Tujuan dari laporan ini adalah menerjemahkan kompleksitas peraturan tersebut ke dalam bahasa yang mudah dipahami, bahkan oleh awam, sekaligus memberikan panduan strategis yang kritis dan solutif bagi Wajib Pajak (WP) dalam menghadapi era pengawasan yang semakin ketat ini.
I. KONTEKS DAN JALUR HUKUM PER-18/PJ/2025
1.1. Latar Belakang dan Kronologi Penetapan
PER-18/PJ/2025 ditetapkan dan mulai berlaku pada 24 September 2025.1 Peraturan ini hadir sebagai respons kebutuhan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menindaklanjuti data yang mereka peroleh atau miliki dengan dasar hukum yang jelas dan akuntabel.2 Dalam konteks modernisasi administrasi pajak dan implementasi sistem inti perpajakan (Coretax DJP), ketersediaan data pihak ketiga yang masif memerlukan panduan eksekusi yang spesifik.
Peraturan ini bertujuan memberikan kepastian hukum dan kemanfaatan dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.1 Namun, di sisi Wajib Pajak, peraturan ini secara otomatis meningkatkan risiko pemeriksaan, terutama bagi mereka yang datanya tidak sinkron dengan sistem DJP.
1.2. Hubungan Kritis dengan Pemeriksaan Pajak (PMK 15/2025)
PER-18/PJ/2025 merupakan bagian integral dari kerangka penegakan hukum yang lebih besar. Ia secara langsung terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak (PMK 15/2025).3
Data konkret, sebagaimana didefinisikan dalam PER-18/PJ/2025, menjadi salah satu faktor penentu dilakukannya pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan.2 Hal ini menciptakan jalur cepat bagi DJP: jika data ditemukan masuk kategori "konkret," DJP dapat langsung memicu Pemeriksaan Terfokus (Limited Examination) sesuai PMK 15/2025. Pemeriksaan terfokus ini ruang lingkupnya sempit, hanya fokus pada satu atau beberapa pos dalam Surat Pemberitahuan (SPT) atau bukti tertentu, dan pengujiannya relatif sederhana.4
Dengan adanya jalur akselerasi ini, Wajib Pajak tidak bisa lagi berharap DJP akan melakukan pemeriksaan umum yang memakan waktu lama. Penindakan akan menjadi sangat cepat dan terarah, yang menuntut kesiapan Wajib Pajak untuk merespons secara instan.
1.3. Mekanisme Tindak Lanjut: Pengawasan dan/atau Pemeriksaan
PER-18/PJ/2025 mengatur bahwa tindak lanjut atas data konkret dapat dilakukan melalui dua jalur utama: pengawasan dan/atau pemeriksaan.3
Pengawasan biasanya diawali dengan Surat Permintaan Penjelasan Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Jika penjelasan Wajib Pajak dianggap memuaskan atau Wajib Pajak bersedia melakukan Pembetulan SPT, proses bisa selesai. Namun, jika Wajib Pajak tidak merespons atau data yang dimiliki DJP sangat kuat (konkret), DJP akan langsung meningkatkan status menjadi Pemeriksaan Terfokus (Limited Examination), yang berujung pada penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP).6
II. MEMBEDAH DEFINISI DATA KONKRET: ARTI DAN KONSEKUENSI PASAL 2
2.1. Pasal 2 Ayat (1): Tiga Pilar Bukti yang Tak Terbantahkan
Pasal 2 Ayat (1) PER-18/PJ/2025 mendefinisikan apa yang dimaksud dengan data konkret. Bagi Wajib Pajak, ini adalah daftar "bukti temuan" yang paling mudah digunakan DJP untuk menetapkan kekurangan pajak.
Kutipan Peraturan (Pasal 2 Ayat 1 PER-18/PJ/2025):
"Data konkret merupakan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak berupa:
a. faktur pajak yang sudah memperoleh persetujuan melalui sistem informasi milik Direktorat Jenderal Pajak tetapi belum atau tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak pada Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai;
b. bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang belum atau tidak dilaporkan oleh penerbit bukti pemotongan atau pemungutan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan; dan/atau
c. bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memerlukan pengujian sederhana." 1
Penjelasan yang Sangat Mudah Dimengerti (Analogi Resi Digital):
Bayangkan Anda adalah seorang pengusaha.
