Senin, 08 September 2025

Kata Pengantar

Belakangan ini, wacana pajak kekayaan menjadi perbincangan hangat di Indonesia. Pajak kekayaan adalah ide untuk memungut pajak dari total harta yang dimiliki orang-orang kaya. Tujuannya antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi ketimpangan ekonomi yang makin lebar[1]. Bayangkan, hanya 0,1% penduduk dewasa Indonesia (sekitar beberapa ribu orang super kaya) menguasai hampir separuh kekayaan nasional[2]. Sementara itu, rasio pajak Indonesia – yaitu perbandingan total penerimaan pajak dengan PDB – masih rendah, hanya sekitar 10% dan cenderung menurun[3]. Kondisi ini memicu gagasan mencari sumber pajak baru dari para konglomerat atau crazy rich, salah satunya melalui pajak kekayaan. Apakah langkah ini bisa menjadi solusi ampuh mengatasi ketimpangan dan menambah pemasukan negara? Atau justru akan menjadi bumerang bagi perekonomian? Mari kita bahas secara sederhana dan tuntas.

Bab 1: Pengetahuan Umum tentang Pajak Kekayaan

Apa itu Pajak Kekayaan? Secara umum, pajak kekayaan (wealth tax) adalah pajak atas total nilai kekayaan bersih yang dimiliki seseorang atau entitas. Kekayaan bersih dihitung dari akumulasi seluruh aset (seperti uang tunai, tabungan, properti, kendaraan, saham, emas, karya seni, dll) dikurangi dengan utang atau kewajiban. Misalnya, jika Anda punya rumah, mobil, tabungan, dan investasi saham, semua nilainya dijumlahkan lalu dikurangi total pinjaman atau kredit; hasilnya itulah yang menjadi basis pajak kekayaan Anda. Tujuan pajak kekayaan adalah mengambil sebagian kecil dari harta orang yang sangat kaya untuk dialihkan demi kepentingan publik, terutama kelompok ekonomi lemah[4]. Dengan demikian, pajak ini diharapkan mendistribusikan ulang kekayaan dari golongan super kaya kepada masyarakat yang lebih membutuhkan, sehingga lebih adil secara sosial[4].

Mengapa wacana ini muncul? Alasannya berangkat dari fakta kesenjangan ekonomi yang tinggi. Laporan World Inequality 2022 mencatat 1% orang terkaya Indonesia menguasai sekitar 30% kekayaan nasional, sedangkan 50% termiskin hanya menikmati 5%[5]. Bahkan menurut data Credit Suisse 2021, hanya 0,1% orang Indonesia (kaum super kaya) yang menguasai hampir 50% total kekayaan negara[2]. Sementara itu, pemerintah juga menghadapi tantangan penerimaan negara. Meskipun pendapatan pajak naik secara nominal, pertumbuhannya masih kalah dari pertumbuhan ekonomi, membuat tax ratio kita turun ke ~10%. Untuk memperkuat keuangan negara sekaligus menangkal ketidakadilan, banyak pihak menilai pajak kekayaan progresif atas segelintir orang sangat kaya bisa jadi solusi strategis[1][6]. Sebuah opini di The Jakarta Post memperkirakan pajak kekayaan progresif dapat menambah penerimaan negara sekitar Rp50–70 triliun per tahun, cukup untuk membiayai pembangunan rumah sakit, subsidi pendidikan, dan memperluas jaminan sosial[7]. Selain meningkatkan penerimaan, pajak ini juga dianggap instrumen koreksi untuk menyusutkan jurang kaya-miskin yang makin lebar[6].

Contoh pajak kekayaan di dunia. Pajak kekayaan sebenarnya bukan konsep baru di dunia. Beberapa negara telah menerapkannya (meski ada pula yang kemudian menghapusnya). Berikut beberapa contoh penerapan pajak kekayaan di berbagai negara:

·         Norwegia: Menerapkan pajak kekayaan bersih dengan tarif sekitar 0,85% per tahun. Pajak ini dikenakan jika kekayaan individu melebihi sekitar NOK 1,5 juta (±Rp2,5 miliar)[8].

·         Spanyol: Menerapkan tarif progresif 0,2%–3,75% atas kekayaan bersih di atas €700.000 (±Rp12 miliar)[9]. Tiap daerah otonom di Spanyol diberi kewenangan mengatur tarif dan insentif pajak kekayaan di wilayahnya.

·         Swiss: Salah satu negara pertama yang punya pajak kekayaan (diperkenalkan sejak 1840). Hingga kini Swiss memungut pajak kekayaan di level pemerintah daerah (kanton) dengan tarif bervariasi. Menariknya, pajak ini mencakup seluruh aset global penduduk Swiss (seluruh dunia), kecuali real estat dan usaha tetap di luar negeri[10].

·         Prancis: Pernah memiliki pajak kekayaan menyeluruh, namun dihapus pada 2018. Sebagai gantinya, Prancis menerapkan pajak kekayaan khusus atas aset properti mewah. Pajak tersebut dikenakan bagi wajib pajak yang memiliki aset properti di seluruh dunia senilai lebih dari €1,3 juta (±Rp22 miliar) dengan tarif progresif 0,5% hingga 1,5%[11].

·         Italia: Memungut pajak kekayaan atas aset finansial dan properti dengan tarif sekitar 0,76%[12] per tahun.

