Kata Pengantar:
Bayangkan sebuah dunia di mana perusahaan raksasa seperti Apple, Google, dan
Amazon tidak lagi bisa “main petak umpet” dengan pajak. Inilah gambaran Pajak
Minimum Global 15% – sebuah kebijakan pajak internasional baru yang sedang
hangat dibicarakan. Kebijakan ini bertujuan agar perusahaan multinasional
membayar pajak minimal 15% di manapun mereka beroperasi, sehingga praktik
lari ke “surga pajak” ber tarif rendah tidak lagi menguntungkan[1]. Saya akan mengajak Anda menelusuri
konsep pajak minimum global ini secara kritis dan komprehensif, mulai
dari pengertian dasar hingga dampaknya bagi Indonesia. Tulisan ini disusun
dengan bahasa sederhana agar mudah dipahami, lengkap dengan dasar aturan
hukumnya, sehingga pembaca awam sekalipun dapat mengerti dengan baik. Mari kita
mulai memahami “revolusi” baru di dunia perpajakan ini dan apa artinya bagi
masa depan ekonomi Indonesia.
Bab 1: Apa Itu Pajak Minimum Global dan Latar Belakangnya
Pengertian dan Tujuan Utama:
Pajak Minimum Global (global minimum tax) adalah kebijakan
internasional yang menetapkan batas bawah tarif pajak penghasilan badan sebesar
15% bagi perusahaan multinasional tertentu[2]. Kebijakan ini lahir dari keprihatinan global atas maraknya praktik profit
shifting atau pemindahan laba ke yurisdiksi berpajak sangat
rendah (tax havens) yang membuat banyak negara kehilangan potensi
penerimaan pajak[2]. Singkatnya, pajak minimum global bertujuan mencegah penghindaran
pajak oleh korporasi raksasa dan mengakhiri “perlombaan ke bawah” (race
to the bottom) di mana negara-negara saling menurunkan tarif pajak untuk
menarik investasi[3]. Dengan adanya tarif minimum ini, diharapkan tercipta sistem
perpajakan internasional yang lebih adil dan transparan, serta kompetisi
bisnis yang sehat tanpa trik menghindari pajak[4][2].
Kesepakatan Internasional (OECD/G20):
Gagasan pajak minimum global merupakan bagian dari Solusi Dua Pilar yang
diinisiasi oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) bersama
kelompok G20[5]. Pilar 1 berfokus pada pembagian hak pemajakan atas ekonomi
digital (agar negara pasar mendapat bagian pajak), sementara Pilar 2
adalah aturan Global Anti-Base Erosion (GloBE) yang mencakup pajak
minimum global 15% ini[5]. Pada Oktober 2021, lebih dari 140 negara dalam Kerangka Inklusif
OECD/G20 sepakat mendukung kerangka pajak global dua pilar tersebut,
termasuk Indonesia[6]. Kesepakatan ini berarti secara kolektif negara-negara akan menerapkan
aturan baru agar perusahaan multinasional dengan pendapatan sangat besar
tidak bisa lagi lolos dari pajak dengan memanfaatkan perbedaan tarif antar
negara[1]. Bahkan, forum G20 pada 2022 menargetkan implementasi kebijakan ini
dapat dimulai secara global pada tahun 2023[7][8], menandai perubahan besar dalam lanskap perpajakan internasional.
Siapa yang Kena Pajak Minimum 15%?
Pajak minimum global hanya berlaku bagi perusahaan multinasional berukuran
sangat besar. Kriteria yang disepakati secara global adalah grup
perusahaan dengan omzet konsolidasi global di atas €750 juta (sekitar
Rp12 triliun) per tahun[9][10]. Batas ini memastikan bahwa kebijakan ditujukan pada korporasi raksasa
yang beroperasi lintas negara, sehingga usaha kecil dan menengah lokal tidak
termasuk dan tidak akan terbebani aturan ini. Dengan kata lain, perusahaan
domestik atau grup dengan pendapatan di bawah ambang tersebut tidak terkena
pajak minimum global 15%. Kebijakan ini sengaja menyasar perusahaan
multinasional besar yang selama ini memiliki kemampuan dan peluang melakukan
perencanaan pajak agresif secara global.
Mekanisme dan Cara Kerja Pajak Minimum Global:
Bagaimana aturan 15% ini diterapkan secara konkret? Pada intinya, diberlakukan
prinsip “top-up tax” atau pajak tambahan. Jika suatu entitas
perusahaan multinasional membayar pajak efektif di suatu negara kurang dari
15%, maka harus ada pembayaran pajak tambahan untuk mencapai tarif minimal 15%
tersebut[11]. Mekanisme penerapannya dirancang bertingkat sebagai berikut:
- Income Inclusion Rule (IIR): Aturan ini
memberi hak kepada negara tempat perusahaan induk (holding) berada
untuk mengenakan pajak tambahan. Misal, jika anak perusahaan di negara
X hanya membayar pajak efektif 5%, maka negara asal induk dapat memungut
tambahan 10% agar total pajak yang dibayar grup mencapai 15%[12].
- Undertaxed Payment Rule (UTPR): Ini
adalah jaring pengaman kedua. Jika negara induk tidak menerapkan
IIR atau masih ada sisa laba yang belum dipajaki hingga 15%, maka negara-negara
tempat entitas grup beroperasi dapat bersama-sama mengenakan pajak
tambahan atas laba yang “kurang pajak” tersebut[13]. UTPR mencegah perusahaan menghindar jika IIR tidak berlaku;
intinya negara lain akan menangkap potensi pajak yang belum terpungut.
- Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT):
Banyak negara, termasuk Indonesia, memilih untuk menetapkan pajak
tambahan minimum di yurisdiksi domestiknya sendiri[14]. Artinya, jika ada entitas perusahaan di Indonesia yang
menikmati tarif pajak di bawah 15% (karena insentif atau aturan khusus),
Indonesia sendiri yang akan memungut selisih hingga 15% sebagai pajak
top-up dalam negeri. Strategi ini untuk memastikan Indonesia
mendapat bagian pajak tersebut daripada diklaim negara lain.
Dengan tiga lapis aturan di atas, sistem pajak minimum global menjamin setiap
bagian laba perusahaan multinasional akan dipajaki setidaknya 15% di suatu
tempat. Tidak ada lagi tempat bersembunyi dengan tarif 0% di surga pajak,
karena jika satu negara tidak memajaki hingga 15%, negara lain berhak
memungut sisanya[15]. Selain itu, sebagai pelengkap Pilar 2, disepakati pula aturan Subject
To Tax Rule (STTR) yang menetapkan tarif pajak minimal 9% atas
jenis penghasilan tertentu (misalnya royalti, bunga) yang dibayarkan lintas
negara[16]. STTR ini terutama untuk melindungi negara berkembang agar pembayaran
dari negaranya ke yurisdiksi berpajak sangat rendah tetap dikenai pajak minimal
9% di negara sumber. Implementasi STTR akan dilakukan melalui perjanjian
multilateral tersendiri.
