biaya tersebut harus dikumpulkan. Pastikan nama PKP dan NPWP vendor terdaftar, agar kredit pajaknya sah.

Catatan: Jika ada komponen biaya acara yang tidak dikenakan PPN, tentu tidak ada PPN Masukan untuk dikreditkan. Misalnya, biaya catering di hotel sering dikenai pajak daerah (pajak restoran) 10% bukan PPN – atas komponen ini perusahaan tidak dapat mengkreditkan apa-apa karena bukan PPN[36]. Pajak daerah tersebut cukup dibukukan sebagai bagian biaya (non-kredit). Namun secara keseluruhan, sebagian besar belanja gathering (sewa, jasa, barang) akan kena PPN dan menghasilkan PPN Masukan yang bisa dikreditkan. Pastikan saja perolehan jasa/barang dari lawan transaksi yang PKP dan minta faktur pajaknya.

Selain itu, perlu diperhatikan status lawan transaksi: - Jika vendor merupakan PKP dan mengenakan PPN (ada Faktur Pajak), PPN Masukan dapat dikreditkan penuh[37][38]. - Jika membeli barang/jasa dari pihak Non-PKP (tidak memungut PPN), maka tidak ada PPN Masukan yang dapat dikreditkan[38]. PPN “terselubung” yang mungkin dibayar (misal penjual non-PKP biasanya memasukkan PPN ke harga tapi tidak kasih faktur pajak) menjadi bagian harga perolehan saja. Dengan kata lain, membeli souvenir dari Non-PKP membuat perusahaan kehilangan kesempatan kredit PPN, sehingga secara biaya relatif lebih mahal dibanding beli dari PKP[39].

Intinya: Agar lebih efisien, sebisa mungkin belanjakan kebutuhan gathering (souvenir, jasa EO, dll) dari sesama PKP supaya PPN Masukan-nya dapat direstitusi atau dikompensasi.

PPN Keluaran atas Pemberian Souvenir/Gratisan

Ini area PPN yang sering terlupakan oleh wajib pajak: ketika perusahaan memberikan barang atau jasa secara cuma-cuma (gratis), hal tersebut dianggap sebagai penyerahan yang terutang PPN[40]. Undang-Undang PPN Pasal 1A ayat (1) huruf d menegaskan bahwa pemberian cuma-cuma BKP/JKP kepada pihak lain diperlakukan seperti penjualan biasa dan dikenai PPN[41]. Logika sederhananya: negara menganggap konsumsi barang/jasa tetap terjadi dan ingin PPN-nya, walaupun yang menikmati bukan pembeli melainkan diberikan gratis. Perusahaan dianggap “memungut” PPN dari dirinya sendiri untuk disetor ke kas negara.

Karena tidak ada harga jual (kan gratis), Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk menghitung PPN ditetapkan menggunakan “Nilai Lain”. Peraturan Pemerintah No.44/2022 menentukan bahwa DPP atas pemberian cuma-cuma adalah harga jual atau nilai penggantian setelah dikurangi laba kotor[42]. Praktiknya, banyak perusahaan simpel menggunakan harga pokok perolehan barang tersebut sebagai DPP (karena harga pokok = harga jual – laba kotor). Hal ini sejalan dengan aturan tersebut.

Contoh perhitungan: Perusahaan membeli souvenir mug seharga Rp50.000 per buah (itu harga beli, dianggap sudah margin vendor). Mug ini kemudian dibagikan gratis ke pelanggan saat gathering. Perusahaan wajib menghitung PPN keluaran 11% x Rp50.000 = Rp5.500 per mug[43]. Jika ada 100 mug dibagikan, total PPN keluaran Rp550.000. PPN ini tetap harus disetor ke negara meskipun tidak ditagihkan ke penerima (namanya juga gratis). Caranya, perusahaan menerbitkan Faktur Pajak keluaran kode 04 (penyerahan cuma-cuma) sesuai ketentuan PER-03/PJ/2022 yang diubah terakhir dengan PER-11/PJ/2022[44]. Jika penerima adalah konsumen akhir banyak orang yang tidak punya NPWP, faktur pajak boleh dibuat gabungan/berminggu (faktur digunggung) selama tetap mencantumkan keterangan “pemberian cuma-cuma – souvenir gathering tanggal X”[45][46]. Yang penting, perusahaan mengadministrasikan PPN keluaran ini dengan benar.

