Kata Pengantar
Belakangan ini, wacana pajak kekayaan menjadi perbincangan
hangat di Indonesia. Pajak kekayaan adalah ide untuk memungut pajak dari total
harta yang dimiliki orang-orang kaya. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan
penerimaan negara dan mengurangi ketimpangan ekonomi yang makin lebar[1]. Bayangkan, hanya 0,1% penduduk dewasa Indonesia (sekitar
beberapa ribu orang super kaya) menguasai hampir separuh kekayaan nasional[2]. Sementara itu, rasio pajak Indonesia – yaitu perbandingan
total penerimaan pajak dengan PDB – masih rendah, hanya sekitar 10% dan
cenderung menurun[3]. Kondisi ini memicu gagasan mencari sumber pajak baru dari para
konglomerat atau crazy rich, salah satunya melalui pajak kekayaan.
Apakah langkah ini bisa menjadi solusi ampuh mengatasi ketimpangan dan menambah
pemasukan negara? Atau justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian? Mari
kita bahas secara sederhana dan tuntas.
Bab 1: Pengetahuan Umum tentang Pajak Kekayaan
Apa itu Pajak Kekayaan? Secara umum, pajak
kekayaan (wealth tax) adalah pajak atas total nilai kekayaan bersih
yang dimiliki seseorang atau entitas. Kekayaan bersih dihitung dari akumulasi
seluruh aset (seperti uang tunai, tabungan, properti, kendaraan, saham, emas,
karya seni, dll) dikurangi dengan utang atau kewajiban. Misalnya, jika Anda
punya rumah, mobil, tabungan, dan investasi saham, semua nilainya dijumlahkan
lalu dikurangi total pinjaman atau kredit; hasilnya itulah yang menjadi basis
pajak kekayaan Anda. Tujuan pajak kekayaan adalah mengambil sebagian
kecil dari harta orang yang sangat kaya untuk dialihkan demi kepentingan
publik, terutama kelompok ekonomi lemah[4]. Dengan demikian, pajak ini diharapkan mendistribusikan ulang
kekayaan dari golongan super kaya kepada masyarakat yang lebih membutuhkan,
sehingga lebih adil secara sosial[4].
Mengapa wacana ini muncul? Alasannya berangkat
dari fakta kesenjangan ekonomi yang tinggi. Laporan World Inequality
2022 mencatat 1% orang terkaya Indonesia menguasai sekitar 30% kekayaan
nasional, sedangkan 50% termiskin hanya menikmati 5%[5]. Bahkan menurut data Credit Suisse 2021, hanya 0,1% orang Indonesia
(kaum super kaya) yang menguasai hampir 50% total kekayaan negara[2]. Sementara itu, pemerintah juga menghadapi tantangan penerimaan
negara. Meskipun pendapatan pajak naik secara nominal, pertumbuhannya masih
kalah dari pertumbuhan ekonomi, membuat tax ratio kita turun ke ~10%.
Untuk memperkuat keuangan negara sekaligus menangkal ketidakadilan, banyak
pihak menilai pajak kekayaan progresif atas segelintir orang sangat kaya bisa
jadi solusi strategis[1][6]. Sebuah opini di The Jakarta Post memperkirakan pajak kekayaan
progresif dapat menambah penerimaan negara sekitar Rp50–70 triliun per tahun,
cukup untuk membiayai pembangunan rumah sakit, subsidi pendidikan, dan
memperluas jaminan sosial[7]. Selain meningkatkan penerimaan, pajak ini juga dianggap instrumen
koreksi untuk menyusutkan jurang kaya-miskin yang makin lebar[6].
Contoh pajak kekayaan di dunia. Pajak kekayaan
sebenarnya bukan konsep baru di dunia. Beberapa negara telah
menerapkannya (meski ada pula yang kemudian menghapusnya). Berikut beberapa
contoh penerapan pajak kekayaan di berbagai negara:
·
Norwegia: Menerapkan pajak kekayaan bersih dengan tarif sekitar 0,85% per
tahun. Pajak ini dikenakan jika kekayaan individu melebihi sekitar NOK 1,5 juta
(±Rp2,5 miliar)[8].
·
Spanyol: Menerapkan tarif progresif 0,2%–3,75% atas kekayaan bersih di
atas €700.000 (±Rp12 miliar)[9]. Tiap daerah otonom di Spanyol diberi kewenangan mengatur tarif dan
insentif pajak kekayaan di wilayahnya.
·
Swiss:
Salah satu negara pertama yang punya pajak kekayaan (diperkenalkan sejak 1840).
Hingga kini Swiss memungut pajak kekayaan di level pemerintah daerah (kanton)
dengan tarif bervariasi. Menariknya, pajak ini mencakup seluruh aset global
penduduk Swiss (seluruh dunia), kecuali real estat dan usaha tetap di luar
negeri[10].
·
Prancis: Pernah memiliki pajak kekayaan menyeluruh, namun dihapus pada 2018.
Sebagai gantinya, Prancis menerapkan pajak kekayaan khusus atas aset
properti mewah. Pajak tersebut dikenakan bagi wajib pajak yang memiliki
aset properti di seluruh dunia senilai lebih dari €1,3 juta (±Rp22 miliar)
dengan tarif progresif 0,5% hingga 1,5%[11].
·
Italia: Memungut pajak kekayaan atas aset finansial dan properti dengan tarif
sekitar 0,76%[12] per tahun.