·         Negara berkembang lain: Beberapa negara Amerika Latin seperti Kolombia dan Argentina juga menerapkan pajak kekayaan untuk orang-orang kaya di negaranya[13]. Kebijakan ini biasanya lahir sebagai upaya menambah dana pemerintah sekaligus mengurangi ketimpangan.

Dari contoh di atas, tampak bahwa pajak kekayaan umumnya menyasar individu kaya dengan ambang kekayaan tertentu, dan tarifnya relatif kecil (di kisaran <1% hingga beberapa persen) namun progresif sesuai jumlah harta. Namun, banyak negara maju akhirnya meniadakan pajak kekayaan karena berbagai tantangan. Jumlah negara OECD yang memungut pajak kekayaan turun dari 12 negara pada tahun 1990 menjadi hanya 4 negara di tahun 2017[14]. Contohnya, India (sebagai negara berkembang besar di Asia) dulu punya pajak kekayaan sejak 1957, tetapi menghapusnya pada 2015. Alasan India menghentikan pajak kekayaan antara lain karena pajak ini hasilnya sangat kecil dibanding biaya administrasinya yang tinggi[15]. Menteri Keuangan India saat itu menyebut penerimaan pajak kekayaan hanya sekitar 0,1% dari total penerimaan pajak, sehingga dianggap tidak sebanding dan lebih baik digantikan dengan pajak lain yang lebih simpel[16]. Banyak orang kaya juga mudah mencari cara untuk menghindari pajak kekayaan, sehingga efektivitasnya dipertanyakan. Oleh sebab itu, beberapa negara memilih memperkuat jenis pajak lain (seperti pajak penghasilan tinggi, pajak warisan, atau pajak properti) ketimbang menerapkan pajak kekayaan yang luas.

Dari paparan umum ini, kita bisa melihat bahwa konsep pajak kekayaan memiliki daya tarik karena menjanjikan keadilan sosial dan tambahan pemasukan negara. Namun, pengalaman internasional menunjukkan perlunya kehati-hatian: merancang pajak ini tidak mudah dan ada risiko jika tidak dipersiapkan dengan matang. Selanjutnya, mari kita lihat bagaimana posisi pajak kekayaan dalam konteks sistem perpajakan Indonesia saat ini.

Bab 2: Perpajakan atas Pajak Kekayaan di Indonesia

Perbedaan dengan pajak yang sudah ada. Saat ini Indonesia belum memiliki pajak kekayaan dalam sistem perpajakannya[17]. Pajak yang dipungut pemerintah umumnya berupa pajak atas aliran pendapatan atau transaksi, bukan atas stok kekayaan. Misalnya: - Pajak Penghasilan (PPh) yang memajaki pendapatan atau laba yang diperoleh individu maupun badan dari berbagai sumber (gaji, bisnis, bunga, dividen, dll). - Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang memajaki konsumsi atau pembelian barang dan jasa. - Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang setiap tahun memajaki nilai tanah dan bangunan yang dimiliki (namun hanya terbatas pada objek properti). - Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang memajaki transaksi peralihan aset properti (misal saat membeli rumah). - Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang memajaki penjualan barang-barang mewah (contoh mobil mewah, yacht) pada saat pembelian. - PPh Final atas Dividen atau deposito, yang memajaki hasil investasi tertentu dengan tarif final (ringan).

Pajak-pajak di atas memang terkait dengan harta atau penghasilan orang kaya, tetapi bersifat terpisah-pisah per objek dan tidak mencakup keseluruhan kekayaan bersih seseorang. Sebagai contoh, orang kaya A mungkin membayar PBB untuk vila miliknya dan PPnBM saat beli mobil mewah, tapi belum tentu seluruh kekayaan A (misal koleksi lukisan mahal, perhiasan, saldo semua rekening bank, dsb.) tersentuh pajak. Pajak kekayaan berbeda karena menyasar akumulasi semua aset bersih yang dimiliki seorang individu (atau badan) di atas ambang tertentu, dalam satu payung pajak terpadu. Artinya, bila pajak kekayaan diberlakukan, setiap orang super kaya wajib melaporkan daftar seluruh hartanya, dan bila totalnya melampaui batas yang ditetapkan, maka kelebihannya dipajaki sesuai tarif.

Hal ini jelas berbeda dari mekanisme pajak kita sekarang. Pajak kekayaan akan menjadi jenis pajak baru yang membutuhkan kerangka hukum tersendiri. Sesuai konstitusi Indonesia (Pasal 23A UUD 1945), setiap pajak baru yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang (UU)[18]. Jadi, untuk menerapkan pajak kekayaan, pemerintah dan DPR perlu membuat UU baru atau amandemen UU perpajakan yang ada. Tidak bisa pajak kekayaan ini tiba-tiba dipungut hanya lewat peraturan menteri atau peraturan pemerintah – wajib melalui persetujuan legislatif karena menyangkut hak rakyat[18]. Dengan kata lain, rancangan pajak kekayaan mesti dibahas secara matang di DPR agar jelas dasar hukum, subjek, objek, tarif, hingga sanksinya.

