Sabtu, 20 September 2025

 

1. Pendahuluan: Dinamika Ekonomi Digital dan Urgensi Perpajakan Afiliator


Perkembangan pesat ekosistem ekonomi digital di Indonesia, khususnya melalui e-commerce, telah menciptakan model bisnis baru yang dinamis, salah satunya adalah affiliate marketing. Model ini memungkinkan individu maupun badan usaha (selanjutnya disebut afiliator) untuk memperoleh penghasilan melalui promosi produk atau jasa yang ditawarkan oleh platform e-commerce atau marketplace. Fenomena ini tidak hanya membuka peluang ekonomi baru bagi jutaan orang, tetapi juga menempatkan kerangka regulasi perpajakan di bawah sorotan untuk memastikan terciptanya keadilan fiskal dan optimalisasi penerimaan negara dari sektor yang terus berkembang ini.1

Laporan ini disusun untuk menyajikan analisis mendalam dan komprehensif mengenai implementasi Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada kegiatan rujukan. Analisis ini ditinjau dari dua sisi utama: perspektif platform e-commerce sebagai pihak yang berpotensi memiliki kewajiban pemotongan pajak, serta perspektif afiliator sebagai Wajib Pajak (WP). Kajian ini akan secara spesifik mengupas ketentuan PPh Final Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 (PP 55/2022), skema pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 23, serta implikasi PPN, terutama terkait isu “Hubungan Istimewa” yang dipertegas oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172 Tahun 2023 (PMK 172/2023).

Untuk memahami lanskap perpajakan ini, penting untuk menetapkan definisi kunci. Afiliator, dalam konteks perpajakan, adalah individu atau badan yang memperoleh penghasilan berupa komisi atau imbalan dari promosi barang atau jasa, tanpa terikat dalam hubungan kerja formal dengan platform.3 Oleh karena itu, penghasilan mereka tidak dikategorikan sebagai gaji atau upah, melainkan sebagai imbalan atas jasa yang diberikan.3 Afiliator dikategorikan sebagai

Bukan Pegawai atau WP yang melakukan Pekerjaan Bebas.5 Selanjutnya,

Peredaran Bruto didefinisikan sebagai seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi dengan potongan penjualan, retur, atau potongan sejenisnya. Batasan peredaran bruto menjadi kriteria krusial untuk menentukan skema perpajakan UMKM.7 Terakhir,

Hubungan Istimewa adalah kondisi yang dapat mempengaruhi nilai transaksi. Dalam model bisnis kemitraan digital, meskipun tidak ada hubungan kepemilikan modal, kendali atau pengaruh signifikan yang dimiliki platform terhadap afiliator (misalnya, dalam menentukan besaran komisi atau aturan main) dapat menimbulkan isu transfer pricing dan PPN.9


2. Kerangka Regulasi dan Klasifikasi Afiliator



2.1 Dasar Hukum Perpajakan Kemitraan Digital


Kerangka hukum perpajakan bagi afiliator berpijak pada beberapa regulasi kunci. Payung hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menetapkan tarif progresif PPh Orang Pribadi (OP) dan tarif umum PPh Badan.11

Secara lebih spesifik, pengenaan pajak atas penghasilan afiliator diatur dalam:

  • Pajak Penghasilan (PPh):

  • PP 55/2022 yang menggantikan PP 23/2018. Peraturan ini mengatur fasilitas PPh Final sebesar 0,5% dari peredaran bruto untuk WP UMKM. Khusus bagi WP OP, terdapat fasilitas tambahan di mana bagian peredaran bruto hingga Rp 500 juta dalam satu tahun pajak tidak dikenai PPh.7

  • PMK 168/2023, yang merupakan petunjuk pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26. Regulasi ini menjadi acuan bagi platform untuk memotong pajak atas komisi yang dibayarkan kepada afiliator yang diklasifikasikan sebagai Bukan Pegawai.14

  • Pajak Pertambahan Nilai (PPN):

  • PMK 60/2022 yang mengatur perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik.