·
Negara berkembang lain: Beberapa negara Amerika Latin seperti Kolombia dan Argentina
juga menerapkan pajak kekayaan untuk orang-orang kaya di negaranya[13]. Kebijakan ini biasanya lahir sebagai upaya menambah dana pemerintah
sekaligus mengurangi ketimpangan.
Dari contoh di atas, tampak bahwa pajak kekayaan umumnya menyasar individu
kaya dengan ambang kekayaan tertentu, dan tarifnya relatif kecil (di kisaran
<1% hingga beberapa persen) namun progresif sesuai jumlah harta. Namun,
banyak negara maju akhirnya meniadakan pajak kekayaan karena berbagai
tantangan. Jumlah negara OECD yang memungut pajak kekayaan turun dari 12 negara
pada tahun 1990 menjadi hanya 4 negara di tahun 2017[14]. Contohnya, India (sebagai negara berkembang besar di Asia)
dulu punya pajak kekayaan sejak 1957, tetapi menghapusnya pada 2015.
Alasan India menghentikan pajak kekayaan antara lain karena pajak ini hasilnya
sangat kecil dibanding biaya administrasinya yang tinggi[15]. Menteri Keuangan India saat itu menyebut penerimaan pajak kekayaan
hanya sekitar 0,1% dari total penerimaan pajak, sehingga dianggap tidak
sebanding dan lebih baik digantikan dengan pajak lain yang lebih simpel[16]. Banyak orang kaya juga mudah mencari cara untuk menghindari pajak
kekayaan, sehingga efektivitasnya dipertanyakan. Oleh sebab itu, beberapa
negara memilih memperkuat jenis pajak lain (seperti pajak penghasilan tinggi,
pajak warisan, atau pajak properti) ketimbang menerapkan pajak kekayaan yang
luas.
Dari paparan umum ini, kita bisa melihat bahwa konsep pajak kekayaan
memiliki daya tarik karena menjanjikan keadilan sosial dan tambahan
pemasukan negara. Namun, pengalaman internasional menunjukkan perlunya
kehati-hatian: merancang pajak ini tidak mudah dan ada risiko jika tidak
dipersiapkan dengan matang. Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana posisi pajak
kekayaan dalam konteks sistem perpajakan Indonesia saat ini.
Bab 2: Perpajakan atas Pajak Kekayaan di Indonesia
Perbedaan dengan pajak yang sudah ada. Saat
ini Indonesia belum memiliki pajak kekayaan dalam sistem perpajakannya[17]. Pajak yang dipungut pemerintah umumnya berupa pajak atas aliran
pendapatan atau transaksi, bukan atas stok kekayaan.
Misalnya: - Pajak Penghasilan (PPh) yang memajaki pendapatan atau laba
yang diperoleh individu maupun badan dari berbagai sumber (gaji, bisnis, bunga,
dividen, dll). - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang memajaki konsumsi
atau pembelian barang dan jasa. - Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang
setiap tahun memajaki nilai tanah dan bangunan yang dimiliki (namun hanya
terbatas pada objek properti). - Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) yang memajaki transaksi peralihan aset properti (misal saat membeli
rumah). - Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang memajaki
penjualan barang-barang mewah (contoh mobil mewah, yacht) pada saat pembelian.
- PPh Final atas Dividen atau deposito, yang memajaki hasil investasi
tertentu dengan tarif final (ringan).
Pajak-pajak di atas memang terkait dengan harta atau penghasilan orang
kaya, tetapi bersifat terpisah-pisah per objek dan tidak mencakup
keseluruhan kekayaan bersih seseorang. Sebagai contoh, orang kaya A mungkin
membayar PBB untuk vila miliknya dan PPnBM saat beli mobil mewah, tapi belum
tentu seluruh kekayaan A (misal koleksi lukisan mahal, perhiasan, saldo semua
rekening bank, dsb.) tersentuh pajak. Pajak kekayaan berbeda karena
menyasar akumulasi semua aset bersih yang dimiliki seorang individu
(atau badan) di atas ambang tertentu, dalam satu payung pajak terpadu. Artinya,
bila pajak kekayaan diberlakukan, setiap orang super kaya wajib melaporkan
daftar seluruh hartanya, dan bila totalnya melampaui batas yang ditetapkan,
maka kelebihannya dipajaki sesuai tarif.
Hal ini jelas berbeda dari mekanisme pajak kita sekarang. Pajak
kekayaan akan menjadi jenis pajak baru yang membutuhkan kerangka hukum
tersendiri. Sesuai konstitusi Indonesia (Pasal 23A UUD 1945), setiap pajak baru
yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang (UU)[18]. Jadi, untuk menerapkan pajak kekayaan, pemerintah dan DPR perlu
membuat UU baru atau amandemen UU perpajakan yang ada. Tidak bisa pajak
kekayaan ini tiba-tiba dipungut hanya lewat peraturan menteri atau peraturan
pemerintah – wajib melalui persetujuan legislatif karena menyangkut hak rakyat[18]. Dengan kata lain, rancangan pajak kekayaan mesti dibahas secara
matang di DPR agar jelas dasar hukum, subjek, objek, tarif, hingga sanksinya.