Siapa yang akan kena pajak kekayaan? Secara desain, pajak ini hanya menyasar orang-orang kaya saja, bukan masyarakat umum. Umumnya akan ditetapkan ambang batas kekayaan (threshold) yang cukup tinggi, sehingga hanya segelintir penduduk di lapisan teratas yang menjadi wajib pajak kekayaan. Misalnya, seandainya Indonesia meniru usulan global, bisa jadi pajak kekayaan diberlakukan untuk harta di atas Rp sekian miliar atau bahkan triliun. Untuk gambaran, data menunjukkan jumlah orang Indonesia dengan kekayaan >USD 1 juta (sekitar Rp15 miliar) hanya 0,1% populasi dewasa[19]. Mereka inilah para milioner dan konglomerat yang menguasai proporsi besar aset nasional. Jadi, masyarakat umum tidak perlu khawatir akan terkena pajak ini, karena targetnya adalah kalangan super kaya dengan harta berlimpah. Bahkan di antara orang kaya sendiri, kemungkinan masih akan ada batas tinggi lagi. Contoh: Lembaga CELIOS menghitung potensi pajak 2% hanya dari 50 orang terkaya di Indonesia (orang-orang terkaya versi majalah Forbes). Hasilnya mengejutkan – hanya dari 50 orang itu negara bisa memperoleh tambahan sekitar Rp81,5 triliun per tahun[20]. Estimasi ini dengan asumsi tiap orang tersebut minimal punya kekayaan Rp15 triliun, dengan rata-rata kekayaan Rp159 triliun, dan dikenai tarif 2%[21]. Tentu, bila basisnya diperluas ke ratusan atau ribuan orang kaya lain (misal yang kekayaannya >Rp1 triliun), potensi penerimaan bisa lebih besar lagi[22].

Dampak dan manfaat bagi negara. Dari sisi penerimaan, pajak kekayaan digadang-gadang bisa menjadi sumber dana baru yang signifikan. Seperti disebut di atas, kajian akademik memperkirakan tambahan puluhan triliun rupiah per tahun dapat diraih pemerintah[7]. Sebagai ilustrasi, angka Rp50–80 triliun per tahun itu setara dengan membangun banyak rumah sakit baru, memberikan subsidi pendidikan bagi jutaan siswa, atau meluaskan program bantuan sosial bagi rakyat kurang mampu[7]. Uang sebesar itu juga bisa membantu mengurangi defisit anggaran dan membiayai proyek-proyek infrastruktur tanpa menambah utang. Selain sisi pendapatan, manfaat intangible-nya adalah meningkatkan keadilan: beban pajak negara tidak melulu ditanggung konsumen lewat PPN atau pekerja lewat PPh, tapi para konglomerat pun berkontribusi lebih sesuai kemampuan mereka. Dukungan publik terhadap ide ini cukup tinggi – survei LSI tahun 2023 menunjukkan 72% responden setuju pemerintah memungut pajak tambahan dari orang super kaya demi kepentingan publik[23]. Artinya, masyarakat luas menilai kebijakan ini memiliki legitimasi moral karena dirasa fair (adil). Bagi pemerintah, hal tersebut tentunya modal politik yang baik bila ingin mendorong kebijakan pajak kekayaan.

Kesiapan dan langkah pemerintah. Hingga kini, pajak kekayaan di Indonesia masih sebatas wacana. Pemerintah menyatakan tidak akan tergesa-gesa dan perlu mengkaji mendalam sebelum mengambil keputusan[24][25]. Dalam kampanye Pemilu 2024, isu ini sempat muncul. Presiden terpilih 2024, Bapak Prabowo Subianto, misalnya, dikabarkan berencana mengoptimalkan penerimaan negara dari kalangan crazy rich sebagai bagian dari strategi fiskal pemerintahannya[26][24]. Beberapa opsi yang dipertimbangkan meliputi: peningkatan pengawasan pajak orang kaya melalui teknologi, reformasi tarif PPh untuk berpenghasilan tinggi, dan penerapan pajak kekayaan bagi individu dengan aset besar[24]. Artinya, di tingkat konsepsi, pajak kekayaan sudah masuk radar kebijakan ke depan. Bahkan Indonesia ikut serta dalam diskusi internasional mengenai pajak kekayaan global. Pada pertemuan G20 di Brasil 2023, Indonesia turut dalam pembahasan usulan Menteri Keuangan Brasil tentang pajak kekayaan global sebesar 2% bagi para miliarder dunia[27]. Gagasan ini bertujuan menciptakan sistem pajak global yang progresif dan meningkatkan kontribusi pajak dari para super kaya lintas negara[27]. Indonesia menyatakan siap menindaklanjuti jika OECD berhasil merumuskan standar pajak kekayaan global tersebut[27]. Ini menunjukkan pemerintah Indonesia terbuka terhadap ide pajak kekayaan, namun kemungkinan ingin bergerak seiring konsensus dan praktik terbaik internasional.

Sebagai perbandingan regional, nyaris tidak ada negara berkembang di Asia saat ini yang menerapkan pajak kekayaan secara komprehensif. Tadi sudah disebut India sempat punya namun dihentikan pada 2015. Beberapa negara Asia lain lebih memilih memajaki kekayaan secara tidak langsung (misal pajak properti tinggi, pajak warisan, atau zakat kekayaan bagi negara berpenduduk Muslim) ketimbang wealth tax formal. Maka, bila Indonesia kelak menerapkan pajak kekayaan, itu akan menjadi kebijakan yang cukup pionir di kawasan. Hal ini menuntut perancangan yang cermat agar cocok dengan kondisi perekonomian nasional.