  • PMK 172/2023 yang menegaskan kembali kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menyesuaikan harga jual atau penggantian yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa, khususnya sebagai dasar perhitungan PPN.10


2.2 Klasifikasi Pajak Afiliator


Afiliator, sebagai entitas yang memberikan jasa promosi, tidak memiliki hubungan kerja yang mengikat layaknya seorang pegawai. Oleh karena itu, penghasilan mereka tidak dikenai PPh Pasal 21 sebagai penghasilan pegawai, melainkan sebagai imbalan jasa.3 Berdasarkan peraturan, afiliator dapat dikelompokkan sebagai

Bukan Pegawai yang menerima penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa. Kategori ini, yang diatur dalam PER-16/PJ/2016 dan PMK 168/2023, secara eksplisit mencakup profesi seperti pembawa pesanan, petugas penjaja barang dagangan, atau perantara.4 Klasifikasi ini penting karena menentukan mekanisme pemotongan pajak yang berlaku.

Selain itu, DJP merekomendasikan Kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) 47920, yaitu Perdagangan Eceran Melalui Media, sebagai KLU yang paling sesuai bagi afiliator marketplace. Penggunaan KLU yang tepat sangat esensial untuk mempermudah pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan memastikan konsistensi dalam pelaporan pajak.18


2.3 Kontradiksi Regulasi: PPh Final UMKM vs. Pekerjaan Bebas


Meskipun PP 55/2022 memberikan insentif pajak yang signifikan bagi WP OP UMKM dengan membebaskan PPh atas penghasilan hingga Rp 500 juta, peraturan yang sama juga menciptakan sebuah ambiguitas fundamental. Regulasi ini secara tegas mengecualikan penghasilan yang diterima dari pekerjaan bebas dari fasilitas PPh Final.7 Sementara itu, afiliator, khususnya yang memiliki basis konten atau layanan profesional (seperti

influencer), dapat dianggap melakukan pekerjaan bebas atau jasa. Hal ini menimbulkan dilema. Seorang afiliator yang seharusnya dapat menikmati tarif PPh Final 0,5% karena omzetnya di bawah Rp 4,8 miliar, justru berpotensi dikecualikan dari skema ini hanya karena sifat pekerjaannya.

Situasi ini memicu kebingungan di kalangan Wajib Pajak. Alih-alih mendapatkan kemudahan, mereka dihadapkan pada pilihan yang rumit. Mereka harus memutuskan apakah akan menggunakan PPh Final UMKM, yang menawarkan kemudahan administrasi namun berpotensi melanggar ketentuan pengecualian, atau menggunakan skema PPh Pasal 21 yang lebih kompleks namun secara legal lebih sesuai dengan klasifikasi penghasilan mereka. Kompleksitas ini berpotensi mereduksi efektivitas kebijakan pemerintah dalam mendorong kepatuhan sukarela, karena Wajib Pajak yang bingung atau merasa terbebani secara administratif cenderung lebih sulit untuk mematuhi kewajiban perpajakan mereka.


2.4 Perbedaan Mendasar: Pembukuan versus Pencatatan


Pemahaman terhadap perbedaan antara pembukuan dan pencatatan adalah fundamental dalam menentukan kewajiban administrasi keuangan. Dalam konteks perpajakan di Indonesia, dua istilah ini memiliki definisi yang jelas dan konsekuensi yang berbeda, terutama bagi Wajib Pajak Orang Pribadi.

Pembukuan didefinisikan sebagai proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi:

  • Harta

  • Kewajiban

  • Modal

  • Penghasilan

  • Biaya

  • Jumlah perolehan dan penyerahan barang/jasa dalam periode pajak tersebut.34

Pembukuan, oleh karena itu, bersifat komprehensif dan sistematis. Sistem ini menghasilkan laporan keuangan yang memberikan gambaran utuh tentang kondisi finansial sebuah entitas, termasuk laba-rugi, neraca, dan arus kas. Pembukuan diwajibkan bagi Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto di atas Rp4,8 miliar.34

Di sisi lain, Pencatatan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 28 Ayat 9, terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang:

  • Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung pajak terutang

  • Termasuk di dalamnya penghasilan bukan objek pajak atau dikenai pajak.34

Secara garis besar, pencatatan lebih difokuskan pada nilai pendapatan atau penghasilan tanpa memperdulikan biaya. Hal ini sejalan dengan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN), di mana pajak dihitung berdasarkan nilai pendapatan dikalikan dengan persentase tertentu, dan bukan berdasarkan laba bersih setelah dikurangi biaya. Dengan demikian, pembukuan jauh lebih komprehensif karena mencatat tidak hanya pendapatan, tetapi juga biaya, harta, dan kewajiban.