Kabar baiknya, PPN Masukan atas souvenir tersebut bisa dikreditkan, sehingga dalam banyak kasus PPN Masukan dan PPN Keluaran impas. Seperti contoh tadi: beli mug kena PPN 11% (PPN Masukan Rp5.500 per mug), kasih gratis kena PPN keluaran Rp5.500 – netral. Perusahaan hanya perlu memastikan administrasi faktur pajak beres, karena kalau lalai menerbitkan faktur keluaran, nanti dianggap kurang setor PPN[47].

Bagaimana jika barang yang diberikan adalah barang produksi sendiri? DPP Nilai Lain tetap cost (harga pokok produksi). Jadi PPN 11% dihitung dari HPP per unit barang. Pastikan barang yang di-“free”-kan ini dikeluarkan dari stok dengan benar (adjust inventori dan jurnal, karena secara komersial tidak ada pendapatan tetapi ada pengurangan persediaan). PPN keluaran tetap harus dipungut dan disetor.

Bagaimana dengan pemberian jasa gratis? Prinsipnya sama: pemberian cuma-cuma Jasa Kena Pajak juga terutang PPN. DPP-nya nilai pasar jasa tersebut. Namun dalam konteks gathering, umumnya perusahaan tidak memberikan jasa sendiri secara gratis, melainkan justru membeli jasa dari pihak lain (yang PPN Masukannya sudah dikreditkan). Misal saat acara ada hiburan musik live: perusahaan membeli jasa band (kena PPN Masukan) dan pengunjung menikmati gratis. Karena bukan perusahaan yang memberikan jasa musik tersebut (band lah yang “memberi” jasa, dan band dibayar normal plus PPN), maka tidak ada PPN keluaran tambahan atas pengunjung “menikmati hiburan” tersebut[48]. PPN keluaran cuma muncul jika perusahaan memberikan barang/jasa miliknya sendiri secara cuma-cuma. Pada gathering, hal itu biasanya berupa barang (souvenir, door prize barang, sample produk).

Singkatnya: setiap barang (atau jasa) yang diberikan gratis ke orang luar perusahaan harus diperlakukan sebagaimana penyerahan biasa. Terbitkan Faktur Pajak keluaran kode 04, hitung PPN 11% dari nilai wajar/harga pokok, dan setor PPN-nya tepat waktu[49][46]. Ini penting untuk menunjukkan kepatuhan PPN. Jangan anggap remeh – saat pemeriksaan, petugas kerap mengecek akun biaya promosi atau persediaan untuk melihat apakah ada barang keluar gratis yang belum dipungut PPN. Lebih baik perusahaan proaktif memungut sendiri sebelum ketahuan (karena jika terlambat, bisa kena sanksi bunga/denda atas PPN kurang setor).

Daftar Nominatif & Dokumentasi Pendukung

Seperti telah disinggung di atas, Daftar Nominatif adalah senjata utama agar biaya promosi/entertainment (termasuk gathering) bisa lolos secara fiskal. Mari kita dalami sedikit mengenai daftar nominatif dan dokumen pendukung lainnya:

Pentingnya Daftar Nominatif

Daftar Nominatif adalah daftar rincian penerima manfaat biaya promosi/entertainment yang dikeluarkan perusahaan[50]. Kewajiban penyusunannya diatur dalam PMK No.02/PMK.03/2010 dan diulang penegasannya di SE-09/PJ/2010. Tanpa daftar ini, biaya terkait nyaris pasti ditolak saat pemeriksaan[15]. Mengapa? Karena otoritas pajak khawatir biaya promosi/entertainment disalahgunakan (fiktif atau tidak tepat sasaran). Daftar nominatif memaksa WP mencatat uangnya habis ke siapa.