Butir a (Faktur Pajak PPN): Penjual (rekanan Anda) sudah mengirimkan "resi digital" (e-Faktur) ke DJP yang mencantumkan transaksi Anda sebagai pembeli. Resi ini otomatis tercatat di sistem DJP. Tetapi, saat Anda (pembeli) membuat laporan bulanan PPN, Anda lupa atau sengaja tidak mencantumkan resi itu sebagai "diskon" (Pajak Masukan). DJP kini memiliki bukti yang pasti (faktur yang disetujui) bahwa ada transaksi yang luput dilaporkan oleh Anda.
Butir b (Bukti Potong PPh): Perusahaan pemberi kerja atau klien Anda sudah mengeluarkan Bukti Potong PPh (seperti PPh 21 atau PPh 23) yang menyatakan bahwa mereka telah membayar Anda dan memotong pajak Anda, lalu mereka melaporkannya ke DJP. Bukti potong ini sudah masuk sistem DJP.7 Ketika Anda (penerima penghasilan) melaporkan SPT, Anda ternyata tidak mencantumkan atau mengurangi nilai yang dilaporkan oleh klien Anda. DJP memiliki bukti konkret dari pihak ketiga bahwa Anda menerima lebih banyak penghasilan daripada yang Anda akui.
Butir c (Data Lain): Ini adalah data transaksi dari pihak ketiga (misalnya data bank, data Bea Cukai, atau data properti) yang bisa langsung dipakai DJP untuk menghitung perkiraan kewajiban pajak Anda. Verifikasinya cepat dan sederhana.
2.2. Pasal 2 Ayat (2): Delapan Skenario Detail yang Memicu Pemeriksaan
Pasal 2 Ayat (2) merinci butir c dari Ayat (1) di atas, memberikan daftar 8 jenis bukti yang, meskipun memerlukan sedikit pengujian, dianggap cukup kuat untuk menjadi dasar penindakan.
Kutipan Peraturan (Pasal 2 Ayat 2 PER-18/PJ/2025):
"Bukti transaksi atau data perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit berupa: (a sampai h)..." 1
A. Butir a: Kelebihan Kompensasi PPN Fiktif
Deskripsi: Klaim kelebihan kompensasi PPN (Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran) di suatu masa pajak, padahal saldo lebih bayar pada SPT Masa PPN sebelumnya tidak mendukung klaim tersebut.1
Contoh Sederhana: PT Dagang Jaya melaporkan bahwa pada bulan September, mereka memiliki kelebihan bayar PPN Rp 200 juta yang dikompensasikan dari bulan Agustus. Namun, DJP melihat SPT Masa Agustus PT Dagang Jaya dan menemukan bahwa saldo lebih bayar di bulan tersebut hanya Rp 50 juta. Selisih Rp 150 juta ini adalah klaim kompensasi fiktif.
Implikasi Kritis: Ini adalah data konkret yang paling berbahaya. Jika terbukti, DJP akan menerbitkan SKPKB atas PPN yang kurang dibayar ditambah sanksi kenaikan sebesar 75%.9 Sanksi ini jauh lebih tinggi daripada sanksi bunga normal, mencerminkan bahwa DJP memandang manipulasi kompensasi PPN sebagai pelanggaran serius.
B. Butir b: PKP Keliru Menggunakan Pedoman Pengkreditan
Deskripsi: Penghitungan ulang Pajak Masukan (PM) oleh Wajib Pajak yang menggunakan pedoman pengkreditan PM, padahal status atau jenis usahanya tidak berhak menggunakan pedoman tersebut.1
Contoh Sederhana: Hanya Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang boleh menghitung "diskon pajak" (PM) dengan cara yang disederhanakan. Jika perusahaan Anda sudah sangat besar dan seharusnya menghitung PPN dengan cara normal (alokasi penuh), tetapi Anda masih menggunakan cara sederhana tersebut, DJP dapat langsung mengoreksi total Pajak Masukan yang Anda kreditkan.
C. Butir c: PPN Disetor di Muka yang Kurang Dibayar
Deskripsi: Kurangnya pembayaran PPN yang wajib disetor di muka (Prepaid PPN) untuk jenis transaksi tertentu.1
Contoh Sederhana: Anda melakukan impor barang yang mewajibkan pembayaran PPN Impor di muka sebesar Rp 10 juta. Namun, Anda hanya menyetor Rp 8 juta. Data dari Bea Cukai (yang merupakan data konkret) akan menunjukkan kekurangan setoran Rp 2 juta, yang bisa langsung ditindaklanjuti.