3. Analisis PPh atas Penghasilan Afiliator



3.1 PPh Afiliator Orang Pribadi (OP): Kewajiban Menggunakan PPh Pasal 21


Berbeda dengan skema PPh Final UMKM yang memiliki pengecualian bagi pekerjaan bebas, afiliator yang memiliki penghasilan dari pekerjaan bebas diwajibkan untuk menggunakan PPh Pasal 21 (Non-Final).7 Dalam skema ini,

platform e-commerce bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 21.14 Dasar pengenaan pajak (DPP) dihitung sebesar 50% dari penghasilan bruto (komisi) yang diterima.14 Hasilnya kemudian dikalikan dengan tarif PPh progresif Pasal 17 UU HPP, yang terdiri dari lima lapisan tarif (5%, 15%, 25%, 30%, 35%).1 Afiliator yang tidak memiliki NPWP akan dikenai tarif yang 20% lebih tinggi dari tarif normal.20 PPh Pasal 21 yang telah dipotong oleh

platform dapat digunakan sebagai kredit pajak pada saat afiliator melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi.19

Studi Kasus dan Perhitungan:

Sebagai ilustrasi, mari kita hitung PPh untuk seorang afiliator dengan total komisi Rp 50 juta dalam setahun.

  • Skema PPh Pasal 21:

  • Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = 50% x Rp 50 juta = Rp 25 juta.19

  • PPh terutang = Tarif 5% x Rp 25 juta = Rp 1.250.000.19

  • Jika afiliator memiliki NPWP, PPh yang dipotong adalah Rp 1.250.000.19

Selain kewajiban pelaporan menggunakan NPPN, seorang afiliator yang menerima penghasilan dari kegiatan rujukan harus menyampaikan informasi NPPN.21 Kewajiban ini memungkinkan mereka untuk melakukan pencatatan, bukan pembukuan.22 Hal ini penting karena perhitungan PPh afiliator dikenakan sebagai bukan pegawai.14


3.2 PPh Afiliator Badan: Jaringan Pengaman PPh Badan UMKM


Afiliator yang berbadan hukum (misalnya, PT atau CV) memiliki kewajiban PPh Badan, yang juga menawarkan dua skema pajak:

  • Opsi 1: PPh Final UMKM 0,5%
    Berlaku untuk afiliator badan yang memiliki peredaran bruto hingga Rp 4,8 miliar per tahun.22 Namun, berbeda dengan WP OP, afiliator badan tidak mendapatkan fasilitas non-pajak untuk penghasilan hingga Rp 500 juta.7 Jangka waktu penggunaan skema ini adalah 3 tahun untuk Perseroan Terbatas (PT) dan 4 tahun untuk Persekutuan Komanditer (CV) atau Koperasi.22

  • Opsi 2: PPh Badan Umum dengan Fasilitas Pasal 31E
    Afiliator badan dengan omzet di atas Rp 4,8 miliar hingga maksimal Rp 50 miliar dalam setahun dapat menggunakan fasilitas pengurangan tarif PPh sebesar 50% dari tarif umum. Tarif umum PPh Badan saat ini adalah 22%.12

    Mekanisme perhitungannya adalah:

  • Bagian Penghasilan Kena Pajak (PKP) yang berasal dari peredaran bruto hingga Rp 4,8 miliar dikenai tarif efektif 11% (50% x 22%).12

  • Bagian PKP di atas Rp 4,8 miliar dikenai tarif PPh Badan normal, yaitu 22%.26

    Skema ini memberikan jaringan pengaman bagi afiliator badan yang tumbuh melampaui batas omzet UMKM, memastikan transisi perpajakan yang lebih terjangkau.