Elemen yang harus ada dalam daftar nominatif minimal: Tanggal (kapan acara/pemberian), Nama penerima (individu atau instansi yang dijamu/diberi), NPWP atau alamat (jika penerima bukan WP ber-NPWP), Bentuk biaya yang diberikan (misal: makan siang, hotel, souvenir, door prize), Jumlah (Rp) per penerima, serta keterangan hubungan/tujuan (misal “pelanggan utama – gathering produk baru”)[14]. Jika atas biaya tersebut ada pemotongan PPh, cantumkan juga PPh dipotong & nomor bukti potong[51]. Semakin rinci, semakin baik. Daftar ini nantinya dilampirkan di SPT Tahunan PPh Badan sebagai syarat formal.

Bagaimana jika tamunya banyak sekali atau penerimanya individu non NPWP? Buatlah sebisa mungkin. Tidak ada dispensasi formal – meski tamu ratusan, tetap harus dibuat daftar. Jika memang terlalu banyak untuk dicantumkan satu per satu, perusahaan bisa membuat daftar kolektif per event, misal mencantumkan nama event dan total peserta. Idealnya tetap sebutkan siapa saja (nama atau minimal grup pelanggan mana) yang diundang. NPWP kalau tidak ada ya kosongkan atau isi dengan identitas lain. Yang penting, ada upaya dokumentasi bahwa biaya yang dikeluarkan “mendarat” ke siapa[52][53]. Ini sangat membantu jika kelak diperiksa – petugas pajak lebih lunak ketika melihat Wajib Pajak beritikad baik melaporkan detail. Bahkan, dalam sengketa di Pengadilan Pajak, sering kali hakim mempertimbangkan substansi. Ada kasus di mana WP tidak sempurna daftar nominatifnya, tapi bisa dibuktikan bahwa biaya benar untuk promosi (prinsip substansi mengalahkan formalitas), maka koreksi fiskus dibatalkan[54]. Namun, jangan jadikan ini alasan untuk abai, karena mengandalkan sengketa itu melelahkan dan mahal. Lebih baik sejak awal patuhi aturan main.

Berikut contoh potongan format sederhana daftar nominatif:

Tanggal

Nama Penerima

NPWP

Jabatan/Relasi

Biaya Diberikan

Jumlah (Rp)

Keterangan

15/01/2024

Budi Santoso

09.xxx.xxx.x-xxx.xxx

Manajer Pembelian

Makan Siang

250.000

Jamuan – diskusi produk baru

15/01/2024

Fajar Purnama

- (Non NPWP)

Pelanggan (Individu)

Undian (Door Prize)

5.000.000

Hadiah undian acara gathering

15/01/2024

Seluruh Peserta

-

Konsumen terpilih

Souvenir (goodie bag)

75.000

Souvenir loyalitas pelanggan (per orang)

(Contoh di atas ilustratif: Budi Santoso dan Fajar Purnama adalah tamu, Budi punya NPWP dicantumkan, Fajar tidak punya NPWP diisi “-”. Ada door prize Rp5 juta dipotong PPh Final 25% oleh perusahaan, dan souvenir senilai Rp75 rb per orang.)

Seperti terlihat, formatnya fleksibel tapi harus memuat elemen wajib. Daftar nominatif ini ibarat benteng pertahanan pertama saat biaya promosi diperiksa[55][56]. Jadi buatlah sedetail mungkin. Simpan pula pendukungnya: daftar hadir tamu, undangan acara, agenda acara, foto-foto kegiatan, materi presentasi, laporan evaluasi event, dan sebagainya. Dokumentasi lengkap akan sangat membantu menunjukkan bahwa biaya memang benar-benar terjadi dan menunjang usaha, bukan fiktif.

Terakhir, lampirkan daftar nominatif di SPT dan pastikan nominalnya konsisten dengan yang dibukukan. Ketidakkonsistenan data antara pembukuan dan daftar juga bisa menimbulkan pertanyaan. Konsistensi dan kelengkapan data akan mengurangi potensi sengketa di kemudian hari.