Intinya, pajak minimum global 15% adalah upaya
kolektif dunia untuk menciptakan keadilan pajak: perusahaan besar
membayar porsi pajak yang wajar, dan setiap negara mendapat hak pemajakan yang
proporsional[1]. Kebijakan ini mengakhiri praktik perusahaan multinasional yang dulu
bisa menghindari pajak hampir sepenuhnya dengan memindahkan laba ke negara
ber-pajak nol. Sekarang, dimanapun labanya berada, total pajak yang dibayar
akan tetap 15%**[1]. Langkah ini disebut banyak pakar sebagai “game changer” di
bidang perpajakan internasional – sebuah revolusi yang diharapkan membawa iklim
persaingan usaha yang lebih adil secara global.
Bab 2: Implementasi Pajak Minimum Global di Berbagai Negara
Gelombang Adopsi Global:
Kebijakan pajak minimum global mendapat sambutan luas di banyak negara. Hingga
saat ini, lebih dari 40 negara telah mengimplementasikan ketentuan pajak
minimum global dalam kerangka hukum domestik mereka[17]. Kebanyakan negara-negara tersebut mulai memberlakukan aturan ini pada
tahun pajak 2024 atau 2025[17]. Langkah serempak ini bukan kebetulan, melainkan hasil koordinasi
melalui OECD/G20 Inclusive Framework tadi. Beberapa contoh nyata:
- Uni Eropa dan G7: Negara-negara Uni Eropa
bergerak cepat dengan mengesahkan Directive (aturan kolektif) yang
mengharuskan seluruh 27 negara anggota menerapkan pajak minimum 15%. Negara
maju seperti Prancis, Jerman, Belanda, Luxemburg, dan Irlandia (yang
terkenal dengan tarif pajak rendahnya) mulai menerapkan aturan ini pada
2024[18]. Begitu pula Inggris (UK) telah mengadopsi pajak minimum
global melalui undang-undang domestik yang berlaku mulai 2024[19]. Jepang dan Korea Selatan, dua ekonomi besar di Asia, juga
termasuk yang lebih dulu start pada tahun 2024[18]. Langkah-langkah ini memastikan perusahaan multinasional di
negara tersebut, atau milik negara tersebut di luar negeri, akan terkena
top-up tax jika membayar di bawah 15%.
- Asia Tenggara dan Lainnya: Singapura,
Malaysia, Hong Kong – yurisdiksi yang selama ini dikenal menawarkan
tarif pajak menarik – telah berkomitmen menerapkan pajak minimum global
mulai tahun 2025[19]. Mereka menyadari bahwa jika tidak ikut serta, justru perusahaan
mereka akan dikenai pajak tambahan di negara lain. Dengan bergabungnya
pusat-pusat finansial Asia ini, kawasan Asia Tenggara bergerak seirama. Indonesia
sendiri (pembahasan detail di Bab 3) mulai berlaku 2025. Selain itu,
negara-negara seperti Swiss (yang terkenal sebagai surga pajak
Eropa) juga mengubah konstitusinya melalui referendum agar dapat
memberlakukan pajak minimum 15% bagi perusahaan multinasional mulai
2024/2025[19]. Ini menunjukkan komitmen global yang meluas, tidak terbatas pada
negara besar saja.
- Amerika Serikat: Patut dicatat, AS
mendukung kesepakatan ini namun hingga 2025 belum sepenuhnya
menyesuaikan hukum domestiknya dengan tarif 15% global. AS sebenarnya
memiliki rezim serupa bernama GILTI (Global Intangible Low-Taxed
Income) yang sejak 2018 mengenakan pajak minimum efektif ~10,5% bagi
perusahaan AS atas laba di luar negeri. Namun, untuk mencapai 15%, AS
perlu legislasi baru yang masih tertunda karena dinamika politik. Walau
demikian, perusahaan multinasional AS tetap dapat terkena aturan dari
negara lain – misalnya, jika Google membayar kurang dari 15% di suatu
negara dan AS belum memungut selisihnya, negara lain bisa menerapkan UTPR.
Jadi, sekalipun implementasi AS belum sinkron, mekanisme global tetap
dapat berjalan melalui aturan di negara lain. Hal ini tengah menjadi
perbincangan dan mungkin akan mendorong AS segera menyesuaikan kebijakan
pajaknya.
Strategi Implementasi Nasional:
Setiap negara umumnya menerapkan pajak minimum global melalui perubahan
undang-undang atau peraturan domestik yang mengacu pada Model Rules OECD.
Meskipun kerangka dasarnya sama (tarif 15%, threshold €750 juta, top-up tax),
detail teknis di tiap negara bisa sedikit bervariasi. Secara umum, negara-negara
mengadopsi tiga komponen utama (IIR, UTPR, dan DMTT) dalam regulasi mereka,
agar dianggap “qualified” dan selaras dengan standar OECD[20].
Sebagai contoh, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol
mengintegrasikan aturan ini ke dalam undang-undang pajak penghasilan mereka,
sesuai mandat Direktif UE, sehingga mulai 2024 perusahaan multinasional yang
beroperasi di sana harus menghitung effective tax rate (ETR) di setiap
yurisdiksi dan melaporkannya. Inggris menerbitkan regulasi
“Multinational Top-up Tax” dalam Finance Act-nya. Jepang dan Korea juga
mengamendemen UU Pajak Korporasi mereka di 2023 untuk memasukkan skema pajak
tambahan 15% bagi entitas yang ETR-nya di bawah ambang. Biasanya, aturan
nasional mencakup hal-hal teknis seperti definisi entitas grup, metode
perhitungan ETR, pengecualian (misal entitas nirlaba, dana pensiun dikecualikan[21]), serta prosedur pelaporan khusus (GloBE Information Return)
sesuai panduan OECD[22]. Bahkan, PMK 136/2024 Indonesia mencontohkan bahwa dalam
regulasinya disisipkan 63 definisi strategis dan lampiran panduan teknis agar
implementasinya jelas dan konsisten dengan aturan global[23][24].
Dampak Global: “Level Playing Field”
Dengan semakin banyak negara mengadopsi pajak minimum global, dunia menuju level
playing field dalam perpajakan. Artinya, tarif pajak tidak lagi menjadi
senjata utama untuk bersaing memikat investasi. Para investor dan
perusahaan kini tahu bahwa ke manapun mereka pergi, setidaknya 15% pajak atas
laba harus dibayar entah di negara tersebut atau di negara lain. Hal ini
mendorong persaingan bergeser ke faktor lain: infrastruktur, kualitas
tenaga kerja, ukuran pasar, stabilitas hukum, dan fasilitas non-pajak. Bagi
negara-negara berkembang, ada harapan kebijakan ini mengurangi praktik
perusahaan asing yang selama ini “menguras” keuntungan di negeri mereka lalu
dialihkan ke negara suaka pajak. Setiap negara yang berpartisipasi berhak
atas “bagian pajak” yang selama ini hilang akibat penghindaran pajak[1][25].