D. Butir d: Pemanfaatan Insentif Pajak yang Tidak Semestinya
Deskripsi: Klaim atau penggunaan fasilitas/insentif perpajakan (seperti diskon PPh atau PPN ditanggung pemerintah/DTP) yang tidak memenuhi syarat substansial atau administratif.1
Contoh Sederhana: Negara memberikan insentif PPh untuk perusahaan yang mengekspor 80% hasil produksinya. Anda mengklaim insentif tersebut, tetapi laporan bulanan Anda menunjukkan bahwa 50% produk Anda dijual di dalam negeri. Ketidaksesuaian kriteria ini (dibuktikan melalui data internal DJP dan/atau data pihak ketiga seperti Bea Cukai) dapat langsung memicu Pemeriksaan Terfokus.10
E. Butir e: Pengkreditan Pajak Masukan yang Tidak Semestinya
Deskripsi: Mengkreditkan Pajak Masukan (PM) yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan PPN.1
Contoh Sederhana: Peraturan melarang pengkreditan PPN Masukan untuk pembelian mobil sedan atau station wagon (kecuali untuk perusahaan penyewaan). Jika sistem DJP mendapati Anda mengkreditkan faktur pembelian kendaraan yang dilarang tersebut, hal ini menjadi Data Konkret.
F. Butir f: Penghasilan Kurang Dilaporkan Berdasarkan Bukti Potong
Deskripsi: Wajib Pajak penerima penghasilan melaporkan jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada jumlah yang dilaporkan oleh pihak pemotong atau pemungut PPh (berdasarkan bukti potong yang sudah masuk sistem DJP).7
Contoh Sederhana: Seorang dokter praktik profesional melaporkan total penghasilan tahunan Rp 800 juta. Namun, DJP memiliki Bukti Potong PPh 21 dan PPh 23 dari semua rumah sakit dan klinik tempatnya bekerja dengan total kumulatif Rp 1 Miliar. Selisih Rp 200 juta ini adalah Data Konkret.
G. Butir g: Data Hasil Keputusan Final
Deskripsi: Kekurangan pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah disetujui Wajib Pajak, putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah), atau Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang telah diterbitkan.1
Contoh Sederhana: Jika Anda kalah di tingkat Banding dan Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa Anda harus membayar utang pajak X, keputusan hukum yang sudah final itu menjadi Data Konkret yang dapat langsung ditindaklanjuti dengan penagihan tanpa proses pemeriksaan baru.
H. Butir h: Data Lain yang Dapat Langsung Dihitung
Deskripsi: Data lain yang terbukti kebenarannya dan dapat digunakan langsung untuk menghitung PPh atau PPN terutang.1
Contoh Sederhana: Data transaksi transfer uang dalam jumlah besar yang diterima Wajib Pajak dari luar negeri yang terdeteksi oleh sistem pertukaran informasi internasional. Jika Wajib Pajak tidak dapat membuktikan bahwa dana tersebut bukan objek pajak (misalnya pinjaman), DJP dapat langsung menghitung PPh terutang berdasarkan nilai transfer tersebut.
III. DAMPAK KRITIS BAGI WAJIB PAJAK DAN KEPASTIAN HUKUM
3.1. Dampak Langsung kepada Wajib Pajak yang Nakal
Bagi Wajib Pajak yang lalai, tidak disiplin dalam pelaporan, atau sengaja memanipulasi data, PER-18/PJ/2025 adalah lonceng bahaya yang sangat keras.
Akselerasi Penetapan Pajak: Tidak ada lagi waktu tunggu yang lama. Data Konkret mempercepat proses dari penemuan ketidaksesuaian data menjadi penerbitan SKPKB melalui Pemeriksaan Terfokus.6
Sanksi Administratif Berat: Jika tindak lanjut Data Konkret berujung pada SKPKB, Wajib Pajak akan menanggung kekurangan pajak pokok ditambah sanksi. Paling menakutkan adalah sanksi kenaikan 75% dari PPN yang kurang dibayar dalam kasus kompensasi PPN fiktif.9 Selain itu, pelanggaran insentif (Butir d) dapat mengakibatkan pencabutan insentif dan sanksi denda.10 Dampak sanksi ini dapat secara signifikan mengganggu arus kas dan likuiditas perusahaan.