3.3 Pilihan Skema Pajak yang Tidak Sederhana


Pilihan skema pajak yang diberikan pemerintah bagi afiliator, meskipun dimaksudkan untuk memberikan kemudahan, pada kenyataannya menciptakan kerumitan administratif. WP OP harus mempertimbangkan total penghasilan yang diperoleh dari berbagai sumber, termasuk gaji dari pekerjaan lain dan komisi rujukan, untuk menentukan PPh terutang mereka.19 Kebingungan ini seringkali mendorong mereka untuk mencari bantuan profesional 3, yang dapat menjadi hambatan biaya bagi afiliator pemula atau berpenghasilan rendah.

Kerumitan ini tidak hanya sebatas administrasi. Dalam kasus ekstrem, kompleksitas dan ketidakmampuan untuk memahami regulasi dapat memicu tindakan non-kepatuhan yang disengaja. Contohnya, kasus penyalahgunaan NPWP dan KTP untuk mendaftar ratusan akun afiliator 27, menunjukkan bagaimana celah dalam sistem dan kebingungan Wajib Pajak dapat dieksploitasi, berujung pada pelanggaran hukum serius. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan pajak yang efektif tidak hanya harus menawarkan insentif, tetapi juga harus bersifat lugas, mudah dipahami, dan dapat diimplementasikan secara praktis di lapangan untuk mencegah timbulnya risiko hukum bagi WP dan ekosistem digital secara keseluruhan.


4. Analisis PPN atas Transaksi Kemitraan Digital dan Isu Hubungan Istimewa



4.1 Kewajiban PPN bagi Platform dan Afiliator


Dalam konteks PPN, baik platform maupun afiliator memiliki kewajiban yang berbeda. Platform e-commerce, sebagai entitas yang menyediakan jasa dan memfasilitasi penjualan, wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) jika omzetnya melebihi Rp 4,8 miliar per tahun. Sebagai PKP, platform wajib memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN sebesar 11% atas jasa yang mereka tawarkan kepada penjual atau pembeli.28

Di sisi lain, afiliator juga memiliki kewajiban untuk dikukuhkan sebagai PKP jika peredaran bruto dari jasa rujukan yang mereka berikan mencapai Rp 4,8 miliar dalam satu tahun.29 Jika tidak, mereka dikategorikan sebagai

Non-PKP.


5. Peran dan Tanggung Jawab Platform E-Commerce sebagai Pemotong Pajak



5.1 Mekanisme Pemotongan dan Penyetoran PPh


Sebagai pihak yang membayarkan komisi, platform e-commerce secara hukum merupakan pemotong pajak atas penghasilan afiliator. Untuk afiliator OP, platform memiliki kewajiban untuk memotong PPh Pasal 21. Sementara itu, untuk afiliator Badan, platform seharusnya memotong PPh Pasal 23 atas jasa.30 Namun, terdapat dualisme di lapangan. Beberapa

platform memang secara langsung melakukan pemotongan pajak atas komisi afiliator, sementara yang lain, dalam beberapa kasus, meminta afiliator untuk menyetor dan melaporkan sendiri PPh terutang mereka.14


5.2 Beban Administratif dan Risiko Kepatuhan


Menempatkan platform sebagai pemotong pajak membawa beban administratif yang signifikan. Platform harus membangun sistem yang mampu:

  1. Mengidentifikasi status WP afiliator (OP vs. Badan, ber-NPWP vs. tidak ber-NPWP).

  2. Melakukan perhitungan pajak yang akurat sesuai dengan skema yang berlaku.

  3. Menerbitkan bukti potong pajak secara berkala.

  4. Menyetorkan dan melaporkan PPh yang telah dipotong ke kas negara secara tepat waktu.3

Kegagalan dalam melaksanakan kewajiban ini dapat berujung pada sanksi administrasi berupa bunga dan denda.22 Kasus penyalahgunaan NPWP dan KTP oleh seorang individu di Nganjuk untuk membuat ratusan akun afiliator 27 juga menyoroti risiko operasional bagi

platform yang harus memastikan validitas data afiliator yang terdaftar.