Tentu, implementasi global ini juga diwarnai tantangan. Koordinasi
internasional sangat penting agar aturan dijalankan konsisten dan
menghindari pajak berganda. OECD membentuk sistem Inclusive Framework
untuk memantau pelaksanaan. Negara-negara akan saling bertukar informasi
melalui laporan Country-by-Country Report (CbCR) yang tetap digunakan
untuk mengidentifikasi lokasi laba dan pajak terbayar per negara[26]. Intinya, mesin global sudah mulai bergerak serempak: dari
Eropa, Asia, Amerika hingga Afrika, banyak pemerintah bersepakat “cukup
sudah” era perusahaan besar bayar pajak nol. Pajak minimum global 15%
menjadi standar baru. Bagi Indonesia, apa maknanya? Kita akan bahas di bab
selanjutnya bagaimana Indonesia merespons kebijakan ini, manfaat yang diincar,
serta kekhawatiran yang muncul.
Bab 3: Dampak dan Tanggapan Indonesia terhadap Pajak Minimum Global
Langkah Indonesia Menerapkan Pajak Minimum Global:
Sebagai bagian dari kesepakatan global, Indonesia bergerak cepat untuk
mengadopsi Pajak Minimum Global 15%. Pemerintah telah menegaskan
komitmennya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136
Tahun 2024 pada 31 Desember 2024 sebagai landasan hukum penerapan pajak
minimum global di Indonesia[27]. Regulasi ini efektif berlaku mulai tahun pajak 2025[28]. Dengan PMK 136/2024, Indonesia memastikan perusahaan multinasional
yang beroperasi di dalam negeri akan dikenai pajak tambahan apabila total
pajak yang mereka bayar di Indonesia kurang dari 15% dari laba mereka[29][30]. Ketentuan ini berlaku bagi Wajib Pajak badan yang merupakan bagian
dari grup perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal €750
juta (sekitar Rp12 triliun)[10] – sama dengan threshold global yang telah disepakati. Artinya, hanya
entitas yang sangat besar yang termasuk; bisnis Indonesia yang bukan bagian
dari grup multinasional besar tidak akan terdampak aturan ini.
Dalam PMK 136/2024, diatur pula bagaimana Indonesia mengimplementasikan
aturan GloBE lengkap dengan tiga pilar mekanismenya (IIR, UTPR, dan DMTT)[27]. Jika ada perusahaan anggota grup multinasional di Indonesia
menikmati tarif pajak efektif di bawah 15%, Indonesia akan mengenakan “Domestic
Minimum Top-up Tax” sebesar selisihnya[14]. Pembayaran top-up tax ini harus dilakukan paling lambat akhir
tahun pajak berikutnya – contohnya untuk tahun pajak 2025, pajak
tambahannya harus disetor paling lambat 31 Desember 2026[31][30]. Pemerintah juga mewajibkan pelaporan khusus terkait pajak minimum
global (GloBE report) paling lambat 15 bulan setelah akhir tahun pajak
(atau 18 bulan untuk tahun pertama penerapan sebagai kelonggaran)[11][32]. Ini berarti, misal untuk tahun pajak 2025, perusahaan yang terkena
aturan harus melapor paling lambat 30 Juni 2027[32].
Semua ketentuan ini memberikan kejelasan bagi investor bahwa Indonesia
siap menjalankan standar global baru ini. Bahkan, Menteri Keuangan Sri
Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penerapan PMK 136/2024 tentang pajak minimum
global adalah bagian dari upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi agar
lebih kompetitif dan sehat[33]. Dengan aturan ini, tidak ada lagi “surga pajak” di dalam negeri
bagi perusahaan multinasional besar: apabila mereka sebelumnya mendapat
fasilitas pajak sangat rendah, kini tetap akan kena pajak minimal 15%. Hal ini
menurut pemerintah justru menciptakan persaingan yang adil antar pelaku
usaha – perusahaan yang selama ini patuh bayar pajak penuh tidak lagi kalah
saing dari yang dulu dapat privilese pajak rendah.
Dampak terhadap
Penerimaan Negara dan Keadilan Pajak
Salah
satu motivasi utama Indonesia menerapkan pajak minimum global adalah potensi
peningkatan penerimaan pajak yang signifikan. Kementerian Keuangan memproyeksikan
tambahan penerimaan pajak sebesar Rp3,8 triliun hingga Rp8,8 triliun per tahun
dengan diberlakukannya kebijakan ini[34][35].
Tambahan penerimaan ini terutama bersumber dari mekanisme top-up tax
terhadap perusahaan multinasional yang selama ini membayar pajak di Indonesia
di bawah 15%[36].
Daripada selisih pajak itu diambil negara lain, sekarang Indonesia yang akan
memungutnya. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (atau Wamenkeu II
Thomas Djiwandono) menjelaskan bahwa jika Indonesia tidak menerapkan Pilar
2, potensi pajak tersebut justru akan diambil oleh negara lain, yang sama
saja artinya Indonesia “memberikan subsidi” kepada fiskus negara lain[37].
Pernyataan ini menegaskan urgensi Indonesia untuk ikut serta – we
have to join or lose out. Dengan pajak minimum global, Indonesia dapat mengamankan
hak pemajakannya atas laba perusahaan multinasional yang beroperasi di sini.
Ini dianggap sebagai salah satu langkah berdaulat untuk memperkuat basis
pajak nasional.
Dari
perspektif keadilan pajak, kebijakan ini juga membawa angin segar.
Selama ini, kritik yang muncul adalah banyak perusahaan kecil/menengah lokal
membayar pajak penuh (tarif standar PPh Badan 22%), sementara beberapa
perusahaan multinasional raksasa justru membayar jauh lebih rendah karena
berbagai insentif atau celah aturan. Dengan diterapkannya pajak minimum
global, “level playing field” tercipta – perusahaan besar tersebut minimal
membayar 15% sehingga kesenjangan perlakuan pajak berkurang. Kepatuhan
pajak di kalangan perusahaan multinasional diperkirakan meningkat, karena
mereka tak lagi punya insentif kuat mengalihkan laba ke negara berpajak rendah[38].
Dalam jangka panjang, hal ini mendorong budaya perpajakan yang lebih sehat,
di mana semua perusahaan berkontribusi wajar sesuai kapasitasnya. Tambahan
penerimaan yang didapat negara dari kebijakan ini pun bisa digunakan untuk membiayai
pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program publik
lainnya yang akhirnya kembali meningkatkan iklim investasi dan pertumbuhan
ekonomi[39][40].
Dengan kata lain, jika dikelola baik, pajak minimum global dapat menjadi win-win
solution: adil bagi pelaku usaha domestik, dan positif bagi kas negara
untuk pembangunan.
Dampak terhadap
Iklim Investasi dan Kebijakan Insentif di Indonesia
Meskipun
menjanjikan dari sisi penerimaan dan fairness, penerapan pajak minimum
global juga menimbulkan kekhawatiran terhadap iklim investasi di
Indonesia. Selama ini, salah satu alat pemerintah untuk menarik investasi asing
adalah insentif pajak, seperti tax holiday (pembebasan PPh badan
selama beberapa tahun), tax allowance (pengurangan pajak), atau super
deduction untuk kegiatan R&D. Dengan adanya tarif pajak minimum global, Indonesia
tidak lagi leluasa menggunakan insentif pajak besar-besaran sebagai “umpan”
investasi[41]. Kenapa?