Menghadapi Grey Area Pajak dalam Biaya Gathering

Meskipun aturan sudah cukup jelas, biaya customer gathering masih menyisakan beberapa grey area (area abu-abu) dalam perpajakan. Grey area artinya situasi yang aturannya tidak tegas atau bisa multitafsir, sehingga berpotensi diperdebatkan antara Wajib Pajak dan fiskus[57]. Untuk biaya gathering, ada dua grey area utama: klasifikasi biaya dan persyaratan formal vs substansi.

  • Klasifikasi Promosi vs Entertainment: Seperti dibahas, perbedaan promosi vs entertainment itu tipis. Wajib Pajak mungkin menganggap semua biaya gathering sebagai promosi, tapi petugas bisa saja memandang itu entertainment (karena ada unsur jamuan). Kedua belah pihak sama-sama punya dasar aturan[7][58]. Ini bisa jadi sengketa jika fiskus bersikeras menerapkan standar lebih ketat (misal meminta bukti detail bahwa acara bukan sekadar pesta). Solusi: klasifikasikan biaya secara logis sejak awal (kalau ragu, pisahkan komponen: konsumsi dkk sebagai entertainment, acara/merchandise sebagai promosi) dan siapkan dokumentasi pendukung lengkap untuk kedua unsur. Dengan demikian, apapun sudut pandang pemeriksa, perusahaan siap[59][60].
  • Kelengkapan Daftar Nominatif (Formalitas vs Substansi): Ini area abu-abu lainnya. Peraturan jelas mewajibkan daftar nominatif, tapi dalam praktik ada kasus di mana WP sudah keluarkan biaya nyata untuk promosi tapi dokumentasi formal kurang (misal NPWP penerima tidak tercantum). Petugas pajak seringkali langsung koreksi jika menemukan daftar nominatif tidak lengkap[61][62]. Namun, di sisi lain Pengadilan Pajak kadang berpihak pada WP apabila secara substansi terbukti biaya tersebut benar untuk mendapatkan penghasilan[63]. Contohnya, dalam beberapa putusan, meski daftar nominatif kurang sempurna, hakim membatalkan koreksi fiskus karena promosi nyata terjadi dan mendukung penjualan. Ini menunjukkan adanya gap antara pendekatan formal fiskus vs pendekatan substansi di pengadilan. Bagi WP, apakah mau “bermain” di area ini? Tentu tidak ideal menguji peruntungan di pengadilan. Sebaiknya, penuhi saja formalitas sebaik mungkin. Prinsip kami: Lebih baik repot administrasi di awal daripada repot sengketa di belakang hari.

Selain dua hal di atas, ada grey area lain yang perlu diwaspadai:
- Acara Gathering Disangka “Natura” Karyawan: Pastikan peserta gathering adalah pelanggan atau relasi bisnis, bukan karyawan sendiri. Jika kegiatannya employee gathering (untuk internal karyawan), beda lagi perlakuan pajaknya (sebelumnya natura karyawan tidak boleh dibebankan, meski aturan sejak 2022 mulai berubah – di luar cakupan bahasan ini). Untuk customer gathering, fokus hanya pada pelanggan, sehingga tidak terkait sama sekali dengan isu natura karyawan
[64]. Ini penting supaya fiskus tidak mengira biaya tersebut pemberian kenikmatan ke pegawai (yang pernah tidak boleh dibebankan).