Bab 3: Akuntansi dan Implementasi Pajak Kekayaan (Aspek Teknis)

Menerapkan pajak kekayaan bukan perkara sederhana. Dari sudut pandang akuntansi pajak dan administrasi, tantangan utamanya adalah bagaimana mengukur dan mengawasi kekayaan wajib pajak secara akurat. Berbeda dengan pajak penghasilan yang basisnya arus pendapatan (yang relatif mudah ditelusuri dari slip gaji, laporan keuangan, dll.), pajak kekayaan memerlukan data tentang stok aset yang dimiliki seseorang setiap tahun. Ini berarti pemerintah perlu memiliki database kekayaan yang lengkap dan terintegrasi.

1. Pendataan dan valuasi aset: Pemerintah harus mengetahui aset apa saja yang dimiliki orang kaya, berapa nilainya, dan di mana aset itu berada. Aset bisa bermacam-macam bentuknya: tanah, bangunan, kendaraan, saldo rekening bank, deposito, saham, obligasi, emas, karya seni, hingga mungkin koleksi barang antik. Tiap aset perlu penilaian (valuasi) yang wajar setiap tahun sebagai dasar pengenaan pajak. Contohnya, properti harus dinilai harganya (bisa berdasarkan NJOP atau appraisal pasar), saham dinilai berdasarkan harga pasar, kendaraan bisa berdasarkan harga pasaran dan tahun pemakaian, dan seterusnya. Tantangan teknisnya: menilai aset non-pasar (seperti lukisan langka atau bisnis keluarga yang tidak tercatat di bursa) bisa sulit dan subyektif. Sistem penilaian yang jelas dan adil harus disusun agar wajib pajak tidak merasa dirugikan atau agar celah manipulasi nilai bisa diminimalkan[28]. Di negara yang sukses menerapkan pajak kekayaan seperti Swiss dan Spanyol, kunci keberhasilannya adalah memiliki prosedur valuasi yang jelas dan konsisten serta registri aset yang transparan[28]. Artinya, setiap aset terdaftar, ada patokan nilai, dan bisa diaudit. Indonesia perlu belajar dari hal ini.

2. Integrasi data dan sistem informasi: Tantangan terbesar berikutnya adalah ketersediaan data. Saat ini, data kepemilikan aset di Indonesia tersebar di berbagai instansi dan belum terhubung sepenuhnya. Misalnya, data kepemilikan tanah/bangunan ada di Badan Pertanahan (sertifikat tanah) dan sebagian di database PBB daerah; data kendaraan bermotor ada di registrasi SAMSAT (Polri dan Pemda); data rekening bank dan investasi finansial ada di perbankan dan OJK (melalui sistem seperti SLIK untuk informasi keuangan dan AKSes KSEI untuk efek/saham); data barang mewah mungkin tersebar di catatan bea cukai (untuk impor barang luks) atau dealer. Untuk mampu menerapkan pajak kekayaan, semua data ini idealnya terhubung dan dapat diakses oleh otoritas pajak. Dibutuhkan semacam registrasi aset nasional yang menghimpun informasi multi-aset tiap individu[29]. Upaya ke arah itu sebenarnya sudah mulai: DJP sejak 2018 menerapkan sistem Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk mendapat data keuangan WNI di luar negeri[30]. Jadi rekening bank atau investasi orang Indonesia di puluhan negara dapat dilacak karena ada pertukaran data otomatis. Namun, integrasi data domestik masih belum optimal[30]. Misalnya, menghubungkan data pertanahan, perpajakan, perbankan, dan kepemilikan saham di dalam negeri masih terhalang silo instansi. Perlu ada sistem terpadu – mungkin semacam single identification number (di mana NIK yang kini juga NPWP bisa jadi kunci penghubung semua info aset seseorang) – agar pemerintah punya gambaran utuh kekayaan WP. Tanpa itu, akan rawan terjadi penghindaran pajak kekayaan, entah dengan cara menyembunyikan aset atau melaporkannya di bawah nama orang/pihak lain.

Pemerintah bisa memanfaatkan sistem-sistem yang sudah ada. Misalnya, SIP untuk informasi pertanahan (Sistem Informasi Pertanahan di BPN), SAMSAT untuk kendaraan, SLIK OJK untuk data rekening perbankan dan pinjaman, serta AKSes KSEI untuk portofolio efek saham[29]. Integrasi lintas lembaga ini krusial. Selain itu, penggunaan teknologi terkini seperti big data analytics dan artificial intelligence dapat membantu mendeteksi ketidaksesuaian (misal gaya hidup atau pembelian aset besar yang tidak sesuai profil pajak penghasilan yang dilaporkan). Ketua DPP PKS, Handi Risza, juga menekankan perlunya pengawasan pajak berbasis teknologi dan kerja sama antar lembaga bila pajak kekayaan diterapkan[25]. Ini sejalan dengan kebutuhan integrasi data tadi.