Karena insentif tersebut bisa menjadi kurang efektif: jika Indonesia memberikan
tarif sangat rendah (misal 0% via tax holiday) kepada sebuah perusahaan, tetap
saja perusahaan itu harus membayar 15% pajak tambahan, entah di Indonesia
ataupun di negara asalnya. Faktanya, pemerintah sudah mengantisipasi hal
ini – Sri Mulyani menyatakan bahwa perusahaan yang memanfaatkan
fasilitas tax holiday di Indonesia akan dikenakan pajak tambahan 15% di dalam
negeri (domestic top-up) sesuai aturan baru[42].
Jadi, perusahaan tak bisa lagi berharap menikmati 0% penuh tanpa konsekuensi
pajak.
Kondisi
ini memaksa pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang strategi insentif
investasinya. Banyak investor mungkin akan mempertimbangkan ulang insentif
pajak sebagai daya tarik, karena nilai insentif tersebut berkurang (hanya
efektif hingga 15% saja). Sebagian investor asing bisa jadi lebih “skeptis”
terhadap rencana investasi mereka di sini apabila sebelumnya sangat
bergantung pada faktor pajak rendah[43]. Kementerian
Investasi/BKPM pun sempat menyuarakan kekhawatiran ini. Menteri
Investasi Bahlil Lahadalia berpendapat bahwa pajak minimum global 15%
bisa menjadi hambatan besar bagi negara berkembang yang tengah gencar mendorong
industrialisasi[44][45].
Menurutnya, negara maju memiliki daya saing investasi lebih kuat
(infrastruktur, teknologi), sementara negara berkembang seperti Indonesia perlu
“pemanis” berupa insentif pajak untuk menarik investor[44].
Ia khawatir, jika insentif pajak dipangkas efektivitasnya, investor dari
negara maju akan cenderung menanam modal di negara asalnya sendiri ketimbang di
Indonesia[46].
Bahkan Bahlil secara keras menyebut kebijakan pajak minimum global ini
jangan-jangan “akal-akalan negara maju” – yaitu upaya negara kaya untuk
membatasi trik negara berkembang menarik investasi, sehingga ujungnya negara
berkembang tetap menjadi pemasok raw material ke negara maju[46].
Pernyataan ini menggarisbawahi sisi kontroversial: ada yang melihat kebijakan
ini menguntungkan negara maju saja dan berpotensi merugikan daya tarik
investasi negara berkembang.
Bagaimana
tanggapan dari sisi Kementerian Keuangan dan ekonom? Banyak pengamat justru
optimistis Indonesia tetap dapat bersaing menarik investasi walaupun
“senjata” insentif pajak tumpul, asalkan melakukan penyesuaian strategi.
Kuncinya adalah beralih dari ketergantungan pada insentif pajak ke perbaikan
fundamental ekonomi. Pemerintah dapat mengganti daya tarik investasi
berupa pajak murah dengan daya tarik lain yang lebih berkelanjutan,
misalnya: mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan
kepastian hukum dan kemudahan berusaha, menyediakan tenaga kerja
terampil, serta memberikan insentif non-pajak seperti kemudahan
perizinan atau bahkan subsidi langsung untuk proyek strategis[47][43].
Dalam konteks ini, Sri Mulyani menekankan bahwa pemerintah terus berupaya memperbaiki
iklim investasi agar lebih kompetitif dan sehat – pajak minimum global
justru bagian dari upaya itu, agar persaingan tidak lagi berdasarkan adu murah
pajak, melainkan pada faktor riil ekonomi[33].
Beberapa
langkah konkrit yang bisa dan tengah dipertimbangkan pemerintah antara lain: memberikan
fasilitas khusus untuk industri berteknologi tinggi (misal pengecualian
atau pengurangan pajak yang dikemas sedemikian rupa agar “qualified”
dalam aturan global), hibah atau bantuan pendanaan R&D bagi investor
yang berinvestasi di sektor prioritas (sehingga dukungan diberikan melalui
belanja negara, bukan pengurangan pajak), serta menyederhanakan regulasi
agar biaya berbisnis di Indonesia turun tanpa perlu mengorbankan penerimaan
pajak[43].
Pemerintah juga dapat memanfaatkan celah dalam aturan global yang masih
diperbolehkan, misalnya menawarkan kredit pajak yang refundable atau
insentif pajak yang dikategorikan sebagai Qualified Refundable Tax Credit
(QRTC) di bawah aturan OECD – insentif model ini tidak dianggap mengurangi
ETR dalam hitungan GloBE, sehingga tetap memberi benefit nyata ke investor
tanpa membuat ETR jatuh di bawah 15%. Tentu desain teknis seperti itu kompleks,
tetapi intinya ada ruang bagi pemerintah untuk berkreasi menjaga daya tarik
investasi tanpa melanggar koridor pajak minimum global.
Inti
kekhawatiran bahwa investasi akan “kabur” mungkin juga
perlu dilihat secara proporsional. Tarif 15% sebenarnya masih relatif rendah
– Indonesia sendiri tarif normal PPh Badan 22%. Bagi banyak investor, faktor
infrastruktur, stabilitas, dan ukuran pasar Indonesia (270 juta penduduk) jauh
lebih penting. Lagi pula, pajak minimum ini diterapkan global; pesaing
Indonesia juga menerapkannya, sehingga Indonesia tidak dalam posisi rugi
sendirian. Bila pemerintah sukses menghadirkan iklim investasi yang kondusif
secara menyeluruh, investor akan tetap datang karena keuntungan
berbisnis di Indonesia melampaui sekadar urusan pajak. Sebagaimana disampaikan
dalam satu ulasan, dengan kebijakan yang tepat dan pelaksanaan optimal,
pajak minimum global bisa menjadi instrumen yang membawa Indonesia menuju
sistem perpajakan lebih adil tanpa mengorbankan daya tarik ekonominya[48][47].
Jadi, tantangannya adalah transisi strategi: dari “jual murah pajak” ke
“jual fundamental ekonomi”.
Tinjauan Hukum dan
Tantangan Implementasi di Indonesia
Dari
sudut pandang hukum, penerapan pajak minimum global di Indonesia melalui PMK
136/2024 merupakan terobosan yang menarik. PMK ini dikeluarkan berdasar
kewenangan Menteri Keuangan, yang kemungkinan mengacu pada delegasi dalam UU
Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021 (UU HPP) atau aturan pajak internasional
yang diikuti Indonesia. PMK 136/2024 secara eksplisit mengadopsi standar
global GloBE ke dalam sistem hukum nasional[27],
lengkap dengan definisi istilah sesuai model OECD (misal definisi Effective
Tax Rate, Covered Taxes, Constituent Entity, dll)[23].
Secara hirarki, PMK adalah regulasi level menteri, namun implementasi pajak
global ini dimungkinkan karena sifatnya sebagai “common approach” OECD –
artinya negara bebas memilih menerapkan atau tidak, namun jika tidak, akan ada
dampak dari negara lain[49].