  • Jangan Campur dengan Hubungan Istimewa/Pengaruh*: Hindari mengundang atau memberi fasilitas berlebihan ke pejabat pemerintahan atau pihak berpengaruh non-pelanggan dalam event pelanggan. *Biaya entertainment kepada pejabat/pemerintah tidak boleh jadi biaya fiskal (dan secara etika bisa dianggap gratifikasi)[65]. Jadi stick to customers saja untuk amannya (point ini sudah disebut, tapi perlu ditekankan ulang sebagai area caution).
  • Justifikasi Bisnis atas Besarnya Biaya: Jika biaya gathering tergolong besar, siapkan argumen bisnis yang kuat. Misal: “Budget acara ini setara 5% dari revenue dari pelanggan yang diundang, masih wajar karena pelanggan tersebut berkontribusi 50% penjualan.” Intinya, tunjukkan bahwa biaya sebesar itu worth it secara bisnis (ada ROI atau at least masuk akal menjaga segmen pelanggan tertentu)[66][67]. Ini untuk berjaga-jaga kalau fiskus menantang kewajaran biaya. Benchmark dengan praktik industri juga bisa dipakai: “kompetitor kami juga rutin menganggarkan sekian untuk customer gathering.” Selama biaya tidak menyimpang jauh dari kelaziman, biasanya argumen kewajaran bisa diterima.
  • Pastikan Terkait Penghasilan Kena Pajak: (Sudah diuraikan di syarat PPh Badan) – ulang sedikit: jangan sampai biaya gathering dialokasikan ke penjualan yang PPh-nya final atau PPN-nya ditanggung pemerintah, dsb. Fiskus melarang beban promosi untuk penghasilan yang bukan objek atau yang final[68]. Jadi kalau perusahaan punya segmen usaha final/non-objek, sebaiknya gathering difokuskan untuk segmen yang normal saja.

Singkatnya, menghadapi grey area membutuhkan kombinasi strategi formal dan substansi. Pendekatan proaktif sangat disarankan: sejak awal, patuhi saja persyaratan formal (meski merepotkan) sekalian siapkan justifikasi substansi. Dengan begitu, kemungkinan sengketa bisa diminimalisir. Ingat, mencegah lebih baik daripada mengobati sengketa pajak.

Tips & Rekomendasi Praktis (Agar Biaya Gathering Aman dari Koreksi)

Terakhir, berikut adalah beberapa tips praktis dan checklist yang bisa diterapkan agar biaya customer gathering dan pemberian souvenir aman secara pajak serta minim risiko koreksi fiskal:

  • Rencanakan dengan Tujuan Bisnis Jelas: Pastikan setiap event gathering punya tujuan yang terukur dan terdokumentasi. Misalnya: “Acara untuk memperkenalkan produk baru X kepada 50 pelanggan utama di wilayah Y, dengan target peningkatan penjualan 20% di segmen ini.” Tujuan yang jelas membantu membuktikan kaitan ke penghasilan (unsur 3M) dan bisa dicantumkan dalam laporan kegiatan[69].
  • Klasifikasikan Pengeluaran dengan Tepat: Sejak awal pembukuan, catatlah setiap komponen biaya acara di akun yang sesuai. Usahakan mengklasifikasikan biaya gathering sebagai Biaya Promosi (karena tujuan utamanya pemasaran) – tentu sambil menyertakan bukti kuat pendukungnya[70][60]. Jika ada elemen jamuan, boleh dicatat terpisah sebagai entertainment. Yang penting, konsisten dan didukung dokumentasi. Pencatatan rinci di general ledger untuk setiap jenis pengeluaran akan memudahkan justifikasi saat diperiksa[71].
  • Buat Daftar Nominatif yang Sangat Detail*: Jangan malas membuat daftar nominatif. *Buatlah sedetail mungkin mencakup semua penerima fasilitas saat gathering[59][72]. Semakin rinci, semakin kuat pembuktiannya. Sertakan nama, relasi bisnis, tujuan pemberian di kolom keterangan. Formatlah rapi dan simpan baik-baik. Ingat, ini dokumen pertama yang akan diminta fiskus ketika biaya promosi signifikan.
  • Kreditkan PPN Masukan dengan Benar: Kumpulkan semua Faktur Pajak Masukan dari biaya acara (sewa tempat, jasa EO/pembicara, pembelian souvenir) dan pastikan PPN Masukan tersebut diklaim di SPT Masa PPN dengan benar[73]. Jangan sampai ada yang tercecer. Periksa juga bahwa nama NPWP vendor sesuai dan faktur tidak fiktif. Pengkreditan PPN Masukan yang valid akan mengurangi beban PPN perusahaan.
  • Setor PPN Keluaran atas Pemberian Souvenir: Ingat selalu bahwa pemberian barang gratis kena PPN keluaran. Siapkan perhitungan DPP Nilai Lain dengan tepat, biasanya pakai harga pokok[42]. Terbitkan faktur pajak kode 04 dan setor PPN keluaran souvenir tepat waktu[74]. Ini area yang sering dilupakan, jadi berikan perhatian khusus agar tidak terjadi underpayment PPN.
  • Lakukan Pemotongan PPh 21/23/Final dengan Taat: Check list: sudah potong PPh 23 untuk semua pembayaran jasa (EO, sewa alat, dll)? Sudah potong PPh 21 untuk honor individu (pembicara) jika ada? Sudah potong PPh Final 10% untuk sewa ruangan? Sudah potong PPh Final 25% untuk door prize undian? [75]Semua pajak yang dipotong/pungut harus segera disetor sebelum jatuh tempo. Jangan menunggu sampai diperiksa baru heboh – potong dan setor sesuai aturan saat itu juga.
  • Simpan Dokumentasi Secara Rapi: Kumpulkan seluruh dokumen terkait acara dalam satu file: proposal acara, surat undangan, daftar hadir peserta, foto dokumentasi, materi presentasi, kontrak/vendor invoice, bukti pembayaran, daftar nominatif, bukti setor pajak, dll. Arsipkan minimal 5-10 tahun (ingat, dokumen pajak sebaiknya disimpan 10 tahun)[76]. Dengan dokumentasi lengkap, jika suatu saat diperiksa, Anda dapat dengan cepat membuktikan semua biaya dan kepatuhan pajaknya.
  • Pendekatan Proaktif & Konsultasi: Selalu proaktif dalam urusan pajak. Jangan menunggu sampai ada pemeriksaan baru merapikan dokumen[77]. Sejak awal, lengkapi dan cocokkan pelaporan pajak dengan pembukuan. Jika merasa aturan terlalu kompleks, jangan ragu libatkan konsultan pajak profesional[78]. Mereka bisa membantu strategi sejak perencanaan acara, hingga pendampingan saat pemeriksaan pajak jika diperlukan.