5.3 Platform sebagai Kantor Pajak Digital


Strategi pemerintah yang menempatkan platform sebagai de facto perpanjangan tangan DJP adalah langkah yang efisien. Alih-alih mengejar jutaan afiliator secara individual, DJP dapat berfokus pada entitas besar yang memiliki data transaksional paling lengkap. Dari sudut pandang penerimaan negara, pendekatan ini adalah titik kontrol yang paling efektif dalam ekosistem digital. Namun, strategi ini juga memindahkan sebagian besar beban administratif dan risiko kepatuhan dari negara ke pihak swasta. Platform harus mengalokasikan sumber daya yang substansial untuk membangun infrastruktur perpajakan yang solid, yang berpotensi menjadi hambatan signifikan bagi platform e-commerce yang baru berkembang.


6. Evaluasi Kritis dan Tantangan Implementasi Kebijakan



6.1 Keadilan Pajak dan Kesenjangan Antar-Pihak


Penerapan kebijakan pajak dalam ekosistem kemitraan digital menimbulkan pertanyaan seputar keadilan fiskal.

  • Keadilan Horizontal: Apakah afiliator dengan penghasilan yang sama dikenai pajak yang sama? Pengecualian bagi penghasilan yang diterima dari pekerjaan bebas dari skema PPh Final UMKM menciptakan ketidakadilan, karena memaksa mereka untuk menggunakan skema PPh Pasal 21 yang memiliki perhitungan berbeda.7 Sebagai contoh, afiliator yang berpenghasilan Rp 450 juta per tahun tidak membayar PPh dalam skema PPh Final, sementara afiliator dengan penghasilan yang sama tetapi memilih skema PPh Pasal 21 akan membayar PPh terutang yang signifikan.

  • Keadilan Vertikal: Skema tarif progresif PPh Pasal 21 menjamin bahwa afiliator dengan penghasilan lebih tinggi akan membayar persentase pajak yang lebih besar.33 Namun, skema PPh Final 0,5% memiliki sifat proporsional dan tidak progresif, sehingga tidak sepenuhnya mencerminkan prinsip keadilan vertikal.

  • Kesenjangan Antar-Profesi: Pengecualian penghasilan dari pekerjaan bebas dari skema PPh Final UMKM menciptakan ketidaksetaraan perlakuan antara afiliator yang diklasifikasikan sebagai Bukan Pegawai atau jasa dan WP UMKM dari sektor lain.7 Hal ini menggerus semangat penyederhanaan yang ingin dicapai pemerintah.


7. Rekomendasi Strategis dan Kebijakan ke Depan


Berdasarkan analisis di atas, berikut adalah rekomendasi strategis untuk membangun ekosistem perpajakan kemitraan digital yang lebih sehat, adil, dan berkelanjutan.


7.1 Rekomendasi untuk Afiliator


  • Pentingnya NPWP dan KLU yang Tepat: Afiliator perlu segera mendaftarkan NPWP untuk menghindari tarif pajak yang lebih tinggi dan memilih KLU yang sesuai (misalnya, 47920) guna mempermudah administrasi.18

  • Pemahaman Skema Pajak: Afiliator harus proaktif dalam memahami pilihan skema PPh yang tersedia dan memilih yang paling sesuai dengan profil penghasilan mereka, dengan mempertimbangkan total penghasilan dari semua sumber.

  • Pelaporan SPT Tahunan: Kewajiban fundamental adalah melaporkan SPT Tahunan dengan benar, memastikan semua penghasilan tercatat dan PPh yang telah dipotong oleh platform dikreditkan dengan tepat.19


7.2 Rekomendasi untuk Platform E-Commerce


  • Standardisasi Mekanisme Pemotongan: Platform disarankan untuk berkolaborasi dengan DJP guna menstandarkan mekanisme pemotongan PPh. Langkah ini akan memberikan kepastian hukum dan memudahkan afiliator dalam memenuhi kewajiban mereka.

  • Peningkatan Transparansi Data: Platform dapat menyediakan riwayat penghasilan dan bukti potong pajak yang mudah diakses oleh afiliator, misalnya melalui dasbor digital, untuk mempermudah proses pelaporan SPT.