Indonesia memilih menerapkan agar bisa mengendalikan pemajakan tambahan di
yurisdiksinya sendiri. Ke depan, bukan tak mungkin pemerintah akan
memperkuat dasar hukumnya melalui peraturan setingkat undang-undang atau
perjanjian internasional. Misalnya, untuk Subject to Tax Rule (STTR) 9%
tadi, Indonesia perlu menandatangani Multilateral Instrument (MLI)
khusus agar klausul perjanjian pajak dengan negara lain bisa diubah. Proses ini
sedang berlangsung di tingkat OECD, dan Indonesia diharapkan turut serta agar
memiliki landasan hukum treaty untuk memungut pajak minimal 9% atas
pembayaran tertentu ke luar negeri[50].
Tantangan
implementasi secara hukum-administrasi juga cukup
besar. Aturan pajak minimum global sangat kompleks, memuat perhitungan
yang berbeda dari pajak biasa (misalnya menghitung GloBE income
berdasarkan laporan keuangan konsolidasi dengan penyesuaian tertentu[51]).
Banyak konsep baru yang harus dipahami otoritas pajak dan wajib pajak, seperti
cara menghitung Effective Tax Rate (ETR) per yurisdiksi, pengecualian de
minimis, carve-out (pengecualian sebagian keuntungan rutin), dsb. PMK
136/2024 telah memasukkan commentary, contoh penerapan, panduan administratif,
serta ketentuan safe harbour dan keringanan sanksi untuk membantu
transisi ini[22].
Meski demikian, risiko salah tafsir atau kesalahan hitung tetap ada mengingat
kerumitan aturannya. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas dan sosialisasi
menjadi kunci. Pemerintah sadar hal ini – diperlukan capacity building
intensif, baik untuk petugas pajak maupun Wajib Pajak, agar pemahaman di kedua
belah pihak selaras dan aturan yang rumit ini bisa dijalankan dengan benar[52].
Petugas pajak harus mampu menjelaskan ketentuan baru secara efektif dan tidak
menyimpang dari maksud asli GloBE rules[53].
Di sisi Wajib Pajak, perusahaan multinasional perlu menyesuaikan sistem
pelaporan mereka, mungkin perlu investasi di software akuntansi pajak baru,
serta melatih tim keuangan mereka untuk compliance.
Dari
segi kepastian hukum, pemerintah perlu memastikan bahwa implementasi
pajak minimum global tidak tumpang tindih dengan aturan domestik lain.
Contohnya, bagaimana perlakuan pajak top-up 15% ini dalam sistem administrasi:
Apakah akan dianggap bagian dari PPh Badan biasa atau sebagai jenis pajak baru?
PMK 136/2024 menyiratkan itu sebagai pajak tambahan khusus. Maka, perlu
kejelasan agar perusahaan tidak bingung memposisikannya dalam pembukuan. Selain
itu, sinkronisasi dengan perjanjian pajak (tax treaty) perlu
diperhatikan. Untungnya, karena pajak minimum global ini didesain sebagai pajak
atas induk perusahaan (untuk IIR) atau pajak tambahan domestik, OECD
berpendapat hal ini tidak melanggar tax treaty (karena dianggap masuk
kategori pajak atas laba, bukan pajak berganda baru). Meski demikian, jika
terjadi sengketa, misalnya perusahaan asing merasa dipajaki dua kali, mekanisme
resolusi perlu ada. Indonesia sebagai anggota Inclusive Framework akan mengikuti
panduan penyelesaian sengketa OECD apabila diperlukan.
Yang
juga penting, pengawasan dan penegakan. DJP (Ditjen Pajak) kemungkinan
akan menunjuk entitas atau tim khusus untuk mengawasi Wajib Pajak yang masuk
cakupan pajak minimum global. Berdasarkan Siaran Pers DJP, telah ditunjuk
beberapa entitas besar untuk uji coba pelaporan tahun pertama[54][55].
Otoritas pajak akan monitoring secara ketat agar tidak ada Wajib Pajak
besar yang luput melapor atau mencoba mencari celah baru. Area “abu-abu” (grey
area) bisa muncul, misalnya perbedaan interpretasi apakah suatu kredit
pajak luar negeri boleh diperhitungkan dalam ETR atau tidak; hal-hal seperti
ini akan diacu pada Komentar OECD dan panduan teknis yang telah
disepakati (Indonesia juga mengacu ini sesuai amanat PMK 136/2024)[22].
Dengan kata lain, regulasi Indonesia “mengimpor” penjelasan OECD sehingga kalau
ada dispute, rujukannya jelas.
Secara
umum, Indonesia tampak cukup siap dari sisi regulasi – PMK 136/2024
tergolong komprehensif dan selaras standar global. Tantangan nyata adalah pelaksanaan
teknis di lapangan. Kolaborasi internasional juga tetap diperlukan;
misalnya, bila ada perusahaan Indonesia yang beroperasi di negara yang belum
terapkan pajak minimum, DJP harus berkomunikasi dengan otoritas negara tersebut
atau negara induknya untuk menjalankan UTPR. Indonesia akan terus aktif di
forum OECD Inclusive Framework untuk memastikan kepentingannya terjaga.
Sebagai
gambaran, para ahli pajak Indonesia (termasuk dari DDTC, CITA, dan akademisi)
sudah dilibatkan pemerintah dalam diskusi penerapan pajak minimum global ini
sejak awal[56][57].
Ini pertanda baik bahwa stakeholder domestik dilibatkan sehingga aturan
dapat diimplementasikan dengan lebih mulus. Dengan persiapan yang matang,
diharapkan potensi celah atau grey area dapat diminimalisir, dan apabila
muncul perdebatan teknis, pemerintah siap mengeluarkan petunjuk tambahan atau
revisi aturan. Kepastian hukum bagi investor menjadi perhatian utama
pemerintah dalam era baru perpajakan ini[52].
Prediksi Dampak
Jangka Menengah (Perpajakan, Hukum, dan Ekonomi)
Melihat
ke depan, kita bisa mencoba memproyeksikan beberapa dampak jangka menengah dari
pajak minimum global ini terhadap Indonesia:
- Dari sisi Perpajakan: Mulai tahun pajak
2025, Indonesia akan mulai merasakan tambahan penerimaan dari pajak
top-up 15%. Puncaknya mungkin baru terlihat di 2026 (saat pembayaran
top-up 2025 dilakukan). Estimasi Rp3,8–8,8 triliun per tahun[35] tentu akan diuji, tetapi setidaknya triliunan rupiah tambahan
bisa masuk kas negara. Selain itu, struktur penerimaan pajak mungkin
berubah: pajak dari sektor yang sebelumnya dapat insentif (misal
industri pionir yang menikmati tax holiday) akan meningkat karena dikenai
top-up. Pemerintah bisa jadi lebih selektif memberi insentif pajak ke
depan, karena tahu insentif berlebihan toh akan ditarik lagi via
top-up. Kita mungkin akan melihat evaluasi ulang terhadap kebijakan tax
holiday dan fasilitas fiskal lain. Bukan mustahil, insentif pajak akan
diarahkan hanya ke perusahaan yang tidak terkena aturan global ini
(misal perusahaan dengan omzet < €750 juta, agar benar-benar efektif
mendorong UMKM dan industri menengah). Di sisi lain, praktek
penghindaran pajak melalui transfer pricing agresif atau alih laba ke luar
negeri bisa berkurang, karena manfaatnya juga menurun (ujungnya akan
ketahuan di hitungan ETR global dan ditagih tambahan)[58]. Secara konseptual, pajak minimum global menutup banyak loopholes,
sehingga basis pajak Indonesia ke depan lebih solid.
