Senin, 15 September 2025

 

Kata Pengantar:

Bayangkan sebuah dunia di mana perusahaan raksasa seperti Apple, Google, dan Amazon tidak lagi bisa “main petak umpet” dengan pajak. Inilah gambaran Pajak Minimum Global 15% – sebuah kebijakan pajak internasional baru yang sedang hangat dibicarakan. Kebijakan ini bertujuan agar perusahaan multinasional membayar pajak minimal 15% di manapun mereka beroperasi, sehingga praktik lari ke “surga pajak” ber tarif rendah tidak lagi menguntungkan[1]. Saya akan mengajak Anda menelusuri konsep pajak minimum global ini secara kritis dan komprehensif, mulai dari pengertian dasar hingga dampaknya bagi Indonesia. Tulisan ini disusun dengan bahasa sederhana agar mudah dipahami, lengkap dengan dasar aturan hukumnya, sehingga pembaca awam sekalipun dapat mengerti dengan baik. Mari kita mulai memahami “revolusi” baru di dunia perpajakan ini dan apa artinya bagi masa depan ekonomi Indonesia.

Bab 1: Apa Itu Pajak Minimum Global dan Latar Belakangnya

Pengertian dan Tujuan Utama:
Pajak Minimum Global (global minimum tax) adalah kebijakan internasional yang menetapkan batas bawah tarif pajak penghasilan badan sebesar 15% bagi perusahaan multinasional tertentu
[2]. Kebijakan ini lahir dari keprihatinan global atas maraknya praktik profit shifting atau pemindahan laba ke yurisdiksi berpajak sangat rendah (tax havens) yang membuat banyak negara kehilangan potensi penerimaan pajak[2]. Singkatnya, pajak minimum global bertujuan mencegah penghindaran pajak oleh korporasi raksasa dan mengakhiri “perlombaan ke bawah” (race to the bottom) di mana negara-negara saling menurunkan tarif pajak untuk menarik investasi[3]. Dengan adanya tarif minimum ini, diharapkan tercipta sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan transparan, serta kompetisi bisnis yang sehat tanpa trik menghindari pajak[4][2].

Kesepakatan Internasional (OECD/G20):
Gagasan pajak minimum global merupakan bagian dari Solusi Dua Pilar yang diinisiasi oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) bersama kelompok G20
[5]. Pilar 1 berfokus pada pembagian hak pemajakan atas ekonomi digital (agar negara pasar mendapat bagian pajak), sementara Pilar 2 adalah aturan Global Anti-Base Erosion (GloBE) yang mencakup pajak minimum global 15% ini[5]. Pada Oktober 2021, lebih dari 140 negara dalam Kerangka Inklusif OECD/G20 sepakat mendukung kerangka pajak global dua pilar tersebut, termasuk Indonesia[6]. Kesepakatan ini berarti secara kolektif negara-negara akan menerapkan aturan baru agar perusahaan multinasional dengan pendapatan sangat besar tidak bisa lagi lolos dari pajak dengan memanfaatkan perbedaan tarif antar negara[1]. Bahkan, forum G20 pada 2022 menargetkan implementasi kebijakan ini dapat dimulai secara global pada tahun 2023[7][8], menandai perubahan besar dalam lanskap perpajakan internasional.

Siapa yang Kena Pajak Minimum 15%?
Pajak minimum global hanya berlaku bagi perusahaan multinasional berukuran sangat besar. Kriteria yang disepakati secara global adalah grup perusahaan dengan omzet konsolidasi global di atas €750 juta (sekitar Rp12 triliun) per tahun
[9][10]. Batas ini memastikan bahwa kebijakan ditujukan pada korporasi raksasa yang beroperasi lintas negara, sehingga usaha kecil dan menengah lokal tidak termasuk dan tidak akan terbebani aturan ini. Dengan kata lain, perusahaan domestik atau grup dengan pendapatan di bawah ambang tersebut tidak terkena pajak minimum global 15%. Kebijakan ini sengaja menyasar perusahaan multinasional besar yang selama ini memiliki kemampuan dan peluang melakukan perencanaan pajak agresif secara global.

Mekanisme dan Cara Kerja Pajak Minimum Global:
Bagaimana aturan 15% ini diterapkan secara konkret? Pada intinya, diberlakukan prinsip “top-up tax” atau pajak tambahan. Jika suatu entitas perusahaan multinasional membayar pajak efektif di suatu negara kurang dari 15%, maka harus ada pembayaran pajak tambahan untuk mencapai tarif minimal 15% tersebut
[11]. Mekanisme penerapannya dirancang bertingkat sebagai berikut:

  • Income Inclusion Rule (IIR): Aturan ini memberi hak kepada negara tempat perusahaan induk (holding) berada untuk mengenakan pajak tambahan. Misal, jika anak perusahaan di negara X hanya membayar pajak efektif 5%, maka negara asal induk dapat memungut tambahan 10% agar total pajak yang dibayar grup mencapai 15%[12].
  • Undertaxed Payment Rule (UTPR): Ini adalah jaring pengaman kedua. Jika negara induk tidak menerapkan IIR atau masih ada sisa laba yang belum dipajaki hingga 15%, maka negara-negara tempat entitas grup beroperasi dapat bersama-sama mengenakan pajak tambahan atas laba yang “kurang pajak” tersebut[13]. UTPR mencegah perusahaan menghindar jika IIR tidak berlaku; intinya negara lain akan menangkap potensi pajak yang belum terpungut.
  • Domestic Minimum Top-up Tax (DMTT): Banyak negara, termasuk Indonesia, memilih untuk menetapkan pajak tambahan minimum di yurisdiksi domestiknya sendiri[14]. Artinya, jika ada entitas perusahaan di Indonesia yang menikmati tarif pajak di bawah 15% (karena insentif atau aturan khusus), Indonesia sendiri yang akan memungut selisih hingga 15% sebagai pajak top-up dalam negeri. Strategi ini untuk memastikan Indonesia mendapat bagian pajak tersebut daripada diklaim negara lain.

Dengan tiga lapis aturan di atas, sistem pajak minimum global menjamin setiap bagian laba perusahaan multinasional akan dipajaki setidaknya 15% di suatu tempat. Tidak ada lagi tempat bersembunyi dengan tarif 0% di surga pajak, karena jika satu negara tidak memajaki hingga 15%, negara lain berhak memungut sisanya[15]. Selain itu, sebagai pelengkap Pilar 2, disepakati pula aturan Subject To Tax Rule (STTR) yang menetapkan tarif pajak minimal 9% atas jenis penghasilan tertentu (misalnya royalti, bunga) yang dibayarkan lintas negara[16]. STTR ini terutama untuk melindungi negara berkembang agar pembayaran dari negaranya ke yurisdiksi berpajak sangat rendah tetap dikenai pajak minimal 9% di negara sumber. Implementasi STTR akan dilakukan melalui perjanjian multilateral tersendiri.