3.2. Kepastian Hukum dari Sisi Wajib Pajak
DJP menegaskan bahwa peraturan ini diterbitkan untuk memberikan kepastian hukum dan akuntabilitas.2 Namun, kepastian hukum ini harus dilihat dari dua perspektif:
Kepastian Aksi Otoritas: Wajib Pajak kini memiliki kepastian bahwa jika data mereka masuk dalam 8 kategori Pasal 2 Ayat (2), DJP pasti akan menindaklanjutinya. Ini menghilangkan ketidakpastian apakah temuan data akan diabaikan atau tidak.
Kritik terhadap Definisi: Meskipun tujuannya baik, masih ada celah yang harus diperhatikan, terutama mengenai "pengujian sederhana" (Pasal 2 Ayat 1 huruf c). Dalam sengketa, definisi ini dapat diperdebatkan. Sebagai kuasa hukum, kami harus memastikan bahwa DJP tidak menyalahgunakan Pemeriksaan Terfokus dengan melakukan pengujian yang luas dan kompleks, yang seharusnya dilakukan dalam Pemeriksaan Lapangan Umum. Kepastian hukum Wajib Pajak terletak pada pembatasan ruang lingkup pemeriksaan yang dipicu oleh Data Konkret.
IV. STRATEGI KOMPREHENSIF DAN SOLUSI PENCEGAHAN RISIKO
PER-18/PJ/2025 memaksa Wajib Pajak untuk mengadopsi kepatuhan proaktif dan sistem kontrol internal yang ketat. Jika Wajib Pajak menunggu sampai menerima SP2DK, waktu yang tersisa untuk mitigasi risiko sudah sangat sempit.
4.1. Pilar Solusi: Memperkuat Kontrol Internal Berbasis Data Konkret
Untuk mempersiapkan diri dari dampak peraturan ini, Wajib Pajak harus menjadikan 8 butir data konkret di Pasal 2 Ayat (2) sebagai checklist audit internal rutin:
Rekonsiliasi Total Data Digital: Wajib Pajak harus secara rutin, idealnya mingguan, merekonsiliasi seluruh e-Faktur Pajak Masukan dan Keluaran, serta Bukti Potong PPh yang diterbitkan dan diterima, dengan data yang tercatat di portal DJP.4 Selisih sekecil apapun harus segera diselesaikan, baik dengan Pembetulan SPT (jika selisih di pihak kita) atau dengan konfirmasi ke rekanan.
Validasi Saldo PPN Kompensasi: Karena risiko sanksi 75% sangat tinggi, prosedur internal harus menjamin bahwa setiap klaim kompensasi PPN ke masa pajak berikutnya didukung 100% oleh saldo lebih bayar yang tercatat di SPT Masa PPN sebelumnya. Jangan pernah mengajukan kompensasi yang saldonya fiktif.
Dokumentasi Insentif yang Sempurna: Jika memanfaatkan insentif pajak (Butir d), Wajib Pajak harus menyimpan dan memelihara dokumentasi yang lengkap, konsisten, dan dapat diaudit secara mudah, yang membuktikan bahwa seluruh persyaratan administratif dan substansial insentif telah terpenuhi.10
4.2. Persiapan Taktis Menghadapi Tindak Lanjut
Dalam menghadapi PER-18/PJ/2025, kecepatan dan kualitas respons adalah kunci.
4.3. Strategi Pembelaan Awal
Sebagai Kuasa Wajib Pajak, strategi terbaik adalah menyelesaikan temuan di tingkat Pengawasan (sebelum masuk ke Pemeriksaan). Jika DJP telah menemukan Data Konkret dan mengirimkan SP2DK, Wajib Pajak memiliki kesempatan untuk menjelaskan data, melakukan Pembetulan SPT dengan perhitungan sanksi yang lebih ringan, atau membuktikan bahwa interpretasi DJP atas data tersebut keliru.
Jika Wajib Pajak menolak untuk diperiksa (misalnya, menolak menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan), DJP akan membuat Berita Acara Penolakan Pemeriksaan.11 Penolakan ini akan memicu penetapan pajak secara jabatan yang didasarkan pada data konkret yang dimiliki DJP, yang kemungkinan besar akan merugikan Wajib Pajak. Oleh karena itu, kooperatif namun strategis di tahap pengawasan adalah pilihan yang paling bijak.