Dengan menerapkan langkah-langkah di atas, diharapkan biaya customer gathering dan souvenir yang Anda keluarkan benar-benar menjadi investasi bisnis yang efektif sekaligus aman secara fiskal. Ketaatan pajak bukan cuma soal membayar, tapi juga soal mengelola dan membuktikan** pengeluaran tersebut. Dengan persiapan matang, acara untuk pelanggan pun bisa digelar tanpa khawatir pajak menghantui.

Kata Penutup: Urusan pajak memang kompleks, tetapi dengan pemahaman yang tepat dan strategi yang matang, pajak tidak akan menjadi hambatan melainkan menjadi pilar kokoh yang mendukung pertumbuhan bisnis Anda[79]. Ingatlah untuk selalu menjadi Wajib Pajak yang proaktif, bukan reaktif dalam mengelola kewajiban perpajakan. Semoga panduan ini bermanfaat bagi Anda. Sukses selalu untuk bisnis dan acara-acara Anda! 🎉


Referensi:

1.      Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No.36 Tahun 2008 (UU PPh) – Ketentuan dasar deductible expense untuk biaya yang berhubungan dengan penghasilan (3M: mendapatkan, menagih, memelihara penghasilan)[2].

2.      PMK No.02/PMK.03/2010 – Peraturan Menkeu tentang biaya promosi yang dapat dikurangkan, mewajibkan daftar nominatif untuk promosi & hadiah.

3.      SE-09/PJ/2010 – Surat Edaran Dirjen Pajak yang menegaskan kewajiban daftar nominatif biaya promosi/entertainment sebagai syarat deductible.

4.      SE-27/PJ.22/1986 – Surat Edaran Dirjen Pajak soal definisi & perlakuan biaya representasi/entertainment yang dapat dibebankan dengan syarat tertentu[80][81].

5.      PP No.34 Tahun 2017 – Aturan PPh Final 10% atas persewaan tanah/bangunan (re: sewa venue kena PPh Final)[25][23].