- Dari sisi Hukum dan Regulasi:
Implementasi PMK 136/2024 kemungkinan akan diikuti oleh peraturan
pelaksana tambahan. Misalnya, peraturan Dirjen Pajak yang
mengatur formulir pelaporan GloBE, tata cara pembayaran top-up tax, sanksi
jika terlambat lapor, dll. Pemerintah juga perlu menegosiasikan
penyesuaian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara
mitra untuk memasukkan klausul STTR 9%. Ini mungkin dilakukan melalui Multilateral
Instrument (MLI) yang disiapkan OECD. Jadi, secara hukum
internasional, akan ada momentum Indonesia menandatangani MLI baru dan
kemudian meratifikasinya – langkah ini perlu persetujuan DPR, karena
menyangkut perubahan perjanjian pajak. Selain itu, penguatan dasar
hukum mungkin akan masuk dalam revisi UU Pajak Penghasilan ke depan.
Bukan tak mungkin, dalam reformasi pajak berikutnya pemerintah mengusulkan
memasukkan ketentuan pajak minimum global ke level UU, agar lebih kokoh
dan mengatur hal-hal yang tak bisa diatur di PMK (misal kewenangan khusus
DJP, alokasi penerimaan, dsb). Dari sisi penegakan hukum, kita prediksi tahun-tahun
awal akan ada kurva belajar. Baik otoritas pajak maupun Wajib Pajak
akan berusaha patuh, tapi mungkin terjadi sengketa atau perbedaan pendapat
atas perhitungan ETR atau alokasi laba. Jika muncul sengketa, mekanisme
penyelesaiannya bisa melalui forum Mutual Agreement Procedure (MAP)
antar negara atau melalui pengadilan pajak dalam negeri. Ini akan menjadi preseden
hukum baru yang menarik untuk diamati. Namun, besar harapan sengketa
bisa minimal jika pedoman OECD diikuti ketat.
- Dari sisi Ekonomi dan Investasi: Dampak
ekonomi makro dari pajak minimum global mungkin tidak langsung terasa
besar pada PDB atau pertumbuhan, karena sifatnya lebih pada distribusi
penerimaan pajak. Tambahan pajak Rp5-8 triliun per tahun misalnya, itu
sekitar <0,05% PDB – kecil secara makro, tapi lumayan untuk anggaran
negara. Jika dialokasikan efektif, bisa mendanai proyek infrastruktur atau
program sosial yang mendorong ekonomi. Investasi asing langsung (FDI)
ke Indonesia berpotensi mengalami sedikit penyesuaian pola. Sektor-sektor
yang datang murni karena iming-iming pajak rendah mungkin berkurang
minatnya. Namun, investasi yang berlandaskan potensi pasar domestik
Indonesia yang besar dan ketersediaan sumber daya alam kemungkinan tidak
terpengaruh signifikan. Apalagi, semua negara tetangga juga menerapkan
aturan serupa dalam waktu berdekatan. Dengan kata lain, daya saing
relatif Indonesia tidak jatuh. Investor justru akan melihat: Indonesia
ikut aturan global (artinya compliance-nya bagus), ada kepastian
bahwa tidak akan ada perubahan kebijakan pajak ekstrem (karena sudah ikut
standar global). Hal ini bisa meningkatkan kepercayaan investor jangka
panjang bahwa sistem pajak Indonesia selaras internasional dan risiko
sengketa pajak internasional rendah[59]. Tentu, ada kemungkinan beberapa investor meminta kompensasi
non-pajak – misal minta jaminan infrastruktur atau kemudahan lain –
atas berkurangnya insentif pajak. Pemerintah perlu sigap merespons agar
investasi tetap masuk. Secara ekonomi, dalam 1-2 tahun awal (2025-2026)
mungkin ada perlambatan pertumbuhan investasi di sektor-sektor yang
tadinya sangat bergantung insentif pajak, tapi setelah itu investor
akan beradaptasi. Mereka akan menghitung pajak 15% sebagai cost of doing
business standar dimanapun. Justru, negara yang tidak menerapkan
pajak minimum global mungkin dipandang berisiko oleh korporasi besar,
karena laba di negara itu bisa tiba-tiba dipajaki negara lain (melalui
UTPR). Jadi Indonesia, dengan menerapkan aturan ini, menghindarkan diri
dari stigma negatif dan memastikan iklim investasinya “aman” secara
perpajakan internasional.
Singkatnya,
prediksi ke depan bagi Indonesia cukup positif dengan catatan:
pemerintah mau melakukan reformasi lanjutan di bidang investasi non-pajak.
Pajak minimum global adalah tantangan sekaligus peluang. Tantangan,
karena Indonesia tak bisa lagi andalkan “diskon pajak” besar-besaran untuk
menarik modal. Peluang, karena ini mendorong Indonesia memperbaiki
fundamental ekonomi dan mendiversifikasi daya tarik investasi. Di sisi fiskal,
negara mendapat tambahan amunisi penerimaan untuk pembangunan. Di sisi hukum,
Indonesia menunjukkan diri mengikuti standar global sehingga terhindar dari
isolasi regulasi. Tentu, semua ini dengan asumsi implementasi berjalan baik,
pengawasan ketat, dan penyesuaian kebijakan dilakukan seiring waktu.
Bab
4: Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan Utama:
Pajak Minimum Global 15% merupakan langkah revolusioner dalam sistem
perpajakan internasional yang lahir dari konsensus lebih dari 140 negara
untuk menciptakan keadilan pajak di era globalisasi digital. Kebijakan ini
memastikan perusahaan multinasional raksasa membayar pajak dengan tarif
efektif minimal 15% di setiap negara mereka beroperasi, sehingga praktik
penghindaran pajak melalui profit shifting dapat diminimalkan secara
drastis. Bagi Indonesia, partisipasi dalam pajak minimum global bukan semata
kewajiban moral mengikuti tren, tapi merupakan langkah strategis melindungi
basis pajak nasional dan mencegah kehilangan penerimaan ke negara lain[37]. Dengan menerapkan aturan ini mulai 2025, Indonesia menegaskan tidak
akan membiarkan “loophole” dimanfaatkan: jika ada laba di Indonesia yang
tadinya akan lolos dari pajak, kini Indonesia sendiri yang akan memajakinya
hingga 15%.
Kebijakan ini membawa manfaat signifikan: potensi tambahan
penerimaan Rp triliunan yang dapat digunakan untuk pembangunan[35], terciptanya level playing field bagi pelaku usaha (perusahaan yang
selama ini patuh pajak tidak lagi tersaingi secara tidak adil oleh kompetitor
yang mendapat pajak super-rendah), serta peningkatan kepatuhan pajak secara
keseluruhan. Dari sisi internasional, Indonesia juga meningkatkan citranya
sebagai negara yang patuh pada kesepakatan global dan pro terhadap
transparansi[60]. Hal ini dapat memberikan efek jangka panjang positif, misalnya
menghindari risiko Indonesia dimasukkan daftar tax haven atau dianggap
tidak kooperatif. Stabilitas sistem keuangan pun terjaga, sebagaimana
disampaikan dalam forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), kebijakan ini
bagian dari upaya menjaga stabilitas dengan iklim investasi yang sehat[33].