3. Pengawasan, audit, dan penegakan hukum: Orang kaya umumnya memiliki kemampuan dan sumber daya untuk menghindari pajak jika ada celah. Maka, mekanisme audit yang kuat dan sanksi tegas harus disiapkan agar pajak kekayaan efektif[31]. Otoritas pajak perlu secara rutin memeriksa kebenaran laporan kekayaan yang disampaikan WP kaya. Jika ada harta yang disembunyikan dan ketahuan, harus ada penalti yang memberikan efek jera (misal denda besar atau bahkan pidana kalau ada unsur penggelapan). Dalam sejarah pajak, selalu ada upaya kreatif para wajib pajak kaya untuk mengurangi beban pajak, dari memanfaatkan celah aturan hingga praktik pengalihan aset ke pihak lain[32]. Hal ini sudah diantisipasi; misalnya, para ekonom seperti Piketty, Saez, dan Zucman menyarankan pajak kekayaan yang progresif dan transparan untuk mengontrol konsentrasi kekayaan global yang makin ekstrem[33]. Transparansi di sini artinya data kekayaan tertentu mungkin perlu dibuka (tentunya dengan tetap menjaga kerahasiaan pada publik, tapi antar-otoritas harus saling berbagi info). Tanpa transparansi data, pajak kekayaan rawan diakali melalui trust, perusahaan cangkang di luar negeri, atau pemberian aset ke kerabat untuk menghindari ambang batas.

4. Isu keberatan dan dampak ekonomi: Dari sisi wajib pajak, tantangan yang perlu diantisipasi adalah reaksi dan perilaku para orang kaya. Pertama, ada potensi resistensi atau keberatan karena pajak kekayaan bisa dianggap pajak berganda. Mereka bisa berargumen: “Kekayaan kami kan sudah kena pajak saat diperoleh (misal gaji sudah kena PPh, untung bisnis sudah kena pajak, beli rumah bayar BPHTB). Masak harta yang sudah terkumpul dan sudah dipajaki tersebut, setiap tahun mau dipajaki lagi?”[34]. Ini adalah concern valid, sehingga pemerintah harus bisa merumuskan aturan yang adil. Misalnya, bisa saja memberikan pengecualian untuk aset tertentu yang memang sudah rutin kena pajak (contoh: nilai rumah mungkin sebagian sudah kena PBB tiap tahun, sehingga beban pajak kekayaan perlu memperhitungkan hal itu agar tidak terlalu memberatkan). Atau, ambang batas tinggi sehingga hanya kekayaan excess yang benar-benar besar yang dikenai pajak. Kedua, dari sisi ekonomi makro, ada kekhawatiran efek negatif: pelarian modal (capital flight) dan penurunan minat investasi. Orang super kaya memiliki fleksibilitas memindahkan asetnya ke luar negeri jika merasa beban pajak di dalam negeri terlalu tinggi atau mengganggu kekayaannya[35]. Contoh nyata, di Norwegia baru-baru ini, ketika tarif pajak kekayaannya dinaikkan, sejumlah orang kaya dilaporkan keluar dari Norwegia (migrasi finansial) untuk menghindari pajak, alhasil basis pajak justru menyusut[35]. Hal serupa bisa terjadi di Indonesia bila pajak kekayaan dianggap terlalu memberatkan tanpa kontrol – para konglomerat bisa saja offshore aset mereka atau bahkan pindah domisili pajak ke negara yang tidak ada pajak kekayaan. Selain itu, beberapa studi menunjukkan peningkatan pajak (terutama pajak penghasilan perusahaan) bisa mengurangi aliran investasi asing (FDI)[36]. Walau pajak kekayaan beda objek, investor bisa khawatir iklim usaha memburuk jika negara dianggap “tidak ramah orang kaya”. Ini persepsi sensitif yang harus dikelola. Solusinya, desain kebijakan harus hati-hati: tarif yang moderat, komunikasi publik yang baik bahwa ini demi keadilan, serta memastikan stabilitas ekonomi dan kepastian hukum tetap terjaga agar orang kaya tidak kabur.

5. Biaya administrasi vs hasil: Seperti pengalaman India, pajak kekayaan bisa jadi sulit dipungut dengan efisien. Administrasinya kompleks (karena harus verifikasi banyak jenis aset), membutuhkan tenaga pemeriksa, penilai aset, infrastruktur IT, dsb. Jika ujungnya biaya mengawasi dan menagih pajak ini hampir setara atau bahkan melebihi penerimaan yang didapat, tentu secara ekonomi kurang menguntungkan. Contoh di India, biaya administrasi dan kepatuhan pajak kekayaan tinggi sekali sementara penerimaan hanya 0,1% dari total pajak[16]. Akhirnya pemerintah India menghapus pajak tersebut dan menggantinya dengan kebijakan alternatif (mereka menaikkan pajak penghasilan untuk orang kaya dan menerapkan semacam surcharges). Ini pelajaran bahwa desain sederhana sangat penting. Sistem pajak kekayaan harus dibuat sesederhana mungkin dalam pendataannya, mungkin dengan threshold tinggi (jumlah wajib pajak sedikit) agar mudah diawasi. Penggunaan teknologi bisa menekan biaya administrasi. Selain itu, integrasi dengan sistem pajak lain bisa dipertimbangkan – misal wealth tax digabung dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi supaya pelaporannya terpadu, tidak menjadi beban birokrasi terpisah.

Singkatnya, dari sudut pandang teknis-akuntansi, pekerjaan rumah pemerintah sebelum menerapkan pajak kekayaan sangat banyak: membangun data asset registry nasional, memastikan valuasi aset akurat, menyiapkan infrastruktur IT dan SDM pengawasan, menutup celah penghindaran, serta mengkaji dampak ekonomi secara komprehensif. Tanpa persiapan itu, pajak kekayaan dikhawatirkan justru menimbulkan masalah baru, seperti sengketa pajak berkepanjangan, biaya besar, atau hilangnya sebagian basis pajak karena modal lari keluar. Namun, apabila disiapkan matang, pajak kekayaan dapat menjadi instrumen ampuh untuk redistribusi ekonomi tanpa menggoyahkan fondasi investasi. Semuanya bergantung pada bagaimana kebijakan ini dirancang dan diimplementasikan.