Intinya, pajak minimum global 15% adalah upaya kolektif dunia untuk menciptakan keadilan pajak: perusahaan besar membayar porsi pajak yang wajar, dan setiap negara mendapat hak pemajakan yang proporsional[1]. Kebijakan ini mengakhiri praktik perusahaan multinasional yang dulu bisa menghindari pajak hampir sepenuhnya dengan memindahkan laba ke negara ber-pajak nol. Sekarang, dimanapun labanya berada, total pajak yang dibayar akan tetap 15%**[1]. Langkah ini disebut banyak pakar sebagai “game changer” di bidang perpajakan internasional – sebuah revolusi yang diharapkan membawa iklim persaingan usaha yang lebih adil secara global.

Bab 2: Implementasi Pajak Minimum Global di Berbagai Negara

Gelombang Adopsi Global:
Kebijakan pajak minimum global mendapat sambutan luas di banyak negara. Hingga saat ini, lebih dari 40 negara telah mengimplementasikan ketentuan pajak minimum global dalam kerangka hukum domestik mereka
[17]. Kebanyakan negara-negara tersebut mulai memberlakukan aturan ini pada tahun pajak 2024 atau 2025[17]. Langkah serempak ini bukan kebetulan, melainkan hasil koordinasi melalui OECD/G20 Inclusive Framework tadi. Beberapa contoh nyata:

  • Uni Eropa dan G7: Negara-negara Uni Eropa bergerak cepat dengan mengesahkan Directive (aturan kolektif) yang mengharuskan seluruh 27 negara anggota menerapkan pajak minimum 15%. Negara maju seperti Prancis, Jerman, Belanda, Luxemburg, dan Irlandia (yang terkenal dengan tarif pajak rendahnya) mulai menerapkan aturan ini pada 2024[18]. Begitu pula Inggris (UK) telah mengadopsi pajak minimum global melalui undang-undang domestik yang berlaku mulai 2024[19]. Jepang dan Korea Selatan, dua ekonomi besar di Asia, juga termasuk yang lebih dulu start pada tahun 2024[18]. Langkah-langkah ini memastikan perusahaan multinasional di negara tersebut, atau milik negara tersebut di luar negeri, akan terkena top-up tax jika membayar di bawah 15%.
  • Asia Tenggara dan Lainnya: Singapura, Malaysia, Hong Kong – yurisdiksi yang selama ini dikenal menawarkan tarif pajak menarik – telah berkomitmen menerapkan pajak minimum global mulai tahun 2025[19]. Mereka menyadari bahwa jika tidak ikut serta, justru perusahaan mereka akan dikenai pajak tambahan di negara lain. Dengan bergabungnya pusat-pusat finansial Asia ini, kawasan Asia Tenggara bergerak seirama. Indonesia sendiri (pembahasan detail di Bab 3) mulai berlaku 2025. Selain itu, negara-negara seperti Swiss (yang terkenal sebagai surga pajak Eropa) juga mengubah konstitusinya melalui referendum agar dapat memberlakukan pajak minimum 15% bagi perusahaan multinasional mulai 2024/2025[19]. Ini menunjukkan komitmen global yang meluas, tidak terbatas pada negara besar saja.
  • Amerika Serikat: Patut dicatat, AS mendukung kesepakatan ini namun hingga 2025 belum sepenuhnya menyesuaikan hukum domestiknya dengan tarif 15% global. AS sebenarnya memiliki rezim serupa bernama GILTI (Global Intangible Low-Taxed Income) yang sejak 2018 mengenakan pajak minimum efektif ~10,5% bagi perusahaan AS atas laba di luar negeri. Namun, untuk mencapai 15%, AS perlu legislasi baru yang masih tertunda karena dinamika politik. Walau demikian, perusahaan multinasional AS tetap dapat terkena aturan dari negara lain – misalnya, jika Google membayar kurang dari 15% di suatu negara dan AS belum memungut selisihnya, negara lain bisa menerapkan UTPR. Jadi, sekalipun implementasi AS belum sinkron, mekanisme global tetap dapat berjalan melalui aturan di negara lain. Hal ini tengah menjadi perbincangan dan mungkin akan mendorong AS segera menyesuaikan kebijakan pajaknya.

Strategi Implementasi Nasional:
Setiap negara umumnya menerapkan pajak minimum global melalui perubahan undang-undang atau peraturan domestik yang mengacu pada Model Rules OECD. Meskipun kerangka dasarnya sama (tarif 15%, threshold €750 juta, top-up tax), detail teknis di tiap negara bisa sedikit bervariasi. Secara umum, negara-negara mengadopsi tiga komponen utama (IIR, UTPR, dan DMTT) dalam regulasi mereka, agar dianggap “qualified” dan selaras dengan standar OECD
[20].

Sebagai contoh, Jerman, Perancis, Italia, Spanyol mengintegrasikan aturan ini ke dalam undang-undang pajak penghasilan mereka, sesuai mandat Direktif UE, sehingga mulai 2024 perusahaan multinasional yang beroperasi di sana harus menghitung effective tax rate (ETR) di setiap yurisdiksi dan melaporkannya. Inggris menerbitkan regulasi “Multinational Top-up Tax” dalam Finance Act-nya. Jepang dan Korea juga mengamendemen UU Pajak Korporasi mereka di 2023 untuk memasukkan skema pajak tambahan 15% bagi entitas yang ETR-nya di bawah ambang. Biasanya, aturan nasional mencakup hal-hal teknis seperti definisi entitas grup, metode perhitungan ETR, pengecualian (misal entitas nirlaba, dana pensiun dikecualikan[21]), serta prosedur pelaporan khusus (GloBE Information Return) sesuai panduan OECD[22]. Bahkan, PMK 136/2024 Indonesia mencontohkan bahwa dalam regulasinya disisipkan 63 definisi strategis dan lampiran panduan teknis agar implementasinya jelas dan konsisten dengan aturan global[23][24].

Dampak Global: “Level Playing Field”
Dengan semakin banyak negara mengadopsi pajak minimum global, dunia menuju level playing field dalam perpajakan. Artinya, tarif pajak tidak lagi menjadi senjata utama untuk bersaing memikat investasi. Para investor dan perusahaan kini tahu bahwa ke manapun mereka pergi, setidaknya 15% pajak atas laba harus dibayar entah di negara tersebut atau di negara lain. Hal ini mendorong persaingan bergeser ke faktor lain: infrastruktur, kualitas tenaga kerja, ukuran pasar, stabilitas hukum, dan fasilitas non-pajak. Bagi negara-negara berkembang, ada harapan kebijakan ini mengurangi praktik perusahaan asing yang selama ini “menguras” keuntungan di negeri mereka lalu dialihkan ke negara suaka pajak. Setiap negara yang berpartisipasi berhak atas “bagian pajak” yang selama ini hilang akibat penghindaran pajak
[1][25].