7.3 Rekomendasi untuk Regulator (DJP dan Pemerintah)


  • Harmonisasi Peraturan: Perlu dilakukan harmonisasi antara ketentuan PPh Final UMKM dengan klasifikasi pekerjaan bebas untuk menghilangkan ambiguitas. Kebijakan pajak yang seragam untuk seluruh WP UMKM, terlepas dari jenis penghasilannya, akan meningkatkan keadilan dan kepatuhan.

  • Penyederhanaan Total: Pemerintah perlu mempertimbangkan satu skema pajak tunggal yang sederhana untuk afiliator, atau setidaknya menyederhanakan mekanisme PPh 21 untuk mereka. Model tarif final untuk penghasilan di bawah ambang batas tertentu dapat menjadi pilihan yang patut dipertimbangkan.

  • Peningkatan Sosialisasi dan Edukasi: Lakukan kampanye edukasi yang lebih masif, mudah dipahami, dan berkolaborasi langsung dengan platform serta asosiasi afiliator untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman perpajakan.

Tabel 1: Perbandingan Skema PPh Afiliator Orang Pribadi


Kriteria

Skema PPh Final UMKM (PP 55/2022)

Skema PPh Pasal 21 (Non-Final)

Dasar Hukum

PP 55 Tahun 2022

UU HPP dan PMK 168/2023

Kriteria Omzet

Peredaran bruto ≤ Rp 4,8 miliar

Peredaran bruto > Rp 4,8 miliar, atau pilihan WP, atau klasifikasi pekerjaan bebas

Tarif Pajak

0,5% dari peredaran bruto

Progresif 5% s.d 35%

Dasar Perhitungan

Peredaran bruto bulanan

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) = 50% dari penghasilan bruto 14

Fasilitas Kunci

Penghasilan bruto s.d Rp 500 juta bebas PPh 7

PPh yang dipotong dapat dikreditkan pada SPT Tahunan 19

Catatan Kritis

Dikecualikan untuk penghasilan pekerjaan bebas 7

Penghitungan lebih kompleks, terutama jika ada penghasilan lain 19

Tabel 2: Perbandingan Kewajiban Pajak PPh dan PPN

Status Hukum Afiliator

PPh Terutang

Kriteria Omzet PKP PPN

Kewajiban Administrasi

Orang Pribadi (OP)

PPh Final 0,5% atau PPh Pasal 21 Progresif

> Rp 4,8 miliar

Punya NPWP, wajib lapor SPT Tahunan.

Badan

PPh Final 0,5% atau PPh Badan Umum

> Rp 4,8 miliar

Punya NPWP, wajib lapor SPT Tahunan & SPT Masa PPh Badan.


8. Kesimpulan


Laporan ini menyimpulkan bahwa kerangka perpajakan bagi afiliator di Indonesia masih menghadapi tantangan signifikan. Terdapat kontradiksi antara semangat penyederhanaan PPh Final UMKM dan ketentuan pengecualian untuk pekerjaan bebas. Hal ini menciptakan ambiguitas yang berpotensi membingungkan WP dan menghambat kepatuhan sukarela. Selain itu, pemerintah semakin menempatkan platform e-commerce sebagai de facto agen pemungut pajak, sebuah strategi yang efisien dari sisi negara tetapi memindahkan beban administratif dan risiko hukum kepada pihak swasta. Di samping itu, penegasan kembali kewenangan DJP terkait "Hubungan Istimewa" dalam PPN menunjukkan langkah proaktif pemerintah untuk melindungi basis pajak, yang juga berpotensi menciptakan risiko pajak baru bagi ekosistem kemitraan digital.

Membangun ekosistem pajak digital yang sehat membutuhkan lebih dari sekadar regulasi. Ini menuntut harmonisasi peraturan yang ada, penyederhanaan prosedur administratif, dan kolaborasi yang erat antara pemerintah, platform, dan afiliator. Dengan demikian, akan tercipta sistem yang tidak hanya adil dan efektif dalam mengumpulkan penerimaan negara, tetapi juga adaptif terhadap model bisnis yang terus berubah dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.