Bab 4: Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan utama: Pajak kekayaan merupakan wacana kebijakan pajak yang lahir dari kebutuhan akan keadilan ekonomi dan peningkatan penerimaan negara. Di Indonesia, ide ini mengemuka karena rasio pajak rendah dan jurang kaya-miskin yang lebar. Secara potensi, pajak kekayaan bisa membawa dampak positif berupa tambahan dana puluhan triliun rupiah setiap tahun bagi APBN[7][20]. Dana itu dapat dialokasikan untuk pembangunan dan program pro-rakyat, sekaligus memperbaiki persepsi bahwa sistem pajak berpihak pada keadilan (yang kaya berkontribusi lebih besar sesuai asas gotong royong). Kebijakan ini juga sejalan dengan rasa keadilan masyarakat; survei menunjukkan dukungan mayoritas publik untuk memajaki kaum super kaya demi kepentingan umum[23].

Namun, di sisi lain, pajak kekayaan ibarat pedang bermata dua. Jika tidak dirancang hati-hati, bisa muncul dampak negatif pada perekonomian. Capital flight menjadi ancaman nyata – para konglomerat bisa memindahkan hartanya ke luar negeri sehingga target penerimaan meleset dan sektor finansial dalam negeri kehilangan dana[35]. Iklim investasi juga perlu dijaga agar investor tidak khawatir dengan adanya pajak baru yang dianggap membebani kelompok bisnis. Selain itu, aspek administrasi dan penegakan hukum menantang: negara harus sanggup mengidentifikasi dan menilai kekayaan dengan akurat, serta mencegah berbagai jurus penghindaran pajak yang mungkin ditempuh oleh orang kaya[31][32]. Tanpa infrastruktur data dan pengawasan yang mumpuni, pajak kekayaan rawan bolong dan justru menimbulkan ketidakpastian hukum. Pelajaran dari negara lain seperti India menunjukkan bahwa biaya pemungutan yang tinggi dengan hasil minim membuat pajak kekayaan menjadi kebijakan yang tidak efisien jika dijalankan tanpa perencanaan matang[15].

Saran dan rekomendasi: Berdasarkan hal-hal di atas, berikut beberapa saran apabila Indonesia serius ingin menerapkan pajak kekayaan:

  • Lakukan kajian mendalam dan bertahap. Pemerintah sebaiknya tidak gegabah langsung menerapkan pajak kekayaan tanpa riset komprehensif. Seperti disuarakan oleh anggota DPR (misal dari PKS), perlu riset bersama melibatkan pakar, pelaku usaha, akademisi, untuk merumuskan desain pajak kekayaan yang paling cocok bagi Indonesia[37]. Kajian ini mencakup memproyeksi dampak ekonomi, menentukan ambang batas optimal, siapa saja yang akan terkena, skenario tarif, dan bagaimana efeknya ke investasi. Simulasi dan stress-test kebijakan perlu dilakukan. Mungkin implementasi awal bisa dalam bentuk uji coba atau pilot project secara terbatas. Misalnya, tahun pertama diberlakukan pada kelompok ultra-rich tertentu atau sebagai pajak sekali waktu (one time wealth levy) pasca pandemi, sebelum menjadi pajak tahunan permanen. Pendekatan bertahap akan membantu mengidentifikasi masalah awal dan memberi waktu penyesuaian.
  • Pastikan landasan hukum kuat dan jelas. Mengingat mandatori UU, pemerintah dan DPR perlu menyiapkan Undang-Undang Pajak Kekayaan atau memasukkannya dalam perubahan UU perpajakan yang ada. UU ini harus merinci secara jelas objek pajak kekayaan (jenis harta apa saja yang dihitung, apakah termasuk aset di luar negeri, bagaimana dengan aset warisan, dsb.)[38], subjek pajak (mungkin WP orang pribadi dalam negeri di atas threshold tertentu, apakah badan usaha juga akan dikenakan atau tidak), tarif dan lapisan (flat atau progresif berjenjang sesuai jumlah kekayaan), threshold bebas pajak, serta mekanisme penghindaran pajak berganda (misal bagaimana memperlakukan harta yang sudah dikenai PBB atau pajak lain). Kepastian aturan sejak awal akan mengurangi resistensi dan kebingungan. Ingat, pajak ini sensitif, jadi aturan harus transparan dan adil agar dapat diterima.
  • Audit kesiapan data dan administrasi. Sebelum pajak kekayaan dijalankan, negara perlu melakukan audit internal atas sumber daya, data, dan regulasi yang ada terkait pajak orang kaya[39]. Ibaratnya, “PR rumah” dibereskan dulu. Pertama, lengkapi dan integrasikan database aset nasional. Mungkin diperlukan perjanjian antar lembaga (Kemenkeu, ATR/BPN, OJK, Kepolisian, dll) untuk membuka akses data. Kembangkan sistem IT DJP yang mampu mengolah data kekayaan multi-aset. Kedua, siapkan SDM petugas pajak (account representatives dan pemeriksa) dengan kompetensi valuasi aset dan forensic accounting, karena menangani wajib pajak high-wealth beda dengan WP biasa. Ketiga, perkuat regulasi penunjang – misalnya aturan pelaporan harta. Saat ini WP orang pribadi sebenarnya sudah melaporkan daftar harta di SPT Tahunan, namun belum ada sanksi tegas jika tidak jujur. Ke depan, mungkin aturan perlu mewajibkan wealth report yang terverifikasi. Semua ini perlu dilakukan agar ketika pajak kekayaan diberlakukan, aparat pajak sudah siap “tempur”. Jangan sampai pemerintah terkesan mengambil jalan pintas dengan langsung membuat pajak baru padahal celah pengawasan lama belum ditutup[40]. Itu hanya akan menurunkan kredibilitas dan efektivitas kebijakan.
  • Belajar dari pengalaman negara lain & best practice. Pemerintah sebaiknya menyerap pelajaran dari negara yang sukses maupun gagal dalam pajak kekayaan. Misal, Spanyol berhasil menerapkan kembali pajak kekayaan dengan mengintroduksi Solidarity Tax on Large Fortunes untuk mencegah orang kaya kabur ke daerah dengan tarif lebih rendah[28]. Swiss mampu konsisten menjalankan wealth tax karena administrasi daerahnya kuat dan wajib pajak relatif patuh[28]. Sebaliknya, Prancis mengubah kebijakan karena dianggap mengganggu investasi (akhirnya hanya memajaki properti). India dan beberapa negara lain menghentikan wealth tax karena hasil minim dan banyak sengketa[15]. Dari sini, Indonesia bisa merancang kombinasi kebijakan yang cocok: misal mungkin cukup wealth tax khusus properti mewah (jika full wealth tax dirasa terlalu berat), atau tarif dibuat rendah namun basis luas, dsb. Selain itu, langkah seperti peningkatan pajak warisan atau gift tax mungkin bisa menjadi pelengkap/alternatif bila wealth tax sulit dijalankan. Intinya, kebijakan harus disesuaikan dengan konteks Indonesia – jumlah penduduk besar, banyak aset belum terdata formal, tapi di sisi lain sudah era digital yang bisa memudahkan pendataan.
  • Koordinasi internasional untuk mencegah pelarian modal. Saran penting lainnya adalah pemerintah aktif dalam kerja sama global agar pajak kekayaan efektif. Seperti diketahui, orang kaya bisa dengan mudah memindah kekayaan ke yurisdiksi yang pajaknya rendah atau tidak ada (tax haven). Untuk itu, Indonesia perlu melanjutkan dan memperkuat partisipasi dalam inisiatif seperti Automatic Exchange of Information (AEOI) yang sudah berjalan[30], serta mendorong kesepakatan regional. Jika makin banyak negara sepakat mengenakan pajak serupa bagi miliarder, maka insentif lari dari satu negara ke negara lain akan berkurang. Tentu hal ini tidak bisa dilakukan sendiri, namun Indonesia bisa menggandeng negara G20 atau ASEAN untuk sama-sama mempertimbangkan kebijakan sejenis bagi fairness. Paling tidak, lakukan perjanjian bilateral dengan negara tetangga atau destinasi favorit aset (Singapura, Swiss, dll) agar mereka tidak mudah menerima aliran dana yang tujuannya menghindari pajak. Kerangka hukum internasional yang jelas akan membantu menutup celah bagi wajib pajak nakal[41].
  • Optimalkan pajak yang sudah ada dan perbaiki kepatuhan sukarela. Sebelum pajak kekayaan diterapkan, ada baiknya pemerintah memaksimalkan penarikan pajak dari orang kaya dengan instrumen yang sudah ada terlebih dahulu[40]. Misalnya, lakukan pengawasan ekstra pada SPT orang pribadi berpenghasilan sangat tinggi: apakah semua penghasilan dan keuntungan modal sudah dilaporkan dengan benar? Lakukan uji kepatuhan (compliance test) apakah lonjakan kekayaan para konglomerat dalam beberapa tahun terakhir sudah sepadan dengan pajak yang mereka bayar[42][43]. Jika ternyata banyak yang lolos (misal aset naik drastis tapi pajak dibayar sedikit), itu dulu yang dibenahi dengan penegakan hukum. Pemerintah juga baru saja menaikkan tarif PPh tertinggi menjadi 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar[44]; efektivitasnya perlu dilihat dulu. Jangan sampai pajak kekayaan justru terlihat seperti solusi instan padahal kebocoran di sistem pajak lain belum ditambal. Selain itu, edukasi dan inklusi pajak terus digalakkan agar orang kaya sadar moral bahwa berkontribusi lebih adalah hal wajar karena mereka menikmati fasilitas negara lebih banyak[45]. Singkatnya, benahi fondasi, baru bangun atap. Pendekatan ini akan membuat implementasi pajak kekayaan (jika jadi dilakukan) lebih lancar dan berkelanjutan, bukan sekadar gebrakan sesaat.

Kata Penutup

Penutup: Wacana pajak kekayaan di Indonesia mencerminkan upaya mencari keadilan dalam sistem perpajakan kita. Sebagai konsultan pajak berpengalaman, saya melihat ide ini bak obat dosis tinggi – bisa menyembuhkan penyakit ketimpangan jika diberikan tepat takaran, tapi bisa berbahaya jika salah resep. Pajak kekayaan bukan sekadar soal angka-angka, melainkan pesan bahwa negara hadir memastikan kekayaan dinikmati tidak oleh segelintir orang saja. Bagi masyarakat awam, mungkin terlintas tanya: Apakah pajak baru ini akan memperbaiki hidup kami? Harapannya, ya – bila berhasil, penerimaan negara bertambah dan bisa dialirkan kembali dalam bentuk layanan publik yang lebih baik. Pajak kita untuk kita pada akhirnya[46].