Tentu, implementasi global ini juga diwarnai tantangan. Koordinasi internasional sangat penting agar aturan dijalankan konsisten dan menghindari pajak berganda. OECD membentuk sistem Inclusive Framework untuk memantau pelaksanaan. Negara-negara akan saling bertukar informasi melalui laporan Country-by-Country Report (CbCR) yang tetap digunakan untuk mengidentifikasi lokasi laba dan pajak terbayar per negara[26]. Intinya, mesin global sudah mulai bergerak serempak: dari Eropa, Asia, Amerika hingga Afrika, banyak pemerintah bersepakat “cukup sudah” era perusahaan besar bayar pajak nol. Pajak minimum global 15% menjadi standar baru. Bagi Indonesia, apa maknanya? Kita akan bahas di bab selanjutnya bagaimana Indonesia merespons kebijakan ini, manfaat yang diincar, serta kekhawatiran yang muncul.

Bab 3: Dampak dan Tanggapan Indonesia terhadap Pajak Minimum Global

Langkah Indonesia Menerapkan Pajak Minimum Global:
Sebagai bagian dari kesepakatan global, Indonesia bergerak cepat untuk mengadopsi Pajak Minimum Global 15%. Pemerintah telah menegaskan komitmennya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136 Tahun 2024 pada 31 Desember 2024 sebagai landasan hukum penerapan pajak minimum global di Indonesia
[27]. Regulasi ini efektif berlaku mulai tahun pajak 2025[28]. Dengan PMK 136/2024, Indonesia memastikan perusahaan multinasional yang beroperasi di dalam negeri akan dikenai pajak tambahan apabila total pajak yang mereka bayar di Indonesia kurang dari 15% dari laba mereka[29][30]. Ketentuan ini berlaku bagi Wajib Pajak badan yang merupakan bagian dari grup perusahaan multinasional beromzet konsolidasi global minimal €750 juta (sekitar Rp12 triliun)[10] – sama dengan threshold global yang telah disepakati. Artinya, hanya entitas yang sangat besar yang termasuk; bisnis Indonesia yang bukan bagian dari grup multinasional besar tidak akan terdampak aturan ini.

Dalam PMK 136/2024, diatur pula bagaimana Indonesia mengimplementasikan aturan GloBE lengkap dengan tiga pilar mekanismenya (IIR, UTPR, dan DMTT)[27]. Jika ada perusahaan anggota grup multinasional di Indonesia menikmati tarif pajak efektif di bawah 15%, Indonesia akan mengenakan “Domestic Minimum Top-up Tax” sebesar selisihnya[14]. Pembayaran top-up tax ini harus dilakukan paling lambat akhir tahun pajak berikutnya – contohnya untuk tahun pajak 2025, pajak tambahannya harus disetor paling lambat 31 Desember 2026[31][30]. Pemerintah juga mewajibkan pelaporan khusus terkait pajak minimum global (GloBE report) paling lambat 15 bulan setelah akhir tahun pajak (atau 18 bulan untuk tahun pertama penerapan sebagai kelonggaran)[11][32]. Ini berarti, misal untuk tahun pajak 2025, perusahaan yang terkena aturan harus melapor paling lambat 30 Juni 2027[32].

Semua ketentuan ini memberikan kejelasan bagi investor bahwa Indonesia siap menjalankan standar global baru ini. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa penerapan PMK 136/2024 tentang pajak minimum global adalah bagian dari upaya pemerintah memperbaiki iklim investasi agar lebih kompetitif dan sehat[33]. Dengan aturan ini, tidak ada lagi “surga pajak” di dalam negeri bagi perusahaan multinasional besar: apabila mereka sebelumnya mendapat fasilitas pajak sangat rendah, kini tetap akan kena pajak minimal 15%. Hal ini menurut pemerintah justru menciptakan persaingan yang adil antar pelaku usaha – perusahaan yang selama ini patuh bayar pajak penuh tidak lagi kalah saing dari yang dulu dapat privilese pajak rendah.

Dampak terhadap Penerimaan Negara dan Keadilan Pajak

Salah satu motivasi utama Indonesia menerapkan pajak minimum global adalah potensi peningkatan penerimaan pajak yang signifikan. Kementerian Keuangan memproyeksikan tambahan penerimaan pajak sebesar Rp3,8 triliun hingga Rp8,8 triliun per tahun dengan diberlakukannya kebijakan ini[34][35]. Tambahan penerimaan ini terutama bersumber dari mekanisme top-up tax terhadap perusahaan multinasional yang selama ini membayar pajak di Indonesia di bawah 15%[36]. Daripada selisih pajak itu diambil negara lain, sekarang Indonesia yang akan memungutnya. Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (atau Wamenkeu II Thomas Djiwandono) menjelaskan bahwa jika Indonesia tidak menerapkan Pilar 2, potensi pajak tersebut justru akan diambil oleh negara lain, yang sama saja artinya Indonesia “memberikan subsidi” kepada fiskus negara lain[37]. Pernyataan ini menegaskan urgensi Indonesia untuk ikut sertawe have to join or lose out. Dengan pajak minimum global, Indonesia dapat mengamankan hak pemajakannya atas laba perusahaan multinasional yang beroperasi di sini. Ini dianggap sebagai salah satu langkah berdaulat untuk memperkuat basis pajak nasional.

Dari perspektif keadilan pajak, kebijakan ini juga membawa angin segar. Selama ini, kritik yang muncul adalah banyak perusahaan kecil/menengah lokal membayar pajak penuh (tarif standar PPh Badan 22%), sementara beberapa perusahaan multinasional raksasa justru membayar jauh lebih rendah karena berbagai insentif atau celah aturan. Dengan diterapkannya pajak minimum global, “level playing field” tercipta – perusahaan besar tersebut minimal membayar 15% sehingga kesenjangan perlakuan pajak berkurang. Kepatuhan pajak di kalangan perusahaan multinasional diperkirakan meningkat, karena mereka tak lagi punya insentif kuat mengalihkan laba ke negara berpajak rendah[38]. Dalam jangka panjang, hal ini mendorong budaya perpajakan yang lebih sehat, di mana semua perusahaan berkontribusi wajar sesuai kapasitasnya. Tambahan penerimaan yang didapat negara dari kebijakan ini pun bisa digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program publik lainnya yang akhirnya kembali meningkatkan iklim investasi dan pertumbuhan ekonomi[39][40]. Dengan kata lain, jika dikelola baik, pajak minimum global dapat menjadi win-win solution: adil bagi pelaku usaha domestik, dan positif bagi kas negara untuk pembangunan.

Dampak terhadap Iklim Investasi dan Kebijakan Insentif di Indonesia

Meskipun menjanjikan dari sisi penerimaan dan fairness, penerapan pajak minimum global juga menimbulkan kekhawatiran terhadap iklim investasi di Indonesia. Selama ini, salah satu alat pemerintah untuk menarik investasi asing adalah insentif pajak, seperti tax holiday (pembebasan PPh badan selama beberapa tahun), tax allowance (pengurangan pajak), atau super deduction untuk kegiatan R&D. Dengan adanya tarif pajak minimum global, Indonesia tidak lagi leluasa menggunakan insentif pajak besar-besaran sebagai “umpan” investasi[41]. Kenapa? Karena insentif tersebut bisa menjadi kurang efektif: jika Indonesia memberikan tarif sangat rendah (misal 0% via tax holiday) kepada sebuah perusahaan, tetap saja perusahaan itu harus membayar 15% pajak tambahan, entah di Indonesia ataupun di negara asalnya. Faktanya, pemerintah sudah mengantisipasi hal ini – Sri Mulyani menyatakan bahwa perusahaan yang memanfaatkan fasilitas tax holiday di Indonesia akan dikenakan pajak tambahan 15% di dalam negeri (domestic top-up) sesuai aturan baru[42]. Jadi, perusahaan tak bisa lagi berharap menikmati 0% penuh tanpa konsekuensi pajak.