Siapa yang akan kena pajak kekayaan? Secara
desain, pajak ini hanya menyasar orang-orang kaya saja, bukan masyarakat
umum. Umumnya akan ditetapkan ambang batas kekayaan (threshold) yang
cukup tinggi, sehingga hanya segelintir penduduk di lapisan teratas yang
menjadi wajib pajak kekayaan. Misalnya, seandainya Indonesia meniru usulan
global, bisa jadi pajak kekayaan diberlakukan untuk harta di atas Rp sekian
miliar atau bahkan triliun. Untuk gambaran, data menunjukkan jumlah orang
Indonesia dengan kekayaan >USD 1 juta (sekitar Rp15 miliar) hanya 0,1%
populasi dewasa[19]. Mereka inilah para milioner dan konglomerat yang menguasai proporsi
besar aset nasional. Jadi, masyarakat umum tidak perlu khawatir akan
terkena pajak ini, karena targetnya adalah kalangan super kaya dengan
harta berlimpah. Bahkan di antara orang kaya sendiri, kemungkinan masih akan
ada batas tinggi lagi. Contoh: Lembaga CELIOS menghitung potensi pajak
2% hanya dari 50 orang terkaya di Indonesia (orang-orang terkaya versi majalah
Forbes). Hasilnya mengejutkan – hanya dari 50 orang itu negara bisa memperoleh
tambahan sekitar Rp81,5 triliun per tahun[20]. Estimasi ini dengan asumsi tiap orang tersebut minimal punya kekayaan
Rp15 triliun, dengan rata-rata kekayaan Rp159 triliun, dan dikenai tarif 2%[21]. Tentu, bila basisnya diperluas ke ratusan atau ribuan orang kaya lain
(misal yang kekayaannya >Rp1 triliun), potensi penerimaan bisa lebih besar
lagi[22].
Dampak dan manfaat bagi negara. Dari sisi
penerimaan, pajak kekayaan digadang-gadang bisa menjadi sumber dana baru yang
signifikan. Seperti disebut di atas, kajian akademik memperkirakan tambahan
puluhan triliun rupiah per tahun dapat diraih pemerintah[7]. Sebagai ilustrasi, angka Rp50–80 triliun per tahun itu setara
dengan membangun banyak rumah sakit baru, memberikan subsidi pendidikan bagi
jutaan siswa, atau meluaskan program bantuan sosial bagi rakyat kurang mampu[7]. Uang sebesar itu juga bisa membantu mengurangi defisit anggaran dan
membiayai proyek-proyek infrastruktur tanpa menambah utang. Selain sisi
pendapatan, manfaat intangible-nya adalah meningkatkan keadilan: beban
pajak negara tidak melulu ditanggung konsumen lewat PPN atau pekerja lewat PPh,
tapi para konglomerat pun berkontribusi lebih sesuai kemampuan mereka. Dukungan
publik terhadap ide ini cukup tinggi – survei LSI tahun 2023 menunjukkan 72%
responden setuju pemerintah memungut pajak tambahan dari orang super kaya
demi kepentingan publik[23]. Artinya, masyarakat luas menilai kebijakan ini memiliki legitimasi
moral karena dirasa fair (adil). Bagi pemerintah, hal tersebut tentunya modal
politik yang baik bila ingin mendorong kebijakan pajak kekayaan.
Kesiapan dan langkah pemerintah. Hingga kini,
pajak kekayaan di Indonesia masih sebatas wacana. Pemerintah menyatakan
tidak akan tergesa-gesa dan perlu mengkaji mendalam sebelum mengambil keputusan[24][25]. Dalam kampanye Pemilu 2024, isu ini sempat muncul. Presiden terpilih
2024, Bapak Prabowo Subianto, misalnya, dikabarkan berencana mengoptimalkan
penerimaan negara dari kalangan crazy rich sebagai bagian dari strategi
fiskal pemerintahannya[26][24]. Beberapa opsi yang dipertimbangkan meliputi: peningkatan pengawasan
pajak orang kaya melalui teknologi, reformasi tarif PPh untuk berpenghasilan
tinggi, dan penerapan pajak kekayaan bagi individu dengan aset besar[24]. Artinya, di tingkat konsepsi, pajak kekayaan sudah masuk radar
kebijakan ke depan. Bahkan Indonesia ikut serta dalam diskusi internasional
mengenai pajak kekayaan global. Pada pertemuan G20 di Brasil 2023, Indonesia
turut dalam pembahasan usulan Menteri Keuangan Brasil tentang pajak kekayaan
global sebesar 2% bagi para miliarder dunia[27]. Gagasan ini bertujuan menciptakan sistem pajak global yang progresif
dan meningkatkan kontribusi pajak dari para super kaya lintas negara[27]. Indonesia menyatakan siap menindaklanjuti jika OECD berhasil
merumuskan standar pajak kekayaan global tersebut[27]. Ini menunjukkan pemerintah Indonesia terbuka terhadap ide
pajak kekayaan, namun kemungkinan ingin bergerak seiring konsensus dan praktik
terbaik internasional.
Sebagai perbandingan regional, nyaris tidak ada negara berkembang di
Asia saat ini yang menerapkan pajak kekayaan secara komprehensif. Tadi
sudah disebut India sempat punya namun dihentikan pada 2015. Beberapa negara
Asia lain lebih memilih memajaki kekayaan secara tidak langsung (misal pajak
properti tinggi, pajak warisan, atau zakat kekayaan bagi negara berpenduduk
Muslim) ketimbang wealth tax formal. Maka, bila Indonesia kelak menerapkan
pajak kekayaan, itu akan menjadi kebijakan yang cukup pionir di kawasan.
Hal ini menuntut perancangan yang cermat agar cocok dengan kondisi perekonomian
nasional.