Namun, perlu digarisbawahi bahwa kebijakan ini tidak ajaib. Ia bukan solusi tunggal atas semua masalah fiskal. Banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan dulu agar tujuan mulia pajak kekayaan tercapai tanpa menimbulkan gejolak ekonomi. Pemerintah harus berani tapi juga bijak: berani mengambil langkah untuk keadilan sosial, namun bijak dalam meramu kebijakan supaya efisien dan efektif. Apabila semua persiapan dan kajian dilakukan dengan seksama, pajak kekayaan bisa menjadi terobosan positif menuju Indonesia yang lebih sejahtera dan adil. Sebaliknya, jika terburu-buru, dikhawatirkan menjadi bumerang yang justru merugikan perekonomian.

Demikianlah pembahasan komprehensif mengenai pajak kekayaan. Semoga uraian di atas dapat dipahami dengan mudah oleh semua kalangan. Dengan bahasa sederhana, kita telah menjelajah apa itu pajak kekayaan, mengapa muncul wacananya, bagaimana perbedaannya dengan pajak lain, dampaknya bagi ekonomi, contoh negara lain, hingga tantangan pelaksanaannya di Indonesia. Semoga informasi ini bermanfaat dan bisa menjadi bahan diskusi yang sehat. Akhir kata, keputusan ada di tangan kita bersama – rakyat, pemerintah, dan wakil rakyat – untuk menentukan arah kebijakan pajak yang terbaik bagi negeri ini.

Kita semua tentu berharap sistem pajak Indonesia makin kuat, adil, dan mampu menjadi tulang punggung pembangunan demi kesejahteraan seluruh rakyat.

Sumber & Dasar Hukum: Semua fakta dan pernyataan dalam tulisan ini didukung oleh data dari laporan dan pernyataan resmi, antara lain: berita Pajak.com[3][5], kajian Antara News[7][35], artikel konsultan pajak[24][27], publikasi Prime Services International[47][48], riset Tirto.id[20][29], pendapat di situs DJP[2][40], hingga konstitusi (UUD 1945 Pasal 23A) yang mewajibkan pajak diatur dengan UU[18]. Dengan dasar pijakan ini, diharapkan tulisan di atas dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya dan memberi pencerahan bagi pembaca awam sekalipun. [25]


[1] [3] [5] Politisi Dorong Pemerintah dan DPR Kaji Serius Penerapan Pajak Kekayaan! - PAJAK.COM

https://www.pajak.com/pajak/politisi-dorong-pemerintah-dan-dpr-kaji-serius-penerapan-pajak-kekayaan/

[2] [19] Pajak untuk Orang Kaya Semakin Kaya | Direktorat Jenderal Pajak

https://www.pajak.go.id/id/artikel/pajak-untuk-orang-kaya-semakin-kaya

[4] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [34] [47] [48] 5 Negara Ini Menerapkan Pajak Kekayaan, Indonesia Kapan?

https://ptpsi.com/5-negara-ini-menerapkan-pajak-kekayaan-indonesia-kapan/

[6] [7] [23] [28] [30] [35] [36] [41] Diskursus pajak kekayaan untuk kaum superkaya - ANTARA News

https://www.antaranews.com/berita/5078797/diskursus-pajak-kekayaan-untuk-kaum-superkaya

[14] [15] [16] Lessons from the past: Why a wealth tax may not be a rich idea | The Indian Express

https://indianexpress.com/article/opinion/columns/lessons-from-the-past-why-a-wealth-tax-may-not-be-a-rich-idea-9738170/

[17] [20] [21] [22] [29] [31] [33] Kemenkeu Didesak Tarik Pajak 50 Orang Super Kaya, Potensi Rp81 T

https://tirto.id/kemenkeu-didesak-tarik-pajak-50-orang-super-kaya-potensi-rp81t-hfDs

[18] Ramai Ajakan Ogah Bayar Pajak, Masyarakat Bisa Langgar Konstitusi | Infobanknews

https://infobanknews.com/ramai-ajakan-ogah-bayar-pajak-masyarakat-bisa-langgar-konstitusi/

[24] [26] [27] Wealth Tax Masuk Dalam Pertimbangan Optimalisasi Pajak Pemerintahan Prabowo | Registered Tax Consultant

https://konsultanpajaksurabaya.com/wealth-tax-masuk-dalam-pertimbangan-optimalisasi-pajak-pemerintahan-prabowo

[25] [37] [38] Wacana Pajak Kekayaan Mengemuka, Pemerintah & DPR Diminta Buat Kajian

https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1813437/wacana-pajak-kekayaan-mengemuka-pemerintah-dpr-diminta-buat-kajian

[32] [39] [40] [42] [43] [45] [46] Mengapa Perlu Memajaki Orang Kaya dengan Komprehensif? | Direktorat Jenderal Pajak

https://pajak.go.id/id/artikel/mengapa-perlu-memajaki-orang-kaya-dengan-komprehensif

[44] Mekanisme Penghitungan Pajak Penghasilan Orang Pribadi

https://www.pajak.go.id/en/node/34978

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.