V. PENUTUP DAN KESIMPULAN
PER-18/PJ/2025 adalah manifestasi dari transformasi digital DJP. Peraturan ini menyempurnakan mekanisme smart audit dengan mendefinisikan secara eksplisit jenis-jenis data yang memiliki validitas tinggi dan dapat langsung ditindaklanjuti.
Bagi Wajib Pajak yang patuh, peraturan ini memberikan kepastian tentang area mana saja yang akan menjadi fokus pengawasan DJP. Bagi Wajib Pajak yang nakal atau ceroboh, peraturan ini adalah ancaman langsung berupa Pemeriksaan Terfokus yang cepat dan sanksi administratif yang berat (terutama sanksi kenaikan 75% untuk PPN kompensasi fiktif).
Kepatuhan di era Data Konkret tidak lagi cukup hanya dengan melaporkan SPT tepat waktu, tetapi harus mencakup konsistensi data yang sempurna antara catatan internal, laporan ke DJP, dan data yang dimiliki oleh pihak ketiga (rekanan, bank, Bea Cukai). Wajib Pajak yang mempersiapkan diri dengan sistem kontrol internal yang kuat dan respons cepat terhadap SP2DK akan mampu memitigasi risiko pemeriksaan secara signifikan.
Karya yang dikutip
PER 18/2025 Diterbitkan! Dirjen Pajak Menindaklanjuti Data Konkret untuk Pengawasan dan Pemeriksaan - Mitra Consulting Group, diakses Oktober 9, 2025, https://mitraconsulting.co.id/per-18-2025-diterbitkan-dirjen-pajak-menindaklanjuti-data-konkret-untuk-pengawasan-dan-pemeriksaan/
DJP Rilis Aturan Data Konkret yang Bisa Ditindaklanjuti Pemeriksaan - DDTC News, diakses Oktober 9, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1813984/djp-rilis-aturan-data-konkret-yang-bisa-ditindaklanjuti-pemeriksaan
Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER - 18/PJ/2025 - Ortax - Data Center, diakses Oktober 9, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/26464
Data Konkret Jadi Pemicu Pemeriksaan: Inti PER-18/PJ/2025 dan Implikasi Praktis bagi Wajib Pajak - Expert Tax Consulting, diakses Oktober 9, 2025, https://expert-taxindonesia.com/data-konkret-jadi-pemicu-pemeriksaan-inti-per-18-pj-2025-dan-implikasi-praktis-bagi-wajib-pajak/
Tax Guide : PER_DIRJEN_PJK No PER - 18/PJ/2025 - Pajakku, diakses Oktober 9, 2025, https://pajakku.com/tax-guide/per-dirjen-pjk/per-18pj2025
PER-18/PJ/2025: Aturan Baru Soal Tindak Lanjut Data Konkret, diakses Oktober 9, 2025, https://pajak.io/per-18-pj-2025-aturan-baru-soal-tindak-lanjut-data-konkret/
Ulasan Lengkap Bukti Potong Pajak dan Cara Membuatnya, diakses Oktober 9, 2025, https://klikpajak.id/blog/ulasan-lengkap-bukti-pemotongan-pajak-dan-cara-membuat-bukti-potong/
Cara Mendapatkan Bukti Potong Pajak PPh 21 [+ Contoh] - HRIS KantorKu by Dealls, diakses Oktober 9, 2025, https://kantorku.id/blog/bukti-potong-pajak/
Data Konkret Kelebihan Kompensasi PPN Bisa untuk Basis Pemeriksaan - DDTC News, diakses Oktober 9, 2025, https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1814063/data-konkret-kelebihan-kompensasi-ppn-bisa-untuk-basis-pemeriksaan
Melanggar Pemanfaatan Insentif Pajak Bisa Jadi Basis Pemeriksaan, Apa yang Wajib Pajak Perlu Tau - Expert Tax Consulting, diakses Oktober 9, 2025, https://expert-taxindonesia.com/melanggar-pemanfaatan-insentif-pajak-bisa-jadi-basis-pemeriksaan-apa-yang-wajib-pajak-perlu-tau/
Wajib Pajak Menolak untuk Diperiksa, Apa Saja Konsekuensinya? - Ortax, diakses Oktober 9, 2025, https://ortax.org/wajib-pajak-menolak-untuk-diperiksa-apa-saja-konsekuensinya
0 komentar:
Posting Komentar
Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.