Namun, kita tidak boleh mengabaikan tantangan dan potensi dampak
negatif. Kekhawatiran terhadap iklim investasi perlu dijawab dengan
kebijakan yang tepat. Kelemahan utama penerapan pajak minimum global di
Indonesia adalah berkurangnya efektivitas insentif pajak sebagai alat menarik
investasi. Ini bisa mengurangi minat sebagian investor, terutama mereka yang
sangat sensitif terhadap pajak. Selain itu, kompleksitas administrasi
menuntut kapasitas birokrasi pajak yang lebih tinggi; salah kelola justru bisa
membuat dunia usaha terbebani oleh ketidakpastian aturan. Perdebatan
internal pun terjadi – antara otoritas fiskal yang fokus pada penerimaan vs
otoritas investasi yang fokus pada daya tarik modal. Perbedaan pandangan
seperti antara Menkeu dan Menteri Investasi mengenai kebijakan ini harus
dikelola dengan koordinasi yang baik, agar pemerintah berbicara dengan satu
suara kepada investor.
Rekomendasi/Saran:
Untuk mengoptimalkan manfaat dan memitigasi dampak negatif, berikut beberapa
saran strategis yang dapat dipertimbangkan:
- Mengembangkan
Strategi Insentif Baru yang Kreatif: Pemerintah
Indonesia perlu segera menyiapkan alternatif insentif selain pemotongan
tarif pajak. Misalnya, insentif berupa grant, bantuan riset,
pembangunan infrastruktur khusus di kawasan investasi, atau kredit pajak
yang memenuhi kriteria global (QRTC). Sehingga Indonesia tetap
kompetitif tanpa melanggar aturan 15%. Selain itu, insentif pajak yang
masih ada harus lebih terarah dan efisien, misalnya diberikan terbatas
pada perusahaan yang benar-benar strategis dan tidak akan sekadar “memberi
subsidi pajak ke negara lain”. Kebijakan Tax Holiday dan Tax
Allowance perlu dirombak: mungkin durasinya diperpendek atau
ditargetkan hanya untuk perusahaan domestik berkembang (yang tidak terkena
GloBE). Intinya, “pemanis investasi” harus bergeser dari gula pajak ke
gula infrastruktur dan fasilitas lain.
- Memperbaiki
Iklim Investasi Non-Pajak: Sejalan dengan poin
pertama, Indonesia harus meningkatkan daya saing fundamental:
percepat penyediaan infrastruktur logistik, listrik, internet; pangkas
birokrasi perizinan melalui OSS yang benar-benar efektif; tegakkan
kepastian hukum (misal konsistensi aturan pusat-daerah, kontrak investasi
dilindungi). Biaya berusaha (cost of doing business) di Indonesia
harus ditekan melalui reformasi struktural. Dengan demikian, meski pajak
tidak bisa didiskon banyak, investor tetap tertarik karena Indonesia
menawarkan produktivitas tinggi dan risiko rendah. Saran ini sejalan
dengan rekomendasi banyak ekonom bahwa perbaikan iklim investasi secara
menyeluruh adalah kunci menjaga arus modal masuk[47]. Pemerintah bisa menyusun paket kebijakan investasi baru yang
mencakup insentif non fiskal untuk menggantikan porsi insentif fiskal yang
hilang.
- Sosialisasi
dan Pendampingan Wajib Pajak: Mengingat aturan
ini rumit dan baru, DJP perlu gencar melakukan sosialisasi kepada
perusahaan-perusahaan yang termasuk kriteria (omzet > €750 juta).
Misalnya membuka help desk khusus pajak minimum global, menerbitkan
FAQ, serta mungkin mengadakan class atau workshop bagi para
eksekutif pajak perusahaan besar. Pendampingan di awal sangat krusial
supaya tidak terjadi mispersepsi yang berujung sengketa. Jangan sampai
Wajib Pajak merasa “ditangkap basah” dengan aturan baru tanpa bimbingan –
karena bagaimanapun, ini kolaborasi global, bukan semata kehendak sepihak
Indonesia. Semakin mulus wajib pajak paham aturan, semakin lancar pula
penerapannya.
- Peningkatan
Kapasitas Aparatur Pajak: Di internal DJP, perlu
pelatihan intensif tentang GloBE Rules. Perekrutan atau penunjukan
spesialis internasional juga mungkin diperlukan. Bahkan, dapat
dipertimbangkan pembentukan satu unit khusus yang menangani pajak
internasional termasuk Pilar 2 ini, sehingga petugasnya fokus dan ahli di
bidang ini. Pemerintah juga bisa bermitra dengan konsultan pajak dan
akademisi untuk mendapatkan masukan implementasi. Sebagaimana telah
dilakukan (DDTC dan pakar dilibatkan dalam forum ITF), kolaborasi ini
perlu terus dijaga[56][57]. Tujuannya agar penegakan aturan tetap sejalan praktik terbaik
internasional dan tidak menyimpang. Kapasitas penegakan hukum juga
perlu diperkuat: misal meningkatkan kemampuan pemeriksa pajak untuk
mengaudit laporan GloBE, atau hakim pengadilan pajak diberi pembekalan isu
internasional, dsb.
- Monitoring
dan Evaluasi Berkelanjutan: Karena ini era baru,
pemerintah sebaiknya membuat kerangka evaluasi. Misal, setelah dua
tahun berjalan (2025–2026), evaluasi: berapa realisasi top-up tax yang
terkumpul? Sektor mana yang paling terpengaruh? Apakah ada indikasi
penurunan investasi di sektor tertentu akibat kebijakan ini? Data tersebut
penting untuk menyusun kebijakan lanjutan. Jika ternyata dampak ke
investasi signifikan negatif, mungkin Indonesia perlu mempertimbangkan
insentif ekstra di luar pajak. Jika penerimaan jauh di bawah proyeksi, mungkin
ada celah yang dimanfaatkan perusahaan yang perlu ditutup regulasi
tambahan. Monitoring juga mencakup memantau perkembangan global – misal
jika AS akhirnya implementasi penuh atau jika OECD mengubah ketentuan
(karena evaluasi global pun pasti ada). Fleksibilitas kebijakan
perlu dijaga, tentunya tanpa mengorbankan prinsip dasar.