Bab 3: Akuntansi dan Implementasi Pajak Kekayaan (Aspek Teknis)
Menerapkan pajak kekayaan bukan perkara sederhana. Dari sudut pandang akuntansi
pajak dan administrasi, tantangan utamanya adalah bagaimana mengukur dan
mengawasi kekayaan wajib pajak secara akurat. Berbeda dengan pajak
penghasilan yang basisnya arus pendapatan (yang relatif mudah ditelusuri dari
slip gaji, laporan keuangan, dll.), pajak kekayaan memerlukan data tentang stok
aset yang dimiliki seseorang setiap tahun. Ini berarti pemerintah perlu
memiliki database kekayaan yang lengkap dan terintegrasi.
1. Pendataan dan valuasi aset: Pemerintah
harus mengetahui aset apa saja yang dimiliki orang kaya, berapa nilainya, dan
di mana aset itu berada. Aset bisa bermacam-macam bentuknya: tanah, bangunan,
kendaraan, saldo rekening bank, deposito, saham, obligasi, emas, karya seni,
hingga mungkin koleksi barang antik. Tiap aset perlu penilaian (valuasi)
yang wajar setiap tahun sebagai dasar pengenaan pajak. Contohnya, properti
harus dinilai harganya (bisa berdasarkan NJOP atau appraisal pasar), saham
dinilai berdasarkan harga pasar, kendaraan bisa berdasarkan harga pasaran dan
tahun pemakaian, dan seterusnya. Tantangan teknisnya: menilai aset
non-pasar (seperti lukisan langka atau bisnis keluarga yang tidak tercatat di
bursa) bisa sulit dan subyektif. Sistem penilaian yang jelas dan adil harus
disusun agar wajib pajak tidak merasa dirugikan atau agar celah manipulasi
nilai bisa diminimalkan[28]. Di negara yang sukses menerapkan pajak kekayaan seperti Swiss dan
Spanyol, kunci keberhasilannya adalah memiliki prosedur valuasi yang jelas
dan konsisten serta registri aset yang transparan[28]. Artinya, setiap aset terdaftar, ada patokan nilai, dan bisa diaudit.
Indonesia perlu belajar dari hal ini.
2. Integrasi data dan sistem informasi:
Tantangan terbesar berikutnya adalah ketersediaan data. Saat ini, data
kepemilikan aset di Indonesia tersebar di berbagai instansi dan belum terhubung
sepenuhnya. Misalnya, data kepemilikan tanah/bangunan ada di Badan
Pertanahan (sertifikat tanah) dan sebagian di database PBB daerah; data kendaraan
bermotor ada di registrasi SAMSAT (Polri dan Pemda); data rekening bank
dan investasi finansial ada di perbankan dan OJK (melalui sistem seperti
SLIK untuk informasi keuangan dan AKSes KSEI untuk efek/saham); data barang
mewah mungkin tersebar di catatan bea cukai (untuk impor barang luks) atau
dealer. Untuk mampu menerapkan pajak kekayaan, semua data ini idealnya
terhubung dan dapat diakses oleh otoritas pajak. Dibutuhkan semacam registrasi
aset nasional yang menghimpun informasi multi-aset tiap individu[29]. Upaya ke arah itu sebenarnya sudah mulai: DJP sejak 2018 menerapkan
sistem Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk mendapat data
keuangan WNI di luar negeri[30]. Jadi rekening bank atau investasi orang Indonesia di puluhan negara
dapat dilacak karena ada pertukaran data otomatis. Namun, integrasi data
domestik masih belum optimal[30]. Misalnya, menghubungkan data pertanahan, perpajakan, perbankan, dan
kepemilikan saham di dalam negeri masih terhalang silo instansi. Perlu ada
sistem terpadu – mungkin semacam single identification number (di mana NIK
yang kini juga NPWP bisa jadi kunci penghubung semua info aset seseorang) –
agar pemerintah punya gambaran utuh kekayaan WP. Tanpa itu, akan rawan
terjadi penghindaran pajak kekayaan, entah dengan cara menyembunyikan aset
atau melaporkannya di bawah nama orang/pihak lain.
Pemerintah bisa memanfaatkan sistem-sistem yang sudah ada. Misalnya, SIP
untuk informasi pertanahan (Sistem Informasi Pertanahan di BPN), SAMSAT
untuk kendaraan, SLIK OJK untuk data rekening perbankan dan pinjaman,
serta AKSes KSEI untuk portofolio efek saham[29]. Integrasi lintas lembaga ini krusial. Selain itu, penggunaan
teknologi terkini seperti big data analytics dan artificial
intelligence dapat membantu mendeteksi ketidaksesuaian (misal gaya hidup
atau pembelian aset besar yang tidak sesuai profil pajak penghasilan yang
dilaporkan). Ketua DPP PKS, Handi Risza, juga menekankan perlunya pengawasan
pajak berbasis teknologi dan kerja sama antar lembaga bila pajak kekayaan
diterapkan[25]. Ini sejalan dengan kebutuhan integrasi data tadi.