Kondisi ini memaksa pemerintah Indonesia untuk meninjau ulang strategi insentif investasinya. Banyak investor mungkin akan mempertimbangkan ulang insentif pajak sebagai daya tarik, karena nilai insentif tersebut berkurang (hanya efektif hingga 15% saja). Sebagian investor asing bisa jadi lebih “skeptis” terhadap rencana investasi mereka di sini apabila sebelumnya sangat bergantung pada faktor pajak rendah[43]. Kementerian Investasi/BKPM pun sempat menyuarakan kekhawatiran ini. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia berpendapat bahwa pajak minimum global 15% bisa menjadi hambatan besar bagi negara berkembang yang tengah gencar mendorong industrialisasi[44][45]. Menurutnya, negara maju memiliki daya saing investasi lebih kuat (infrastruktur, teknologi), sementara negara berkembang seperti Indonesia perlu “pemanis” berupa insentif pajak untuk menarik investor[44]. Ia khawatir, jika insentif pajak dipangkas efektivitasnya, investor dari negara maju akan cenderung menanam modal di negara asalnya sendiri ketimbang di Indonesia[46]. Bahkan Bahlil secara keras menyebut kebijakan pajak minimum global ini jangan-jangan “akal-akalan negara maju” – yaitu upaya negara kaya untuk membatasi trik negara berkembang menarik investasi, sehingga ujungnya negara berkembang tetap menjadi pemasok raw material ke negara maju[46]. Pernyataan ini menggarisbawahi sisi kontroversial: ada yang melihat kebijakan ini menguntungkan negara maju saja dan berpotensi merugikan daya tarik investasi negara berkembang.

Bagaimana tanggapan dari sisi Kementerian Keuangan dan ekonom? Banyak pengamat justru optimistis Indonesia tetap dapat bersaing menarik investasi walaupun “senjata” insentif pajak tumpul, asalkan melakukan penyesuaian strategi. Kuncinya adalah beralih dari ketergantungan pada insentif pajak ke perbaikan fundamental ekonomi. Pemerintah dapat mengganti daya tarik investasi berupa pajak murah dengan daya tarik lain yang lebih berkelanjutan, misalnya: mempercepat pembangunan infrastruktur, meningkatkan kepastian hukum dan kemudahan berusaha, menyediakan tenaga kerja terampil, serta memberikan insentif non-pajak seperti kemudahan perizinan atau bahkan subsidi langsung untuk proyek strategis[47][43]. Dalam konteks ini, Sri Mulyani menekankan bahwa pemerintah terus berupaya memperbaiki iklim investasi agar lebih kompetitif dan sehat – pajak minimum global justru bagian dari upaya itu, agar persaingan tidak lagi berdasarkan adu murah pajak, melainkan pada faktor riil ekonomi[33].

Beberapa langkah konkrit yang bisa dan tengah dipertimbangkan pemerintah antara lain: memberikan fasilitas khusus untuk industri berteknologi tinggi (misal pengecualian atau pengurangan pajak yang dikemas sedemikian rupa agar “qualified” dalam aturan global), hibah atau bantuan pendanaan R&D bagi investor yang berinvestasi di sektor prioritas (sehingga dukungan diberikan melalui belanja negara, bukan pengurangan pajak), serta menyederhanakan regulasi agar biaya berbisnis di Indonesia turun tanpa perlu mengorbankan penerimaan pajak[43]. Pemerintah juga dapat memanfaatkan celah dalam aturan global yang masih diperbolehkan, misalnya menawarkan kredit pajak yang refundable atau insentif pajak yang dikategorikan sebagai Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) di bawah aturan OECD – insentif model ini tidak dianggap mengurangi ETR dalam hitungan GloBE, sehingga tetap memberi benefit nyata ke investor tanpa membuat ETR jatuh di bawah 15%. Tentu desain teknis seperti itu kompleks, tetapi intinya ada ruang bagi pemerintah untuk berkreasi menjaga daya tarik investasi tanpa melanggar koridor pajak minimum global.

Inti kekhawatiran bahwa investasi akan “kabur” mungkin juga perlu dilihat secara proporsional. Tarif 15% sebenarnya masih relatif rendah – Indonesia sendiri tarif normal PPh Badan 22%. Bagi banyak investor, faktor infrastruktur, stabilitas, dan ukuran pasar Indonesia (270 juta penduduk) jauh lebih penting. Lagi pula, pajak minimum ini diterapkan global; pesaing Indonesia juga menerapkannya, sehingga Indonesia tidak dalam posisi rugi sendirian. Bila pemerintah sukses menghadirkan iklim investasi yang kondusif secara menyeluruh, investor akan tetap datang karena keuntungan berbisnis di Indonesia melampaui sekadar urusan pajak. Sebagaimana disampaikan dalam satu ulasan, dengan kebijakan yang tepat dan pelaksanaan optimal, pajak minimum global bisa menjadi instrumen yang membawa Indonesia menuju sistem perpajakan lebih adil tanpa mengorbankan daya tarik ekonominya[48][47]. Jadi, tantangannya adalah transisi strategi: dari “jual murah pajak” ke “jual fundamental ekonomi”.

Tinjauan Hukum dan Tantangan Implementasi di Indonesia

Dari sudut pandang hukum, penerapan pajak minimum global di Indonesia melalui PMK 136/2024 merupakan terobosan yang menarik. PMK ini dikeluarkan berdasar kewenangan Menteri Keuangan, yang kemungkinan mengacu pada delegasi dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan 2021 (UU HPP) atau aturan pajak internasional yang diikuti Indonesia. PMK 136/2024 secara eksplisit mengadopsi standar global GloBE ke dalam sistem hukum nasional[27], lengkap dengan definisi istilah sesuai model OECD (misal definisi Effective Tax Rate, Covered Taxes, Constituent Entity, dll)[23]. Secara hirarki, PMK adalah regulasi level menteri, namun implementasi pajak global ini dimungkinkan karena sifatnya sebagai “common approach” OECD – artinya negara bebas memilih menerapkan atau tidak, namun jika tidak, akan ada dampak dari negara lain[49]. Indonesia memilih menerapkan agar bisa mengendalikan pemajakan tambahan di yurisdiksinya sendiri. Ke depan, bukan tak mungkin pemerintah akan memperkuat dasar hukumnya melalui peraturan setingkat undang-undang atau perjanjian internasional. Misalnya, untuk Subject to Tax Rule (STTR) 9% tadi, Indonesia perlu menandatangani Multilateral Instrument (MLI) khusus agar klausul perjanjian pajak dengan negara lain bisa diubah. Proses ini sedang berlangsung di tingkat OECD, dan Indonesia diharapkan turut serta agar memiliki landasan hukum treaty untuk memungut pajak minimal 9% atas pembayaran tertentu ke luar negeri[50].