- Koordinasi
Antar Lembaga Pemerintah: Suksesnya kebijakan ini
tak lepas dari sinergi Kementerian Keuangan, BKPM/Kementerian Investasi,
Kemenko Perekonomian, bahkan Bank Indonesia dan OJK dalam ranah stabilitas
(karena ini terkait arus investasi asing). Perbedaan pandangan seperti
yang diutarakan Menteri Investasi perlu didiskusikan di tingkat kabinet
agar ditemukan jalan tengah. Mungkin perlu disusun protokol koordinasi:
misal sebelum menawarkan insentif ke investor besar, BKPM berkoordinasi
dengan Kemenkeu apakah insentif tersebut “compatible” dengan pajak minimum
global atau tidak, dan bagaimana mitigasinya. KSSK (Komite
Stabilitas Sistem Keuangan) pun telah menyinggung hal ini, artinya
diharapkan antar-otoritas saling mendukung tujuan bersama[33]. Satu suara pemerintah akan memberikan kepastian bagi investor.
Pada akhirnya, pajak minimum global adalah keniscayaan di era baru.
Indonesia telah memilih jalur yang tepat dengan ikut menerapkannya – ketimbang
menonton dari pinggir dan kehilangan potensi pajak. Tugas kita sekarang
memastikan implementasinya berjalan efektif, adil, dan tidak menghambat
pertumbuhan ekonomi. Dengan langkah-langkah penyesuaian di atas, Indonesia
dapat mengubah potensi “ancaman” menjadi “peluang”.
Negara akan mendapat tambahan penerimaan untuk rakyat, sementara
investor tetap bisa mendapatkan manfaat dari berbisnis di Indonesia karena
kuatnya fundamental dan dukungan non-pajak. Dalam skenario ideal, Indonesia
pasca-pajak minimum global justru makin dilirik: sebagai negara yang patuh
aturan internasional, namun tetap pro-bisnis dengan berbagai fasilitas yang
masuk akal. Inilah keseimbangan yang harus dicapai.
Kata Penutup:
Demikianlah paparan komprehensif mengenai pajak minimum global 15% dan
implikasinya bagi Indonesia. Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa kebijakan
ini ibarat dua sisi mata uang – satu sisi menjanjikan keadilan dan tambahan
penerimaan, sisi lain menuntut penyesuaian agar iklim usaha tetap kondusif. Indonesia
dihadapkan pada momentum bersejarah di bidang perpajakan internasional.
Dengan persiapan matang, koordinasi kebijakan yang baik, dan dukungan semua
pemangku kepentingan, saya optimistis Indonesia dapat menyukseskan
implementasi pajak minimum global ini. Harapannya, langkah ini akan membawa
sistem perpajakan Indonesia menuju standar dunia yang lebih adil, tanpa
mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Sebagai konsultan pajak dan ekonom, saya (bersama para praktisi
lainnya) akan terus memantau dan siap membantu dalam masa transisi penting ini.
Semoga narasi ini bermanfaat dalam memberikan pemahaman utuh bagi pembaca. Pajak
adalah kontribusi kita bersama – dengan aturan main baru yang lebih adil, mari
kita songsong masa depan perpajakan Indonesia yang makin transparan,
berkeadilan, dan berdaya saing!
Terima kasih.
Sumber Referensi: (tersusun sesuai kemunculan)
·
Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 136/PMK.03/2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global
Berdasarkan Kesepakatan Internasional (diundangkan 31 Desember 2024, berlaku
2025).
·
Sri Mulyani Indrawati – Konferensi
Pers KSSK I 2025 (Jakarta, 24 Januari 2025) via ANTARA News[33][42][17][30].
·
DDTCNews – “Menkeu Sri Mulyani Teken PMK 136/2024, Landasan Pajak Minimum
Global 15%”[27][4][61] (Februari 2025).
·
Kumparan – “Pajak Minimum Global: Langkah Indonesia Menuju Sistem Perpajakan
Lebih Adil”[62][19][18][63] (Claudya Banoet, 2025).
·
Bisnis.com – “Wamenkeu: Pajak Minimum Global Tambah Penerimaan Hingga Rp8,8 T”[34][64][37] (Annasa Rizki, 24 Sept 2024).
·
DDTCNews – “Pajak Minimum Global Perlu Dikaji Ulang, ini Kata Menteri Bahlil”[65][46] (Wildan, 20 Agustus 2023).
·
Pajak.io – “Tarif Pajak Minimum Global Resmi Diterapkan di Indonesia Sebesar
15%”[66][12][14] (20 Jan 2025).
·
Kompasiana – “Indonesia Terapkan Pajak Minimum 15%, Apa Dampaknya?”[11][43] (Axl J. H. Hutabarat, 14 Feb 2025).
·
OECD/G20 – “Two-Pillar Solution to Address BEPS 2.0” – Pernyataan Oktober 2021
(Indonesia termasuk 136 negara pendukung)[6].
·
Laporan Center for Indonesia
Taxation Analysis (CITA) – pernyataan Fajry Akbar tentang dampak pajak minimum
global[58].
·
Lain-lain: Siaran Pers DJP No.
SP-23/2025 (penunjukan entitas pelapor pajak global), Dokumen OECD Inclusive
Framework on BEPS, dan publikasi Kemenkeu terkait implementasi STTR[50]. (Semua informasi telah diusahakan merujuk sumber resmi dan dapat
dipertanggungjawabkan).
[1] [7] [8] [25] G20 Sepakati Implementasi Pajak
Minimum Global di 2023 - PAJAK.COM
https://www.pajak.com/pajak/g20-sepakati-implementasi-pajak-minimum-global-di-2023/
[2] [6] [9] [18] [19] [28] [29] [38] [41] [47] [48] [62] [63] Pajak Minimum Global: Langkah
Indonesia Menuju Sistem Perpajakan yang Lebih Adil | kumparan.com
[3] [34] [35] [36] [37] [64] Thomas Djiwandono: Pajak Minimum
Global Tambah Penerimaan Negara hingga Rp8,8 Triliun
[4] [5] [16] [27] [31] [49] [52] [53] [56] [57] [61] Mengawal Pajak Minimum Global
Sejak Awal
https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1808616/mengawal-pajak-minimum-global-sejak-awal
[10] [17] [30] [32] [33] [42] Indonesia terapkan pajak minimum
global demi iklim investasi sehat - ANTARA News Sulteng
[11] [39] [40] [43] Indonesia Terapkan Pajak Minimum
15%: Apa Dampaknya? Halaman 1 - Kompasiana.com
[12] [13] [14] [21] [22] [58] [66] Tarif Pajak Minimum Global Resmi
Diterapkan Di Indonesia Sebesar 15%
https://pajak.io/tarif-pajak-minimum-global/
[15] [44] [45] [46] [65] Pajak Minimum Global Perlu Dikaji
Ulang, Ini Kata Menteri Bahlil
[20] [23] [24] [26] [51] PMK 136 Tahun 2024: Lompatan
Transformasional Menuju Era Pajak Minimum Global
[50] Implementasi Subject to Tax Rule
(STTR) melalui Konvensi ...
[54] Halaman Siaran Pers - Direktorat
Jenderal Pajak
https://www.pajak.go.id/id/siaran-pers-page?page=1
[55] - [THE TAX CENTRE UI GAZETTE]
Direktorat Jenderal Pajak (DJP ...
https://www.instagram.com/p/DOGMZFDAekH/
[59] Indonesia Menerapkan Pajak
Minimum Global
https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/604
[60] Pajak Minimum Global Datang,
Insentif Fiskal Baru Dibutuhkan
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.