6.      PP No.44 Tahun 2022 – Aturan Nilai Lain sebagai DPP PPN, termasuk penentuan DPP pemberian cuma-cuma BKP/JKP (harga jual setelah dikurangi laba bruto)[42].

7.      Artikel DDTC News – “Biaya Promosi dan Entertainment yang Boleh Dibebankan” – (DDTC, 2019) Pembahasan biaya promosi vs entertainment secara umum beserta syarat-syaratnya[5][17].

8.      Artikel Ortax – “Ketentuan Biaya Entertainment dalam Menghitung PPh Badan” – (Ortax, 2010) Membahas syarat kewajaran, daftar nominatif, dll untuk biaya entertainment.

9.      Artikel OnlinePajak – “Biaya Entertainment: Definisi dan Cara Buat Daftar Nominatifnya” – (OnlinePajak) Sumber praktis mengenai pembuatan daftar nominatif biaya entertainment[50].

10. Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-58854/PP/M.XVA/15/2015 – Contoh kasus sengketa biaya promosi vs formalitas daftar nominatif, di mana Majelis mengutamakan substansi (biaya diakui karena benar untuk usaha meski dokumen kurang)[63].

11. Putusan Pengadilan Pajak No. PUT-110081.15/2012/PP/M.IA/2018 – Kasus lain terkait biaya promosi dan koreksi fiskus; berguna memahami sudut pandang hukum atas grey area.

12. Artikel Ortax – “Bagikan Produk Sampel untuk Konsumen, Tetap Pungut PPN?” – (Ortax, 2022) Menjelaskan kewajiban PPN atas pemberian cuma-cuma produk (souvenir/sampel)[82].

13. UU PPh Pasal 4 ayat (2) – Ketentuan PPh Final, termasuk pajak hadiah undian 25% final dan pajak sewa tanah/bangunan 10% final.

14. UU PPh Pasal 21 & Pasal 23 – Ketentuan pemotongan PPh 21 atas penghasilan orang pribadi (termasuk hadiah lomba, honor pembicara) dan PPh 23 atas penghasilan badan (termasuk jasa EO, pembicara badan).

15. Peraturan DJP PER-03/PJ/2022 (diubah PER-11/PJ/2022) – Tata cara pembuatan Faktur Pajak, termasuk penomoran dan kode faktur 04 untuk penyerahan cuma-cuma[49].

16. Checklist Kepatuhan Pajak – Enforce Advisory – (EnforceA, Blog) Tips mensiasati biaya promosi agar tidak disikat fiskus, salah satunya dengan pendekatan proaktif dan dokumentasi lengkap. (Referensi umum pendukung tips).

17. Materi “Strategi Menghadapi Pemeriksaan Pajak” – KerjaPajak 2025 – (Video/Artikel) Menekankan pentingnya bersikap proaktif, simpan dokumen 10 tahun, dan melibatkan ahli jika perlu[77].

(Catatan: Nomor referensi di atas disusun untuk keperluan panduan ini dan merujuk pada kombinasi sumber regulasi dan artikel praktis yang telah disebut di teks sebelumnya, termasuk beberapa kutipan langsung dari regulasi serta penjelasan para praktisi.)


[1] [3] [4] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [29] [30] [37] [38] [39] [54] [55] [56] [57] [58] [59] [60] [61] [62] [63] [69] [70] [71] [72] [73] [74] [75] [76] [77] [78] [79] Pajak Gathering dan Souvenir_.docx

file://file-EZ6bBp8Gjix7VDBcn4pSCc

[2] [5] [6] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] [24] [25] [26] [27] [28] [31] [32] [33] [34] [35] [36] [40] [41] [42] [43] [44] [45] [46] [47] [48] [49] [50] [51] [52] [53] [64] [65] [66] [67] [68] [80] [81] [82] Biaya Gathering Demi Loyalitas Pelanggan_ Perlakuan PPh dan PPN.docx

file://file-PMT9bhuDHCGV4a4YcezGYe

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.