Tantangan implementasi secara hukum-administrasi juga cukup besar. Aturan pajak minimum global sangat kompleks, memuat perhitungan yang berbeda dari pajak biasa (misalnya menghitung GloBE income berdasarkan laporan keuangan konsolidasi dengan penyesuaian tertentu[51]). Banyak konsep baru yang harus dipahami otoritas pajak dan wajib pajak, seperti cara menghitung Effective Tax Rate (ETR) per yurisdiksi, pengecualian de minimis, carve-out (pengecualian sebagian keuntungan rutin), dsb. PMK 136/2024 telah memasukkan commentary, contoh penerapan, panduan administratif, serta ketentuan safe harbour dan keringanan sanksi untuk membantu transisi ini[22]. Meski demikian, risiko salah tafsir atau kesalahan hitung tetap ada mengingat kerumitan aturannya. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas dan sosialisasi menjadi kunci. Pemerintah sadar hal ini – diperlukan capacity building intensif, baik untuk petugas pajak maupun Wajib Pajak, agar pemahaman di kedua belah pihak selaras dan aturan yang rumit ini bisa dijalankan dengan benar[52]. Petugas pajak harus mampu menjelaskan ketentuan baru secara efektif dan tidak menyimpang dari maksud asli GloBE rules[53]. Di sisi Wajib Pajak, perusahaan multinasional perlu menyesuaikan sistem pelaporan mereka, mungkin perlu investasi di software akuntansi pajak baru, serta melatih tim keuangan mereka untuk compliance.

Dari segi kepastian hukum, pemerintah perlu memastikan bahwa implementasi pajak minimum global tidak tumpang tindih dengan aturan domestik lain. Contohnya, bagaimana perlakuan pajak top-up 15% ini dalam sistem administrasi: Apakah akan dianggap bagian dari PPh Badan biasa atau sebagai jenis pajak baru? PMK 136/2024 menyiratkan itu sebagai pajak tambahan khusus. Maka, perlu kejelasan agar perusahaan tidak bingung memposisikannya dalam pembukuan. Selain itu, sinkronisasi dengan perjanjian pajak (tax treaty) perlu diperhatikan. Untungnya, karena pajak minimum global ini didesain sebagai pajak atas induk perusahaan (untuk IIR) atau pajak tambahan domestik, OECD berpendapat hal ini tidak melanggar tax treaty (karena dianggap masuk kategori pajak atas laba, bukan pajak berganda baru). Meski demikian, jika terjadi sengketa, misalnya perusahaan asing merasa dipajaki dua kali, mekanisme resolusi perlu ada. Indonesia sebagai anggota Inclusive Framework akan mengikuti panduan penyelesaian sengketa OECD apabila diperlukan.

Yang juga penting, pengawasan dan penegakan. DJP (Ditjen Pajak) kemungkinan akan menunjuk entitas atau tim khusus untuk mengawasi Wajib Pajak yang masuk cakupan pajak minimum global. Berdasarkan Siaran Pers DJP, telah ditunjuk beberapa entitas besar untuk uji coba pelaporan tahun pertama[54][55]. Otoritas pajak akan monitoring secara ketat agar tidak ada Wajib Pajak besar yang luput melapor atau mencoba mencari celah baru. Area “abu-abu” (grey area) bisa muncul, misalnya perbedaan interpretasi apakah suatu kredit pajak luar negeri boleh diperhitungkan dalam ETR atau tidak; hal-hal seperti ini akan diacu pada Komentar OECD dan panduan teknis yang telah disepakati (Indonesia juga mengacu ini sesuai amanat PMK 136/2024)[22]. Dengan kata lain, regulasi Indonesia “mengimpor” penjelasan OECD sehingga kalau ada dispute, rujukannya jelas.

Secara umum, Indonesia tampak cukup siap dari sisi regulasi – PMK 136/2024 tergolong komprehensif dan selaras standar global. Tantangan nyata adalah pelaksanaan teknis di lapangan. Kolaborasi internasional juga tetap diperlukan; misalnya, bila ada perusahaan Indonesia yang beroperasi di negara yang belum terapkan pajak minimum, DJP harus berkomunikasi dengan otoritas negara tersebut atau negara induknya untuk menjalankan UTPR. Indonesia akan terus aktif di forum OECD Inclusive Framework untuk memastikan kepentingannya terjaga.

Sebagai gambaran, para ahli pajak Indonesia (termasuk dari DDTC, CITA, dan akademisi) sudah dilibatkan pemerintah dalam diskusi penerapan pajak minimum global ini sejak awal[56][57]. Ini pertanda baik bahwa stakeholder domestik dilibatkan sehingga aturan dapat diimplementasikan dengan lebih mulus. Dengan persiapan yang matang, diharapkan potensi celah atau grey area dapat diminimalisir, dan apabila muncul perdebatan teknis, pemerintah siap mengeluarkan petunjuk tambahan atau revisi aturan. Kepastian hukum bagi investor menjadi perhatian utama pemerintah dalam era baru perpajakan ini[52].

Prediksi Dampak Jangka Menengah (Perpajakan, Hukum, dan Ekonomi)

Melihat ke depan, kita bisa mencoba memproyeksikan beberapa dampak jangka menengah dari pajak minimum global ini terhadap Indonesia:

  • Dari sisi Perpajakan: Mulai tahun pajak 2025, Indonesia akan mulai merasakan tambahan penerimaan dari pajak top-up 15%. Puncaknya mungkin baru terlihat di 2026 (saat pembayaran top-up 2025 dilakukan). Estimasi Rp3,8–8,8 triliun per tahun[35] tentu akan diuji, tetapi setidaknya triliunan rupiah tambahan bisa masuk kas negara. Selain itu, struktur penerimaan pajak mungkin berubah: pajak dari sektor yang sebelumnya dapat insentif (misal industri pionir yang menikmati tax holiday) akan meningkat karena dikenai top-up. Pemerintah bisa jadi lebih selektif memberi insentif pajak ke depan, karena tahu insentif berlebihan toh akan ditarik lagi via top-up. Kita mungkin akan melihat evaluasi ulang terhadap kebijakan tax holiday dan fasilitas fiskal lain. Bukan mustahil, insentif pajak akan diarahkan hanya ke perusahaan yang tidak terkena aturan global ini (misal perusahaan dengan omzet < €750 juta, agar benar-benar efektif mendorong UMKM dan industri menengah). Di sisi lain, praktek penghindaran pajak melalui transfer pricing agresif atau alih laba ke luar negeri bisa berkurang, karena manfaatnya juga menurun (ujungnya akan ketahuan di hitungan ETR global dan ditagih tambahan)[58]. Secara konseptual, pajak minimum global menutup banyak loopholes, sehingga basis pajak Indonesia ke depan lebih solid.
  • Dari sisi Hukum dan Regulasi: Implementasi PMK 136/2024 kemungkinan akan diikuti oleh peraturan pelaksana tambahan. Misalnya, peraturan Dirjen Pajak yang mengatur formulir pelaporan GloBE, tata cara pembayaran top-up tax, sanksi jika terlambat lapor, dll. Pemerintah juga perlu menegosiasikan penyesuaian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dengan negara mitra untuk memasukkan klausul STTR 9%. Ini mungkin dilakukan melalui Multilateral Instrument (MLI) yang disiapkan OECD. Jadi, secara hukum internasional, akan ada momentum Indonesia menandatangani MLI baru dan kemudian meratifikasinya – langkah ini perlu persetujuan DPR, karena menyangkut perubahan perjanjian pajak. Selain itu, penguatan dasar hukum mungkin akan masuk dalam revisi UU Pajak Penghasilan ke depan. Bukan tak mungkin, dalam reformasi pajak berikutnya pemerintah mengusulkan memasukkan ketentuan pajak minimum global ke level UU, agar lebih kokoh dan mengatur hal-hal yang tak bisa diatur di PMK (misal kewenangan khusus DJP, alokasi penerimaan, dsb). Dari sisi penegakan hukum, kita prediksi tahun-tahun awal akan ada kurva belajar. Baik otoritas pajak maupun Wajib Pajak akan berusaha patuh, tapi mungkin terjadi sengketa atau perbedaan pendapat atas perhitungan ETR atau alokasi laba. Jika muncul sengketa, mekanisme penyelesaiannya bisa melalui forum Mutual Agreement Procedure (MAP) antar negara atau melalui pengadilan pajak dalam negeri. Ini akan menjadi preseden hukum baru yang menarik untuk diamati. Namun, besar harapan sengketa bisa minimal jika pedoman OECD diikuti ketat.
  • Dari sisi Ekonomi dan Investasi: Dampak ekonomi makro dari pajak minimum global mungkin tidak langsung terasa besar pada PDB atau pertumbuhan, karena sifatnya lebih pada distribusi penerimaan pajak. Tambahan pajak Rp5-8 triliun per tahun misalnya, itu sekitar <0,05% PDB – kecil secara makro, tapi lumayan untuk anggaran negara. Jika dialokasikan efektif, bisa mendanai proyek infrastruktur atau program sosial yang mendorong ekonomi. Investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia berpotensi mengalami sedikit penyesuaian pola. Sektor-sektor yang datang murni karena iming-iming pajak rendah mungkin berkurang minatnya. Namun, investasi yang berlandaskan potensi pasar domestik Indonesia yang besar dan ketersediaan sumber daya alam kemungkinan tidak terpengaruh signifikan. Apalagi, semua negara tetangga juga menerapkan aturan serupa dalam waktu berdekatan. Dengan kata lain, daya saing relatif Indonesia tidak jatuh. Investor justru akan melihat: Indonesia ikut aturan global (artinya compliance-nya bagus), ada kepastian bahwa tidak akan ada perubahan kebijakan pajak ekstrem (karena sudah ikut standar global). Hal ini bisa meningkatkan kepercayaan investor jangka panjang bahwa sistem pajak Indonesia selaras internasional dan risiko sengketa pajak internasional rendah[59]. Tentu, ada kemungkinan beberapa investor meminta kompensasi non-pajak – misal minta jaminan infrastruktur atau kemudahan lain – atas berkurangnya insentif pajak. Pemerintah perlu sigap merespons agar investasi tetap masuk. Secara ekonomi, dalam 1-2 tahun awal (2025-2026) mungkin ada perlambatan pertumbuhan investasi di sektor-sektor yang tadinya sangat bergantung insentif pajak, tapi setelah itu investor akan beradaptasi. Mereka akan menghitung pajak 15% sebagai cost of doing business standar dimanapun. Justru, negara yang tidak menerapkan pajak minimum global mungkin dipandang berisiko oleh korporasi besar, karena laba di negara itu bisa tiba-tiba dipajaki negara lain (melalui UTPR). Jadi Indonesia, dengan menerapkan aturan ini, menghindarkan diri dari stigma negatif dan memastikan iklim investasinya “aman” secara perpajakan internasional.

Singkatnya, prediksi ke depan bagi Indonesia cukup positif dengan catatan: pemerintah mau melakukan reformasi lanjutan di bidang investasi non-pajak. Pajak minimum global adalah tantangan sekaligus peluang. Tantangan, karena Indonesia tak bisa lagi andalkan “diskon pajak” besar-besaran untuk menarik modal. Peluang, karena ini mendorong Indonesia memperbaiki fundamental ekonomi dan mendiversifikasi daya tarik investasi. Di sisi fiskal, negara mendapat tambahan amunisi penerimaan untuk pembangunan. Di sisi hukum, Indonesia menunjukkan diri mengikuti standar global sehingga terhindar dari isolasi regulasi. Tentu, semua ini dengan asumsi implementasi berjalan baik, pengawasan ketat, dan penyesuaian kebijakan dilakukan seiring waktu.

Bab 4: Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan Utama:
Pajak Minimum Global 15% merupakan langkah revolusioner dalam sistem perpajakan internasional yang lahir dari konsensus lebih dari 140 negara untuk menciptakan keadilan pajak di era globalisasi digital. Kebijakan ini memastikan perusahaan multinasional raksasa membayar pajak dengan tarif efektif minimal 15% di setiap negara mereka beroperasi, sehingga praktik penghindaran pajak melalui profit shifting dapat diminimalkan secara drastis. Bagi Indonesia, partisipasi dalam pajak minimum global bukan semata kewajiban moral mengikuti tren, tapi merupakan langkah strategis melindungi basis pajak nasional dan mencegah kehilangan penerimaan ke negara lain
[37]. Dengan menerapkan aturan ini mulai 2025, Indonesia menegaskan tidak akan membiarkan “loophole” dimanfaatkan: jika ada laba di Indonesia yang tadinya akan lolos dari pajak, kini Indonesia sendiri yang akan memajakinya hingga 15%.

Kebijakan ini membawa manfaat signifikan: potensi tambahan penerimaan Rp triliunan yang dapat digunakan untuk pembangunan[35], terciptanya level playing field bagi pelaku usaha (perusahaan yang selama ini patuh pajak tidak lagi tersaingi secara tidak adil oleh kompetitor yang mendapat pajak super-rendah), serta peningkatan kepatuhan pajak secara keseluruhan. Dari sisi internasional, Indonesia juga meningkatkan citranya sebagai negara yang patuh pada kesepakatan global dan pro terhadap transparansi[60]. Hal ini dapat memberikan efek jangka panjang positif, misalnya menghindari risiko Indonesia dimasukkan daftar tax haven atau dianggap tidak kooperatif. Stabilitas sistem keuangan pun terjaga, sebagaimana disampaikan dalam forum Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), kebijakan ini bagian dari upaya menjaga stabilitas dengan iklim investasi yang sehat[33].