Karya yang dikutip

  1. Wahai Afiliator, Cek Keranjang Kuning, Cek Juga Kewajiban Perpajakannya, Ya, diakses September 20, 2025, https://pajak.go.id/index.php/id/artikel/wahai-afiliator-cek-keranjang-kuning-cek-juga-kewajiban-perpajakannya-ya

  2. DJP Incar Penghasilan Influencer: Endorse di TikTok Wajib Bayar Pajak Tahun Ini?, diakses September 20, 2025, https://www.taxpoint.id/detail-article?slug=djp-incar-penghasilan-influencer-endorse-di-tiktok-wajib-bayar-pajak-tahun-ini

  3. Menelisik Pajak Affiliate: Komisi Digital di Era Kreator Konten, Wajib Lapor dan Bayar! - Jasa Konsultan Pajak Tangerang Profesional Berpengalaman | Win Partners, diakses September 20, 2025, https://winpartners.id/blog/menelisik-pajak-affiliate-komisi-digital-di-era-kreator-konten-wajib-lapor-dan-bayar/

  4. Peraturan Dirjen Pajak Nomor: PER - 16/PJ/2016 - Ortax - Data Center, diakses September 20, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/16133

  5. Apa Itu Pekerjaan Bebas? - DDTC News, diakses September 20, 2025, https://news.ddtc.co.id/literasi/kamus/21156/apa-itu-pekerjaan-bebas

  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan, diakses September 20, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/api/download/e60a82e0-b218-40f5-9d18-b924aa1e11ce/2023pmkeuangan168.pdf

  7. Ketentuan Terbaru PPh Final 0,5% dalam PP 55 Tahun 2022, WPOP Terima Tambahan “Fasilitas”! - Konsultan Pajak Surabaya, diakses September 20, 2025, https://konsultanpajaksurabaya.com/ketentuan-terbaru-pph-final-05-dalam-pp-55-tahun-2022-wpop-terima-tambahan-fasilitas

  8. BAB 1 PENDAHULUAN - Repository - UNAIR, diakses September 20, 2025, https://repository.unair.ac.id/102877/3/3.%20BAB%201%20PENDAHULUAN%20.pdf

  9. PP 55 Tahun 2022, Legitimasi Negara "Ikut Campur" Hubungan Istimewa Pembayar Pajak, diakses September 20, 2025, https://muc.co.id/id/article/pp-55-tahun-2022-legitimasi-negara-ikut-campur-hubungan-istimewa-pembayar-pajak

  10. PPN atas Transaksi Afiliasi – Penegasan dalam PMK 172 - TBrights, diakses September 20, 2025, https://tbrights.com/ppn-atas-transaksi-afiliasi-penegasan-dalam-pmk-172/

  11. Kewajiban Pajak Afiliator - Enforce A, diakses September 20, 2025, https://enforcea.com/Blog/kewajiban-pajak-afiliator

  12. Lima Jenis Tarif PPh Badan yang Wajib Diperhatikan - Direktorat Jenderal Pajak, diakses September 20, 2025, https://www.pajak.go.id/id/artikel/lima-jenis-tarif-pph-badan-yang-wajib-diperhatikan

  13. Pajak Penghasilan Pasal 21 - DJPb - Kementerian Keuangan, diakses September 20, 2025, https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/kotabumi/id/informasi/perpajakan/pph-pasal-21.html

  14. Jadi Afiliator Marketplace, Harus Setor dan Lapor PPh 21 Sendiri? - San Yang, diakses September 20, 2025, https://www.sanyangtaxconsultants.com/2024/114482/jadi-afiliator-marketplace-harus-setor-dan-lapor-pph-21-sendiri/

  15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 168 Tahun 2023 - Ortax - Data Center, diakses September 20, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/25454

  16. PMK 168 TAHUN 2023 - Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi - JDIH Kemenkeu, diakses September 20, 2025, https://jdih.kemenkeu.go.id/dok/pmk-168-tahun-2023

  17. PMK 172/2023 Atur Ulang PPN Transaksi Afiliasi, DJP Berwenang Sesuaikan Harga Jual, diakses September 20, 2025, https://muc.co.id/id/article/pmk-1722023-atur-ulang-ppn-transaksi-afiliasi-djp-berwenang-sesuaikan-harga-jual

  18. Apa Itu KBLI dan KLU? - DDTC News, diakses September 20, 2025, https://news.ddtc.co.id/literasi/kamus/20706/apa-itu-kbli-dan-klu