3. Pengawasan, audit, dan penegakan hukum:
Orang kaya umumnya memiliki kemampuan dan sumber daya untuk menghindari pajak
jika ada celah. Maka, mekanisme audit yang kuat dan sanksi tegas harus
disiapkan agar pajak kekayaan efektif[31]. Otoritas pajak perlu secara rutin memeriksa kebenaran laporan
kekayaan yang disampaikan WP kaya. Jika ada harta yang disembunyikan dan
ketahuan, harus ada penalti yang memberikan efek jera (misal denda besar atau
bahkan pidana kalau ada unsur penggelapan). Dalam sejarah pajak, selalu ada
upaya kreatif para wajib pajak kaya untuk mengurangi beban pajak, dari
memanfaatkan celah aturan hingga praktik pengalihan aset ke pihak lain[32]. Hal ini sudah diantisipasi; misalnya, para ekonom seperti
Piketty, Saez, dan Zucman menyarankan pajak kekayaan yang progresif dan
transparan untuk mengontrol konsentrasi kekayaan global yang makin ekstrem[33]. Transparansi di sini artinya data kekayaan tertentu mungkin perlu
dibuka (tentunya dengan tetap menjaga kerahasiaan pada publik, tapi
antar-otoritas harus saling berbagi info). Tanpa transparansi data, pajak
kekayaan rawan diakali melalui trust, perusahaan cangkang di luar
negeri, atau pemberian aset ke kerabat untuk menghindari ambang batas.
4. Isu keberatan dan dampak ekonomi: Dari sisi
wajib pajak, tantangan yang perlu diantisipasi adalah reaksi dan perilaku
para orang kaya. Pertama, ada potensi resistensi atau keberatan
karena pajak kekayaan bisa dianggap pajak berganda. Mereka bisa
berargumen: “Kekayaan kami kan sudah kena pajak saat diperoleh (misal gaji
sudah kena PPh, untung bisnis sudah kena pajak, beli rumah bayar BPHTB). Masak
harta yang sudah terkumpul dan sudah dipajaki tersebut, setiap tahun mau
dipajaki lagi?”[34]. Ini adalah concern valid, sehingga pemerintah harus bisa merumuskan
aturan yang adil. Misalnya, bisa saja memberikan pengecualian untuk aset
tertentu yang memang sudah rutin kena pajak (contoh: nilai rumah mungkin
sebagian sudah kena PBB tiap tahun, sehingga beban pajak kekayaan perlu
memperhitungkan hal itu agar tidak terlalu memberatkan). Atau, ambang batas
tinggi sehingga hanya kekayaan excess yang benar-benar besar yang dikenai
pajak. Kedua, dari sisi ekonomi makro, ada kekhawatiran efek negatif: pelarian
modal (capital flight) dan penurunan minat investasi. Orang super kaya
memiliki fleksibilitas memindahkan asetnya ke luar negeri jika merasa beban
pajak di dalam negeri terlalu tinggi atau mengganggu kekayaannya[35]. Contoh nyata, di Norwegia baru-baru ini, ketika tarif pajak
kekayaannya dinaikkan, sejumlah orang kaya dilaporkan keluar dari Norwegia
(migrasi finansial) untuk menghindari pajak, alhasil basis pajak justru
menyusut[35]. Hal serupa bisa terjadi di Indonesia bila pajak kekayaan dianggap
terlalu memberatkan tanpa kontrol – para konglomerat bisa saja offshore
aset mereka atau bahkan pindah domisili pajak ke negara yang tidak ada pajak
kekayaan. Selain itu, beberapa studi menunjukkan peningkatan pajak (terutama
pajak penghasilan perusahaan) bisa mengurangi aliran investasi asing (FDI)[36]. Walau pajak kekayaan beda objek, investor bisa khawatir iklim usaha
memburuk jika negara dianggap “tidak ramah orang kaya”. Ini persepsi
sensitif yang harus dikelola. Solusinya, desain kebijakan harus hati-hati:
tarif yang moderat, komunikasi publik yang baik bahwa ini demi keadilan, serta
memastikan stabilitas ekonomi dan kepastian hukum tetap terjaga agar orang kaya
tidak kabur.
5. Biaya administrasi vs hasil: Seperti
pengalaman India, pajak kekayaan bisa jadi sulit dipungut dengan efisien.
Administrasinya kompleks (karena harus verifikasi banyak jenis aset),
membutuhkan tenaga pemeriksa, penilai aset, infrastruktur IT, dsb. Jika
ujungnya biaya mengawasi dan menagih pajak ini hampir setara atau bahkan
melebihi penerimaan yang didapat, tentu secara ekonomi kurang menguntungkan.
Contoh di India, biaya administrasi dan kepatuhan pajak kekayaan tinggi sekali
sementara penerimaan hanya 0,1% dari total pajak[16]. Akhirnya pemerintah India menghapus pajak tersebut dan menggantinya
dengan kebijakan alternatif (mereka menaikkan pajak penghasilan untuk orang
kaya dan menerapkan semacam surcharges). Ini pelajaran bahwa desain
sederhana sangat penting. Sistem pajak kekayaan harus dibuat sesederhana
mungkin dalam pendataannya, mungkin dengan threshold tinggi (jumlah
wajib pajak sedikit) agar mudah diawasi. Penggunaan teknologi bisa menekan
biaya administrasi. Selain itu, integrasi dengan sistem pajak lain bisa
dipertimbangkan – misal wealth tax digabung dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi
supaya pelaporannya terpadu, tidak menjadi beban birokrasi terpisah.