Namun, kita tidak boleh mengabaikan tantangan dan potensi dampak negatif. Kekhawatiran terhadap iklim investasi perlu dijawab dengan kebijakan yang tepat. Kelemahan utama penerapan pajak minimum global di Indonesia adalah berkurangnya efektivitas insentif pajak sebagai alat menarik investasi. Ini bisa mengurangi minat sebagian investor, terutama mereka yang sangat sensitif terhadap pajak. Selain itu, kompleksitas administrasi menuntut kapasitas birokrasi pajak yang lebih tinggi; salah kelola justru bisa membuat dunia usaha terbebani oleh ketidakpastian aturan. Perdebatan internal pun terjadi – antara otoritas fiskal yang fokus pada penerimaan vs otoritas investasi yang fokus pada daya tarik modal. Perbedaan pandangan seperti antara Menkeu dan Menteri Investasi mengenai kebijakan ini harus dikelola dengan koordinasi yang baik, agar pemerintah berbicara dengan satu suara kepada investor.

Rekomendasi/Saran:
Untuk mengoptimalkan manfaat dan memitigasi dampak negatif, berikut beberapa saran strategis yang dapat dipertimbangkan:

  1. Mengembangkan Strategi Insentif Baru yang Kreatif: Pemerintah Indonesia perlu segera menyiapkan alternatif insentif selain pemotongan tarif pajak. Misalnya, insentif berupa grant, bantuan riset, pembangunan infrastruktur khusus di kawasan investasi, atau kredit pajak yang memenuhi kriteria global (QRTC). Sehingga Indonesia tetap kompetitif tanpa melanggar aturan 15%. Selain itu, insentif pajak yang masih ada harus lebih terarah dan efisien, misalnya diberikan terbatas pada perusahaan yang benar-benar strategis dan tidak akan sekadar “memberi subsidi pajak ke negara lain”. Kebijakan Tax Holiday dan Tax Allowance perlu dirombak: mungkin durasinya diperpendek atau ditargetkan hanya untuk perusahaan domestik berkembang (yang tidak terkena GloBE). Intinya, “pemanis investasi” harus bergeser dari gula pajak ke gula infrastruktur dan fasilitas lain.
  2. Memperbaiki Iklim Investasi Non-Pajak: Sejalan dengan poin pertama, Indonesia harus meningkatkan daya saing fundamental: percepat penyediaan infrastruktur logistik, listrik, internet; pangkas birokrasi perizinan melalui OSS yang benar-benar efektif; tegakkan kepastian hukum (misal konsistensi aturan pusat-daerah, kontrak investasi dilindungi). Biaya berusaha (cost of doing business) di Indonesia harus ditekan melalui reformasi struktural. Dengan demikian, meski pajak tidak bisa didiskon banyak, investor tetap tertarik karena Indonesia menawarkan produktivitas tinggi dan risiko rendah. Saran ini sejalan dengan rekomendasi banyak ekonom bahwa perbaikan iklim investasi secara menyeluruh adalah kunci menjaga arus modal masuk[47]. Pemerintah bisa menyusun paket kebijakan investasi baru yang mencakup insentif non fiskal untuk menggantikan porsi insentif fiskal yang hilang.
  3. Sosialisasi dan Pendampingan Wajib Pajak: Mengingat aturan ini rumit dan baru, DJP perlu gencar melakukan sosialisasi kepada perusahaan-perusahaan yang termasuk kriteria (omzet > €750 juta). Misalnya membuka help desk khusus pajak minimum global, menerbitkan FAQ, serta mungkin mengadakan class atau workshop bagi para eksekutif pajak perusahaan besar. Pendampingan di awal sangat krusial supaya tidak terjadi mispersepsi yang berujung sengketa. Jangan sampai Wajib Pajak merasa “ditangkap basah” dengan aturan baru tanpa bimbingan – karena bagaimanapun, ini kolaborasi global, bukan semata kehendak sepihak Indonesia. Semakin mulus wajib pajak paham aturan, semakin lancar pula penerapannya.
  4. Peningkatan Kapasitas Aparatur Pajak: Di internal DJP, perlu pelatihan intensif tentang GloBE Rules. Perekrutan atau penunjukan spesialis internasional juga mungkin diperlukan. Bahkan, dapat dipertimbangkan pembentukan satu unit khusus yang menangani pajak internasional termasuk Pilar 2 ini, sehingga petugasnya fokus dan ahli di bidang ini. Pemerintah juga bisa bermitra dengan konsultan pajak dan akademisi untuk mendapatkan masukan implementasi. Sebagaimana telah dilakukan (DDTC dan pakar dilibatkan dalam forum ITF), kolaborasi ini perlu terus dijaga[56][57]. Tujuannya agar penegakan aturan tetap sejalan praktik terbaik internasional dan tidak menyimpang. Kapasitas penegakan hukum juga perlu diperkuat: misal meningkatkan kemampuan pemeriksa pajak untuk mengaudit laporan GloBE, atau hakim pengadilan pajak diberi pembekalan isu internasional, dsb.
  5. Monitoring dan Evaluasi Berkelanjutan: Karena ini era baru, pemerintah sebaiknya membuat kerangka evaluasi. Misal, setelah dua tahun berjalan (2025–2026), evaluasi: berapa realisasi top-up tax yang terkumpul? Sektor mana yang paling terpengaruh? Apakah ada indikasi penurunan investasi di sektor tertentu akibat kebijakan ini? Data tersebut penting untuk menyusun kebijakan lanjutan. Jika ternyata dampak ke investasi signifikan negatif, mungkin Indonesia perlu mempertimbangkan insentif ekstra di luar pajak. Jika penerimaan jauh di bawah proyeksi, mungkin ada celah yang dimanfaatkan perusahaan yang perlu ditutup regulasi tambahan. Monitoring juga mencakup memantau perkembangan global – misal jika AS akhirnya implementasi penuh atau jika OECD mengubah ketentuan (karena evaluasi global pun pasti ada). Fleksibilitas kebijakan perlu dijaga, tentunya tanpa mengorbankan prinsip dasar.
  6. Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah: Suksesnya kebijakan ini tak lepas dari sinergi Kementerian Keuangan, BKPM/Kementerian Investasi, Kemenko Perekonomian, bahkan Bank Indonesia dan OJK dalam ranah stabilitas (karena ini terkait arus investasi asing). Perbedaan pandangan seperti yang diutarakan Menteri Investasi perlu didiskusikan di tingkat kabinet agar ditemukan jalan tengah. Mungkin perlu disusun protokol koordinasi: misal sebelum menawarkan insentif ke investor besar, BKPM berkoordinasi dengan Kemenkeu apakah insentif tersebut “compatible” dengan pajak minimum global atau tidak, dan bagaimana mitigasinya. KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) pun telah menyinggung hal ini, artinya diharapkan antar-otoritas saling mendukung tujuan bersama[33]. Satu suara pemerintah akan memberikan kepastian bagi investor.

Pada akhirnya, pajak minimum global adalah keniscayaan di era baru. Indonesia telah memilih jalur yang tepat dengan ikut menerapkannya – ketimbang menonton dari pinggir dan kehilangan potensi pajak. Tugas kita sekarang memastikan implementasinya berjalan efektif, adil, dan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi. Dengan langkah-langkah penyesuaian di atas, Indonesia dapat mengubah potensi “ancaman” menjadi “peluang”.