  19. Dapat Cuan dari Affiliator, Begini Skema Pengenaan Pajaknya - Ortax, diakses September 20, 2025, https://ortax.org/dapat-cuan-dari-affiliator-begini-skema-pajaknya

  20. Program Affiliate Semakin Populer, Apakah Kena Pajak Affiliate? Simak Jawaban Lengkapnya! - Pajak.io, diakses September 20, 2025, https://pajak.io/semakin-populer-apakah-kena-pajak-affiliate/

  21. Update 2024: Apa Itu Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN)? - DDTC News, diakses September 20, 2025, https://news.ddtc.co.id/literasi/kamus/1802754/update-2024-apa-itu-norma-penghitungan-penghasilan-neto-nppn

  22. Aturan Pajak untuk Usaha Mikro yang Wajib Anda Ketahui - Kontrak Hukum, diakses September 20, 2025, https://kontrakhukum.com/article/aturan-pajak-untuk-usaha-mikro-yang-wajib-anda-ketahui/

  23. Simak! Ini Dia Ketentuan Tarif PPh Badan Terbaru - Ortax, diakses September 20, 2025, https://ortax.org/simak-ini-dia-ketentuan-tarif-pph-badan-terbaru

  24. Pajak Penghasilan (PPh) Badan : Tarif dan Contoh Hitung - Mekari Klikpajak, diakses September 20, 2025, https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-badan-jenis-tarif-hitung-dan-lapor-pajak/

  25. Penggunaan Tarif PPh Pasal 31E Ayat 1 & Contoh Perhitungannya - Mekari Klikpajak, diakses September 20, 2025, https://klikpajak.id/blog/tarif-pph-ps-31e-ayat-1/

  26. Begini Cara Hitung PPh Badan Menggunakan Tarif Pasal 31E - RRI, diakses September 20, 2025, https://rri.co.id/keuangan/1478477/begini-cara-hitung-pph-badan-menggunakan-tarif-pasal-31e

  27. Buat Akun Shopee Affiliate Pakai NPWP dan KTP Orang Lain, Warga Nganjuk Terancam 12 Tahun Penjara - KOMPAS.com, diakses September 20, 2025, https://surabaya.kompas.com/read/2025/06/23/154931578/buat-akun-shopee-affiliate-pakai-npwp-dan-ktp-orang-lain-warga-nganjuk

  28. Pajak Bisnis E-Commerce di Indonesia - Kontrak Hukum, diakses September 20, 2025, https://kontrakhukum.com/article/pajak-bisnis-e-commerce-di-indonesia/

  29. Perbedaan dan Kategori Perusahaan PKP vs Non-PKP - Kontrak Hukum, diakses September 20, 2025, https://kontrakhukum.com/article/perbedaan-dan-kategori-perusahaan-pkp-vs-non-pkp/

  30. Pajak Penghasilan Pasal 23 - DJPb - Kementerian Keuangan, diakses September 20, 2025, https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/tapaktuan/id/informasi/perpajakan/pph-pasal-23.html

  31. Undang-Undang Nomor: 7 TAHUN 2021 - Ortax - Data Center, diakses September 20, 2025, https://datacenter.ortax.org/ortax/aturan/show/17575

  32. Warga Nganjuk Bikin 130 Akun Shopee Affiliate Pakai NPWP dan KTP Orang Lain, diakses September 20, 2025, https://lentera.co/post/item/219597/Warga-Nganjuk-Bikin-130-Akun-Shopee-Affiliate-Pakai-NPWP-dan-KTP-Orang-Lain

  33. Keadilan Pajak bagi Pekerja - Direktorat Jenderal Pajak, diakses September 20, 2025, https://www.pajak.go.id/id/artikel/keadilan-pajak-bagi-pekerja

  34. Beda Pembukuan dan Pencatatan yang Harus Dipahami Wajib Pajak, diakses September 20, 2025, https://klikpajak.id/blog/beda-pembukuan-dan-pencatatan-yang-harus-dipahami-wajib-pajak/

0 komentar:

Posting Komentar

Masukan Komentar yang sesuai jika tidak, maka akan dianggap spam.