Singkatnya, dari sudut pandang teknis-akuntansi, pekerjaan rumah
pemerintah sebelum menerapkan pajak kekayaan sangat banyak: membangun data
asset registry nasional, memastikan valuasi aset akurat, menyiapkan
infrastruktur IT dan SDM pengawasan, menutup celah penghindaran, serta mengkaji
dampak ekonomi secara komprehensif. Tanpa persiapan itu, pajak kekayaan
dikhawatirkan justru menimbulkan masalah baru, seperti sengketa pajak
berkepanjangan, biaya besar, atau hilangnya sebagian basis pajak karena modal
lari keluar. Namun, apabila disiapkan matang, pajak kekayaan dapat menjadi
instrumen ampuh untuk redistribusi ekonomi tanpa menggoyahkan fondasi
investasi. Semuanya bergantung pada bagaimana kebijakan ini dirancang dan
diimplementasikan.
Bab
4: Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan utama: Pajak kekayaan merupakan
wacana kebijakan pajak yang lahir dari kebutuhan akan keadilan ekonomi dan
peningkatan penerimaan negara. Di Indonesia, ide ini mengemuka karena rasio
pajak rendah dan jurang kaya-miskin yang lebar. Secara potensi, pajak
kekayaan bisa membawa dampak positif berupa tambahan dana puluhan triliun
rupiah setiap tahun bagi APBN[7][20]. Dana itu dapat dialokasikan untuk pembangunan dan program pro-rakyat,
sekaligus memperbaiki persepsi bahwa sistem pajak berpihak pada keadilan (yang
kaya berkontribusi lebih besar sesuai asas gotong royong). Kebijakan ini juga
sejalan dengan rasa keadilan masyarakat; survei menunjukkan dukungan mayoritas
publik untuk memajaki kaum super kaya demi kepentingan umum[23].
Namun, di sisi lain, pajak kekayaan ibarat pedang bermata dua.
Jika tidak dirancang hati-hati, bisa muncul dampak negatif pada perekonomian. Capital
flight menjadi ancaman nyata – para konglomerat bisa memindahkan hartanya
ke luar negeri sehingga target penerimaan meleset dan sektor finansial dalam
negeri kehilangan dana[35]. Iklim investasi juga perlu dijaga agar investor tidak khawatir dengan
adanya pajak baru yang dianggap membebani kelompok bisnis. Selain itu, aspek
administrasi dan penegakan hukum menantang: negara harus sanggup
mengidentifikasi dan menilai kekayaan dengan akurat, serta mencegah berbagai
jurus penghindaran pajak yang mungkin ditempuh oleh orang kaya[31][32]. Tanpa infrastruktur data dan pengawasan yang mumpuni, pajak kekayaan
rawan bolong dan justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Pelajaran dari negara
lain seperti India menunjukkan bahwa biaya pemungutan yang tinggi dengan hasil
minim membuat pajak kekayaan menjadi kebijakan yang tidak efisien jika
dijalankan tanpa perencanaan matang[15].
Saran dan rekomendasi: Berdasarkan hal-hal di
atas, berikut beberapa saran apabila Indonesia serius ingin menerapkan pajak
kekayaan:
- Lakukan
kajian mendalam dan bertahap. Pemerintah
sebaiknya tidak gegabah langsung menerapkan pajak kekayaan tanpa
riset komprehensif. Seperti disuarakan oleh anggota DPR (misal dari PKS),
perlu riset bersama melibatkan pakar, pelaku usaha, akademisi, untuk
merumuskan desain pajak kekayaan yang paling cocok bagi Indonesia[37]. Kajian ini mencakup memproyeksi dampak ekonomi, menentukan
ambang batas optimal, siapa saja yang akan terkena, skenario tarif, dan
bagaimana efeknya ke investasi. Simulasi dan stress-test
kebijakan perlu dilakukan. Mungkin implementasi awal bisa dalam bentuk uji
coba atau pilot project secara terbatas. Misalnya, tahun
pertama diberlakukan pada kelompok ultra-rich tertentu atau sebagai pajak
sekali waktu (one time wealth levy) pasca pandemi, sebelum menjadi
pajak tahunan permanen. Pendekatan bertahap akan membantu mengidentifikasi
masalah awal dan memberi waktu penyesuaian.
- Pastikan
landasan hukum kuat dan jelas. Mengingat
mandatori UU, pemerintah dan DPR perlu menyiapkan Undang-Undang Pajak
Kekayaan atau memasukkannya dalam perubahan UU perpajakan yang ada. UU
ini harus merinci secara jelas objek pajak kekayaan (jenis harta
apa saja yang dihitung, apakah termasuk aset di luar negeri, bagaimana
dengan aset warisan, dsb.)[38], subjek pajak (mungkin WP orang pribadi dalam negeri di
atas threshold tertentu, apakah badan usaha juga akan dikenakan atau
tidak), tarif dan lapisan (flat atau progresif berjenjang sesuai
jumlah kekayaan), threshold bebas pajak, serta mekanisme
penghindaran pajak berganda (misal bagaimana memperlakukan harta yang
sudah dikenai PBB atau pajak lain). Kepastian aturan sejak awal akan
mengurangi resistensi dan kebingungan. Ingat, pajak ini sensitif, jadi
aturan harus transparan dan adil agar dapat diterima.