Negara akan mendapat tambahan penerimaan untuk rakyat, sementara investor tetap bisa mendapatkan manfaat dari berbisnis di Indonesia karena kuatnya fundamental dan dukungan non-pajak. Dalam skenario ideal, Indonesia pasca-pajak minimum global justru makin dilirik: sebagai negara yang patuh aturan internasional, namun tetap pro-bisnis dengan berbagai fasilitas yang masuk akal. Inilah keseimbangan yang harus dicapai.

Kata Penutup:
Demikianlah paparan komprehensif mengenai pajak minimum global 15% dan implikasinya bagi Indonesia. Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa kebijakan ini ibarat dua sisi mata uang – satu sisi menjanjikan keadilan dan tambahan penerimaan, sisi lain menuntut penyesuaian agar iklim usaha tetap kondusif. Indonesia dihadapkan pada momentum bersejarah di bidang perpajakan internasional. Dengan persiapan matang, koordinasi kebijakan yang baik, dan dukungan semua pemangku kepentingan, saya optimistis Indonesia dapat menyukseskan implementasi pajak minimum global ini. Harapannya, langkah ini akan membawa sistem perpajakan Indonesia menuju standar dunia yang lebih adil, tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Sebagai konsultan pajak dan ekonom, saya (bersama para praktisi lainnya) akan terus memantau dan siap membantu dalam masa transisi penting ini. Semoga narasi ini bermanfaat dalam memberikan pemahaman utuh bagi pembaca. Pajak adalah kontribusi kita bersama – dengan aturan main baru yang lebih adil, mari kita songsong masa depan perpajakan Indonesia yang makin transparan, berkeadilan, dan berdaya saing!

Terima kasih.

Sumber Referensi: (tersusun sesuai kemunculan)

·         Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 136/PMK.03/2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional (diundangkan 31 Desember 2024, berlaku 2025).

·         Sri Mulyani Indrawati – Konferensi Pers KSSK I 2025 (Jakarta, 24 Januari 2025) via ANTARA News[33][42][17][30].

·         DDTCNews – “Menkeu Sri Mulyani Teken PMK 136/2024, Landasan Pajak Minimum Global 15%”[27][4][61] (Februari 2025).

·         Kumparan – “Pajak Minimum Global: Langkah Indonesia Menuju Sistem Perpajakan Lebih Adil”[62][19][18][63] (Claudya Banoet, 2025).

·         Bisnis.com – “Wamenkeu: Pajak Minimum Global Tambah Penerimaan Hingga Rp8,8 T”[34][64][37] (Annasa Rizki, 24 Sept 2024).

·         DDTCNews – “Pajak Minimum Global Perlu Dikaji Ulang, ini Kata Menteri Bahlil”[65][46] (Wildan, 20 Agustus 2023).

·         Pajak.io – “Tarif Pajak Minimum Global Resmi Diterapkan di Indonesia Sebesar 15%”[66][12][14] (20 Jan 2025).

·         Kompasiana – “Indonesia Terapkan Pajak Minimum 15%, Apa Dampaknya?”[11][43] (Axl J. H. Hutabarat, 14 Feb 2025).

·         OECD/G20 – “Two-Pillar Solution to Address BEPS 2.0” – Pernyataan Oktober 2021 (Indonesia termasuk 136 negara pendukung)[6].

·         Laporan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) – pernyataan Fajry Akbar tentang dampak pajak minimum global[58].

·         Lain-lain: Siaran Pers DJP No. SP-23/2025 (penunjukan entitas pelapor pajak global), Dokumen OECD Inclusive Framework on BEPS, dan publikasi Kemenkeu terkait implementasi STTR[50]. (Semua informasi telah diusahakan merujuk sumber resmi dan dapat dipertanggungjawabkan).


[1] [7] [8] [25] G20 Sepakati Implementasi Pajak Minimum Global di 2023 - PAJAK.COM

https://www.pajak.com/pajak/g20-sepakati-implementasi-pajak-minimum-global-di-2023/

[2] [6] [9] [18] [19] [28] [29] [38] [41] [47] [48] [62] [63] Pajak Minimum Global: Langkah Indonesia Menuju Sistem Perpajakan yang Lebih Adil | kumparan.com

https://kumparan.com/claudya-banoet/pajak-minimum-global-langkah-indonesia-menuju-sistem-perpajakan-yang-lebih-adil-24ToLRG6AKt

[3] [34] [35] [36] [37] [64] Thomas Djiwandono: Pajak Minimum Global Tambah Penerimaan Negara hingga Rp8,8 Triliun

https://ekonomi.bisnis.com/read/20240924/259/1801991/thomas-djiwandono-pajak-minimum-global-tambah-penerimaan-negara-hingga-rp88-triliun

[4] [5] [16] [27] [31] [49] [52] [53] [56] [57] [61] Mengawal Pajak Minimum Global Sejak Awal

https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1808616/mengawal-pajak-minimum-global-sejak-awal

[10] [17] [30] [32] [33] [42] Indonesia terapkan pajak minimum global demi iklim investasi sehat - ANTARA News Sulteng

https://sulteng.antaranews.com/berita/338442/indonesia-terapkan-pajak-minimum-global-demi-iklim-investasi-sehat

[11] [39] [40] [43] Indonesia Terapkan Pajak Minimum 15%: Apa Dampaknya? Halaman 1 - Kompasiana.com

https://www.kompasiana.com/axljossuahalassonhutabarat1374/67a4c722ed641539d841a002/indonesia-terapkan-pajak-minimum-15-apa-dampaknya?page=1&page_images=1

[12] [13] [14] [21] [22] [58] [66] Tarif Pajak Minimum Global Resmi Diterapkan Di Indonesia Sebesar 15%

https://pajak.io/tarif-pajak-minimum-global/

[15] [44] [45] [46] [65] Pajak Minimum Global Perlu Dikaji Ulang, Ini Kata Menteri Bahlil

https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1796557/pajak-minimum-global-perlu-dikaji-ulang-ini-kata-menteri-bahlil

[20] [23] [24] [26] [51] PMK 136 Tahun 2024: Lompatan Transformasional Menuju Era Pajak Minimum Global

https://muc.co.id/id/article/pmk-136-tahun-2024-lompatan-transformasional-menuju-era-pajak-minimum-global

[50] Implementasi Subject to Tax Rule (STTR) melalui Konvensi ...

https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/implementasi-subject-to-tax-rule-sttr-melalui-konvensi-multilateral-b0efe6b5/detail

[54] Halaman Siaran Pers - Direktorat Jenderal Pajak

https://www.pajak.go.id/id/siaran-pers-page?page=1

[55] - [THE TAX CENTRE UI GAZETTE] Direktorat Jenderal Pajak (DJP ...

https://www.instagram.com/p/DOGMZFDAekH/

[59] Indonesia Menerapkan Pajak Minimum Global

https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/604

[60] Pajak Minimum Global Datang, Insentif Fiskal Baru Dibutuhkan

http://stats.pajak.go.id/index.php/id/artikel/pajak-minimum-global-datang-insentif-fiskal-baru-dibutuhkan

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.