- Audit
kesiapan data dan administrasi. Sebelum pajak
kekayaan dijalankan, negara perlu melakukan audit internal atas sumber
daya, data, dan regulasi yang ada terkait pajak orang kaya[39]. Ibaratnya, “PR rumah” dibereskan dulu. Pertama, lengkapi dan
integrasikan database aset nasional. Mungkin diperlukan perjanjian antar
lembaga (Kemenkeu, ATR/BPN, OJK, Kepolisian, dll) untuk membuka akses
data. Kembangkan sistem IT DJP yang mampu mengolah data kekayaan
multi-aset. Kedua, siapkan SDM petugas pajak (account representatives dan
pemeriksa) dengan kompetensi valuasi aset dan forensic accounting, karena
menangani wajib pajak high-wealth beda dengan WP biasa. Ketiga, perkuat
regulasi penunjang – misalnya aturan pelaporan harta. Saat ini WP
orang pribadi sebenarnya sudah melaporkan daftar harta di SPT Tahunan,
namun belum ada sanksi tegas jika tidak jujur. Ke depan, mungkin aturan
perlu mewajibkan wealth report yang terverifikasi. Semua ini perlu
dilakukan agar ketika pajak kekayaan diberlakukan, aparat pajak sudah siap
“tempur”. Jangan sampai pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dengan
langsung membuat pajak baru padahal celah pengawasan lama belum ditutup[40]. Itu hanya akan menurunkan kredibilitas dan efektivitas
kebijakan.
- Belajar
dari pengalaman negara lain & best practice.
Pemerintah sebaiknya menyerap pelajaran dari negara yang sukses maupun
gagal dalam pajak kekayaan. Misal, Spanyol berhasil menerapkan
kembali pajak kekayaan dengan mengintroduksi Solidarity Tax on Large
Fortunes untuk mencegah orang kaya kabur ke daerah dengan tarif lebih
rendah[28]. Swiss mampu konsisten menjalankan wealth tax karena administrasi
daerahnya kuat dan wajib pajak relatif patuh[28]. Sebaliknya, Prancis mengubah kebijakan karena dianggap
mengganggu investasi (akhirnya hanya memajaki properti). India dan
beberapa negara lain menghentikan wealth tax karena hasil minim dan banyak
sengketa[15]. Dari sini, Indonesia bisa merancang kombinasi kebijakan yang
cocok: misal mungkin cukup wealth tax khusus properti mewah (jika full
wealth tax dirasa terlalu berat), atau tarif dibuat rendah namun basis
luas, dsb. Selain itu, langkah seperti peningkatan pajak warisan atau
gift tax mungkin bisa menjadi pelengkap/alternatif bila wealth tax
sulit dijalankan. Intinya, kebijakan harus disesuaikan dengan konteks
Indonesia – jumlah penduduk besar, banyak aset belum terdata formal, tapi
di sisi lain sudah era digital yang bisa memudahkan pendataan.
- Koordinasi
internasional untuk mencegah pelarian modal.
Saran penting lainnya adalah pemerintah aktif dalam kerja sama global agar
pajak kekayaan efektif. Seperti diketahui, orang kaya bisa dengan mudah
memindah kekayaan ke yurisdiksi yang pajaknya rendah atau tidak ada (tax
haven). Untuk itu, Indonesia perlu melanjutkan dan memperkuat partisipasi
dalam inisiatif seperti Automatic Exchange of Information (AEOI)
yang sudah berjalan[30], serta mendorong kesepakatan regional. Jika makin banyak negara
sepakat mengenakan pajak serupa bagi miliarder, maka insentif lari dari
satu negara ke negara lain akan berkurang. Tentu hal ini tidak bisa
dilakukan sendiri, namun Indonesia bisa menggandeng negara G20 atau ASEAN
untuk sama-sama mempertimbangkan kebijakan sejenis bagi fairness. Paling
tidak, lakukan perjanjian bilateral dengan negara tetangga atau
destinasi favorit aset (Singapura, Swiss, dll) agar mereka tidak mudah
menerima aliran dana yang tujuannya menghindari pajak. Kerangka hukum
internasional yang jelas akan membantu menutup celah bagi wajib pajak
nakal[41].
- Optimalkan
pajak yang sudah ada dan perbaiki kepatuhan sukarela. Sebelum pajak kekayaan diterapkan, ada baiknya pemerintah memaksimalkan
penarikan pajak dari orang kaya dengan instrumen yang sudah ada
terlebih dahulu[40]. Misalnya, lakukan pengawasan ekstra pada SPT orang pribadi
berpenghasilan sangat tinggi: apakah semua penghasilan dan keuntungan
modal sudah dilaporkan dengan benar? Lakukan uji kepatuhan
(compliance test) apakah lonjakan kekayaan para konglomerat dalam beberapa
tahun terakhir sudah sepadan dengan pajak yang mereka bayar[42][43]. Jika ternyata banyak yang lolos (misal aset naik drastis tapi
pajak dibayar sedikit), itu dulu yang dibenahi dengan penegakan hukum.
Pemerintah juga baru saja menaikkan tarif PPh tertinggi menjadi 35% untuk
penghasilan di atas Rp5 miliar[44]; efektivitasnya perlu dilihat dulu. Jangan sampai pajak kekayaan
justru terlihat seperti solusi instan padahal kebocoran di sistem pajak
lain belum ditambal. Selain itu, edukasi dan inklusi pajak terus
digalakkan agar orang kaya sadar moral bahwa berkontribusi lebih adalah
hal wajar karena mereka menikmati fasilitas negara lebih banyak[45]. Singkatnya, benahi fondasi, baru bangun atap. Pendekatan
ini akan membuat implementasi pajak kekayaan (jika jadi dilakukan) lebih
lancar dan berkelanjutan, bukan sekadar gebrakan sesaat.
Kata Penutup
Penutup: Wacana pajak kekayaan di Indonesia
mencerminkan upaya mencari keadilan dalam sistem perpajakan kita. Sebagai
konsultan pajak berpengalaman, saya melihat ide ini bak obat dosis tinggi
– bisa menyembuhkan penyakit ketimpangan jika diberikan tepat takaran, tapi
bisa berbahaya jika salah resep. Pajak kekayaan bukan sekadar soal angka-angka,
melainkan pesan bahwa negara hadir memastikan kekayaan dinikmati tidak oleh
segelintir orang saja. Bagi masyarakat awam, mungkin terlintas tanya: Apakah
pajak baru ini akan memperbaiki hidup kami? Harapannya, ya – bila berhasil,
penerimaan negara bertambah dan bisa dialirkan kembali dalam bentuk layanan
publik yang lebih baik. Pajak kita untuk kita pada akhirnya[46].
Namun, perlu digarisbawahi bahwa kebijakan ini tidak ajaib. Ia
bukan solusi tunggal atas semua masalah fiskal. Banyak pekerjaan rumah yang
harus dituntaskan dulu agar tujuan mulia pajak kekayaan tercapai tanpa
menimbulkan gejolak ekonomi. Pemerintah harus berani tapi juga bijak: berani
mengambil langkah untuk keadilan sosial, namun bijak dalam meramu kebijakan
supaya efisien dan efektif. Apabila semua persiapan dan kajian dilakukan dengan
seksama, pajak kekayaan bisa menjadi terobosan positif menuju Indonesia
yang lebih sejahtera dan adil. Sebaliknya, jika terburu-buru, dikhawatirkan
menjadi bumerang yang justru merugikan perekonomian.
Demikianlah pembahasan komprehensif mengenai pajak kekayaan. Semoga
uraian di atas dapat dipahami dengan mudah oleh semua kalangan. Dengan bahasa
sederhana, kita telah menjelajah apa itu pajak kekayaan, mengapa muncul
wacananya, bagaimana perbedaannya dengan pajak lain, dampaknya bagi ekonomi,
contoh negara lain, hingga tantangan pelaksanaannya di Indonesia. Semoga
informasi ini bermanfaat dan bisa menjadi bahan diskusi yang sehat. Akhir
kata, keputusan ada di tangan kita bersama – rakyat, pemerintah, dan wakil
rakyat – untuk menentukan arah kebijakan pajak yang terbaik bagi negeri ini.
Kita semua tentu berharap sistem pajak Indonesia makin kuat, adil, dan
mampu menjadi tulang punggung pembangunan demi kesejahteraan seluruh rakyat. ✅
Sumber & Dasar Hukum: Semua fakta dan
pernyataan dalam tulisan ini didukung oleh data dari laporan dan pernyataan
resmi, antara lain: berita Pajak.com[3][5], kajian Antara News[7][35], artikel konsultan pajak[24][27], publikasi Prime Services International[47][48], riset Tirto.id[20][29], pendapat di situs DJP[2][40], hingga konstitusi (UUD 1945 Pasal 23A) yang mewajibkan pajak diatur
dengan UU[18]. Dengan dasar pijakan ini, diharapkan tulisan di atas dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya dan memberi pencerahan bagi pembaca awam sekalipun. [25]
[1] [3] [5] Politisi Dorong Pemerintah dan DPR Kaji Serius Penerapan Pajak
Kekayaan! - PAJAK.COM
https://www.pajak.com/pajak/politisi-dorong-pemerintah-dan-dpr-kaji-serius-penerapan-pajak-kekayaan/
[2] [19] Pajak untuk Orang Kaya Semakin Kaya | Direktorat Jenderal Pajak
https://www.pajak.go.id/id/artikel/pajak-untuk-orang-kaya-semakin-kaya
[4] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [34] [47] [48] 5 Negara Ini Menerapkan Pajak Kekayaan, Indonesia Kapan?
https://ptpsi.com/5-negara-ini-menerapkan-pajak-kekayaan-indonesia-kapan/
[6] [7] [23] [28] [30] [35] [36] [41] Diskursus pajak kekayaan untuk kaum superkaya - ANTARA News
https://www.antaranews.com/berita/5078797/diskursus-pajak-kekayaan-untuk-kaum-superkaya
[14] [15] [16] Lessons from the past: Why a wealth tax may not be a rich idea | The
Indian Express
[17] [20] [21] [22] [29] [31] [33] Kemenkeu Didesak Tarik Pajak 50 Orang Super Kaya, Potensi Rp81 T
https://tirto.id/kemenkeu-didesak-tarik-pajak-50-orang-super-kaya-potensi-rp81t-hfDs
[18] Ramai Ajakan Ogah Bayar Pajak, Masyarakat Bisa Langgar Konstitusi |
Infobanknews
https://infobanknews.com/ramai-ajakan-ogah-bayar-pajak-masyarakat-bisa-langgar-konstitusi/
[24] [26] [27] Wealth Tax Masuk Dalam Pertimbangan Optimalisasi Pajak Pemerintahan
Prabowo | Registered Tax Consultant
[25] [37] [38] Wacana Pajak Kekayaan Mengemuka, Pemerintah & DPR Diminta Buat
Kajian
[32] [39] [40] [42] [43] [45] [46] Mengapa Perlu Memajaki Orang Kaya dengan Komprehensif? | Direktorat
Jenderal Pajak
https://pajak.go.id/id/artikel/mengapa-perlu-memajaki-orang-kaya-dengan-komprehensif
[44] Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.